• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4.5 Profil Desa Lokasi Penelitian

Pada aras makro penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan memilih etnis Bugis dan Makassar sebagai sampel utama. Propinsi Sulsel setidaknya memiliki empat etnis asli; Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Berdasarkan jumlah penduduk dan letak geografisnya, etnis Bugis adalah etnis yang paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. Kemudian di susul oleh etnis Makassar. Secara historis, kedua etnis ini sama-sama memiliki tradisi kekuasaan di jazirah Sulawesi. Simbol kekuasaan yang paling fenomenal dalam sejarah ditandai oleh kepemimpinan Arung Palaka pada etnis Bugis dan Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar. Karena sama-sama memiliki tradisi kekuasaan dari fase tradisional sampai fase sekularisme (reformasi), kedua etnis tersebut selalu mengalami kontestasi merebut panggung kekuasaan.

Meskipun terdapat banyak kerajaan kecil yang berkedudukan di beberapa kabupaten di Sulsel, akan tetapi kerajaan utama di Sulsel adalah kerajaan Bone yang menjadi representasi etnis Bugis dan kerajaan Gowa yang menjadi kebanggaan etnis Makassar. Gambaran tersebut menjadi salah satu sebab pada penelitian ini untuk memilih Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis dan Kabupaten Gowa mewakili etnis Makassar untuk level mezzo.

Sedangkan pada aras mikro penelitian ini menentukan empat Desa utama sebagai sampel; masing-masing dua Desa mewakili dua etnis. Etnis Bugis diwakili oleh Desa Ancu Kecamatan Kajuara dan Desa Benteng Tellue Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Sedangkan pada etnis Makassar diwakili oleh Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo dan Desa Manuju Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa.

Desa Ancu

Desa Ancu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, terletak persis di pinggir pantai Teluk Bone, sekitar 72 km dari

108

ibu kota Kabupaten Bone. Berbatasan dengan Kelurahan Awang Tangka di sebelah selatan, Desa Angkue dan Desa Pude di sebelah utara, dan Desa Raja di sebelah barat, sementara di bagian timur berbatasan dengan Teluk Bone.

Mata pencaharian utama warga di Desa Ancu adalah pada bidang pertanian

dan nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat

mendapatkannya di salah satu pasar lokal yang terdapat di Bojo yang beraktivitas satu kali dalam seminggu, yakni setiap hari selasa.

Desa Ancu, sebelum memasuki masa kemerdekaan adalah salah satu desa yang memiliki sejarah kekuasaan, karena salah satu wilayah dari kekuasaan kerajaan (akkarungeng) Awang Tangka. Di Kecamatan Kajuara saat sebelum

memasuki masa kemerdekaan dan masih menggunakan sistem pemerintahan kerajaan, Kecamatan Kajuara terbagi dalam tiga wilayah Akkarungeng‘, Awang

Tangka, Tarasu dan Gona. Ketiga nama akkarungeng tersebut kini masing-masing

menjadi satu Desa, Desa Tarasu, Desa Gona, sedangkan untuk Awang Tangka menjadi sistem pemerintahan kelurahan. Di awal kemerdekaan Indonesia, para keluarga bangsawan yang saat itu memegang kekuasaan kerajaan masih berlanjut dengan diangkat menjadi kepala distrik.

Desa Ancu, secara administratif, terbagi dalam dua wilayah dusun dengan empat rukun tetangga (RT). Penduduk Desa Ancu pada tahun 2007 tercatat sebanyak 818 jiwa dengan pembagian, laki-laki sebanyak 365 jiwa dan perempuan 453 jiwa yang terdiri dari 172 kepala rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk 234/Km².

Desa Benteng Tellue

Desa Benteng Tellue juga dikenal dengan nama Tabbae‘. Desa ini berada di

Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Secara geografis, posisi desa berada pada daerah pedalaman, berbatasan langsung dengan dua kabupaten; Wajo dan Soppeng. Meskipun secara geografis posisi desa sangat marginal dari kota Kabupaten Bone, akan tetapi tingkat popularitas desa Benteng Tellue melampaui desa dan kelurahan di Kabupaten Bone, bahkan sangat popular di Sulsel.

Desa Benteng Tellue terletak di bagian Utara Bone yang berjarak ± 49 km dari Watampone (ibukota Kabupaten Bone), ± 8 km dari Taretta ibu kota kecamatan Amali.

109

Penduduk desa Benteng Tellue berjumlah ± 1584 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 575 rumah tangga yang terdiri dari tiga dusun,

yakni dusun Tabba‘e sebanyak 569 jiwa dengan 187 KK, dusun Botto‘ dengan

678 jiwa meliputi 301 KK, dan dusun Curikki sejumlah 377 jiwa dengan 90 KK. Secara geografis letak desa Benteng Tellue berada di daerah berbukit yang cukup subur dengan komoditas pertanian utama saat ini adalah kakao, jagung, pisang. Kakao dipetik seminggu atau dua minggu sekali dan dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jagung kuning sebagai tanaman berjangka pendek ditanam dan dipanen dua kali setahun. Sementara pisang dipanen seminggu dua kali juga sebagai komoditas yang menjadi penghasilan utama juga bagi banyak warga Desa. Pisang hasil pertanian warga desa Benteng Tellue diangkut oleh beberapa truk hingga puluhan per minggunya ke beberapa pasar lokal di Makassar dan Gowa. Komoditas lainnya adalah Padi, Kelapa, Ubi kayu, Ubi Jalar, Kacang Tanah, kacang Ijo, dan tembakau.

Desa Manjapai

Desa Manjapai adalah desa yang terletak pada dataran rendah di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa. Kira-kira 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Gowa, atau sekitar 20 kilometer dari Kota Makassar. Desa Manjapai memiliki empat dusun yang memiliki luas masing-masing; Kaluarrang (71,26 ha); Data ( 239,33ha);

Karebasse (62,73ha); dan Jannaya (79,75ha). Jadi luas keseluruhan desa Manjapai

adalah : 453,07 ha persegi. Terletak pada dataran rendah di pinggir pantai.

Pada awal perkembangan Kerajaan Gowa, Desa Manjapai menjadi salah satu daerah yang memproduksi elite-elite Istana Kesultanan Gowa. Setelah Gowa takluk pada Belanda, peranan elite-elite Manjapai terus mengalami penurunan fungsi politik dan ekonominya. Desa Manjapai kembali menjadi mesin produksi elite ketika Belanda menyerah dan Indonesia merdeka.

Selain melalui tentara, para elite di desa Manjapai juga diproduksi melalui organisasi Muhammadyah. Pada awal tahun 1950-an, Muhammadyah mulai mewarnai kehidupan keagamaan dan pendidikan masyarakat Desa Manjapai.

110

Desa Manuju

Desa Manuju berada di Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa berada pada posisi di atas 500 dari permukaan laut. Sebagian wilayah Desa Manuju digenangi Dam Bili-Bili, dam terbesar di Sulawesi Selatan.

Dengan posisinya di atas 500 dpl, kondisi klimatologi Desa Manuju sangat cocok untuk ditanami tanaman perkebunan seperti durian, kakao, rambutan dan tanaman tahunan lainnya. Kehidupan ekonomi masyarakat Manuju sebagian besar menggantungkan diri pada sector pertanian sawah dan perkebunan.

Pada pertengahan abad 16, kehidupan politik Kerajaan Gowa sangat memperhitungkan keberadaan Manuju. Karena Manuju adalah salah satu dari Sembilan anggota Bate Salapang yang memiliki otoritas politik yang sangat tinggi

untuk turut menentukan nasib politik Istana Kerajaan Gowa

Salah satu literatur yang memuat informasi sejarah Manuju adalah buku

kecil yang berjudul ‗Sejarah kerajaan Borisallo dan Manuju‘ yang ditulis oleh

Zainuddin Tika dan kawan-kawan (2008). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju adalah dua kerajaan bersaudara dalam kerajaan Gowa yang masuk menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565,

yakni masa Raja Gowa XII I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa. Selanjutnya, keanggotaan Borisallo dan Manuju dalam Bate

Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada

tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini (Zainuddin Tika, dkk, 2008). Berdasarkan kedudukan politik masa lalunya, Desa Manuju memiliki tradisi kekuasaan yang berbasiskan aristokrasi (kekaraengan). Para penguasa di Desa

Manuju selalu bersumber dari genetika kekaraengan. Dari pertengahan abad 16

hingga kini, desa yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng itu selalu dipimpin oleh kalangan karaeng.

Informasi seputar kekaraengan Manuju dapat ditelusuri eksistensinya pada tahun 1900 saat Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar ‗Karaeng‘ di mana delapan di antaranya adalah Gallarang Mangasa, Gallarang

Tombolo, Gallarang Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang (salah satu dusun

di desa Manuju) yang menyebutkan bahwa keberadaan ‗Karaeng Manuju‘

111

5 TRANSFORMASI PEMBENTUKAN ELITE PADA ETNIS

BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE