• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya

2.3 Relasi Simbol, Kuasa, 25 Uang, Makna dan Wacana

2.3.1 Spirit dan Etik dalam Pembentukan Elite

Sejarah pembentukan kekuasaan politik dan ekonomi di Sulsel, terutama antara etnis Bugis dan Makassar, mengalami pasang surut dari satu era ke zaman yang lain. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh spirit dan etik yang dianut oleh masing- masing elite rezim yang menjadi pelaku utama penguasaan politik dan ekonomi. Makna dan nilai atau spirit yang dianut oleh setiap elite rezim akan memberikan kontribusi tersendiri bagaimana para elite membangun pola kekuasaanya.

Memahami makna, nilai, spirit dan etik setiap rezim yang berkuasa adalah hal mendasar untuk eksplikasi tindakan manusia pada umumnya, dan para elite pada setiap rezim di Sulsel untuk studi ini. Menurut Weber (1992), manusia didominasi oleh kecenderungan untuk menguasai ekonomi dan kekuasaan, dengan mengakuisisi sebagian tujuan utama hidupnya, dengan memanfaatkan kewajiban moral individu dan karakter budaya. Inilah yang dijuluki oleh Weber sebagai dasar menguatnya spirit kapitalisme modern.

Kewajiban moral dan tekanan makna budaya akan menjadi spirit dan etik untuk mencapai tujuan tertentu. Etik protestan misalnya, yang menjadi pemicu kekuatan lahirnya kapitalisme modern (Weber, 1992) di sejumlah negara Eropa dan Amerika (meskipun responnya berbeda-beda) dipandang sebagai bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu untuk memenuhi tugas-tugasnya dalam urusan duniawi. Konsep ini jelas sekali berusaha memproyeksikan perilaku relijius kedalam aktivitas keduniaan sehari-hari.

Dalam konteks ini, Weber berhasil mengidentifikasi bahwa kemajuan kapitalisme modern di Eropa dan Amerika Serikat, kelahiran dan perkembangannya didorong oleh etik protestan, melalui doktrin Calvinisme tentang taqdir. Menurut doktrin ini, umat protestan sesungguhnya sudah ditentukan taqdirnya jauh sebelumnya oleh Tuhan, siapa yang akan masuk surga dan neraka. Mereka-merka yang masuk surga memiliki tanda kehidupan dunianya lebih baik (sempurna) dari

69

yang lain. Karena semua orang berusaha menghindari kutukan Tuhan, dan memburu surga Tuhan, maka umat protestan bangkit untuk mengejar kehidupan dunia yang lebih baik dan sempurna melalui pendekatan ekonomi. Ekses dari spirit ini menyebabkan semua orang semakin individual memburu keberhasilan ekonomi. Karena hanya dengan ini menemukan keberhasilan ekonomi menjadi tanda atau sinyal utama untuk meraih surga dan menghindari kutukan Tuhan, meskipun keberhasilan ini tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai surga Tuhan. Sampai kondisi ini, Calvinisme menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi para usahawan kapitalis untuk terus mengkapitalisasi modalnya. Weber mengungkapkan, Calvinisme memiliki ‘konsistensi besi‘ dalam disiplin habis- habisan yang dituntut dari para pengikutnya.

Pada posisi ini, Weber sangat jelas membantah tesis Karl Marx yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomilah yang menciptakan produk- produk kebudayaan, seperti agama dan ideologi, sebaliknya menurut Weber, kebudayaanlah yang menciptakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi tertentu. Munculnya kapitalisme di Eropa dan Amerika, lanjut Weber, bukan karena

kondisi teknologi di sana menguntungkan, namun suatu ‖spirit,‖ atau kondisi

kejiwaan tertentulah yang memungkinkan perubahan teknologi itu terjadi.31 Apa yang ditemukan oleh Weber tentang etik protestan (spirit kapitalisme modern) di Eropa dan Amerika Serikat, memiliki kemiripan (dalam bentuk yang berbeda) dengan spirit dan etik yang dianut dan yang menguasai kehidupan mayoritas kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), terutama para elitnya, yaitu Siri dan Pesse. Gerak langkah politik, ekonomi dan

budaya masyarakat Sulsel selalu disertai dengan prinsip Siri dan Pacce32.

31 Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Fukuyama, meskipun Fukuyama tidak secara

langsung memberikan bantahan terhadap penyataan Marx. Pandangan Fukuyama secara utuh tentang ini dapat dibaca pada bukunya yang berjudul; Trust; the Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).

32

Secara sederhana, Siri dan Pacce dapat diartikan sebagai harga diri yang dibalut dengan rasa

malu yang tinggi, kemudian terjadi kristalisasi dan internalisasi membentuk suasana hati seseorang jika terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial. Siri dan Pacce memiliki hubungan langsung dengan hal-hal seperti; budaya bersalah (guilt culture); budaya rasa malu (shame culture); dan, budaya takut akhir (fearand culture). Lihat Hamid, dkk (2007). Laica Marzuki (1995) menyebut pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis dan Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri‘. Dua term ini (Siri‟ dan Pacce) adalah konsep tunggal yang mesti berjalan

70

Dalam sejarah sosiologi politik, ekonomi dan budaya Sulsel, Siri ‟ dan

Pacce pernah menjadi spirit dan etik yang memiliki nilai dan makna khusus yang

bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri‘ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan

semacam split personality dalam diri orang Bugis & Makassar. Tetapi sering kita mendengar

ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punna tena Siri‟nu pa‟niaki paccenu (Kalau sudah

tidak memiliki Siri‘ lagi, maka perlihatkan paccemu!). Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain. Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:(i). Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi

bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau

keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri‘nya untuk mengembalikan

Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Shelly Errington (1977 : 43) : ― Untuk orang Bugis & Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri‘nya, dan kalau mereka

tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri‘) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk

memulihkan Siri‟nya dari pada hidup tanpa Siri‘. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia

dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri‟ disebut Mate nigollai,mate nisantangngi artinya mati

diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna. (ii).

Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau

mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri‘ itu sendiri, demi Siri‘ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis “Narekko sompe‟ko, aja‟ muancaji ana‟guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyangaliarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa

pada abad XVIII karena masalah Siri‘, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah

dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng Mangalle, saudara seayah Sultan Hasanuddin karena Siri‘ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke‘ Sapiah, Ia pergi bersama

keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena

Siri‘nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi.

Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur

karena Siri‘ dan ‗mati diberi santan dan gula‘. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya, Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 (Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688). Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV, penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Siri‘.

71

berhasil mendorong dinamika masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja dan masa perjuangan kemerdekaan. Pada era-era berikutnya, Siri dan Pacce

diterjemahkan oleh setiap rezim dengan pendekatan yang berbeda-beda, sangat bergantung pada kondisi kontekstual masyarakat dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap rezim yang berkuasa. Perbedaan penafsiran pada setiap rezim sangat dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (globalisasi) yang menyerbu kehidupan budaya, politik dan ekonomi Sulsel.

Rezim dan elite Sulsel (antara etnis Bugis dan Makassar) sebelum Indonesia merdeka membangun spirit dan etik yang berbasis pada proteksi harga diri sesuai dengan kebudayaan murni etnis Bugis dan Makassar. Pada rezim Orde Lama mengembangkan spirit penyatuan (unity) dan Sulselisme dari etnis-etnis yang ada. Sedangkan rezim Orde Baru tersulut dengan issue perbaikan dan pertumbuhan

ekonomi. Sedangkan Orde Sekularisme mengusung spirit perubahan.

Rezim-rezim ini memiliki cara tersendiri dan berbeda-beda mewacanakan spirit dan makna yang dikembangkannya. Termasuk bagaimana rezim mewacanakan ekonomi (uang), kekuasaan (politik), budaya (nilai) untuk memelihara kekuasaanya.

Merunut pada prinsip etik dan spirit yang dibangun oleh Geertz (1973), maka rezim dan elite yang ada di Sulsel (etnis Bugis dan Makassar) dalam melakukan pertarungan merebut kekuasaan politik, ekonomi dan budayanya, selalu ditandai dengan karakter, moral, kualitas, dan estetika yang khas dalam mewacanakan dan mengawal kepentingan kekuasaannya. Kondisi ini disebabkan karena spirit dan etik dipahami oleh elite Bugis dan Makassar sebagai sesuatu yang berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Spirit dan etik memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan hidup, apakah kehidupan itu dianggap baik, mulia, terpandang, disukai ataukah sebaliknya, buruk, dibenci, tak terpandang, salah atau tak dibanggakan. Spirit dan etik pulalah yang mengantar pilihan hidup orang Bugis dan Makassar untuk tampil melakukan peranan-peranan misalnya menjadi sebagai; petani, nelayan, guru, wiraswasta, pengusaha, pemimpin dan sebagainya.

72

Berdasarkan spirit dan etik yang dianut oleh orang-orang Bugis dan Makassar, dikaitkan dengan perilaku politik, ekonomi dan budayanya, Bugis dan Makassar dianggap terlalu luas dan besar untuk dinilai hanya memiliki karakter dan identitas tunggal. Dengan kata lain, etnis Bugis dan Makassar memiliki banyak perilaku politik, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda antara satu komunitas atau kelompok tertentu. Secara sederhana, nampak perbedaan yang sangat jelas antara perilaku politik, ekonomi, dan budaya orang Bugis Bone, Soppeng dan Wajo (BOSOWA) dengan orang Bugis yang menetap di jazirah Luwu Raya (Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur), demikian juga kalau dibandingkan dengan perilaku orang Bugis yang berdomisili pada wilayah Ajatapareng (Sidrap, Pinrang, Pare, Barru). Etnis Makassar kemungkinan memiliki kecenderungan yang sangat berbeda dengan etnis Bugis. Karena secara demografis kedua etnis ini memiliki ciri dan karakter yang berbeda.

Identifikasi perilaku diperlukan untuk tidak mencampuradukkan entitas- entitas yang memiliki karakter dan kecenderungan ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dengan cara ini akan ditemukan pola-pola komunitas masyarakat merespon setiap perubahan yang ada, terutama bagaimana mereka merespon perilaku pemimpin dan elitnya.

2.3.2 Simbol

Seperti objek sosial lain, simbol digunakan dan didefinisikan sesuai penggunaan dalam interaksi sosial. Simbol mewakili apa pun yang individu setujui. Secara definitif, Shibutani menyatakan pengertian tentang simbol yang lebih khusus sebagai: any objects, mode of conduct, or word toward which men act as if it were something else. Whatever the symbol stand for constitute the

meaning" (Shibutani dalam Joel M. Charon, 1989: 39).

Dari kutipan di atas, bisa dikatakan bahwa sesuatu merupakan simbol jika ada sesuatu yang lain yang terdapat di dalamnya. Ini berarti ada makna lain yang tidak hanya dipahami secara langsung, tetapi membutuhkan proses interpretasi. Demikian juga, simbol harus memiliki makna-makna yang merupakan representasi sesuatu. Jika sesuatu tidak mewakili apa pun atau hanya memiliki

73

satu makna saja, ia tidak bisa dikatakan sebagai simbol. Misalnya, warna merah mewakili makna berani atau warna biru mewakili makna keagungan.

Kita memasak atau makan sate ayam betina, maka pada konteks ini, bisa dikatakan bahwa ayam betina yang dimaksud bukan simbol. Jadi, benar-benar ayam sebagai binatang. Tetapi, seekor ayam betina akan menjadi simbol kalau sekelompok mahasiswa datang dan berdemonstrasi ke Kantor Kejaksaan dan menghadiahi seekor ayam betina kepada kepala kantor kejaksaan tersebut.

Simbol bersifat luas, sehingga yang dimaksudkan di sini tidak hanya dihubungkan dengan warna semata, tetapi juga bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam, seperti bahasa (language), bahasa tubuh (body language),

ekspresi muka (facial expression), keras-lemahnya suara (loud-weak of voice), dan

budaya (custom). Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan

manusia menjadi penting, karena disebabkan makna (meaning) yang ditunjukkan.

Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai, dan kondisi sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia, disebabkan makna- makna yang dimiliki dan terdapat di dalamnya.

Apa makna itu? Bagaimana makna bisa tidak sama antara satu individu dengan individu lain? Bagaimana makna bertahan? Bagaimana makna ditransformasikan, hilang, dan didapatkan kembali?

Menurut Mead, salah satu bentuk unik dari pikiran manusia (human mind)

adalah penggunaan simbol-simbol untuk menunjuk objek-objek dalam lingkungan. Mead menyatakan bahwa mind adalah tindakan yang menggunakan simbol-simbol

dan mengarahkan simbol-simbol tersebut menuju self. Sama dengan elemen yang

dijelaskan sebelumnya, bahwa mind bersifat sosial. la hidup di luar individu, tetapi

juga dimasukkan individu dalam dirinya. Secara jelas, Mead mendefinisikan mind

sebagai: ‖dengan mind, simbol-simbol yang beragam bisa dimanipulasi. Aktivitas

yang dimainkan mind bisa berupa komunikasi dengan orang lain, tetapi bisa juga

merupakan percakapan dengan self, dengan diri kita, atau dengan simbol-simbol

yang kita pahami atau akan kita manipulasi. Mengapa mind menjadi sangat

penting, sebab ia bisa langgeng atau tidak berdasarkan interaksi sosial yang selalu dialami oleh individu.‖

74

2.3.3 Penafsiran (Interpretasi)

Seperti Mead, Blumer juga menjelaskan arti pentingnya melibatkan pengalaman subjektif atau perilaku yang tersembunyi. Kemampuan menangkap bagian interaksi sosial ini seharusnya dilakukan para sosiolog ketika mereka memahami perilaku yang terobservasi dalam penjelasan ilmiah tentang interaksi manusia. Pendapat ini sama dengan mengatakan bahwa interaksionisme simbolik meletakkan pemahaman mengenai sesuatu dari cara pandang aktor.

Sama seperti Mead, untuk menjelaskan kehidupan sosial, Blumer menggunakan konsep yang sangat sederhana, yaitu interpretasi. Jika behaviorisme melihat proses sosial dengan mengikuti hukum: stimulus-respon, maka interaksionisme simbolik lebih dari sekadar itu. Misalnya, A bertindak. B merasakan tindakan A, kemudian memastikan makna dan mencari untuk memastikan maksud itu. B akan melakukan tindakan mengikuti makna atau penafsiran atas tindakan A. A juga akan menanggapi pada makna yang ia lihat dari tanggapan B. Jadi, kalau stimulus saja, ia tidak bisa menjelaskan tindakan B atau tanggapan A pada sesuatu.

Interaksionisme simbolik melihat bahwa dalam interpretasi proses tanda diri

(self-indication) sangat diperlukan. Pada proses ini, individu-individu meninggalkan

stimuli tertentu pada mereka dan kemudian menafsirkan penampilan stimuli untuk mereka itu. Terkait dengan ini, Margaret Poloma menyatakan bahwa self-indication

merupakan proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna, dan memutuskan bertindak atas nama makna itu.

Blumer (1975), menyatakan bahwa hubungan sosial tidak jarang yang mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil catatan, saling mengkomunikasikan, dan saling menginterpretasi sepanjang interaksi tersebut terus berjalan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hampir semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti membuat keputusan dan langsung berkaitan dengan aliran tindakan yang terus menerus atau tidak pernah berhenti.

Blumer menyatakan, Interaksionisme simbolik meliputi interpretasi atau memastikan arti tindakan-tindakan atau perkataan orang lain serta definisi atau menyampaikan petunjuk pada orang lain seperti bagaimana ia berlaku.

75

Perkumpulan manusia terdiri atas proses seperti interpretasi dan definisi. Lewat proses ini, para partisipan menjadikan tindakan mereka pada aktivitas yang tidak pernah henti satu dengan lain dan memberi petunjuk orang lain itu untuk melakukan seperti yang dikehendaki.

Dengan melihat definisi tersebut, Blumer tidak berbicara dalam konteks makro, tetapi cukup membatasi pada organisasi manusia atau semacam kelompok. Berarti, hubungan sosial bersifat kompleks, dan apabila kita ingin mengerti akibat dari tindakan manusia, maka akan menjadi lebih kompleks pula. Dengan mengutip gagasan Mead, Charon menyatakan lebih lanjut bahwa, ketika manusia melakukan hubungan sosial tidak hanya mengembangkan bahasa-bahasa atau simbol yang dimaknai secara bersama-sama. Tetapi, juga mengambil peran (role taking) dari orang lain dengan tujuan untuk memahami dan komunikasi. Ketika

aktor menyatakan bahwa ia bisa menyesuaikan dengan orang lain, kita akan semakin mengerti bahwa aktor tersebut telah mengambil peran secara tetap. Orang lain benar-benar menjadi bagian dari dirinya dalam lingkungannya Charon, 1979: 142). Individu akan menjadikan dirinya dilihat sebagaimana orang lain melihat dirinya itu (Cuff & Payne, 1979: 90).

Gagasan Blumer yang tidak kalah penting adalah tentang tiga hal lain, yakni: arti penting makna pada tindakan sosial, sumber-sumber makna, dan peran makna dalam penafsiran. Dari tiga premis tersebut, bisa di pecah dalam tiga penjelasan, yaitu: manusia bertindak atas sesuatu pada dasar makna yang dimiliki benda tersebut. Dari sini dinyatakan bahwa kesadaran merupakan elemen kunci dari tindakan bermakna. Apa pun yang berhubungan dengan kesadaran merupakan sesuatu yang individu sedang memberi petunjuk untuk irama, seperti detak jam, ketukan pintu, wajah teman, teguran dari teman, dan sebuah pengakuan bahwa ia misalnya; pemalu, pemberani dan kejam. Untuk menandai sesuatu dalam melepaskan diri dari rekayasa, selain melindungi, agar bisa memberikan sebuah makna. Pada banyak tindakan yang tidak terhitung apakah minor seperti berdandan untuk dirinya atau mayor seperti mengorganisasi diri demi karir profesional-individu sedang menunjuk objek yang berbeda untuk dirinya, memberikan makna objek-objek itu, menilai kesesuaiannya pada tindakan mereka, dan membuat kesimpulan pada dasar penilaian. Ini yang dimaksudkan

76

sebagai penafsiran atau tindakan pada dasar simbol. Contoh yang dikemukakan Wallace dan Wolf bisa menggambarkan ini. Dalam studi tentang suasana kematian (the situation of dying), peneliti mengamati strategi-strategi perawat

untuk menghindari pikiran berikutnya tentang suasana kematian. Juga, menghindari shift malam yang mana banyak pasien meninggal. Mereka

mengambil waktu liburan atau jatuh sakit pada peristiwa yang krusial. 2.3.4 Wacana, Idiologi dan Hegemoni

Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoretis dan penelitian praktis. Di hampir semua pendekatan analisis wacana, Foucault telah menjadi sosok utama yang dikutip, dihubungkan, dianalisis, dan dimodifikasi.

Secara tradisional, karya Foucault terbagi antara fase "arkeologi" awal dan fase "genealogi" akhir, kendati keduanya tumpang tindih, dan Foucault terus menggunakan piranti-piranti dari arkeologinya dalam karya-karya berikutnya. Teori analisis wacananya membentuk bagian arkeologi-nya. Mengapa dia tertarik untuk melakukan kajian "arkeologi" adalah karena adanya kaidah-kaidah yang menentukan pernyataan-pernyataan mana yang diterima sebagai kalimat yang bermakna dan kalimat yang benar dalam epos historis tertentu. Karena itu, Foucault mendefinisikan wacana sebagai berikut: ‖Kita akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan yang sejauh ini merupakan milik formasi kewacanaan yang sama terdiri dari sejumlah kecil pernyataan tempat bisa ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi. Dalam pengertian ini wacana bukanlah bentuk tanpa waktu yang ideal, dari awal sampai akhir, wacana bersifat historis-penggalan sejarah yang memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri‖. (Foucault 1972:117).

Foucault menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Titik awalnya adalah bahwa meski pada prinsipnya kita mempunyai sejumlah cara yang tak terbatas untuk merumuskan pernyataan- pernyataan, pernyataan-pernyataan yang dihasilkan dalam domain tertentu

77

sifatnya agak mirip satu sama lain dan berulang. Terdapat pernyataan yang tak terhitung jumlahnya dan yang tidak pernah diucapkan dan tidak akan pernah diterima sebagai pernyataan yang bermakna, kaidah historis wacana tertentu itu membatasi apa yang mungkin dikatakan.

Mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Dan pendekatan-pendekatan analisis wacana tersebut membangun ide-ide kebenaran sebagai sesuatu yang paling tidak dalam derajat tertentu, diciptakan secara kewacanaan. Namun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut menyimpang dari kecenderungan Foucault yang hanya mengidentifikasi satu