• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya

2.2.2 Pola Kekuasaan Etnis Bugis Dan Makassar

Pola kekuasaan di sini adalah cara bagaimana seseorang atau sekelompok orang untuk menggapai dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan di sini dekat dengan pengertian Weber di mana pihak yang punya kuasa bisa mendesakkan kehendaknya atau gagasan-gagasannya kepada orang lain bahkan ketika mereka tidak sepakat dengannya. Giddens yang tidak puas dengan pengertian yang terlalu luas ini—setiap bentuk hubungan sosial dengan mudah bisa menjadi relasi kuasa antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Untuk itu dia membedah lebih jauh konsepsi ini dengan mengambil konsepsi yang lebih spesifik dari Weber, dominasi. Dominasi menurut Weber adalah pendesakan kekuasaan, di mana seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan oleh orang lain. Mengapa orang menurut pada perintah semacam ini? Giddens mengidentifikasi bahwa penyebabnya bisa merentang antara kebiasaan hingga kepentingan pribadi.

Selanjutnya, ―kemungkinan untuk menerima memperoleh hadiah-hadiah materiil dan kehormatan sosial merupakan dua bentuk yang paling meresap dari ikatan yang

mengikat pemimpin dan pengikut.‖ (Giddens 1985: 192) Tentu saja Weber telah

mengantisipasi bahwa tiap dominasi pasti mengalami kegoyahan. Namun alasannya tentang instabilitas dominasi tersebut—kepercayaan dari pihak bawahan atas legitimasi kedudukan mereka sebagai bawahan—tidak begitu mudah untuk ditemukan dalam penelitian yang akan kita bahas di sini.

Selanjutnya, teori kekuasaan lain dari Weber yang akan dimanfaatkan di sini, adalah pemilahannya tentang pola hubungan dominasi, atau bisa kita sebut pola relasi kekuasaan, yakni tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Menurutnya, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya. Biasanya yang dianggap paling mengetahui aturan-aturan tersebut dijadikan sebagai pemimpin, atau punya otoritas untuk menjalankan pemerintahan. Orang- orang ini biasanya adalah orang-orang tua yang pengetahuannya sudah mencapai tingkat lebih matang dibandingkan anggota masyarakat lainnya, dianggap paling

45

meresapi kearifan tradisionalnya. Implikasinya, sebagian besar pemimpin di

banyak masyarakat tradisional atau ‗kesukuan‘ adalah orang tua laki-laki, yang paralel dengan apa yang disebut Weber sebagai sistem patriarkhis. Sistem ini tumbuh di dalam keluarga dimana aturan-aturan dalam keluarga tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Penjelasan Weber mengenai pola relasi kekuasaan legal-rasional merupakan ulasan yang paling meyakinkan. Sistem pemerintahan birokratis menjadi contoh utama Weber dalam ulasannya tentang pola relasi kuasa ini. Mengenai sistem ini Giddens merangkumnya seperti di bawah ini:

―Kegiatan-kegiatan staf administrasi dilaksanakan secara teratur, dan

merupakan ‗kedinasan-kedinasan‘ resmi yang jelas batas-batasnya. Bidang- bidang wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas, dan tingkat-tingkat otoritas digariskan batasnya dengan jelas dalam bentuk hierarki kantor. Aturan-aturan mengenai perilaku staf, otoritas dan tanggungjawabnya, dicatat dalam bentuk tertulis. Penerimaan tenaga administrasi didasarkan atas terbuktinya kemampuan spesial melalui ujian persaingan dan pemilikan diploma atau gelar, yang memberikan bukti tentang kemampuan- kemampuan yang cukup memadai. Milik kantor bukan milik pejabat. Suatu pemisahan antara pejabat dan kantor dipertahankan sedemikian sehingga di bawah kondisi apa pun, kantor itu tetap tidak bisa dimiliki oleh yang

berwenang di kantor.‖ (1986:194)

Mengenai dominasi berwatak kharismatik Weber menjelaskan bahwa pola ini bergantung pada individu yang dipercaya mempunyai kemampuan aneh yang sangat mengesankan, sesuatu yang membuatnya lain dan terpisah dari orang kebanyakan, kharisma. Apakah seseorang benar-benar mempunyai kualitas kharismatik yang dimaksud bukanlah hal yang begitu penting. Penekanannya ada pada kualitas-kualitas yang membuat orang tersebut kharismatik. Apakah sebenarnya kharisma itu, Weber menyatakan:

―Suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib, sifat unggul, atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa.‖

(dalam ibid :197)

Kekuasaan yang mengikuti tokoh yang luar biasa ini bisa muncul di banyak jenis masyarakat. Pengikutnya didulang melalui kepercayaan akan kemampuan luar biasa sang tokoh. Kharisma bisa dipindahkan dengan menjadikannya sebagai sebuah kualitas yang bisa dipindahkan ke orang lain. Pemindahan kualitas ini bisa

46

dilakukan lewat latihan atau pewarisan. Sebagai contoh, bila kharisma diubah menjadi kekuasaan model tradisional atau legal-rasional, maka dia bisa dijadikan

sebagai ‗sumber kekuasaan yang sakral‘, yang bisa menjadi salah satu alat yang legitimate untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Orang-orang biasa yang dilatih dengan baik dalam pengetahuan ajaran Islam bisa kemudian muncul sebagai orang yang punya kharisma, punya kemampuan khusus. Yang paling penting adalah orang tersebut bisa membuktikan keluarbiasaannya kepada para pengikutnya.

Hal lain yang penting mengenai kharisma menurut Weber adalah model bisa menjadi pendobrak untuk mengubah model tradisional warisan turun-temurun. Pengikut dari pemimpin kharismatik juga menjadi pengikut secara sukarela, tidak terdapat hierarki kepengikutan seperti dalam birokrasi moderen (kepangkatan dan jabatan), juga tidak terdapat aturan yang terlalu mengikat tentang tanggungjawab spesifik masing-masing anggota, dana yang diperoleh kebanyakan berasal dari sumber informal, sumbangan atau rampasan.

Teori tentang tiga model kekuasaan yang dikembangkan ini kemudian dimanfaatkan oleh Gibson untuk menjelaskan tentang tiga jenis pengetahuan simbolik yang hidup di masyarakat Asia Tenggara, yakni pengetahuan Tradisional, Islam, dan Moderen. Pendekatan Gibson ini menjadi sangat relevan

mengingat ‗pengetahuan simbolik‘ yang dijelaskannya merupakan semacam

bahan baku yang bisa dimanipulasi menjadi pengetahuan ideologis. Menurutnya, pengetahuan simbolik bisa berasal dari mitos dan ritual; kitab suci agama; dan

‗dokumen-dokumen‘ yang merujuk pada tulisan-tulisan atau terbitan yang dibawa orang Eropa. Selain itu, Gibson mengambil contoh kasus untuk mengembangkan teorinya dari masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Gibson menemukan tiga tahapan transformasi kekuasaan politik dan ekonomi masyarakat Bugis dan Makassar23, yakni;

23 Tahapan transformasi masyarakat yang dikemukakan Gibson memiliki kemiripan dengan tiga

tahapan perubahan masyarakat yang diuraikan Comte (Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986; Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; Laeyendecker, 1983), Menurutr Comte, tahapan-tahapan itu meliputi; (i) Tahap Teologis, adalah tahapan yang paling lama dalam sejarah manusia, untuk

analisis yang lebih terinci, Comte membaginya dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme.

Periode fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi

kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Periode politeisme adalah kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun

47

1. Tradisional

Negara-negara di Sulawesi Selatan mulai bermunculan pada abad ke 14. Tadinya mereka adalah unit-unit politik kecil yang berpindah-pindah yang kemudian menjadi menetap setelah menemukan daerah yang cocok untuk bertani secara menetap. Salah satu contoh adalah federasi Soppeng yang unit-unit kecilnya

berbeda-beda dari benda-alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Periode monoteisme merupakan kepercayaan dengan satu sang pencipta alam semesta, begitu

pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu digantikan dengan kepercayaan akan satu tuhan. Dalam tahap ini terdapat banyak hal-hal yang berkaitan dan dapat ditemui dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada fase tradisional sampai masa awal islam modern. Misalnya kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan. Paham ini sangat melekat pada konsep kalompoang, penemuan benda gaukang dan regalia bagi kalangan bangsawan,

sedangkan pada kalangan masyarakat awam memandang pohon besar yang lebat dan rimbun terkadang dipercaya oleh masyarakat dihuni oleh mahkluk halus atau tidak kasat mata dan dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu tempat yang sifatnya angker atau menyeramkan, karena itu apabila ada kegiatan yang diadakan di sekitar lokasi yang berdekatan dengan pohon tadi maka masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu. (ii) Tahap Metafisik, merupakan tahapan

transisi antara tahap teologis dan positifis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemui dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut

pemikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.

Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya, misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu dengan adanya banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi masyarakat itu sendiri. Tahap ini pada masyarakat Bugis dan Makassar terjadi sepanjang fase feudalism dan dan masa awal islam modern.

(iii) Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik sebagai sumber pengetahuan

terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat positivisme memperlihatkan keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum lebih dilihat sebagai uniformitas empirik daripada kemutlakan metafisik.

Seperti diketahui positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasarkan dengan hukum-hukum alam, yang dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan masyarakat. Hasilnya akan berupa suatu masyarakat di mana penalaran akal budi akan menghasilkan kerjasama dan di mana takhayul, ketakutan, kebodohan, paksaan, konflik akan dilenyapkan. Dengan melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empirik harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Dalam tahap ini masyarakat lebih menekankan ilmu pengetahuan pada hal-hal yang terjadi, misalnya gempa bumi karena adanya pergesekan antara lempeng bumi sehingga menimbulkan pergerakan-pergerakan, ini dipelajari oleh masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang mempelajari hal tersebut, yaitu geografi/ geologi. Selain itu dibidang kesehatan dengan adanya ilmu pengetahuan tadi akan dapat mengetahui ragam penyakit untuk dapat dipelajari dan diteliti untuk mencari obatnya dalam hal ini adalah ilmu kedokteran.

48

berkembang di sepanjang lembah Sungai Walennae. Federasi Wajo di sekitar Danau Tempe dan Luwu di sepanjang delta di pesisir ujung utara Teluk Bone. Negeri petani ini semakin membesar dengan berkembangnya alat pertanian logam, yang sumbernya bisa ditemukan dengan mudah di pedalaman Luwu. Caldwell dan Bulbeck melakukan studi arkelologis pada negeri ini dan menemukan bahwa kelompok- kelompok masyarakat kecil di kawasan Luwu telah ada sekitar abad ke-3 sebelum Masehi. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi masyarakat yang lebih kompleks setelah datangnya para perantau Bugis dari selatan pada abad ke 5. Dan setidaknya pada sekitar abad ke 12 mulai mengorganisasikan diri dalam sejumlah unit-unit politik kecil (chiefdom) yang independen. Unit-unit ini menggantungkan

hidupnya pada perladangan berpindah dan tetap.

Bagaimana kelompok elite terbentuk? Caldwell berpendapat bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideologi dan religi adalah faktor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elite. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah sungai besar di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit- unit politik yang lebih besar. Memanfaatkan temuan-temuan arkeologis Caldwell dan Bougas menjelaskan proses tersebut sebagai berikut:

Sifat temuan-temuan ini yang bersebar dan berlainan menunjukkan bahwa pola perdagangan selama milenium pertama Masehi berukuran kecil dan sporadis, sebuah pola yang sesuai dengan kurangnya bukti akan organisasi politik yang rumit di Jeneponto pada masa itu. Cerita- cerita tentang asal-muasal kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan pada kronik-kronik Bugis dan Makassar menandakan bahwa sebelum munculnya kerajaan setelah masa 1300, entitas politik yang terbesar di Sulawesi Selatan adalah perkauman (chiefdom) sederhana (wanua, B.;

banoa, banua, M.), yang paling banyak berjumlah beberapa keluarga

dan biasanya hanya terdiri dari beberapa ratus jiwa.

Perkauman yang lebih rumit atau kerajaan-kerajaan kecil, dengan pusat- pusat yang berjumlah lebih dari satu dan berlapis-lapis, mulai terbentuk di lembah-lembah di hilir Sungai Jeneponto, setelah tahun 1300. Kemunculan kerajaan-kerajaankecilini berkaitan dengan perluasan dan intensifikasi pertanian padi basah di sepanjang dataran lembah, dirangsang oleh bertumbuhnya ketersediaan barang dagangan yang dapat ditukar dengan surplus beras. Yang paling menonjol adalah kapas India, keramik Cina dan Asia Tenggara dan barang-barang perunggu

49

dari Jawa.24 Pada tahap awal perkembangan kerajaan kecil yang terletak di lembah sungai, mereka masing-masing berdiri sendiri, lalu kemudian mereka bergabung membentuk Kerajaan Binamu dan Bangkala.

Pemujaan terorganisir terhadap leluhur dewa dari keluarga penguasa menyuntikkan ideologi religius dan politis yang menyokong posisi raja dan hierarki sosial pada kerajaan yang baru terbentuk ini. Masyarakat Jeneponto kini mengisahkan bagaimana keluarga penguasa Binamu dan Bangkala diawali oleh tomanurung (makhluk yang turun dari langit

berjenis kelamin pria atau wanita) yang dipilih sebagai penguasa dan menikah dengan kalangan elite lokal. Setelah membentuk institusi jabatan untuk penguasa (pakkaraengang), tomanurung lenyap secara

misterius, meninggalkan keturunannya untuk memegang kuasa. Penguasa dan komunitas ini turun-temurun melakukan pemujaan terhadap tomanurung yang telah raib melalui kalompoang (benda

pusaka keramat) yang ditinggalkannya. Sebagian kalompoang dapat

dilihat kini di Jeneponto, Gowa dan Bone.

Sementara itu, lewat penelitian tekstual atas naskah lontara di negeri-negeri Makassar, Cummings menyimpulkan bahwa cara elite di masyarakat Makassar untuk mempertahankan atau meluaskan kuasanya bergantung pada masuknya budaya tulisan. Menurutnya, lontara sangat penting untuk menebarkan pemahaman akan keberadaan sebuah kekuatan supra yang berada di atas seluruh gallarang di wilayah tersebut. Cara orang Makassar memperlakukan naskah tulis sangat penting dalam hal ini. Mereka memperlakukan naskah sebagai benda keramat yang diperlakukan dengan hati-hati dan banyak digunakan dalam ritual- ritual. Dengan demikian, naskah tentang genealogi asal usul penguasa bisa dibelokkan menuju ke pusat kekuasaan, Gowa. Dengan demikian ketika naskah tersebut dibacakan secara hikmat dalam ritual secara teratur, maka legitimasi sekali lagi dikuatkan (Cummings 2002). Dengan diakuinya Gowa sebagai awal dari asal-usul para penguasa di kawasan Makassar, maka secara politis lebih mudah mengajak mereka menjadi negeri bawahan.

Gibson menuliskan bahwa cara masyarakat Konjo mempertahankan kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. lewat mitos dan ritual, para elite merelegitimasi dan mereproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang dimana leluhur pendiri kerajaan

24 Kotilainen (1992:49) menunjukkan serangkaian barang impor serupa yang ditemukan

50

tertentu menjadi subyek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitimasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang. (Gibson 2005, 2007) Elemen penyembahan leluhur dalam ritual ini melengkapi penjelasan Ijzereef (1987) tentang pengadaan ritual di akhir abad 19 di Bone. Menurutnya, ritual di adakan untuk menunjukkan besarnya kekuasaan seseorang. Untuk menguji keluasan pengaruh seorang bangsawan, biasanya diukur dengan berapa banyak orang yang hadir dalam upacara yang dia adakan. Hal ini, menurut Ijzereef, berkaitan dengan elemen ekonomi kekuasaan di Bone pada masa itu. Dengan absennya teknologi maka pertanian bergantung pada tenaga manusia. Dan seorang raja sangat bergantung pada mereka untuk mengerjakan tanah kerajaan yang sangat luas. Semakin banyak orang yang bisa dimobilisasi untuk bekerja semakin besar kekuasaan seorang bangsawan. Sebaliknya semakin berkuasa seorang bangsawan, misalnya jika dia menjabat raja, semakin mudah dia memobilisasi orang untuk bekerja padanya. Hal ini menarik jika diperbandingkan dengan daerah lain. Millar, membuat perbandingan menarik tentang persepsi kekuasaan orang Bugis dan Jawa. Bagi orang Bugis, kekuasaan diukur dari seberapa luas pengaruh seseorang terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang Jawa kekuasaan diukur dari seberapa jauh seorang penguasa terlepas dari pekerjaan fisik.

Hubungan patron-klien merupakan model hubungan kekuasaan utama yang tumbuh di Sulawesi Selatan. Pelras menjadi peneliti yang pertama melakukan studi serius tentang ihwal ini di masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya Bugis. Salah satu hal yang paling menonjol dari penelitian Pelras mengungkapkan bahwa, hubungan patron klien yang tadinya merupakan hubungan sosial politik ekonomi sudah mulai tereduksi menjadi lebih pada hubungan ekonomi saja. Hal ini juga dibuktikan Ammarel ketika meneliti masyarakat nelayan Bugis yang turun temurun menggunakan sistem punggawa-sawi. Oleh perubahan sosial

terutama karena dampak perubahan teknologi navigasi dan mekanisasi perahu, para sawi semakin bebas untuk menentukan perahu yang ingin diawakinya.

Mereka tidak lagi begitu tergantung pada punggawa. Namun di samping itu secara

bersamaan pengetahuan navigasi tradisional mereka semakin tergerus karena mesti bergantung pada teknologi navigasi baru seperti kompas. Ini membuat mereka tidak perlu melewati pelajaran panjang teknik navigasi yang biasa

51

diajarkan oleh para kapten yang juga banyak di antara mereka menjadi punggawa.

Hal ini menyebabkan hubungan sosial mereka semakin longgar dan secara politis tidak lagi begitu tergantung kepada punggawa-nya. Mereka semakin menjadi

cuma buruh untuk kapal yang mereka tumpangi.

Selanjutnya perubahan dalam hubungan patron-klien ini tentu menyebabkan perubahan signifikan pada struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan. Untuk melihat hal ini lebih jauh kita kembali dulu melihat ke masa lalu. Kajian Ijzereef (1987) tentang struktur kekuasaan dan politik di kerajaan Bone di pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad 20 bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di provinsi ini. Menurut Ijzereef masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat hierarkis,

yang tersusun berdasarkan ‗kemurnian darah‘ kebangsawanan. Hierarki ini tentu

tidak berdiri sendiri. Setiap unit kekuasaan punya hierarki, dan unit kekuasaan ini sendiri berada di dalam hierarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya semakin besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik bisa terjadi. Dengan demikian, di dalam hierarki ini yang berkuasa adalah para bangsawan, dan pihak yang berada di luar itu baru bisa melakukan mobilisasi sosial ke atas hanya bila para bangsawan bersedia mengizinkannya, itu pun kemampuan mobilisasi mereka cukup terbatas. Dalam hal ini hierarki sebenarnya bisa berperan sebagai pencegah konflik. Sistem yang secara sepintas sangat menekan ini, bila kita melihatnya dari kacamata konsep (Barat) yang datang beberapa dekade terakhir, bisa berperan untuk menekan kelompok- kelompok yang bertikai dengan menyesuaikan diri ke dalam hierarki yang dipercaya kedua belah pihak, sebagian besar lewat negosiasi.

Bagi orang Bugis, pengetahuan akan hierarki masing-masing pihak sangat penting untuk berhubungan dengan pihak lain. Setiap kelompok atau individu harus

tahu dimana posisi sosial mereka sehingga bisa bersikap ‗pantas‘ ketika berhadapan

dengan individu atau kelompok lain. Penelitian Millar (1989) menjelaskan dengan baik bahwa yang berpengaruh dalam penataan hierarki ini adalah status

52

kebangsawanan dan prestasi pribadi dalam hal kepintaran, ekonomi, dan pengetahuan agama. Lebih jauh dia membuktikan bahwa aturan yang sudah ada sejak lama ini masih bertahan hingga pertengahan abad 20 (penelitian tahun 1975) dan strata itu paling nampak dan ditegaskan berulang-ulang pada acara pernikahan.

Hal lain yang cukup penting dalam penelitian Millar yang mengurai dan menggambarkan konsep pelapisan sosial ini adalah, dia secara spesifik mengurai

konsep ‗lokasi sosial‘—yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu sebuah pernikahan menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial. Sebagaimana penelitian Millar, Pelras (2000) juga menekankan pentingnya hubungan patron-klien

yang dalam hal ini diwakili hubungan ‗Joa‟ dan ‗Ajjoareng‟ atau ‗Punggawa‟ dan

Sawi‟. Hubungan ini, menurut Pelras adalah hubungan yang tidak terlalu timpang.

Para patron memang punya kekuasaan menentukan banyak hal bagi kliennya namun mereka juga mempunyai banyak kewajiban terhadap mereka, termasuk memberi jaminan finansial bila ketika shock dalam berbagai bentuk menghantam sang klien.

Apabila patron tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka klien bisa dengan bebas berpindah ke patron lain. Meski pun tindakan itu bukan tanpa risiko bagi sang klien, namun yang terpenting adalah mereka masih punya pilihan.

2. Islam

Abad ke 17 merupakan abad yang luar biasa dalam hal perubahan masyarakat