• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Basis Sosial, Ekonomi, Agama dan Etnisitas Budaya

2.2.1 Dimensi dan Kubus Kekuasaan

Teori kubus kekuasaan (the power cube approach); pendekatan ini

41

interaksi, dan dimensi-dimensi kekuasaan. Dengan demikian, pandangan ini difokuskan pada ruang-ruang yang telah dibuat baik oleh elite Sulawesi Selatan maupun masyarakat secara umum. Pertanyaannya adalah bagaimana ruang-ruang tersebut digunakan atau dibangun oleh para aktor. Untuk membantu membaca kualitas proses keterlibatan politik dan ekonomi dalam setiap ruang, maka peneliti

memasukkan ‗tangga proses keterlibatan‘ yang diperkenalkan oleh Pretty dimana terdapat 7 anak tangga proses keterlibatan yang dimulai dengan proses keterlibatan pasif, proses keterlibatan melalui pemberian informasi, proses keterlibatan sebagai konsultan, proses keterlibatan dalam pemberian material, proses keterlibatan secara fungsional melalui pembentukan kelompok-kelompok, proses keterlibatan secara interaktif dan proses keterlibatan sebagai kemampuan memobilisir diri dalam menghadapi persoalan internal.

Gambar 2. Pendekatan kubus kekuasaan.

Pendapat tentang ruang sudah cukup luas digunakan dalam literature

sosiologi politik dan sosial khususnya dalam konteks kekuasaan, kebijakan, demokrasi, dan aksi warga (Gaventa, 2005). Ruang disini mengutip Gaventa

adalah “spaces are seen as opportunities, moments, and channels where citizens

can act to potentially affects policies, discourses, decisions, and relationships

which affect their lives and interests” (Gaventa 2005:11). Ruang dilihat sebagai peluang, momen, dan wahana yang dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan, wacana, keputusan-keputusan. Dengan demikian ruang untuk berproses keterlibatan di level lapangan tidaklah netral karena adanya relasi kekuasaan yang

42

eksis baik secara nyata (visible), tak terlihat (invisible), atau tersembunyi (hidden)

apakah dalam konteks lokal, nasional, atau Global (Cornwall A, 2002).

Ruang-ruang yang dimaksud adalah ruang tertutup (closed), ruang

tersediakan (invited), dan ruang terciptakan, diklaim atau dibuat sendiri (created).

Ruang tertutup, adalahruang yang dibuat oleh sekelompok aktor atau elite yang

difungsikan untuk mengambil keputusan tanpa melibatkan pihak lain tanpa ada keinginan untuk membuka lebih luas ruang tersebut untuk membuka kemungkinan masuknya pihak lain atau partisipan secara lebih luas. Ruang tersediakan, adalah ruang yang dengan sengaja dibuat oleh para penentu

kebijakan baik pada level negara, daerah ataupun desa baik yang disahkan secara hukum ataupun tidak, dan bertujuan untuk mengundang lebih banyak pihak duduk bersama memutuskan sesuatu (NGO, donor, sector swasta, kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dll). Sementara ruang terciptakan, adalah ruang yang

dibangun secara mandiri oleh masyarakat yang secara umum diakibatkan oleh kekecewaan atas ruang-ruang yang tersedia di wilayah mereka untuk berproses keterlibatan atau dibangun secara khusus untuk menyediakan ruang bagi aktifitas mereka sendiri tanpa ada intervensi dari pihak luar. Biasanya juga ruang semacam ini terbangun akibat mobilisasi rakyat atas persoalan yang tak dapat diselesaikan oleh para pejabat setempat yang bertanggungjawab atas ruang dan proses yang ada (Cornwall, A., 2002: p24). Soja, memilih menyebut ruang terciptakan ini sebagai ‗the third spaces‟ dimana aktor-aktor sosial menolak hegemoni ruang yang dilakukan oleh Negara dan pada akhirnya membuat sendiri ruang mereka

(Soja, E. 1996).

Wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi merujuk pada tempat dimana proses keterlibatan berlangsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gaventa bahwa fokus pada bagaimana dan oleh siapa ruang-ruang proses keterlibatan dibentuk tentu saja bersinggungan dengan perdebatan tentang tempat- tempat atau arena-arena dimana kekuasaan ekonomi, politik dan sosial kritis berada. Dengan demikian, proses keterlibatan pada level praktis seharusnya kemudian dapat berada pada level global, nasional dan lokal dimana juga berfungsi sebagai lokasi bersemayamnya kekuasaan (nyata, tak terlihat, dan

43

aktor-aktor pada arena global dan dengan demikian perjuangan untuk memperluas proses keterlibatan harus terleburkan pada level tersebut (Gaventa, 2005, p13).

Sedangkan dimensi kekuasaan dimaksudkan untuk menguji hubungan antara ruang dan wilayah proses keterlibatan politik dan ekonomi berhadapan dengan ide proses keterlibatan politik, Gaventa menyarankan untuk menguji dinamika kekuasaan yang membentuk inklusifitas proses keterlibatan di antara mereka. Dengan mengadopsi pendapat VeenaKlasen dan Miller, Gaventa

mengklasifikasi kekuasaan ke dalam format visible, invisible, dan hidden (Veena

Klasen and Miller, 2002:47).

Kekuasaan Nyata (Visible power) kekuasaan di sini biasanya disebut

sebagai kekuasaan politik dan termasuk di antaranya adalah kekuasaan yang diatur secara hukum, memiliki struktur, kewenangan, institusi, dan prosedur dalam pengambilan keputusan secara jelas. Veena Klasen dan Miller menyebutnya:

“…strategies that target this level are usually trying to change the

„who, how, and what‟ of policy-making so that the policy process is more democratic and accountable, and serves the needs and rights of

people and the survival of the planet” (ibid).

Dengan demikian, batasan kekuasaan terpaku pada proses-proses demokratis dan adanya pertanggungjawaban yang jelas.

Sementara itu, kekuasaan tersembunyi (hidden power); adalah kekuasaan

yang dikontrol oleh orang-orang tertentu atau institusi yang memiliki power institutions yang menjaga pengaruh mereka melalui pengontrolan terhadap siapa yang dapat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan agenda. Dinamika semacam ini beroperasi pada banyak level kekuasaan, sedikit banyak menafikan dan mengecilkan arti atau nilai dari orang-orang tersisih.

Sedangkan kekuasaan tak terlihat (invisible power); dimensi kekuasaan ini

membentuk batasan-batasan proses keterlibatan secara ideologis dan psikologis. Dengan demikian, persoalan dan isu-isu tidak hanya dijaga pada meja pengambilan keputusan, tapi juga dari pikiran, dan kesadaran dari para pemain yang terlibat. Dengan mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir tentang tempat mereka di dunia, maka level kekuasaan ini adalah membentuk kepercayaan

44

of the status quo) mendefinisikan apa yang dimaksud dengan normal, apa yang

dapat diterima, dan apa yang dianggap aman.