• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikhtisar Fase Pembentukan Elite Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa

BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE FASE SEKULARISME

5.5 Ikhtisar Fase Pembentukan Elite Etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa

Pada fase tradisional, proses pembentukan elite tumbuh dengan pola symbol

dan mitos. Mitos yang paling umum adalah hadirnya Tomanurung, sebagai penguasa

awal yang turun dari langit. Masyarakat sebelum kemunculan Tomanurung

masyarakat Bugis dan Makassar digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak ada pemimpin yang ditaati. Dinamika masyarakat diwarnai dengan perjanjian, pertentangan, dan peperangan antar komunitas.

Untuk memastikan terjaminnya kehidupan sosial dan politik yang aman, maka komunitas etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan pola hubungan masyarakat dengan kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan

Kalompoang, yakni unsur kesatuan masyarakatdan kekuasaan.

Kekuasaan penguasa dilambangkan dengan benda-benda kebesaran kerajaan

(arajang) yang dianggap memiliki kekuatan mistis, dapat berupa tombak, rantai,

perhiasan emas, pedang, dan sebagainya merupakan dasar legitimasi seorang penguasa. Kehilangan benda-benda ini dianggap sebagai kelemahan seorang raja

dan kerajaannya. Legitimasi mistis ini menjadi dasar keistimewaan dari ―langit‖

bagi kaum bangsawan untuk menjadi penguasa dan pihak yang memerintah. Orang Bugis dan Makassar kerap digambarkan sebagai masyarakat feodal dan tradisional. Di dalam masyarakatnya terdapat para bangsawan yang

164

mempunyai kedudukan kuat dan memiliki ketaatan yang kukuh terhadap aturan hukum adat. Bersamaan dengan itu, masyarakatnya bercirikan persaingan yang ketat, karena seseorang dinilai tidak hanya oleh kedudukan statusnya tetapi juga oleh kualitas pribadinya.

Sejarah awal terbentuknya elite pada etnis Bugis dan Makassar pada fase feudalisme, dimulai dari munculnya unit-unit kekuasaan kecil, anak-anak suku

yang dikenal dengan nama gelarang, wanua (Bugis) dan bori (Makassar). Untuk

memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, elite di tingkat wanua dan bori

menggabungkan unit-unit social yang kecil dalam organisasi yang lebih luas. Penggabungan ini dikenal dengan persekutuan kekuasaan para pemimpin wanua

dan bori. Persekutuan kekuasaan ini disebut dengan Kawerrang Tanah Bone

(Bugis). Sedangkan pada etnis Makassar dikenal dengan istilah Bate Salapang.

Dari sinilah mulai muncul semangat ekspansif dalam usahanya merebut lahan yang subur dan tempat yang strategis. Pada kondisi sosial seperti ini, sedang terjadi cikal bakal penciptaan elite.

Periode perebutan wilayah yang subur dan strategis menjadi cikal bakal lahirnya konsep feudalisme di Sulawesi Selatan, dimana tanah mulai dijadikan sebagai tata-produksi kekuasaan. Pada masa inilah fase feudalisme menjadi bagian dari penciptaan elite pada etnis Bugis dan Makassar.

Fase Islam dan Modernisme ditandai oleh kontestasi, kerjasama, lahirnya

moralitas, intelektualitas, anti kolonialisme dan kapitalisme internasional dari para elite Bugis dan Makassar. Itu semua dimaksudkan untuk mencapai posisi puncak dalam kekuasaan politik dan ekonomi. Pada masa inilah Kesultanan Gowa berkolaborasi dengan Kerajaan Tallo dan menamai diri mereka menjadi Kerajaan Kembar. Pada fase ini pula Arung Palakka (Raja Bone) berkoalisi dengan Belanda untuk meraih kekuasaan mutlak di jazirah Sulawesi. Meskipun pada akhirnya Kerajaan Bone juga berbalik melawan Belanda pada 1905.

Pada fase Islam Modern, terjadi dinamika persaingan, kontestasi, ekspansi,

perlawanan dan kolaborasi antar elite Bugis dan Makassar. Persaingan yang paling utama terjadi antara Kerajaan Gowa, mewakili orang-orang Makassar, dan Kerajaan Bone, kerajaan terpenting dari orang-orang Bugis. Persaingan antar dua kerajaan ini memberi kesempatan pihak asing yaitu VOC, yang berminat pada

165

posisi Makassar dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku untuk melakukan penaklukan atas Kerajaan Gowa dengan melakukan persekutuan dengan Bone di bawah Arung Palakka pada abad 17.

Untuk kepentingan ekspansi, Militer Gowa membangun persekutuan yang erat dengan Kerajaan Tallo dan pedagang Melayu. Setelah adanya persekutuan, ekspansi terus dilanjutkan, dan berhasil menaklukkan seluruh bagian selatan jazirah selatan pulau Sulawesi. Persekutuan Gowa-Tallo-Melayu menjadi sebuah kekuatan yang efektif untuk dalam mengembangkan tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka. Kerajaan Makassar ini menaklukkan negeri-negeri lainnya di Sulawesi Selatan: Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng, Lembangan, Bulukumba, dan Selayar.

Pedagang Melayu menjadikan Makassar sebagai pangkalan untuk mendapatkan beras untuk ditukar dengan pala, bunga pala, dan cengkeh Maluku yang merupakan komoditas utama dunia. Hubungan dagang yang berlangsung antara orang-orang Makassar dan sebagian besar wilayah lainnya di Sulawesi Selatan dengan orang-orang Melayu yang beragama Islam membawa kemajuan dan kemakmuran bagi negeri-negeri Makassar.

Hubungan baik antara Gowa dan Melayu akhirnya menyingkirkan persahabatan Gowa dengan Portugis. Pedagang Melayu mendatangkan ulama dari Minangkabau untuk membujuk Istana Gowa memeluk Islam.

Penguasa Gowa selanjutnya mengeluarkan maklumat kepada para penguasa kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk memeluk agama Islam. Tetapi usaha ini menemui hambatan dari kerajaan-kerajaan besar seperti Bone, Wajo dan Soppeng, dan akhirnya diikrarkanlah perang suci kepada kerajaan-kerajaan yang merupakan musuh lama Gowa. Kerajaan Gowa berhasil menaklukkan Soppeng di tahun 1609, Wajo di tahun 1610 dan Bone pada tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Perkembangan Islam selanjutnya di bawah perlindungan kerajaan. Namun keberhasilan penaklukan inilah pula yang kelak menjadi salah satu penyebab kejatuhan Gowa pada tahun 1667.

Kemajuan yang dicapai Makassar bertentangan dengan keinginan pedagang Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya yang merupakan saingan berada di Makassar. VOC meminta kepada Raja Gowa Sultan Alauddin

166

agar tidak menjual beras lagi kepada Portugis di Malaka dan juga melarang orang Makassar untuk berdagang di Maluku. Namun semua itu di tolak oleh Sultan Alauddin. Hubungan antara Makassar dan VOC mulai goyah. Oleh karena itu Kerajaan Makassar mempersiapkan diri membangun benteng di sepanjang pesisir kota, dari Benteng Tallo di utara dan Benteng Panakkukang di selatan. Beberapa benteng lainnya di bangun di Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barokbaso, Mariso, Garasi dan Barombong. Kegiatan perdagangan dilangsungkan di balik benteng.

Ketika Kerajaan Gowa mulai membangun benteng di sepanjang pesisir Makassar, Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung mengerahkan segala tenaga yang berasal dari berbagai daerah yang telah ditaklukkannya. Termasuk diantaranya dari Tana Toraja, Soppeng dan Bone, yang ditaklukkannya dalam

‗Perang Passempe‘ di tahun 1646 ketika Makassar melakukan peperangan atas

dasar Islamisasi, yang berakibat status Bone menjadi ‗budak Gowa‘.

Akibatnya, Karaeng Karunrung memerintahkan seluruh bangsawan Bone dan Soppeng untuk bekerja dengan rakyat mereka dan diserahi tanggung jawab atas pelarian kelompoknya. Melihat hal tersebut tak terkatakan perasaan terhina orang- orang Bugis. Perasaan siri ‟ orang-orang Bugis menumpuk berlipat ganda karena selain rakyatnya harus melakukan kerja paksa, tuan mereka pun harus melakukan pekerjaan kasar yang sama dengan rakyatnya. Kemarahan mereka semakin memuncak dan hal ini tidak disadari oleh penguasa Makassar dengan memberi kepercayaan kepada pemimpin Bugis untuk mengurus rakyatnya yang sedang menjalani kerja paksa. Ini adalah sebuah awal yang akan menimbulkan pemberontakan dan perlawanan yang kelak menjatuhkan kebesaran Makassar sendiri.

Pada fase sekularisme, proses pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar

berlangsung dengan sifat yang pragmatis, rasional, utilities dan efisien. Pada fase ini, terjadi transformasi pembentukan elite dari prinsip-prinsip ideal seperti moralitas dan intelektualitas yang tinggi dengan tujuan-tujuan praktis dan jangka pendek. Penggunaan symbol budaya, identitas etnis kedaerahan, uang dan kuasa mewarnai pembentukan elite pada etnis Bugis dan Makassar.

Pada masa ini, actor yang berhasil mengisi panggung kekuasaan pada level makro di propinsi Sulsel adalah elite yang berhasil mengembangkan konsep hibridisasi budaya politik antar etnis. Berkembangnya hibridisasi budaya politik bersamaan dengan menguatnya sentiment identitas budaya.

167

6 DINAMIKA PROSES PEMBENTUKAN ELITE BUGIS DAN

MAKASSAR DALAM PENGATURAN KESEIMBANGAN