• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI BAWAH KIBARAN SARUNG KARYA JOKO PINURBO Dwi Rahariyoso

(Indonesia)

Memahami Joko Pinurbo selama ini dalam sudut pandang puisi Indonesia secara umum memiliki kecenderungan bahwa karakteristik “liar” yang dikonstruksikannya melalui medium tubuh adalah cara pandang yang segar dalam melihat tubuh dengan kerangka kebudayaan masyarakat Indonesia. Tubuh hadir dalam cita rasa yang lain, tidak hadir dalam kondisi yang sempurna. Dalam kerangka yang demikian, maka Joko Pinurbo memiliki kapasitas dan kelebihan untuk diteliti. Membahasakan tubuh (liar) merupakan sebuah medium bagi Joko Pinurbo dalam menghadirkan paradigmanya terhadap kondisi manusia dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Manusia dengan tubuh mereka yang terus-menerus diarahkan kepada dinamika dan problematika peradaban yang semakin mendistorsi tubuh manusia ke dalam krisis, baik itu krisis secara material maupun spiritual. Joko Pinurbo secara intens berkutat dalam kerangka dualitas ruang tersebut sebagai sebuah hasil pandangannya terhadap tubuh, kebudayaan, dan dunianya.

Tubuh dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo sedikit banyak bisa dikaitkan dengan hadirnya wacana pascakolonial. Pada kenyataannya Joko Pinurbo memang tidak mengalami secara langsung peristiwa kolonial, namun karya-karyanya mengulas dan menguraikan satu ruang yang paling mendasar dalam diri manusia, yaitu tubuh. Sebagai ruang politis, tubuh merupakan esensi yang signifikan bagi manusia. Dalam kerangka pascakolonial, tubuh menjadi saksi bagi sejarah keberlangsungan kolonial dari waktu ke waktu dengan meninggalkan jejaknya melalui pengalaman tubuh. Tubuh dijadikan obyek bagi keberlangsungan kepentingan, sehingga tubuh mengalami berbagai bentuk represi, rekonstruksi, dan resistensi, sebagai sebuah pengalaman parsial individu. Konstruksi-konstruksi kolonial tentang tubuh yang selama ini diakomodasi dalam kehidupan masyarakat pascakolonial dikaitkan dengan bagaimana tubuh dikonstruksikan dalam karya-karya puisi Joko Pinurbo, sehingga dapat diketahui bahwa tubuh tersebut merepresentasikan suatu konstruksi dan diskursus tertentu. Strukturasi tersebut akan dijadikan sebuah lanskap dalam melihat fenomena ketubuhan sebagai ruang pengalaman masyarakat pascakolonial. Tubuh dalam masyarakat pascakolonial bukan entitas yang otonom, melainkan telah ditandai oleh masa lalu kolonial, dengan demikian kehadiran tubuh dalam konteks puisi Joko Pinurbo bisa dikaitkan dengan kemungkinan hadirnya konstruksi kolonial di masa lalu yang kembali muncul tanpa disadari dalam ruang atau teks-teks pascakolonial saat ini.

Pascakolonial mempunyai tujuan melihat tubuh dalam kerangka yang ‘bebas’ dari penandaan ataupun konstruksi kolonial di masa lalu. Dalam kerangka kolonial, tubuh diarahkan dan dibentuk untuk tunduk dalam rasionalitas atau nalar kolonial, sehingga tubuh tidak bebas dari konstruksi dan kepentingan. Kenyataan terhadap hal tersebut selama ini telah menimbulkan reaksi bagi era pascakolonial, dimana tubuh sebagai ruang hendak direvisi, sehingga tubuh menerima konstruksi kolonial, sekaligus menerima konstruksi yang lain (di luar narasi kolonial) sebagai suatu bentuk alternatif.

93

Tubuh bisa dipahami sebagai hakikat dengan sifat ontologis yang dibedakan dengan sifat epistemologis yang ada dalam roh.

Landasan berpikir pascakolonial yang secara khusus mengerucut pada konstruksi tubuh, yaitu terdapat dalam bukunya Sara Upstone, Spatial Politics in the Postcolonial Novel (2009). Pendekatan pascakolonial menurut Upstone menekankan pada politik ruang, dalam artian pascakolonial dipahami sebagai masa dimana suatu wilayah pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial telah meninggalkan wilayah tersebut. Upstone menganggap bahwa masih ada ruang-ruang kolonial yang ditinggalkan pada wilayah jajahan meskipun secara fisik kolonial sudah tidak berada lagi dalam ruang terjajah. Ruang-ruang kolonial tersebut dikelompokkan oleh Upstone menjadi beberapa level dari yang paling umum atau besar sampai ke ruang yang paling mendasar atau signifikan, dimana pada setiap ruang terdapat unsur politik yang ingin diungkapkan. Level ruang tersebut mulai dari nation (bangsa atau negara), journey (perjalanan), city (kota), home (rumah), dan body (tubuh).

Ruang dalam Pandangan Pascakolonialisme

Upstone menawarkan pembacaan atas novel pascakolonial yang menitikberatkan pada konsep-konsep alternatif tentang politik ruang, yang tidak semata-mata menitikberatkan pada politik bangsa, tetapi juga merefleksikan beraneka ruang yang mengonstruksi pengalaman kolonial (Upstone, 2009:1). Upstone menjelaskan bahwa tempat menandakan kontrol kolonial, sementara ruang merujuk pada hal yang lebih luas dan lentur, bentuk-bentuk yang ingin dikaburkan oleh kolonial (Upstone, 2009:3). Ruang adalah wadah dalam artian yang abstrak dimana konsep-konsep yang hegemonik dapat ditanamkan karena sifatnya yang lentur. Strategi politik tersebut lahir dalam upaya melakukan penguasaan terhadap-ruang-ruang yang penting bagi praktik-praktik kolonial serta mampu mempertahankan stabilitasnya bagi keberlangsungan kekuasaan kolonial di masa selanjutnya. Ruang-ruang yang nampak secara natural tersebut digunakan oleh kaum kolonial untuk membedakan diri mereka dengan pribumi. Melalui praktik yang demikian, yaitu dengan memberikan definisi dan batas yang jelas antara colonised dan coloniser di ruang pribumi, kekuasaan kolonial tampak absolut (Upstone, 2009: 4). Berikut ini bagan kondisi ruang kolonialisme dengan ruang poskolonialisme.

Pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi teritori, memberi pada penawaran bahwa ruang seharusnya direklamasi, suatu pandangan yang pada awalnya mengandung berbagai perbedaan dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, dimana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi atas yang telah berlalu sebelumnya, namun negosiasi (Upstone, 2009:13). Pandangan pascakolonial melihat ruang berisi suara-suara heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009:13). Suara-suara heterogen dan berbagai

Space (ruang) Kontrol hegemonik Homogenitas Kolonial Order dan Border Pascakolonial Chaos/ disorder Postspace Heterogenitas Space (ruang)

94

pengalaman tersebut akan menimbulkan chaos. Chaos berfungsi sebagai upaya pembongkaran terhadap pandangan yang dianggap tetap dan menanamkan pola-pola pemahaman serta pengalaman-pengalaman baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau dari konsep Barat dan Timur yang sudah dibatasi tersebut, kondisi ini pada akhirnya memunculkan post-space. Upstone (2009:15) menjelaskan post-space sebagai konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun di luar batas-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-batas tersebut muncul; keadaan tersebut juga bisa dikatakan sebagai ruang yang hibrid, cair, dan ruang yang bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. Melalui konsep yang demikian, teks-teks pascakolonial mempertanyakan berbagai kemungkinan lain atas tatanan yang ditanamkan oleh kolonialisme, berbagai kemungkinan lain yang bisa dibaca sebagai sebuah usaha negosiasi atas definisi identitas, budaya, hingga kemungkinan resistensi.

Ruang Tubuh dalam Poskolonial

Ketika tubuh dianggap sebagai sesuatu yang bisa dikoloni seperti halnya ruang lain, tubuh secara konkret juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Tubuh tidak hanya metaforik tetapi metonimik. Tubuh tidak hanya dianggap sebanding dengan ruang-ruang lain, tetapi juga menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Sebagai bagian dan kelanjutan, tubuh mungkin melakukan berbagai resistensi, percampuran, saling pengaruh. Kondisi metaforik dan metonimik terhadap tubuh inilah yang ditelusuri Upstone. Dalam konsep Upstone, tubuh yang metaforik adalah tubuh dalam wacana kolonial, yang bisa dibagi-bagi seperti halnya negara atau kota. Tubuh hanyalah perumpamaan. Akan tetapi, terdapat juga tubuh metonimik, yang artinya merupakan bagian berkesinambungan yang tidak lagi memungkinkan adanya keterbagian atau hubungan-hubungan hierarkis. Dalam tubuh yang metonimis inilah kemungkinan chaos dan ambiguitas muncul. Ketidakterbagian dan ambiguitas ini merupakan resistensi itu sendiri. Tubuh dalam wacana kolonial menjadi tubuh yang terkontrol, kaku secara jasmaniah dan ditandai dengan jejak-jejak representasi kekuasaan/koloni yang diklasifikasikan berdasarkan jenis ras/warna kulit dan juga etnis. Membentuk dikotomi antara yang superior, yaitu penjajah, dan di wilayah sebaliknya adalah inferior, yaitu terjajah.

Dalam konteks ini tubuh memegang peranan penting dalam teks pascakolonial terutama dalam membentuk persepsi (kesadaran) atas berbagai pengalaman melalui ruang-ruang yang dialami oleh tubuh. Tubuh merupakan wilayah dimana segala pengalaman keruangan dirasakan oleh individu, sehingga dalam konteks ini tubuh memegang peranan sentral (apresiasi) terhadap ruang-ruang yang ada di sekitarnya.

“Spaces indicating a particulare experience at their own scale inherently interwoven with experiences at other scales, of which the body is often the end (or beginning) point” (Upstone, 2009:148).

Novel Pascakolonial menggambarkan sentralitas tubuh bagi kekuasaan kolonial, menggambaran fakta bahwa tubuh adalah target imperial dan tubuh menyandang peninggalan kolonial, ditandai dan didefinisikan oleh berbagai perangkat kekuatan di luarnya. Secara lebih lanjut wacana tersebut juga digunakan sebagai sebuah wasiat akan terus berlangsungnya upaya kolonial dalam mempertahankan penguasaan terhadap tubuh di dunia pascakolonial (Upstone, 2009:151). Kondisi tersebut merupakan sebuah fenomena bagaimana kolonialisme terus berupaya menjaga superioritas wacana mereka atas tubuh sebagai sebuah perspektif dan cara pandang yang benar selama ini.

95

Dalam antologi puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo, penyair merepresentasikan pengalaman tubuh manusia dengan roh melalui berbagai interaksi ruang di sekelilingnya, tidak hanya ekstrinsik melainkan juga intrinsik. Pengalaman tubuh dalam karya-karya Joko Pinurbo bisa dibaca dalam kerangka konsep pascakolonial tubuh Upstone, untuk menemukan relasi simbolik keberadaan tubuh dan keterkaitannya dengan konstruksi tubuh. Apakah tubuh digambarkan melakukan suatu bentuk yang chaos/disorder sehingga bisa melahirkan bentuk baru atau justru sebaliknya, tubuh kembali pada wacana dominan yang sudah ada secara turun-temurun.

Mayoritas karya puisi yang hadir dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung, berkutat tentang persoalan tubuh dan roh sebagai suatu konstruksi, dimana Joko Pinurbo dengan rasionalitasnya terkesan bermain-main dengan bahasa dan logika. Bahasa dalam konteks tersebut diasumsikan sebagai suatu ruang yang secara dekonstruktif berusaha mempertemukan bahasa sehari-hari sebagai sebuah dimensi atau medium dalam membahas renungan-renungan filosofis dan teologis tentang tubuh. Konstruksi estetis yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya mengarah ke Descartes, yang berpijak kepada rasionalitas (modernis), namun yang cukup menarik adalah cara dia bertutur bukan sebagai modernis. Bahasa yang digunakan dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung adalah bahasa yang hancur, bahasa debu (fana) yang mempunyai kecenderungan dekat dengan keseharian tubuh (jasmaniah) sebagai suatu ruang yang dinihilkan atau dihancurkan di dunia. Bahasa keseharian yang muncul dalam karya-karyanya sebagai sesuatu hal yang tidak standar, yang seolah-olah membuat Joko Pinurbo sebagai seorang yang posmodernis, yang pada mulanya adalah chora. Dalam kerangka Upstone (mengutip Plato), seperti yang sudah diuraikan pada bab 1, chora dipahami sebagai sesuatu yang menyediakan keadaan bagi berbagai benda untuk mengada, dengan kata lain chora ada sebelum makna pasti terbentuk (2009:162). Chora bisa dibaca secara lebih umum sebagai tubuh yang tidak memiliki konotasi gender. Chora lebih mengarah kepada sesuatu yang lebih besar dari tubuh. Tubuh choric merupakan ‘tusukan’ dan penolakan bentuk menjadi ‘bukan sebuah tubuh’ (Butler via Upstone, 2009:162-163), yang didefinisikan oleh Plato sebagai konstruksi negatif tanpa angan-angan atau harapan yang tidak mungkin untuk diperoleh kembali secara utuh. Pernyataan tersebut merupakan sebuah tawaran terhadap konstruksi tubuh yang natural, sebuah ambiguitas tanpa definisi yang mengarah kepada chaos. Chora merupakan sebuah alternatif dalam melakukan resitensi kolonial dalam pengertian Upstone, dimana keadaan tubuh tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk jasmaniah belaka.

Berpijak dari asumsi chora tersebut, maka apa yang dihadirkan oleh Joko Pinurbo melalui konstruksi bahasa di dalam puisi-puisinya mengarahkan kepada suatu kesimpulan bahwa melalui bahasanya yang chaostik, Joko Pinurbo tidak menciptakan suatu ruang chaos sama sekali, sebab ia merupakan seorang modernis. Chaos dalam kerangka estetik Joko Pinurbo dilihat dari kacamata ideal, yaitu ruang rohaniah. Melalui bahasa tersebut proses dekonstruksi sebagai suatu cara melihat ruang tubuh yang hadir dalam konstruksi puisi-puisi Joko Pinurbo bisa dilacak secara detail. Tubuh hadir dalam persepsinya yang terarah secara konstruksional, ke wilayah di luar badan/tubuh, yaitu roh. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyair tidak bisa lepas dari tubuh dan roh, yang mencerminkan pandangan dualistik ruang yang hadir secara konstruktif terhadap tubuh dan membagi seluruh kenyataan antara tubuh-roh, spiritual-material, manusia-dunia, subjek-objek dan lain sebagainya. Kenyataan atas dualistik ruang tersebut mengindikasikan hadirnya semangat modernisme, dimana dalam modernisme pandangan dualistik tersebut menjadi suatu ciri mendasar dalam melihat kenyataan

96

(Sugiharto, 1996:29), yang entah disadari atau tidak telah memengaruhi penyair dan menjadi fokus penyair dalam berkarya.

Dualitas ruang yang dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo bukan semata-mata merupakan sebuah keberpihakan, melainkan pemahaman penyair atas kehidupan yang dialaminya sebagai seorang religius (Kristen) yang modernis, dengan berkutat pada persoalan tubuh (jasmaniah/material) dan religiusitas pada wilayah rohaniah (ide/spirit). Hubungan kedua aspek tersebut secara tidak langsung membentuk suatu pemahaman bahwa penyair menafsirkan tubuh secara rasional untuk mengungkapkan kenyataan yang ilahiah di luar tubuh. Barangkali hal tersebut yang memperkuat fungsi estetik puisi-puisi sekaligus sebagai semacam kegelisahan Joko Pinurbo dalam rangka memaparkan bagaimana tubuh yang fana dan profan dipertemukan dengan roh yang kekal dan sakral. Beberapa puisi tersebut, yaitu puisi dengan judul “Celana (2)”, “Pulang Malam”, “Tubuh Pinjaman”, “Pulang Mandi”, “Meditasi”, “Di Sebuah Mandi”, “Doa Sebelum Mandi”, dan “Sakramen”.

Ia memantas-mantas celananya di depan cermin Sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya Pantat tepos yang sok perkasa.

“Ini asli buatan Amerika,” katanya Kepada si tolol yang berlagak dalam kaca.

(bait 2, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)

Dalam puisi “Celana (2)”, persoalan tubuh dan celana menjadi sebuah fenomena yang signifikan dalam merenungkan kembali posisi tubuh. Apa yang dilakukan oleh tokoh dalam puisi tersebut adalah sebuah upaya mengonstruksi tubuh ke dalam gagasan, melalui komoditas celana asli buatan Amerika. Ketika tubuh sudah dikonstruksi dalam persoalan ide, maka ide tentang tubuh adalah ide yang mengikuti order atau mengatur tubuh agar tubuh bisa memenuhi keinginan atau diarahkan. Celana merepresentasikan ide/gagasan yang hadir di luar tubuh, sehingga ketika tubuh diarahkan melalui gagasan tertentu yang dipahami sebagai pengetahuan bersama (obyektif) atas realitas, maka tubuh yang hadir lebih dekat kepada suatu konsensus komoditi, yang secara sosial dan kultural berusaha merepresentasikan kenyataan obyektif bagi subjek tersebut. Representasi yang benar atau keserupaan obyektif tentang tubuh inilah barangkali yang berusaha dihadirkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo, terutama dalam praktik kultural yang hadir melalui celana idaman asli buatan Amerika.

Keadaan yang ironis justru dihadapi oleh si tokoh ketika ia mendapati bahwa perempuan yang menjadi kekasihnya justru menginginkan dan tertarik yang bernaung di dalam celana, bukan celana yang dikenakan oleh tokoh tersebut. Perempuan tersebut sewot dan memerintahkan untuk membuka dan membuang celana si tokoh yang gagah dan canggih modelnya.

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru yang gagah dan canggih modelnya dan mendapatkan raja kecil yang selama ini disembahnya tunduk tak berdaya.

(bait 5, “Celana (2)”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)

Berdasarkan fenomena yang hadir dalam kutipan bait puisi di atas, maka apa yang sebenarnya menjadi persoalan adalah hadirnya persepsi atas realitas tubuh melalui celana gagah dan canggih modelnya asli buatan Amerika. Persepsi atas kenyataan tersebut menandakan bahwa tubuh dalam konstruksi gagasan sosial telah diarahkan kepada sebuah praktik komoditi sosial, dimana tubuh dari tokoh yang berusaha merepresentasikan keserupaan obyektif tubuhnya dengan kenyataan melalui celana asli

97

buatan Amerika. Gagasan tersebut pada akhirnya dibongkar oleh perempuan kekasihnya, bahwa ia tidak tertarik dengan celana gagah dan canggih modelnya, melainkan kepada yang hadir di dalam celana. Kenyataan yang meleset dari asumsi tokoh bahwa celana tidak mampu memberikan kepuasan bagi kekasihnya, sekaligus tidak mampu menggantikan fungsi dari tubuh yang secara alamiah ada di balik celana. Apa yang hadir di balik celana adalah raja kecil yang tunduk tak berdaya, meskipun hal tersebut menjadi sebuah ironi dari keadaan tubuh tokoh, namun perempuan tersebut lebih memilihnya sebagai kenyataan alamiah tubuh.

Tubuh yang alamiah menjadi utama dan determinan bagi manusia, sebagai sebuah kenyataan transendental dengan Sang Pencipta. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hubungan antara raja kecil dengan celana secara metaforis menghadirkan suatu konstruksi antara ruang tubuh (materi) dengan ruang kultural (ide/gagasan). Ruang tubuh pun dalam konteks ini dibagi menjadi tubuh alamiah (rohaniah) dan tubuh kultural (dunia), yang pada akhirnya mengarahkan solusi kepada tubuh alamiah sebagai kenyataan kodrati manusia dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta (vertikal) dibanding tubuh kultural yang direproduksi sebagai kehendak sosial duniawi (horisontal). Tubuh alamiah yang dimetaforkan sebagai raja kecil yang tunduk tidak berdaya, secara empiris merupakan kenyataan kodrati yang tidak mampu digantikan oleh gagasan duniawi yang cenderung bersifat komoditi. Celana merepresentasikan produk sosial-kultural masyarakat, sehingga di dalam konsepsi ideal yang dihadirkan olehnya terdapat kepentingan-kepentingan obyektif yang seolah memosisikan manusia hanya sebagai obyek dari hasil produksi komoditas ekonomi. Pengetahuan mengonstruksikan tubuh tersebut adalah sebuah bentuk epistemologi yang bertujuan menyamakan persepsi melalui obyektivitas dari celana idaman yang gagah dan canggih modelnya asli buatan Amerika, sehingga sebagai bentuk material yang dibutuhkan oleh tubuh, maka implikasi yang muncul dibuktikan melalui kegagahan dan keunggulan setelah mengenakan celana tersebut. Pada kondisi tersebut, keinginan terhadap tubuh secara jasmaniah dipahami sebagai keinginan material tentang hidup yang tidak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol segala hal yang profit material dan praktis bagi individu-individu. Dualisme ruang yang hadir secara hierarki tersebut menunjukkan bahwa kondisi tubuh dalam puisi “Celana (2)” masih berada dalam tegangan antara manusia-dunia atau jika diarahkan kepada konteks yang lebih luas, yaitu antara yang spiritual-material (roh dan tubuh).

Dalam puisi “Pulang Malam”, yang bercerita tentang hubungan antara tubuh dengan ranjang. Ranjang digambarkan sudah terbakar ketika kami tiba larut malam (bait 1). Apa yang muncul dalam konsepsi tersebut adalah ranjang sebagai tempat untuk tidur tubuh tidak lagi bisa menampung tubuh dengan kenyamanannya karena sudah terbakar. Secara material (jasmaniah), tidur menghubungkan tubuh dengan yang di luar tubuh, yaitu ruang rohaniah, sehingga ketika ranjang telah terbakar, seluruh kenyataan material tentang tubuh (duniawi) menjadi lenyap. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran tentang hubungan tubuh dan ranjang yang secara metaforis merepresentasikan kematian kecil bagi manusia. Tidur dimaknai sebagai sebuah proses merasakan perpindahan dari yang material kepada yang spiritual. Gambaran ranjang terbakar tersebut merupakan sebuah fenomena bahwa manusia dengan keinginannya untuk tetap ada tidak bisa menolak kenyataan kodrati yang fana dalam sifat tubuhnya. Pada akhirnya tubuh dihancurkan, meskipun demikian, terdapat ambivalensi dari kami yang menginginkan untuk kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.\

Kami sepasang mayat

98 dalam dekapan ranjang

(bait 3, “Pulang Malam”, antologi Di Bawah Kibaran Sarung)

Penyair dengan kecerdasannya mempermainkan situasi “kami” yang dihadirkan masih berkeinginan untuk tetap kekal dalam dekapan ranjang meskipun sudah menjadi mayat. Hal tersebut merupakan semacam ironi tentang kondisi “kami” (manusia) dengan tubuhnya, yang terus-menerus tidak bisa melepaskan kenyataan jasmaniah untuk ada dan kekal. Bisa disimpulkan bahwa keinginan “kami” untuk kekal tersebut adalah sebuah upaya menolak kefanaan tubuh yang direproduksi melalui sifat rohaniah di luar tubuh. Tubuh fana dipertemukan dengan roh/spirit yang kekal, sebagai suatu ide/gagasan dalam rangka membebaskan diri dari krisis duniawi yang dihadapinya. Barangkali asumsi tersebut merupakan sebuah negosiasi atas krisis yang ditawarkan oleh penyair dan diharapkan bisa menjadi solusi bagi tubuh dengan dualisme ruangnya.

Dalam puisi yang lain, yang berjudul “Tubuh Pinjaman”, kenyataan tentang dualisme antara tubuh dan roh juga muncul sebagai sebuah kenyataan empiris bahwa tubuh manusia adalah tubuh pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya. Asumsi “pinjaman” tersebut secara metaforis dipersepsikan sebagai pengakuan kepada sang pemilik tubuh, yaitu yang hadir di luar tubuh. Hubungan antara tubuh dengan yang hadir di luar tubuh adalah hubungan hierarkis, dimana tubuh berada dalam posisi inferior karena hanya berfungsi sebatas ruang/medium bagi kehidupannya di dunia. Tubuh sebagai medium pada akhirnya harus dinihilkan atau dikalahkan, ketika sudah saatnya untuk dikembalikan kepada yang di luar tubuh (keluarga, kerabat, atau pemilik). Kepada yang di luar tubuh inilah kenyataan asal tubuh harus diterima sebagai sebuah kebenaran dalam konteks puisi tersebut. Tubuh pinjaman secara eskplisit menunjukkan bahwa tidak seseorang pun yang dapat merasa memiliki tubuhnya, sehingga tubuh sebagai ruang pinjaman tersebut menjadi terbatas, sementara, dan ditinggalkan. Jika asumsi tersebut diuraikan kembali, maka apa yang hadir dalam konstruksi ruang tubuh adalah sebuah metafor terhadap kehidupan di dunia yang fana. Tubuh yang menjadi entitas jasmaniah tidak lebih sebagai suatu ruang tunggu bagi perjalanan manusia, yang tidak boleh membuat dirinya lupa dan terlena, karena suatu saat nanti tubuh harus diserahkan kembali kepada sang pemilik, yaitu melalui peristiwa kematian. Dalam konteks tersebut penyair sudah membangun relasi antara tubuh (material/jasmaniah) dengan sang pemilik tubuh yang meminjaminya (spiritual/rohaniah), yang hadir di luar tubuh. Gambaran tubuh dengan berbagai latar belakangnya, yang didefinisikan sebagai dipinjam dari mayat korban tak dikenal di pinggir jalan (bait 1) dan dipinjam dari bayi