• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN SASTRA LISAN BUGIS DI SEKOLAH-SEKOLAH SEBAGAI SALAH SATU MEDIA PEMBENTUKAN KARAKTER

Dafirah

(FIB Universitas Hasanuddin, Makassar - Indonesia)

Abstrak: Sastra lisan adalah satu unsur kekayaan Indonesia yang tersebar di setiap wilayah nusantara ini. Sastra lisan merupakan karya monumental masyarakat terdahulu. Sebagai karya masyarakat terdahulu, sastra lisan merupakan gambaran pikiran, ideologi, falsafah masyarakat terdahulu. Oleh karena itu, sastra lisan perlu ditansmisikan atau dipindahkan kepada generasi penerus agar mereka mampu memahami pikiran dan ideologi masyarakat terdahulu. Salah satu cara memindahkan atau mewariskan sastra lisan adalah dengan pembelajaran baik secara formal ataupun informal. Secara informal dilakukan dalam lingkungan keluarga, sedangkan secara formal dilakukan dalam ranah pendidikan formal di antaranya sekolah.

Tujuan pembelajaran sastra lisan secara formal salah satunya adalah untuk pembentukan karakter. Karena di dalam sastra lisan banyak ditemui unsur, nilai dan bahkan falasafah masyarakat pemiliknya. Salah satu suku bangsa Indonesia yang kaya denga sastra lisan adalah suku Bugis yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis di dalam bersastra lisan menggunakan bahasa Bugis sebagai medianya.

Sastra lisan yang dapat ditemukan dalam suku Bugis berupa Cerita Prosa Rakyat, baik berupa mite, legenda, ataupun dongeng; nyanyian rakyat, pesan, dan ungkapan tradisional.

Pendahuluan

Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan keanekaragamannya. Keanekaragaman dalam bahasa, budaya, dan lain-lain sebagainya. Terdapat ratusan bahkan ribuan budaya dan bahasa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia memberi corak dan warna tersendiri. Sayang sekali sebagian dari budaya dan bahasa yang menjadi kekayaan kita berada pada ambang kepunahan, bahkan ada di antaranya yang sudah punah. Padahal, di sisi lain budaya dan bahasa yang tersebar itu mengandung berbagai kearifan dan nilai-nilai lokal yang relevan dengan kekinian dapat dijadikan sebagai pembentuk karakter yang berbasis kearifan lokal.

Apabila pemaparan tersebut dikaitkan dengan salah satu fungsi bahasa daerah yaitu sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan di daerah. Fungsi tersebut semakin menguatkan posisi bahasa budaya daerah.

Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan karakter yang berbasis kearifan lokal perlu ada upaya untuk mentransmisi atau mengalihkan nilai dan kearifan lokal tersebut kepada kalangan generasi muda guna pembentukan karakter mereka. Pengalihan tersebut dapat dilakukan secara formal ataupun non-formal. Secara formal pengalihannya dilakukan melalui pendidikan dalam rumah, sedangkan secara formal bisa dilakukan dalam pendidikan formal yaitu sekolah-sekolah.

Kondisi yang boleh dikata menggembirakan adalah adanya perhatian dari para pihak terkait tentang pentingnya pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya daerah. Namun, yang tergolong masih kurang adalah perhatian terhadap pembelajaran sastra yang berbbasis lokal, mislnya saja pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sastra secara umum di daerah-daerah. Pembelajaran sastra lisan di sekolah-sekolah perlu

70

digarisbawahi dan mendapat perhatian khusus karena di dalam sastra lisanlah terdapat berbagai pesan, nilai bahkan kearifan lokal yang memiliki kekuatan dalam pembentukan karakter. Sehubungan dengan pendidikan karakter, Hidayatullah (2010:13) memaparkan bahwa pendidikan karakter berkait dengan kualitas atau kekuatan mental seseorang yang berbeda dengan orang lain.

Di samping itu, pelibatan sastra lisan dalam pembelajaran sekaligus menjadi usaha pelestarian dan sosialiasasi sastra/budaya lisan kepada generasi muda. Agar generasi muda memahami dan mengenal sastra lisan sekaligus kandungan yang ada di dalamnya.

Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan yang secara khusus berbentuk sastra. Sehingga sastra lisan adalah perpaduan dua kata yaitu sastra dan lisan. Sehingga pengertian sastra lisan secara umum adalah bentuk sastra yang disampaikan serta diterima juga secara lisan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa memiliki ragam sastra. Dan menurut Lord (1976:3) sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah, dan disebarkan secara lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang disebarkan, diwariskan secara lisan, dari mulut ke mulut (Ratna, 2013: 420). Selanjutnya lebih diperjelas lagi oleh Amir (2013:77-78) sastra lisan adalah seni bahasa yang diwujudkan dalam pertunjukan oleh seniman dan dinikmati secara lisan oleh khalayak, menggunakan bahasa ragam puitika dan estetika masyarakat bahasanya. Dalam konteks ini, penulis lebih setuju pada pandangan terakhir bahwa sastra lisan menggunakan bahasa dengan penonjolan fungsi puitika dan estetika, meskipun tanpa disertai dengan pertunjukan.

Untuk mengenali sebuah sastra lisan maka dapat dilihat dari ciri yang dimilikinya. Ciri tersebut adalah: 1) pewarisannya dilakukan secara lisan; 2) bersifat tradisional; 3) terdapat versi atau varian; 4) anonim, penciptanya tidak dikenal; 5) mempunyai bentuk berumus atau bepola; 6) mempunyai kegunaan; 7) pralogis, memiliki logika sendiri; 8) milik kolektif; 9) bersifat polos dan lugu (Danandjaya 1998:3). Sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan tentu memiliki kegunaan bagi pemiliknya. Dan kegunaan inilah yang menjadi penopang bagi kebertahanan sebuah tradisi lisan. ketika kegunaan tersebut tidak lagi ada bagi pemiliknya dengan sendirinya sasrta lisan tersebut akan punah dengan sendirinya. Kegunaan atau lazim disebut fungsi yang ditemukan pada sastra lisan adalah : Bascom (1965:3-20) mengemukakan beberapa fungsi folklor (termasuk tradisi lisan) yaitu:” 1) as a form of amusement; 2)it plays in validating culture, in justifying its rituals and institution to those who perform and observe them; 3)it plays in education, as pedagogical device; and 4) maintaining conformity to the accepted pattern of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control” 1) sebagai media hiburan;2) sebagai alat pengesahan kebudayaan dan pranata;3)sebagai alat pendidikan terutama pada anak-anak;4) sebagai alat pemaksa dan pengawas pola tingkah laku masyarakat dan sebagai kontrol social ).

Selanjutnya Dundes (1965:277) mengemukakan beberapa fungsi folklor sebagai barikut: “1)aiding in the education of the young; 2) promoting a group’s feeling of solidarity;3)providing socially sanctioned way is for individual to act superior to or to censure other individuals;4)serving as a vehicle for social protest;5)offering an enjoyable escape from reality;6)converting dull work into play”(membantu dalam pendidikan anak; 2)meningkatkan perasaan solidaritas sebuah kelompok; 3) memberikan sanksi secara sosial agar mampu berprilaku baik atau member hukuman kepada yang lainnya;4) sebagai media protes sosial; 5) memberikan sebuah pilihan yang cukup menyenangkan dari realitas;6)mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan).

71

Berdasarkan pemapaan di atas, khusus di Sulawesi Selatan ditemukan berbagai sastra lisan yang akan diuraikan satupersatu berikut ini.

Pembahasan

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka sastra lisan yang dapat ditemukan pada masyarakat Bugis adalah:

1. Cerita prosa rakyat, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu : mite, legenda, dan dongeng; a) Mite adalah cerita prossa rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Tokoh yang ada dalam mite berupa ewa atau setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tofografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah peang mereka, daan lain sebagainya; b) Legenda adalah prosa rakyat yang memiliki ciri yang mirip dengan mite, dianggap benar-benar pernah terjadi tetapi tidak dianggap suci. Tokoh yang ada dalam legenda adalah manusia, yang kadang memiliki sifat yang luar biasa dan seringkali juga dibantu oleh mahluk-mahluk ajaib. Tempat terjadinya adalah dunia seperti yang kita kenal sekarang dan waktu terjadinya belum terlalu lampau; c) dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Selain itu, dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan, diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Bahkan pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri,tetapi kenyataannya banyak dongeng yang tidak bercerita tentang peri melainkan cerita atau plotnya mengenai sesuatu yang wajar.

Pada masyarakat Bugis sebuah legenda yang terkenal terutama masyarakat Bone yang berjudul Batu Memmanae ( Batu yang Melahirkan), mengisahkan tentang kehidupan seorang anak perempuan dan ibunya yang pas-pasan. Ibunya mnecari kayu di hutan dan menjualnya di pasarr sementara anaknya selalu menenun bnanguntuk dijadikan sarung lalu dijual. Anak perempuan tersebut memiliki sifat yang kurang baik yaitu sifat malas. Dan suatu waktu ketika sedang menunu dan salah satu alaat tenunnnya jatuh ke bawah rumah, saat ibunya tidak ada di rumah sehingga tidak ada yang bisa disurhnya. Sambil menggerutu, tiba-tiba anjing peliharaannya yang sangat setia dan rajin mampuberbicara dan siap membantu majikannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja majikannya (putri) berubah jadi patung secara pelan, dan setiap orang yang melihat dan menegurnya termasuk ibunya akan berubah menajadi batu. Dan legenda itulah yang menjadi awal mula lahirnya sebuah kampung yang disebut Batu memmana.

Selain itu, sebuah dongeng yang popular bagi kalangan Bugis yang berjudul Nenek pakande, dongeng menceritakan aksi seorang nenek yang entah berasal dari negeri entah berantah dan hobbi memangsa anak-anak dan bayi saat menjelang petang atau magrib. Dengan berbagai upaya masyarakat berusaha mengenyahkan nenek tersebut dari kampung yang didatanginya dan berhasil. Namun jejak yang ditinggalkannya adalah bahwa, sejak saat itu para orang tua tidak mengizinkan putra-putri mereka keluar rumah saat menjelang magrib. Dan masih banyak lagi sastra lisan yang berbentuk cerita prosa yang ditemukan dalam

72

masyarakat Bugis. Cerita-cerita tersebut tentu memiliki kegunaan dan fungsi bagi masyarakat Bugis. Selain itu, di dlam ceria-cerita tersebut terkandung nilai bahkan falsafah hidup orang Bugis.

2. Nyanyian rakyat adalah salah genre yang terdiri atas kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta mempunyai banyak varian. Berbagai ragam yang dapa ditemukan dalam masyarakat Bugis, mulai nyanyian yang bersifat menghibur sampainyanyian yang berisi nasihat. Sebuah nyanyian rakyat yang berisi nasihat tentang pentingnya pendidika berjudul “ala masseya-seya”, berisi tentang penyesalan seseorang yag sudah tergolong tua telah menyia-nyiakan masa mudanya

Ala masseya-seya mua… Tau na ompori sessekale Nasaba ri wettu baiccunna Deq memeng naengka nagguru Riwetuu baiccuta memeng mitu Narekko battuwani massusani Nasaba maraja nawa-nawani Enrenge pole toni kuttue……..

( hanya sia-sia saja…..

Orang yang mengalami penyesalan, Sebab ketika masih muda

Memang tidak pernah mau belajar Hanya saat ketika masih muda Sebab ketika sudah tua sudah susah Sebab sudah banyak yang dipikirkan Serta memang sudah malas…..)

3. Ungkapan tradisional, meliputi: peribahasa dan dalam Bahasa Bugis dikenal dengan nama werekkada. Werekkada biasanya tersusun dari satu atau dua kalimat saja. Beriku contoh werekkada :

Tekku sappa balanca-e, uparanru’ sengereng, nyawami kusappa. (Saya tidak cinta harta, tidak ingin kecantikan, tetapi yang saya cari adalah budi bahasa nan halus.)

Agana ugaukengngi, pakkadang teppadapi, nabuwa macenning. (Hasrat hatiku menggelora untuk memilikinya, tapi kemampuanku sangat terbatas.)

Selain itu, di dalam masyarakat Bugis dikenal istilah paseng (pesan)yang berisi tentang petuah oang-oang terdahulu:

Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng: Mammulanna, ada tongenngé,

Maduana, lempuk-é, Matellunna, gettenngé, Maeppakna, sipakataué,

73

Artinya: :

Aku memesankan untuk berpegang pada lima pegangan: Pertama, ucapan yang benar,

Kedua, kejujuran, Ketiga, keteguhan

Keempat, saling menghargai,

Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggal.

Daftar Rujukan

Amaluddin, A. 2009. “Nyanyian Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Fungsi dan strategi Pelestariannya” (disertasi). Malang: UM

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Jogyakarta: CV Andi Offset. Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Endraswara, E. 2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Geertz, C. 2003. Pengetahuan Lokal. Terjemahan. Merapi: Yogyakarta. Hidayat, K. 2000. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Pustaka Agung:

Surabaya.

Hutomo, S.S. 1989. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan

Usaha-usaha untuk Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan 20 (10):1—10.

__________. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.

Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Ong, Walter J. 2013. Kelisananan dan Keaksaraan. (Rika Iffati, pentj.). Jogyakarta: Gading Publishing.

Thaha, Z. 2000 “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Daerah dalam Era Globalisasi”. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdiknas.

74

KONFLIK IDENTITAS DALAM NOVEL IKAN TANPA SALAH