• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBUKA PARADIGMA “KEBANGSAAN”: KAJIAN TERHADAP OMEROS, KARYA DEREK WALCOTT

Gabriel Fajar SA

(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)

Abstrak: Omeros adalah karya Derek Walcott, seorang penerima Hadiah Nobel Bidang Kesusastraan tahun 1990, dan di sini terungkap bagaimana masyarakat atau bangsa Karibia mencoba menata diri dalam membangung identitas kebangsaannya. Latar belakang masyarakat Karibia sangat unik, yakni sebagai masyarakat poskolonial yang terdiri atas beragam etnik dan tidak memiliki identitas nenek moyang yang tunggal. Artinya, dari satu sisi mereka harus berjuang memerdekakan diri dari hegemoni bekas penjajahnya dan di sisi lain juga harus berjuang untuk menegosiasi identitas di antara beragam etnik. Dalalm konteks inilah Omeros hadir untuk membuka paradigma tentang identitas kebangsaan yang menitikberatkan pada kepentingan “masa depan” dan yang berupaya untuk tidak terjebak oleh sejarah atau “masa lalu.” Omeros memaparkan kebersatuan dua macam “bahasa.” Dari satu perspektif ini adalah bahasa masyarakat penjajah atau asing dan bahasa masyarakat terjajah atau lokal, dan perspektif lain melihatnya sebagai perpaduan bahasa masa lalu dan bahasa masa kini. Secara menarik Omeros mengungkapkannya sebagai masyarakat dari Dunia Baru atau New Eden. Dunia Baru adalah bahasa dekonstruksi terhadap ideologi penjajah, sedangkan New Eden adalah bahasa manusia baru yang sudah terbebas dari perangkap “ular” musuh utama yang abadi.

Kata-kata kunci: Karibia, mitologi, identitas, Dunia Baru, New Eden Pengantar

Masyakarat Karibia pada dasarnya lahir sebagai masyarakat poskolonial karena latar belakang sejarah pembetukannya memang baru dimulai sejak masa dekolonisasi,

kecuali masyarakat atau bangsa Haiti.46 Hal ini tidak terlepas dari kondisi ketika

berbagai bangsa Eropa berlomba-lomba mencari dan menguasai koloni di kawasan Karibia. Bagi mereka ini Karibia adalah “dunia baru,” yakni koloni jajahan di luar Asia dan Afrika, dan sejarah juga mencatat bahwa di masa-masa awal penjajahannya para penjelajah memusnahkan hampir seluruh masyarakat asli di Karibia (Robin Cohen, 2001: 137). Demi kepentingan ekonomi bagi pabrik-pabrik yang dibangun para penjajah tersebut akhirnya mendatangkan tenaga kerja dari luar, terutama dari Afrika. Peristiwa Triangle of Misery 47 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008: 83) menjadi bukti nyata sejarah bagaimana bangsa-bangsa Eropa menempatkan diri sebagai bagian “superior” dibandingkan dengan daerah-daerah jajahan atau koloni mereka, karena di sini manusia budak menjadi objek perdagangan. Latar belakang sejarah semacam ini

46 Meskipun menjadi bagian dari masyarakat Karibia secara umum, Haiti merupakan bangsa yang merdeka sejak tahun 1804 (DH Figueredo and Frank Argote-Freyre, 2008:91)

47 Triangle of Misery adalah jalur perdagangan manusia/budak dari Afrika ke Eropa dan ke Amerika

149

menjadi acuan bagaimana masyarakat Dunia umumnya memahami realitas yang terjadi dan dialami Karibia, yakni sebagai kawasan yang dihuni oleh “pendatang” sehingga proses pembentukan bangsa-bangsa pada era dekolonisasi memiliki beban ganda. Di satu sisi mereka harus melepaskan diri dari cengkeraman dan hegemoni penjajah, dan di sisi lain mereka harus “membangun” juga identitas tunggal, sebagaimana bangsa-bangsa yang memiliki satu nenek moyang sebagai identitas kulturalnya.

Permasalahan identitas tunggal tersebut hadir sebagaimana dinamika sejarah kolonisasi di kawasan Karibia tersebut. Pengangkutan budak-budak dari Afrika ke Karibia lambat laun memiliki konsekuensi terhadap wajah kawasan ini, yakni masyarakat yang didominasi kulit hitam, tetapi pada dekade setelah sistem perbudakan dihapuskan kaum penjajah membawa orang-orang, terutama dari Asia, sebagai tenaga kuli kontrak, dan juga dari tempat-tempat lain, sehingga di Karibia akhirnya berkumpulah berbagai etnis. Artinya, ketika masa dekolonisasi masyarakat di sana pun memiliki beban untuk secara internal bernegoisasi demi membangun identitas yang berbeda dari identitas kolonial atau penjajah. Fenomena ini menjadi menarik dalam konteks studi poskolonial karena paradigma Dunia Tiga, yang menekankan perlawanan ideologis lewat konsepsi oposisi biner, antara Timur dan Barat, sebagaimana Edward W Said yang mengangkat isu tentang kembali ke identitas kultural sebagai senjata melawan penjajah/kolonial, tidak dapat diterapkan bagi perjuangan masyarakat Karibia. Lepas dari posisi geografis yang memang tidak berada di Timur, Karibia memiliki beragam etnik yang masing-masing tidak mungkin menganggap diri sebagai penduduk atau penghuni lokal yang berhak mengangkat identitas kulturalnya sendiri mewakili etnik-etnik yang lain.

Fenomena semacam ini merupakan tema penting bagi karya-karya sastra di Karibia, dan tema-tema poskolonial pun menjadi ciri utama kesusastraan Karibia sehingga hal ini justru menjadi identitas utamanya. Donel (2005: 5) mencatat terjadi booming karya-karya sastra seputar era dekolonisasi. Bahkan Derek Walcott, salah seorang penulis Karibia, mampu mengolahnya sedemikian rupa untuk menarik mata Dunia. Setidaknya, ini terbukti lewat keberhasilannya dalam mendapatkan Hadiah Nobel untuk bidang Kesusastraan di tahun 1990. Dalam rentang sekitar 10 tahun kemudian, Karibia kembali mempersembahkan salah satu “raksasa sastra” lewat Hadiah Nobel di tahun 2001 yang diterima oleh VS Naipaul. Dalam konteks yang lebih luas, poskolonialitas Karibia mengusung ideologi “Dunia Baru,” yang di satu sisi merupakan paradigma dekonstruktif terhadap ideologi Barat dan di sisi lain paradigma baru bagi masyarakat poskolonial atau masyarakat bekas terjajah. Sebagaimana disinggung di depan konsepsi “dunia baru” sebenarnya berasal dari Barat yang dipahami oleh para penjelajah awal dalam menemukan dan membangun koloni baru di tempat-tempat lain di luar Asia dan Afrika. Namun demikian, oleh masyarakat Karibia terminolog ini diusung kembali sebagai ideologi poskolonialitasnya sehingga posisi inferioritas Karibia, yang pada awalnya merupakan objek koloni, berubah lambat laun menuju posisi superioritasnya, yang mengambil tempat sebagai subjek pelaku atau pelaksana. Sementara itu lewat perspektif poskolonialitas umumnya, ada perbandingan menyolok dengan poskolonialitas dari Dunia Tiga, yang menekankan identitas kultural nenek moyang sebagai “senjata utama” (Said, 1993: xiii) atau program recovery of the past, kembali ke masa lalu (Hall, 2003: 236), untuk melawan hegemoni kultural dari bekas the colonizer, atau pemerintah kolonial. Di sini Karibia benar-benar hadir sebagai “Dunia Baru” yang berbeda dari Dunia Tiga.

Ideologi “Dunia Baru” yang dianut masyarakat Karibia semakin mendapatkan esensinya yang semakin nyata lewat gagasan tentang New Eden yang dikemukakan oleh

150

Derek Walcott. Salah satu karya Walcott yang mengetengahkan ini adalah Omeros, yakni sebuah puisi epik yang tersusun dalam rangkaian, yang oleh Walcott sendiri disebut buku atau book, berupa Book One hingga Book Seven. Teks Omeros menarik untuk dikaji karena di samping sebagai sebuah puisi yang beridentitas epik, Omeros mengadopsi dan mengadaptasi beberapa tokoh yang berasal dari teks klasik Yunani. Para tokoh tersebut kemudian dipadukan dengan tokoh-tokoh lain, yang sama sekali tidak dikenal dalam teks-teks klasik Yunani tersebut. Bahkan, bahasa yang dipergunakan juga dua macam, yakni bahasa Inggris, yang sangat dominan, dan Perancis. Realitas semacam ini menjadi acuan interpretasi yang penting karena di sanalah ada panggung atau arena (istilah Bourdieu) yang mengakomodasi heterogenitas tokoh dan bahasa. Ini semua diangkat teks untuk mengungkapkan poskolonialitas, khususnya bagi masyarakat Karibia.

Tentang Omeros

Secara umum, puisi epik ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat generasi masa kini di seputar kawasan laut Karibia dalam menatap masa depannya setelah di masa lampau generasi lama terjebak dalam persoalan penjajahan. Book One (hal. 3—76), sebagai pembuka puisi, memaparkan realitas kehidupan masyarakat nelayan lewat deskripsi harmonisasi yang mereka miliki dengan alam sekitar, khususnya lautan. Di sinilah pembaca disuguhi kehadiran para tokoh utama yang membangun narasi dari alur cerita teks. Di samping nama-nama yang berasal dari mitologi Yunani, seperti Philoctete (3), Achille (6), Hector (16), dan Helen (24), ada beberapa nama lain yang penting, yakni Seven Seas (11), Omeros (14), Ma Kilman (17), “I” sebagai narator (23), Major Plunkett (24), dan Maud, istri Plunkett (24). Umumnya mereka hidup sebagai masyarakat pantai yang mengandalkan laut sebagai sumber utama kesehariannya, kecuali Ma Kilman yang merupakan tabib wanita dan memiliki warung obat, Major Plunkett dan Maud, yang merupakan bekas tentara asing dan menetap di sana sebagai pengusaha rumah makan dan perkebunan. Terungkap di sana bagaimana kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mampu membangun relasi berkehidupan mereka di tempat tersebut, yakni di Karibia yang merupakan latar tempat bagi narasi epik Omeros ini. Sementara itu Book Two hingga Book Six memberi tekanan pada berbagai peristiwa yang dialami manusia dengan lautan, khususnya berkaitan dengan masa lampau. Terdapat deskripsi yang lebih lengkap tentang kehidupan yang berkaitan dengan laut Karibia tersebut, termasuk kedatangan orang-orang dari Eropa dengan kapal lautnya yang moderen (Book Two/hal. 77—131), hubungan antara masyarakat kini (di Karibia) dengan masyarakat masa lalu (di Afrika) yang dijembatani oleh eksistensi laut yang menghubungkan mereka (Book Three/hal. 133—168), berbagai peristiwa perang di dunia yang menonjolkan lautan sebagai arena peperangan (Book Four/hal. 169—188), hubungan antara bangsa-bangsa di dunia dengan masyarakat Karibia yang terkoneksi oleh eksistensi lautan (Book Five/hal. 189—219), dan industri yang tumbuh di Karibia sejak masa penjajahan yang mengandalkan lautan sebagai sarana transportasi (Book Six/hal. 221—277). Akhirnya, Book Seven menghadirkan lagi gambaran masyarakat kawasan laut Karibia yang memiliki keyakinan dan semangat dalam bergelut dengan dunianya demi masa depan (Book Seven/hal. 279—325).

Omeros: Epik Poskolonialisme Karibia

Dalam konteks ke-epik-an Omerosi mengadaptasi mitologi Yunani, yaitu Odyssey dan juga Iliad, karya-karya Homer, yakni kanon klasik yang sangat terkenal dan diagung-agungkan di dunia Barat atau Eropa. Istilah “mengadaptasi” memang lebih

151

tepat diterapkan daripada “mengadopsi” karena pada kenyataannya Omeros tidak mengambil alih begitu saja seluruh aspek maupun elemen dari mitologi tersebut, melainkan hanya memaparkan beberapa nama mirip yang sangat terkenal dari sana, yaitu di antaranya Philoctete, Achille, Hector, dan Helen. Dengan mengungkapkan nama-nama tersebut, teks Omeros jelas mengingatkan para pembacanya terhadap

eksistensi mitologi Yunani.48 Dalam pengungkapannya ternyata kemudian dihadirkan

berbagai ambivalensi makna, terutama sehubungan dengan penokohan karakter dari nama-nama klasik dan juga eksistensi mitos itu sendiri. Sebagaimana diketahui secara umum, dalam karya-karya mitologi Yunani nama-nama tersebut merujuk pada para tokoh hebat atau pahlawan tangguh, yang sangat berbeda dengan karakter rakyat biasa, tetapi sebaliknya di dalam Omeros nama-nama tersebut justru dikenakan pada para tokoh yang dikategorikan rakyat kebanyakan, yaitu nelayan, dan bahkan yang berada dalam kondisi terpinggirkan karena persoalan keseharian yang banyak berkait dengan masalah perekonomian. Paparan awal puisi Omeros memperlihatkan peranan para tokohnya, Philoctetes, Achilles, Hector, dan Helen, sebagai orang-orang yang bekerja di seputar laut, entah sebagai pemandu wisata, nelayan, maupun juga pegawai restoran di pinggir laut. Kondisi mereka ada dalam ketidakberdayaan sebagai kelompok orang yang harus bekerja keras demi nafkah kesehariannya. Perbandingan karakterisasi semacam itu setidaknya menjadi bukti jelas bahwa memang Omeros tidaklah mengadopsi teks-teks mitologi Yunani, melainkan sekadar mengadaptasi untuk kepentingan di balik makna yang diusungnya, yakni poskolonialitas.

Strategi karakterisasi para tokoh mitos mengusung makna penting. Salah satu contoh ialah eksistensi tokoh Philoctete yang mengalami pembelokan karakterisasi. Antara “Philoctetes” dan “Philoctete” (memakai dan tanpa akhiran –s), penyebutan dan pemakaian keduanya hampir tidak mungkin dibedakan, sehingga secara mudah pembaca bisa terjebak ke dalam pemahaman bahwa keduanya memiliki rujukan karakter atau tokoh yang sama. Setidaknya, hal ini merupakan langkah pertama yang dilakukan teks Omeros dalam ambivalensi maknanya. Artinya, pembaca dengan mudah diarahkan seolah-olah keduanya adalah orang yang sama, sehingga ketika mendapati nama “Philoctete” pembaca dengan segera teringat akan sosok “Philoctetes” yang ada dalam ranah mitologi Yunani. Lebih jauh lagi, tentang karakterisasi tokoh ini dalam teks Omeros, tokoh ini dikedepankan sebagai bagian dari masyarakat laut, yang umumnya memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, meskipun Philoctete sendiri memiliki profesi lain, yakni sebagai pemandu wisata (3), sebagaimana terungkap dalam pembukaan epik Omeros ini. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan fakta yang dimiliki tokoh Philoctetes dalam kanon klasik. Namun demikian, satu hal penting yang diungkapkan oleh teks Omeros ialah tentang luka yang dimiliki tokoh Philoctete.

For some extra silver, under a sea-almond, he shows them a scar made by a rusted anchor, rolling one trouser-leg up with the rising moan of a conch. It has puckered like the corolla of a sea-urchin. He does not explain its cure.

“It have some things”—he smiles—“worth more than a dollar.” (4)

Ada bekas luka, atau a scar, yang di satu sisi merupakan penderitaannya namun di sisi lain justru menjadi sumber tambahan penghasilan, yaitu berupa tip atau uang ekstra,

48 A Companion to Greek Mythology (eds., Ken Dowden and Niall Livingstone, 2011: 6) menegaskan bahwa memori tentang mitologi merupakan salah satu cara untuk melestarikan identitas.

152

yang diberikan oleh turis yang melihat luka tersebut. Artinya, apakah luka tersebut sudah sembuh atau belum masih merupakan misteri bagi mereka yang sekadar hanya menontonnya, karena hanya Philoctete sendiri yang mengetahuinya. Bahwa ia masih merasakan sakit, dengan suara lenguhan yang ditampilkan saat membuka penutup luka, menjadi penanda jika luka tersebut belum sembuh benar. Meskipun demikian, nampaknya luka tersebut tidak sangat mengganggu aktivitas Philoctete dalam kesehariannya, karena terbukti ia masih dapat melakukan kegiatannya sebagai pemandu wisata.

Dengan acuan sosok Philoctetes dari mitologi Yunani, jelas ada pergeseran atau ambivalensi makna dalam diri tokoh ini. Ketidakberdayaan Philoctetes akibat luka yang dimiliki semakin membuat ia terpuruk karena benar-benar ditinggalkan dan diasingkan, sehingga hanya kematian saja yang tinggal menunggu waktu bagi hidupnya. Sementara itu, Philoctete, yang juga memiliki penderitaan oleh bekas luka, justru mampu memanfaatkannya demi kepentingan hidupnya, yakni untuk mencari tambahan penghasilan. Ketidakberdayaan total yang dialami Philoctetes tidak dialami oleh Philoctete yang masih mampu melakukan aktivitas hariannya. Hari-hari gelap yang dialami Philoctetes, dalam menunggu kematian, sangat kontras dengan kondisi Philoctete meskipun ia memang sangat terganggu oleh luka tersebut. Philoctetes hanya dapat berpasrah dalam ketidakberdayaan total dan ketiadaan lagi harga diri sebagai anggota pasukan perang, dan Philoctete pun ada dalam ketidakberdayaan karena luka, a scar, yang dimiliki itu diyakini sebagai bentuk warisan kutukan, yang diderita oleh keluarganya. He believed the swelling came from the chained ankles/of his grandfathers (19). Di sini teks Omeros menampilkan Philoctete sebagai pribadi yang tidak berdaya karena ada kutukan yang harus diterima sebagai bagian warisan dalam keluarganya. Ada perspektif masa lalu yang tidak bisa Philoctete kendalikan sehingga membuatnya tidak berdaya melawan, tetapi bagi Philoctetes yang hadir justru ketidakberdayaan dalam perspektif masa depan karena luka tersebut menjadikan masa depannya gelap dan hampir tidak ada lagi, kecuali kematian yang sedang menantinya.

Kehadiran atau eksistensi para tokoh klasik dalam teks Omeros bukanlah satu-satunya jenis atau model tokoh yang digunakan teks untuk memaparkan cerita narasinya. Ada Ma Kilman, Plunkett, dan juga Maud, yang jelas-jelas bukan berasal dari ranah mitos Yunani. Artinya, di sini pun Omeros secara menarik menciptakan dua macam dunia kehidupan, yakni dunia mitos dari zaman klasik dan dunia masa kini di Karibia yang kemudian bersama-sama berpadu membangun jalinan cerita sebagaimana

yang diketengahkannya. Ada dua “bahasa”49 yang dipergunakan secara bersama-sama

untuk mengungkapkan makna utamanya. Secara langsung ada perbedaan tentang penerima pesan karena perbedaan kedua bahasa tersebut, tetapi perbedaan ini justru menjadi penonjolan yang nampaknya memang menjadi kekuatan strategi dalam mengaplikasikan mitos Yunani, yang adalah salah satu bentuk bahasa tersebut. Bahkan, penonjolan ini justru ditekankan dan dikonkretkan lewat beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa ada perbedaaan menyolok antara pemakai bahasa yang satu, misalnya bahasa Inggris, dengan pemakai bahasa yang lain, misalnya bahasa Perancis.

“Touchez-I, encore: N’ai fender chouz-ous-ou, salope!”

“Touch it again, and I’ll split you arse, you bitch!”

“Moi j’a dire—‘ous pas preter un rien. ‘Ous ni shallope, ‘ous ni seine, ‘ous croire ‘ous ni choeur campeche?”

49 Istilah “bahasa” di sini dimaksudkan sebagai wahana untuk menyampaikan pesan antara pengirim dan penerima pesan.

153

“I told you, borrow nothing of mine. You have a canoe, and a net. Who you think you are? Logwood Heart?”

“’Ous croire ‘ous c’est roi Gros Ilet? Voleur bomme!”

“You think you’re king of Gros Ilet, you tin-stealer?” (15-16)50

Kutipan ini menceritakan dialog antara Achille dan Hector, yang oleh teks dikemukakan memiliki konflik pribadi, yakni memperebutkan Helen. Namun demikian, konflik ini terus berkembang kepada berbagai hal, termasuk masalah kepemilikan kapal. Hal yang menarik dalam kaitannya dengan perbedaan bahasa ialah bahwa fenomena ini oleh teks diangkat sebagai gambaran terjadinya masalah atau konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, hadirnya dua bahasa berbeda sebenarnya hendak menunjukkan hadirnya dua pihak yang sedang berkonflik. Juga, penonjolan konflik lewat dua bahasa justru lewat Achille dan Hector, yang pada dasarnya berasal dari “dunia” yang sama, yakni mitos klasik Yunani.

Strategi kesastraan tersebut di atas, yakni adaptasi karakterisasi mitologi dan penerapan dua bahasa, nampaknya memang sederhana tetapi makna yang dikandung menjadi sangat dalam dari perspektif poskolonial. Terlebih, sebagai bagian dari kesusastraan Karibia, yang berideologikan poskolonialitas, Omeros menerobos kanon poskolonialitas Dunia Tiga, yang menempatkan segala hal dari Barat atau Eropa sebagai musuh, sebagaimana dalam ideologi oposisi binernya. Mitos Yunani, yang dalam konteks ini menjadi bahasa, merupakan milik yang diagung-agungkan masyarakat Eropa, dihadirkan dan digunakan secara bersama-sama dengan cerita lokal masyarakat Karibia, yang dalam hal ini juga menjadi bahasa lainnya. Dengan lain perkataan, teks Omeros secara langsung mempertemukan dua masyarakat yang dalam perspektif sejarah kolonialisme memiliki konflik yang telah menciptakan perbedaan status antara masyarakat penjajah yang superior dan masyarakat terjajah yang inferior. Namun demikian, ternyata perspektif ini pun oleh teks sekadar diadaptasi, dan tidak diadopsi mentah-mentah, karena dalam cerita yang diungkapkan kedua masyarakat tersebut tidak berada dalam konflik status peradaban, yang membedakan atasan dan bawahan, atau superior dan inferior, atau penjajah dan terjajah.

Omeros juga mengungkap bahwa relasi antara bekas penjajah dan bekas terjajah dapat ditransformasikan ke dalam gagasan tentang New Eden atau Eden yang baru. New Eden menjadi acuan bagaimana dunia, atau bumi Karibia, yang rusak akibat hancurnya relasi antar-manusia, harus dibenahi lagi. Were it not for the war he might have loved the place; …. The fields were prosperous and lied of peace (78—79). Pada masa kolonialisme kawasan Karibia sangat menarik bagi bangsa-bangsa Eropa yang pada kala itu gemar mencari daerah-daerah jajahan untuk dijadikan koloni, terutama untuk kepentingan ekonomi. Demi maksud tersebut banyak hal dilakukan, termasuk menghancurkan relasi kemanusiaan, dan sejarah telah mencatat bahwa hampir sebagian besar penduduk lokal dimusnahkan dan banyak orang dari daerah koloni di Afrika dan Asia dijadikan budak dan pekerja kasar. Ketidakberdayaan masyarakat terkoloni semakin mempertajam hancurnya relasi kemanusiaan. Namun demikian, dalam proses dekolonisasi ketika kesadaran masyarakat terkoloni atau terjajah tumbuh ada kemauan dan harapan dalam diri mereka untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Kesadaran untuk melakukan perubahan terus hadir menjadi semangat mereka untuk memperbaiki

50 Penebalan dalam kutipan tersebut di atas demi kepentingan untuk membedakan antara pemakaian dua bahasa yang berbeda, meskipun di dalam teks Omeros hal ini tidak terjadi demikian.

154

diri. Teks Omeros mengetengahkan bahwa semangat untuk memulai perubahan menjadi kunci pembukanya, karena kejahatan terparah manusia ialah tidak melakukan apa pun (150). Konsepsi Eden baru, yang menghadirkan kembali Eden dalam bentuk yang lain, atau yang ber-transformasi (Ashcroft, 2001: 2), menjadi metafora yang sangat menarik bagi dunia poskolonialitas karena di sini pihak yang pernah menderita, atau the colonized, berubah menjadi pihak subyek, yang mengawali terjadinya perubahan. Bagi Walcott (1992: 300-301), manusia yang menderita harus berani mengubah kondisinya dengan menjadi inisiator, termasuk memperbaiki relasi dengan penyebab penderitaannya. Permusuhan masa lalu, yang menempatkan Adam sebagai obyek, hanya mengakibatkan penderitaan baginya, sehingga perubahan sikap untuk berani menjadi subyek yang memulai perubahan adalah harapan akan hadirnya kebaikan bagi kondisinya. Dalam konteks ini New Eden dilihat sebagai paradigma poskolonialitas. Sebagai generasi baru, yang juga dilengkapi dengan kondisi tercerabut dan diaspora, merupakan alasan kuat bahwa masyarakat Karibia kini bukanlah masyarakat masa lalu, dan mengungkit-ungkit masa lalu untuk menyesali kehancuran hanya mendatangkan sesuatu yang tak bermanfaat bagi kehidupan yang masih segar. For those to whom history is the presence of ruins, there is a green nothing (192). Sejarah memang sudah terjadi dan tidak mungkin lagi diulang atau diputar kembali, tetapi senantiasa meratapi kehidupan masa lalu tanpa melakukan perubahan yang lebih bermanfaat bagi masa depan berarti menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri.

Penutup

Teks puisi epik Omeros, karya Derek Walcott, hadir menyuarakan kegelisahan masyarakat Karibia yang haus akan kebebasan dan kemerdekaannya. Strategi unik