• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN FUNGSIONALISME DALAM TERJEMAHAN Harris Hermansyah Setiajid

(Universitas Sanata Dharma Yogyakarta – Indonesia)

Abstrak: Dewasa ini semakin banyak akademisi penerjemahan menganggap produk terjemahan sebagai entitas otonom yang terpisah dari karya “asli” yang diterjemahkan. Terjemahan layak menempati posisi “karya asli”, bukan lagi turunan kedua. Pandangan ini diperkuat oleh semakin banyaknya karya terjemahan yang melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap budaya sasaran (target culture), untuk mempersempit lebarnya kesenjangan dan menaturalisasi konten-konten yang mungkin dianggap sensitif bagi budaya sasaran.

Pendekatan yang “ramah budaya sasaran” ini dipelopori oleh Reiss yang menyebutnya sebagai pendekatan fungsionalisme. Pada awal kemunculannya, pendekatan ini dianggap menyimpang dari teori-teori terjemahan lama yang menekankan kesetiaan pada bahasa sumber. Dalam pendekatan fungsionalisme, keakuratan terjemahan tidak lagi diukur dari tingginya “kesetiaan” pada bahasa sumber, tetapi dari tingkat keberterimaan terjemahan oleh pembaca sasaran.

Makalah ini mencoba mengeksplorasi bagaimana pendekatan fungsionalisme bekerja dan diterapkan dalam terjemahan. Pendekatan fungsionalisme dalam makalah ini digambarkan dengan membandingkan teks sumber dan teks sasaran untuk menunjukkan “keakuratan” terjemahan dilihat dari perspektif fungsionalisme.

Kata kunci: pendekatan fungsionalisme, bahasa sumber, bahasa sasaran Pengantar

Penerjemahan acapkali dianggap sebagai pekerjaan sederhana memindahkan satu bahasa ke bahasa lainnya. Yang sering dilupakan dan tidak terlihat adalah bagaimana proses menerjemahkan itu terjadi di dalam benak seorang penerjemah. Pengambilan keputusan untuk memilih suatu istilah di antara banyak pilihan dilakukan berdasarkan, antara lain, latar belakang penerjemah, tujuan penerjemahan, dan pembaca sasaran. Proses yang rumit ini tidak terjadi di ruang hampa, namun penuh dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Seperti yang dikatakan Hatim dan Munday, “...the focus [of translation] has broadened far beyond the mere replacement of SL [Source Language] linguistic items with their TL [Target Language] equivalents” (2004: 6).

Fokus penerjemahan tidak hanya mengalihkan bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Pengaruh berbagai kepentingan ini menjadikan terjemahan tidak lagi sekadar kegiatan kebahasaan yang netral. Namun, hal itu tidak terlihat dalam produk terjemahan, karena pembaca hanya menilai terjemahan dari sisi apakah terjemahan tersebut enak dibaca atau tidak.

Pendekatan terjemahan seperti yang ditawarkan Newmark dalam Diagram V-nya berikut ini menunjukkan kontinum terjemahan dari SL-heavy (menekankan BSu) hingga TL-heavy (menekankan pentingnya BSa) (Newmark, 1989: 16):

177

Penekanan BSu Penekanan BSa

Word-for-word Adaptation Literal translation Free translation

Faithful translation Idiomatic translation Semantic/communicative translation

Sementara ada pendekatan terjemahan yang menekankan pada pentingnya pembaca sasaran sebagai fokus utama dalam pengambilan keputusan. Pendekatan tersebut kemudian berkembang dan banyak diterapkan karena bisa mengakomodasi kesenjangan yang terjadi antara teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa).

Pendekatan fungsionalisme dalam terjemahan

Dipelopori oleh Katharina Reiss, pendekatan fungsionalisme ini awalnya berangkat dari konsep ekivalensi-nya Nida (1970) yang preskriptif. Reiss menekankan pentingnya situasi komunikatif yang terjadi di budaya TSa (Reiss, 1971: 113-114). Menurutnya, sebuah teks harus bisa memenuhi keinginan pembaca TSa tanpa menimbulkan gejolak yang mengakibatkan tujuan terjemahan tidak tercapai. Walaupun pendekatan yang ditawarkan Reiss ini sudah mencoba terlepas dari pendekatan yang preskriptif seperti pada periode-periode sebelumnya, dalam praktiknya ekivalensi yang bersifat korespondensi satu-satu terkadang masih menjadi fokus utama.

Pendekatan fungsionalisme ini kemudian dikembangkan oleh Reiss dan Vermeer dengan memperkenalkan teori mereka yang disebut sebagai skopos theory (skopos berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘tujuan’). Dalam buku mereka yang berjudul Groundwork for a General Theory of Translation, Reiss dan Vermeer menyatakan bahwa “...a translatorial action which is based on an ST, which has to be negotiated and performed and which has a purpose and a result” (Reiss dan Vermeer, 1984: 228). Bahwa tindakan penerjemahan yang didasarkan pada BSu, yang harus dinegosiasikan dan dilaksanakan, harus punya tujuan dan hasil. Teori skopos mementingkan tujuan terjemahan yang secara hipotetis bahkan harus mengatasi segala hambatan yang mungkin terjadi ketika produk dihasilkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Sebagai contoh, ketika seorang penerjemah harus menerjemahkan sebuah cerita yang mengisahkan persahabatan seorang anak dengan anjingnya, ia harus memerhatikan pembaca sasaran terjemahannya. Apakah pembaca sasaran bisa menerima gambaran kedekatan anak dan anjing yang sedemikian akrab, atau menganggap hal tersebut sebagai kenajisan, karena bagi sebagian agama anjing dianggap sebagai binatang najis.

Penerjemah harus pula mengetahui tujuan terjemahannya. Apakah terjemahan tersebut untuk menggambarkan keakraban antara manusia dan hewan, sehingga jenis binatang bisa diubah agar bisa diterima pembaca sasaran, atau justru terjemahan tersebut dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap anjing sebagai binatang najis. Mengetahui tujuan penerjemahan akan membantu penerjemah mengambil keputusan di tengah berbagai pilihan yang tersedia.

Dalam pendekatan fungsionalisme, keakuratan terjemahan dimaknai bukan lagi sebagai ketepatan atau kesamaan secara tektual, namun lebih pada pemaknaan kontekstual situasi TSa. Artinya, penerjemahan direkayasa sedemikian rupa agar bisa diterima dengan baik oleh pembaca TSa. Sebagai contoh, pada teks yang mengandung pornografi, agar teks terjemahan bisa diterima oleh pembaca teks sasaran, unsur pornografi bisa dihilangkan, seperti contoh berikut ini:

178

No Teks Sumber No Teks Sasaran

1/ST/171 I felt her tongue against my own, conscious of the way her body was responding, and breathed deeply as her fingers began to drift toward the snap on my jeans. When I slid my hands lower, I realized that she was naked beneath the shirt.

1/TT/245 Aku merasakan lidahnya mendesak lidahku, sadar akan reaksi tubuhnya, dan bernapas keras saat jemarinya mulai bergerak ke arah kancing jinsku. Saat tanganku meluncur turun, aku menyadari bahwa dia telanjang di balik kausnya.

Keterusterangan dalam terjemahan tersebut di atas akan menimbulkan masalah jika pembaca sasaran tidak menginginkan elemen-elemen pornografi. Pendekatan fungsionalisme bisa menegosiasikan kesenjangan keinginan tersebut dengan mengubah terjemahan menjadi seperti berikut ini

Teks Sumber Teks Sasaran A Teks Sasaran B

I felt her tongue against my own, conscious of the way her body was responding, and breathed deeply as her fingers began to drift toward the snap on my jeans. When I slid my hands lower, I realized that she was naked beneath the shirt.

Aku merasakan sensasi itu dari Savannah. Semua jelas kini bahwa aku menyimpan rasa itu ketika ia mulai mendekat dan aku mulai merasakan

kehangatan yang menggetarkan.

Tubuh Savannah yang mendekatiku dengan kehangatannya, dan dengus napasnya yang

melambungkanku membuatku berani membalasnya dengan menyentuh tubuhnya yang halus.

Kedua teks sasaran berusaha ‘menyembunyikan’ kevulgaran yang ada di teks sumber. Dalam derajat yang berbeda, teks sasaran A dianggap lebih ‘sopan’ dibandingkan teks sasaran B. Teks sasaran A dan B diterjemahkan dengan menggunakan pendekatan fungsionalisme, dengan mempertimbangkan pembaca sasaran yang memiliki budaya yang tidak mengizinkan unsur-unsur pornografi ditampilkan secara vulgar.

Nord dalam bukunya Translating as a Purposeful Activity menawarkan model yang lebih luwes dalam menerapkan pendekatan fungsionalisme. Ia menggarisbawahi “three aspects of functionalist approaches that are particularly useful” (1997: 59). Tiga aspek pendekatan fungsionalisme tersebut adalah:

1. pentingnya ‘instruksi terjemahan’ (translation brief, menurut istilah Nord); 2. peran analisis teks sumber;

3. hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan. Pentingnya instruksi terjemahan

Nord menekankan bahwa penerjemah harus membandingkan profil TSu dan TSa terlebih dahulu sebelum mulai menerjemahkan. Instruksi terjemahan harus menginformasikan: (1) tujuan teks, (2) pembaca sumber dan pembaca sasaran, (3) waktu dan tempat teks tersebut dibaca, (4) media yang digunakan, (5) motif (mengapa TSu ditulis dan mengapa harus diterjemahkan). Informasi tersebut diperlukan untuk membantu penerjemah memprioritaskan hal yang harus disampaikan dalam TSa (Nord 1997: 59–62).

179 Pentingnya analisis teks sumber

Setelah profil kedua teks dipetakan, TSa selanjutnya dianalisis untuk mencari strategi terjemahan yang tepat. Faktor-faktor yang ditawarkan Nord untuk menganalisis TSa adalah intratekstual, yaitu analisis pragmatic dalam situasi komunikatif yang terjadi (Nord 1997: 62).

Pentingnya hierarki fungsional dalam masalah-masalah terjemahan

Berikut ini hierarki fungsional yang ditawarkan Nord ketika penerjemahan dilakukan: (1) fungsi terjemahan harus dinyatakan secara jelas, (2) elemen-elemen fungsional yang perlu diadaptasi dalam TSa harus ditentukan, (3) tipe terjemahan menentukan gaya terjemahan, (4) masalah-masalah kebahasaan yang muncul diatasi dalam tataran kebahasaan yang lebih rendah (Nord 1997: 62)

Menegosiasikan kesenjangan dengan pendekatan fungsionalisme

Berikut ini disajikan bagaimana pendekatan fungsionalisme diterapkan dalam menerjemahkan sebuah teks.

Teks diambil dari buku Bruce Feiler tentang Abraham.

Instruksi terjemahan adalah sebagai berikut:

Dari dua instruksi tersebut di atas, terlihat bahwa pembaca sasaran beragama Nasrani. Namun, terlihat perbedaan dalam tujuan terjemahan. Hasil terjemahan teks dengan menggunakan Instruksi 1 adalah sebagai berikut:

Three religions recognize Abraham as the Father of heaven religions, namely Judaism, Christianity, and Islam. Abraham is the place where the differences meet. He is also the source of the unending conflict between Jews and Moslem. Abraham is also known for his unconditional obedience to God, when he was tested by God: he had to slaughter his beloved son, Isaac, to prove his loyalty to God. (Feiler, 2005: 56)

Instruksi 1

Pembaca sasaran beragama Nasrani Teks diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia dan bisa diterima oleh pembaca

Terjemahan bertujuan

menunjukkan kepatuhan manusia

Instruksi 2

Pembaca beragama Nasrani Teks diterjemahkan untuk keperluan

kuliah perbandingan agama Terjemahan bertujuan menunjukkan

kisah Abraham dalam versi agama Islam

Versi 1

Tiga agama mengakui Abraham sebagai Bapak agama wahyu. Agama-agama tersebut adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Abraham menjadi titik temu dari segala perbedaan yang ada. Namun, beliau juga merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara agama Yahudi dan Islam. Abraham terkenal akan ketaatannya kepada Allah. Pada suatu ketika Abraham diuji oleh Allah: beliau harus menyembelih Ishak, putra kesayangannya, sebagai korban persembahan, bukti kesetiaan kepada Allah.

180

Bandingkan dengan hasil terjemahan menggunakan Instruksi 2:

Perbedaan terlihat nyata antara Versi 1 dan Versi 2. Walaupun dengan pembaca yang sama, terjemahan menjadi sangat berbeda karena tujuan terjemahan berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut menyangkut konteks dan peristilahan, yang bisa dilihat dalam tabel berikut ini:

Versi 1 Versi 2

Abraham Ibrahim

Agama wahyu Agama samawi

Allah Allah SWT

Ishak Ismail

Perbedaan yang terjadi disebabkan karena kisah Ibrahim versi Islam dan Kristen sangat berlawanan, terutama terkait dengan sosok putra yang dikorbankan Ibrahim. Agama Kristen mengakui Ishaklah sosok tersebut, sementara agama Islam menyatakan bahwa Ismail adalah putra yang dikorbankan Ibrahim. Perbedaan yang tajam tersebut bisa menjadi konflik jika penerjemah tidak berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.

Pendekatan fungsionalisme dengan instruksi terjemahan yang mementingkan tujuan dan pembaca sasaran terjemahan mampu menegosiasikan kesenjangan perbedaan tersebut sehingga teks terjemahan bisa diterima pembaca. Jika pendekatan preskriptif yang menekankan pada kesesuaian satu-satu diterapkan, nama ‘Isaac’ akan diterjemahkan menjadi ‘Ishak’, tak peduli siapa pun pembaca sasaran dan tujuan terjemahan.

Pendekatan fungsionalisme ini mampu meredam berbagai potensi konflik dan ketidakberterimaan pembaca akibat terlalu penerjemah terlalu terpaku pada pendekatan terjemahan yang preskriptif. Akan tetapi, bisa pula terjadi, pendekatan fungsionalisme ini disalahgunakan untuk memanipulasi terjemahan dengan memasukkan isi-isi tertentu yang kadang tidak terdapat dalam TSu. Hal itu pernah terjadi dalam kasus penerjemahan biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams berjudul Soekarno: Autobiography as Told to Cindy Adams.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, terdapat paragraf-paragraf tambahan yang tidak ada dalam TSu. Paragraf-paragraf tersebut ditambahkan untuk kepentingan politik penguasa Orde Baru guna menimbulkan kesan konflik terjadi antara dwitunggal Soekarno-Hatta.

Versi 2

Tiga agama mengakui Nabi Ibrahim sebagai Bapak agama samawi. Agama-agama tersebut adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada Nabi Ibrahimlah segala persamaan di antara perbedaan bermuara. Beliau merupakan pangkal dari segala perseteruan bebuyutan antara agama Yahudi dan Islam. Nabi Ibrahim juga terkenal akan ketaatannya kepada Allah SWT. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah SWT: beliau harus menyembelih Ismail, putra kesayangannya, sebagai korban persembahan, bukti kesetiaan beliau kepada Allah SWT.

181

Paragraf tambahan, yang diklaim diucapkan Bung Karno, tersebut adalah

“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta!’ Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.” (Adam, 2008).

Dalam kasus tersebut, selain melanggar etika terjemahan, penambahan paragraf yang tidak ada dalam TSu juga menyalahi penerapan pendekatan fungsionalisme, walaupun mungkin tujuan penerjemahan yang ditetapkan penguasa Orde Baru adalah untuk memecah belah dwitunggal.

Penutup

Pendekatan fungsionalisme bisa mengatasi kesenjangan perbedaan yang terjadi antara TSu dan TSa agar teks bisa diterima pembaca sasaran. Pendekatan fungsionalisme yang berorientasi pada pembaca sasaran ini memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan leksikal dan konteks agar tercapai situasi komunikatif yang berterima bagi budaya pembaca sasaran. Meskipun demikian, penambahan isi yang berbeda dengan maksud TSu, tidak diizinkan dalam pendekatan fungsionalisme.

Daftar Rujukan

Adam, Asvi Warman Adam. “Kasus Biografi Soekarno”. KOMPAS, 12 Juni 2008. Hatim, Basil dan Jeremy Munday. Translation: An Advanced Resource Book. London:

Routledge, 2004.

Feiler, Bruce. Abraham: A Journey to the Heart of Three Faiths. New York: William Morrow Paperbacks, 2005.

Newmark, Peter. Approaches in Translation. Manchester: St. Jerome, 1989.

Nord, C. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist Approaches Explained. Manchester: St Jerome, 1997.

Reiss, K. and H. Vermeer. Groundwork for a General Theory of Translation. Tübingen: Niemeyer, 1984.

Reiss, K. Translation Criticism: Potential and Limitations. Diterjemahkan E. Rhodes. Manchester: St Jerome and American Bible Society, 1971.

Sparks, Nicholas. Dear John. Translated by Barokah Ruziati. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

182