SASTRA
DAN
SOLIDARITAS BANGSA
Penyunting:
Stella Rose Que
Falantino Eryk Latupapua
Diterbitkan oleh
Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia
Komisariat Daerah Ambon
ii
SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA
Penyunting : Stella Rose Que
Falantino
Eryk
Latupapua
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit HISKI AMBON.
Cetakan I: Desember 2015
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit HISKI AMBON, Ambon.
Penerbit
HISKI AMBON
Jl. Dr. Tamaela Kampus PGSD
Universitas Pattimura Ambon
Telp. 08114711180
e-mail: hiskiambon@yahoo.com
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SASTRA DAN SOLIDARITAS BANGSA
Cetakan I: Ambon: Penerbit HISKI AMBON, 2015
xii + 510 hlm; 170 x 245 mm
ISBN: 978-602-1048-82-5
1. Sastra dan Solidaritas Bangsa I. Judul
II. Stella Rose Que & Falantino Eryk Latupapua (eds.)
iii
Kata Pengantar
Salam sastra!
Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kami menerbitkan
buku Sastra dan Solidaritas Bangsa yang merupakan kumpulan tulisan yang telah
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan Hiski XXIV sekaligus Musyawarah Nasional Hiski ke-10, Tahun 2015 yang bertempat di Universitas Pattimura Ambon dengan tema “Sastra dan Solidaritas Bangsa”.
Menjadi penyelenggara kegiatan ilmiah dengan tema yang sungguh terasa amat luhur ini merupakan suatu kehormatan besar bagi kami. Hal itu disebabkan denyut sastra di sini telah semakin terasa menggetarkan generasi baru kami dalam suatu perarakan nilai dan makna, kembali kepada akar budaya, dan identitas yang Maluku sejati, yang berbalut persaudaraan, persatuan, dan tentu saja solidaritas dalam hidup yang damai dan saling menerima.
Penyelenggaraan Konferensi serta terbitnya buku ini merupakan hasil kerja sama panita dengan Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Universitas Pattimura, dan dukungan Pengurus Pusat Hiski, maupun pihak-pihak lain yang turut memberikan kontribusi baik material maupun moral. Atas kerja bersama yang luar biasa, kami merasa perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku, Rektor Universitas Pattimura, Walikota Ambon, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Ambon, Dekan FKIP Universitas Pattimura, Pengurus Hiski Pusat, dan segenap kerabat, rekan kerja, dan pihak mana pun yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk bersama-sama memikirkan maupun mengerjakan berbagai hal terkait pelaksanaan konferensi ini.
Akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang mungkin ditemukan. Semoga apa yang kami lakukan bisa memberi arti penting bagi dinamika kesusastraan di Maluku, di Indonesia, maupun di dunia, bagi kelangsungan hidup dalam persatuan, kesatuan, dan perdamaian antarsesama manusia, antarsesama anak bangsa.
Ambon, Desember 2015
Daftar Isi
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi ... iv
Sekapur SirihRektor Universitas Pattimura ... ix
viii
Sutrisna Wibawa, Endang Nurhayati, Marwanti, Venny Indria E., Avi Meilawati
REVITALISASI DAN REAKTUALISASI MAKANAN TRADISIONAL JAWA
DALAM SERAT CENTHINI……….. 442
Suwardi Endraswara
ANTROPOLOGI SASTRA WAYANG PEMBANGKIT SOLIDARITAS SOSIAL SEBUAH PENCERMATAN LAKON WAHYU PADA BERSIH DESA………….. 454
Thera Widyastuti
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM Неделя Как и Любой Другой/ SEMINGGU SEPERTI MINGGU YANG LAINNYA KARYA NATALYA BARANSKAYA……….. 463
Trisnowati Tanto
LANGUAGE PLAY AS J. K. ROWLING’S STYLE OF WRITING IN HARRY
POTTER AND THE PHILOSOPHER’S STONE……… 472
Wedhowerti
ENHANCING STUDENTS’ AWARENESS OF LISTENING TO OTHERS THROUGH
TEACHING THEM ON THE FIVE WAYS OF READING LITERATURE……… 478
Wenda M Kakerissa, Eugenie Mainake, Ayu Aprilya S. Abdullah
STUDENTS’ PERCEPTIONS OF USING DRAMA IN ENGLISH LANGUAGE TEACHING (A SURVEY ON ACADEMIC YEAR 2014/2015 DRAMA COURSE OF ENGLISH DEPARTMENT AT PATTIMURA UNIVERSITY)……… 484
Widyastuti Purbani
TEMA-TEMA GELAP DALAM LIMA KARYA SASTRA ANAK BERBAHASA INGGRIS SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN ANAK……….. 494
Wiyatmi
PULAU BURU DAN TAHANAN POLITIK DALAM MEMORI SASTRA
INDONESIA: MEMBACA AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK DALAM
PERSPEKTIF NEW HISTORICISM……… 502
Elisa Dwi Wardani, S.S., M.Hum.
ix
Sekapur Sirih
Rektor Universitas Pattimura
Pertama-tama, marilah kita mensyukuri kebesaran Tuhan yang memberikan kita kekuatan, kesehatan, waktu, dan hikmat, sehingga perhelatan ilmiah internasional yang
melahirkan buku Sastra dan Solidaritas Bangsa ini telah berlangsung dengan sukses.
Sebagai pimpinan Universitas Pattimura, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu sekalian yang sungguh-sungguh merupakan keuntungan besar bagi institusi ini secara khusus, maupun pergerakan dan dinamisasi kesusastraan dan kebudayaan di Provinsi Seribu Pulau ini.
Terpilihnya Universitas Pattimura oleh pengurus Hiski Pusat dalam Konferensi Internasional sebelumnya di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap Universitas Pattimura dan Pengurus Hiski Komisariat Daerah Ambon yang selama ini telah bersinergi dengan instansi-instansi lain, yakni Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Kantor Bahasa Provinsi Maluku, dan kelompok-kelompok praktisi kesusastraan di daerah ini, dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kesusastraan di Maluku. Hingga saat ini, kerja sama baik tersebut telah memberi dampak yang besar, baik dalam ranah akademik, maupun pada ranah praktikal.
Pada tahun 2014 yang lalu, kami melaksanakan Seminar Nasional Kebahasaan dan Kesusastraan I. Sebelumnya, beberapa tokoh penting dalam dunia sastra di Indonesia dan di Asia Tenggara, misalnya D. Zawawi Imron, Seno Gumira Ajidarma, Prof. Muhammad Haji Saleh, dll., telah hadir di Universitas Pattimura dan melakukan hal-hal yang konstruktif bagi lembaga ini. Demikian pula partisipasi para dosen dan penelitian kami dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat level lokal, nasional, maupun internasional semakin terasa meningkat pada akhir-akhir ini. Selain itu, partisipasi mahasiswa Universitas Pattimura dalam festival-festival seni sastra nasional, semisal Peksiminas, semakin didorong dan digalakkan untuk mencapai prestasi maksimal. Dalam Pekan Seni Mahasiswa di Lombok dan di Palangkaraya, mahasiswa Universitas Pattimura berhasil meraih juara pertama dalam Lomba Cipta Puisi. Beberapa dosen kami yang sekaligus merupakan penyair Indonesia asal Maluku
telah ikut membina lahirnya antologi puisi Biarkan katong Bakalai dan Pemberontakan
dari Timur yang monumental sebagai tonggak kebangkitan kesusastraan di Maluku. Inilah bukti nyata peran aktif perguruan tinggi dalam membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Bahasa dan sastra dalam bingkai kebudayaan, menurut hemat saya, merupakan bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat. Masyarakat yang berperadaban tinggi, menghargai nilai-nilai luhur, dan mampu secara sinergis membangun dinamika kemanusiaan dalam perdamaian dan kesetaraan, tidak akan terbentuk tanpa bahasa, sastra, dan budaya. Di sinilah kita dapat melihat betapa pentingnya sastra bagi kelangsungan kehidupan di dunia yang kita diami bersama. Oleh sebab itu, Universitas Pattimura telah lama ikut mendorong terlaksanananya berbagai pertemuan dan kegiatan serupa yang terkait dengan kebijakan pengembangan
x
pada asas bina mulia kelautan sebagai bagian dan visi dan misi Universitas Pattimura. Sejak dua tahun terakhir, Universitas Pattimura telah melakukan upaya merintis pendirian Fakultas Ilmu Budaya yang akan menjadi pusat aktivitas ilmiah di mana kajian-kajian bahasa dan sastra inheren di dalamnya. Semoga rencana tersebut dapat segera terwujud dan peran aktif Universitas Pattimura dalam pembangunan kebudayaan di Indonesia akan semakin dikenal dan diakui.
Saya mengucapkan selamat dan sukses kepada pengurus Hiski Pusat maupun pengurus Hiski Komisariat Ambon atas pelaksanaan Konferensi Internasional
Kesusastraan XXIV dan Munas X, serta terbitnya buku Sastra dan Solidaritas Bangsa
ini, seraya berharap kerjasama ini akan terus digiatkan dalam kegiatan-kegiatan lain di waktu mendatang. Terima kasih yang setinggi-tingginya saya ucapkan kepada Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, beserta seluruh SKPD atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama kegiatan ini berlangsung.
Pada akhirnya, saya memohon maaf atas segala kekurangan yang mungkin ditemukan selama penyelenggaraan konferensi. Selamat dan sukses untuk Hiski dan semoga buku ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa dan negara.
Ambon, Desember 2015
Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si.
xi
Sambutan Kepala Kantor Bahasa
Provinsi Maluku
Penerbitan makalah peserta seminar yang berada di tangan pembaca ini merupakan bagian dari upaya Kantor Bahasa Provinsi Maluku dalam mengembangkan sastra, khususnya di Maluku. Mengingat bahwa perkembangan sastra di Provinsi Maluku saat ini belum terlalu menggembirakan. Hal ini ditandai oleh beberapa kenyataan, yaitu sedikitnya peran penerbit dan pers dalam pemuatan karya sastra dan penyebarluasannya, kurangnya kesadaran dan tanggung jawab pengayom sastra, baik dari pemerintah maupun nonpemerintah, terhadap pelestarian dan perkembangan sastra, dan kurangnya kepedulian pengayom sastra kepada pemerhati, pelestari, dan penggiat sastra. Oleh karena itu, Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai salah satu pengayom sastra di provinsi ini berusaha untuk membina dan mengembangkan sastra, salah satunya adalah dengan mendukung kegitan seminar Hiski yang diselenggarakan oleh Universitas Pattimura dan menerbitkan makalah peserta seminar. Hal itu dilakukan dengan harapan ke depan perkembangan sastra akan semakin baik dan tentu menggembirakan, terutama di Maluku.
Penerbitan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bacaan yang bernutu dan juga untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sastra dan kritik sastra. Makalah yang diterbitkan ini tentu akan berdampak dan akan dirasakan oleh generasi muda Indonesia di masa mendatang. Tentu, karena sastra dan kritik sastra sudah tertanam dan tumbuh di lingkungan kita dan menjadi elemen penting dalam menggerakkan pembangunan.
Dalam kesempatan ini, kami atas nama Kantor Bahasa Provinsi Maluku mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada para pemakalah, panitia penyelenggara seminar, dan tim penerbitan yang telah bekerja keras hingga buku ini dapat terwujud dan sampai ke tangan pembaca. Selamat membaca dan menikmati makalah yang sudah ada di tangan pembaca ini. Semoga karya-karya ilmiah yang dibukukan dalam bentuk prosiding ini menjadi inspirasi bagi munculnya berbagai wawasan dan temuan baru yang berguna bagi perkembangan ilmu sastra di masa depan.
Ambon, Desember 2015
Toha Machsum, M.Ag.
1
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NYALI KARYA PUTU WIJAYA PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
Adi Setijowati
(Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga – Indonesia)
Kekerasan selalu terjadi berulangkali, menyebabkan banyak korban. Kekerasan terutama berupa kekerasan fisik namun selalu didahului oleh kekerasan psikologis dan simbolik. yang sering tidak disadari. Kekerasan selalu berhubungan dengan kekuasaan.Karya sastra dapat membantu menyumbangkan pemikiran dalam mengungkap kekerasan simbolik yang antara lain berupa cara pikir, bahasa, lalu dimaknai dalam bentuk refleksi filosofis .
Tujuan penelitian ini adalah mengungkap narasi dan kekerasan simbolik, dalam Nyali (1983) karya Putu Wijaya, untuk mengungkapkan korban dan pelaku kekerasan simbolik dengan memakai pendekatannaratif, dan perspektif hermeneutika Paul Ricoeur.
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa karya sastra dapat menyodorkan paradigma kehidupan alternatif lewat bahasa. Makna teks tidak lagi tergantung pada
pengarangnya. Arena kekuasaan dalam Nyali ditemukan ada empat lapis tentara dengan
empat tingkatan yang masing-masing punya tataran hirarki yang berbeda. Peleburan
horizon harapan menghasilkan kritik ideologi tentang militer/tentara. Dalam Nyali
ditemukanbentuk dekonstruksi kekerasan simbolik pada tentara yaitu perlunya transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama masalah-masalah kekerasan simbolik pada dunia militer/tentara yang harus diangkat dan dikaji
secara terbuka. Dari tokoh-tokoh Nyali, Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap
bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan bahkan tidak menyangka bahwa mereka dikuasai atasannya.Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam ungkapan yang khas yaitu Nasionalisme, dengan membuka sebanyak mungkin potensi civil society dan tidak dimonopoli oleh negara. Sedangkan dalam analogi permainan yang menuntut pengambilan jarak yang positif tentang kekerasan simbolik
menghasilkan kreativitas dalam Game OnLine.
Kata Kunci: kekerasan, kekerasan simbolik, tentara, karya sastra, hermeneutika
Pendahuluan
Watak Sastra senantiasa menelusuri ruang-ruang dalam kehidupan yang bersifat situasional dan kontekstual maka, sastra akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi ciri watak karya sastra yaitu sejarah dan otokritik. Sastra perlu hadir dalam membuka dialog dengan berbagai ideologi dan arus pemikiran. Dialog–dialog itu akan tampak dalam percaturan-percaturan politik bangsa. Kekuasaan yang meniadakan kebudayaan dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu saja membuat situasi masyarakat terjebak pada kondisi paranoia. Dalam konteks inilah sastra perlu untuk menciptakan ruang dialog. Dialog-dialog yang ada sekarang ini hadir penuh dengan prasangka-prasangka. Sastra sebenarnya membuka ruang dalam meraih martabat,
2
sebuah ruang untuk mengukur diri dalam pencarian kesadaran bahwa sebuah kebenaran
tidak hanya tunggal.1
Meraih sebagai manusia bermartabat kadang tergantung pada situasi politik. Kestabilan maupun ketidakstabilan politik banyak terkait dengan kekerasan. Semua kekerasan tidak terjadi dengan sendirinya. Kekerasan adalah tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam beragam bentuk: fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Kekerasan juga berhubungan dengan penggunaan kekuatan, manipulasi, wacana, fitnah, pemberitaan yang tidak benar,
pengkondisian yang merugikan, penghinaan atau kata-kata yang memojokkan2.
Logika kekerasan menyebabkan jatuhnya korban dapat melukai tubuh, merugikan psikologis korban, memaksa korban patuh, mengancam integritas pribadi korban. Pembicaraan tentang kekerasan menarik perhatian sepanjang sejarah manusia. Yang membicarakannyapun sudah sangat banyak baik dari ahli filsafat klasik hingga kontemporer. Namun demikian sampai sejauh ini belum ada kesepakatan yang bersifat umum tentang penyebab akar kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Kekerasan adalah perilaku yang melibatkan kekuatan fisik yang direncanakan untuk merusak, melukai, atau membunuh seseorang atau sekelompok orang (Colombijn,
2002:3)3. Jadi, kekerasan pada umumnya dimengerti sebagai sebuah tindakan yang
melukai, merusak, dan menghancurkan lingkungan. Kekerasan ini lebih mengarah ke kekerasan fisik. Kekerasan fisik banyak memakan korban kematian, yang paling banyak adalah korban kekerasan karena perang.
Persoalan politik kekerasan dapat saja menjadi tema utama karya sastra karena karya sastra memang tidak pernah lepas dari gambaran nyata lingkungannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui keadaan politik suatu era, sastra dapat berbicara. Politik kekerasan yang tergambar dalam sastra biasanya menyangkut pada masalah sosialisasi politik dan kebudayaan politik, ciri-ciri sosialisasi politik dan rangkaian pendapat, sikap, serta keyakinan itu lah yang sesungguhnya menjadi bagian dari kebudayaan politik
masyarakat. Salah satu pendapat yang menyokong kebudayaan politik4 masyarakat
adalah dari suara karya sastra.
Jenis kekerasan yang sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena bentuknya sangat halus tidak terlihat korbannya. Kekerasaan simbolik pada dasarnya melibatkan komunikasi dan pengetahuan. Komunikasi dan pengetahuan ini adalah murni simbolik (Bourdieu, 2010: 2). Kekerasan itu dilakukan dengan cara penghinaan, pengakuan atau pada batas
1Halim HD menulis dalam rubrik esei dalam Kompas, 12 Juli 205, tentang sastra dan martabat,
yang menjelaskan peran sastra sekarang ini yang diacuhkan oleh penguasa, dialog sekarang ini tidak tumbuh yang kian gencar adalah prasangka yang membanjiri ruang media sosial dan virus paranoia yang berbiak kemana-mana.
2Etika komunikasi tulisan Haryatmoko,2007. Hlm 135-136. Yogyakarta: PT Kanisius.
3 Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden: KITLV.
Menunjukkan contoh kekerasan secara langsung.
4 Budaya politik ada 3 macam : budaya politik parokial, budaya politik subjek dan budaya politik
partisipan. Budaya politik parokial mengarah pada ciri apatis masyarakat dan pengetahuan politik rendah, masyarakat tidak peduli, dan menarik diri. Sedangkan budaya subjek, masyarakat nya sudah maju akan tetapi partisipasi masih pasif. Budaya politik partsipatif, masyarakat sudah ikut berpartisipasi aktif dalam proses politik. Munculnya demonstrasi menandai partisipasi aktif warganya. Karya sastra dapat menjadi bagian pendidikan budaya politik masyarakat, bagi pembaca yang menyadarinya.
3
tertentu, dengan cara-cara mengungkapkannya yang bersifat simbolik. Dalam relasi sosial antara pihak yang didominasi dan yang mendominasi merupakan peluang untuk mengetahui bahasa atau sesuatu yang diucapkan, sebuah gaya hidup yang berupa cara pikir, cara bicara, dan cara bertindak. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, tidak terasa dan tidak terlihat korbannya. Kekerasan yang dikenakan pada pelaku-pelaku sosial tanpa mengundang resistensi atau perlawanan. Sebaliknya malah mengundang persetujuan karena mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna, dan sistem simbolis para pemilik kekuasaan secara sadar ditanamkan dalam bentuk individu-individu lewat mekanisme yang tersembunyi (Takwin, 2009: xxi- xxii, Bourdieu, 1994:7).
Karya sastraNyali(1983) karya Putu Wijaya yang dipilih dibicarakan dengan
pertimbangan: (1) karya tersebut lolos dari daftar buku terlarang5; (2) karya tersebut
menggambarkan wacana kekerasan simbolik yang dilakukan oleh penguasa. Karya tersebut melakukan perlawanan terhadap penguasa yang menimbulkan banyak korban yang tidak disadari sebagai korban di masyarakat. Terutama berhubungan dengan isue-isue OTB (organisasi tanpa bentuk), jurang kemiskinan dan orang kaya, korban kerusuhan dan teror, yang semuanya diarahkan pada pembelaan orang tertindas. (3) karya tersebut memiliki kaitan dengan kekerasan simbolis yang erat kaitannya dengan
sebuah zaman pemerintahan di Indonesia yang pernah dilewati. Nyali yang terbit tahun
1983 (tahun pertama terbit), erat kaitannya dengan konteks pemerintahan orde lama dan orde baru. Dengan demikian karya ini diperkirakan dapat mengungkap ketidaksadaran dalam praktek mekanisme kekerasan simbolis yang terutama dilakukan lapisan elit penguasa dalam masyarakat dari satu masa pemerintahan Indonesia. Siapa yang menjadi
penguasa sebenarnya dipertanyakan dalam Nyali.
Penguasa yang dimaksud di sini seperti yang ditunjukkan dalam teksnya antara lain penguasa militer, pemerintah, penguasa sipil, penguasa keluarga, penguasa etnis. Karya ini menarik diungkap dengan pemikiran bahwa karya sastra adalah wacana yang menggabungkan bahasa dan tindakan sekaligus seperti seorang narator yang memberitahukan lewat tuturan tertentu.
Tindakan saat ini tidak bisa dilepaskan dari masa lalu. Tindakan merupakan endapan dan tiruan dari kisah-kisah yang didengar, dibaca dan sudah dipikirkankan secara mendalam. Pada gilirannya tindakan-tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan. Sedangkan kisah akan memberikan pemahaman lebih terang terhadap tindakan karena mampu menyingkap aspek-aspek dari tindakan. Salah satu jenis kisah adalah kisah yang dibungkus dengan genre narasi sastra.
Paul Ricoeur (1984:54-59) menyatakan tentang mimesis narasi dan membaginya
tiga tahap mimesis: pertama, prefigurasi tindakan yaitu narasi yang berupa struktur
pengalaman, mengorganisasi ingatan, menata bagian-bagiannya dengan tujuan membangun setiap peristiwa kehidupan. Di sini pencerita mengatakan kepada pendengarnya (baca pembacanya), tentang masalalu dan meringkasnya kembali dengan memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting. Kedua, konfigurasi tindakan, yaitu narasi tentang peristiwa yang membentuk tatanan yang logis bukan kronologis, di sini penataan logis dipakai untuk memberi bentuk penalaran baru terhadap fakta, tidak bisa dilepaskan dari masa lalu, dalam arti bahwa tindakan seseorang didapat dari belajar
5 Katalog Buku Terlarang dan Sejarahnya Dari Tahun 1950-2010, TT, hlm.10, diprakarsai
Elsam, Laksmi, Lintas Merah Generasi, di sana tertulis yang melarang adalah kejaksaan RI, contoh yang paling nyata tahun 1980an buku-buku dilarang terbit dengan tuduhan subversib: memuat ajaran komunisme, menodai agama, membuat pornografi, menghina kepala Negara.
4
dari orang lain yang dilihatnya dan ditiru. Tiruan diendapkan, didengar, dibaca, dan sudah diresapkan. Selanjutnya tindakan itu menjadi bahan untuk dikisahkan. Kisah akan memberikan pemahaman yang lebih jernih terhadap tindakan karena menyingkap aspek-aspek tindakan. Dalam kisah tentu terjadi seleksi karena hanya tindakan yang relevan atau bermaknalah yang akan dikisahkan. Di sinilah fungsi kelenturan alur yang tidak lagi harus selalu linear. Karya sastra sering terinspirasi oleh realitas sejarah masa lalu maupun sejarah kontemporer dari sebuah peradaban. Sejarah yang diubah menjadi kisah dan akan memungkinkan lahirnya bentuk baru sejarah. Ketika penulis sastra membaurkan dalam kesatuan visi penulis sejarah maka kisah fiktif bisa menyumbang
kisah sejarah (Lavigne yang dikutip Haryatmoko (2013)6. Ketiga, refigurasi merupakan
tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Pembaca sastra memberi makna teks karena pemaknaan teks adalah sejarah semua pembacaan. Teks tumbuh bersama pembacanya. Pembaca merefleksikan berdasar sudut pandangnya dan mengubah dirinya atau
membantu memahami diri atau orang lain dengan lebih baik. Mimesis tahap ketiga ini
merupakan refigurasi tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah. Kata Ricoeur pada intinya wilayah pemanfaatan teks bergeser-geser, tidak ada penguasa narasi. Jadi tidak jelas siapa pengarang atau penulis, karena makna adalah selalu hasil “bacaan” seseorang; Ricoeur menggunakan istilah transfigurasi tindakan manusia. Berkat pengaruh teks seseorang akan membaca, menghayati sehingga mampu mengubah diri
menjadi lebih baik (Ricoeur, 1984: 54-59)7.Bahasa adalah parole. Wacana lahir karena
pertukaran makna. Syarat wacana menurut Ricoeur: 1. ada subjek yang mengatakan; 2 isi pernyataan yang mau dipresentasikan; 3. kepada siapa pernyataan itu disampaikan; 4. Temporalitas
Demikianlah dengan pemilihan penulis pada karya Putu Wijaya di atas, diharapkan kekerasan simbolik yang “mungkin pernah berlaku” di dunia keprajuritan/kemiliteran/ketentaraantanpa disadari dapat dijelaskan. Selain itu kekerasan simbolik juga bekerja dalam kerangka untuk mendapatkan persetujuan tanpa paksaan, bahkan dalam berbuat kekerasan.
Kekerasan yang terjadi di Indonesia lewat karya sastra sudah banyak yang meneliti misalnya Thahar yang membahas tentang “Kekerasan Cerpen-Cerpen
Indonesia dalam Harian Kompas (1992-1999): Suatu tinjauan Struktural Genetik”
Macam-macam kekerasan diungkap dalam tulisan itu 8.
Dalam tulisan ini tidak dibicarakan hanya pada kekerasan semata kekerasan seperti yang telah dihasilkan peneliti-peneliti sebelumnya, melainkan tentang refleksi filosofis yang muncul atas nama kekerasan simbolik dalam sastra. Dalam hal ini akan terkait dengan kekekerasan fisik, psikis,dan kekerasan simbolik yang merugikan masyarakat. Dengan berusaha membongkar kekerasan simbolik dalam sastra akan menantang refleksi etika politik. Pada tingkat selanjutnya refleksi ini menuntut suatu tanggung jawab politik-moral seorang warganegara untuk berpatisipasi sebagai anggota nation atau bangsa. Tanggung jawab politik-moral ini akan menyadarkan bahwa ternyata sangat penting menumbuhkan budaya politik yang santun yang jauh dari kekerasan simbolik untuk menumbuhkan bangunan kondisi politik yang manusiawi. Tugas filsafat politik adalah menganalisis secara refleksif, menyingkap dan
6Haryatmoko dalam Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur, tgl 23 Mei 2013
yang diadakan UK2JT FIB Unair.
7PaulRicoeur dalam bukunya Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and
David Pellauer). 1984. Chicago and London: The University of Chicago Press.
5
mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya. Kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami (Haryatmoko, 2003:9). Dengan refleksi dimaksudkan aktivitas budi manusia yang mengeksplorasi keluhuran martabatnya dan keluhuran hidup bersamanya. Refleksi mencoba memahami pencarian kedalaman dan kebenaran. Jadi aktivitas refleksif adalah melukiskan martabat manusia (Armada, 2011:39).
Nyali, Sekuen Peristiwa, dan Gambaran Tentara
Dari sisi naratifnya Nyali tidak digambarkan secara urut dari 23 bagian. Nyali
diceritakan oleh penutur cerita yang dingin seolah pencerita memotret keadaan senyatanya tanpa mau terlibat, namun demikian banyak ditemukan wacana-wacana yang mengandung kritik baik secara langsung atau tidak.
Berdasar sekuen peristiwa Nyali dapat dijelaskan bahwa pencerita adalah
orang luar di luar tokoh dan peristiwa. Orang luar yang bercerita dan bertindak sebagai pengamat yang mencermati kehidupan tentara dari yang berpangkat rendah sampai tentara yang berpangkat tinggi.
Nyali (1983) disajikan dalam 23 bab dan sekuen Nyali tidak diceritakan secara urut/kronologis. Sekuen 1 menceritakan prajurit yang bernama Kropos, cara menjalani sebagai tentara. Sekuen 2 menceritakan Erika istri Kropos (tentara), yang ditinggal bertugas. Sekuen 3 tentang Tokoh Kropos yang bertemu Kolonel Krozy yang dulu memerintahkan membasmi Zabaza. Sekuen 4, Pencerita menceritakan Kropos menembak Kolonel Krozy demi sebuah rencana. Sekuen 5, Pencerita menceritakan Jendral Leonel menyuruh Dr Combla untuk membunuh Kolonel Krozy agar Krozy meninggal sebagai pahlawan. Sekuen 6, pencerita menceritakan Desa Tong-Tong diserang gerombolan Zabaza dan Kropos diinterogasi oleh seseorang (atasan). Sekuen ke 7 Jendral Leonel menghadap Baginda Raja bersama istrinya. Sekuen 8, Baginda Raja berbincang santai dengan Leonel dan menyatakan dirinya bukan Zabaza sekarang. Sekuen 9 menceritakan Kropos yang telah diakui masuk sebagai tentara Zabaza. Sekuen 10, Erika sangat marah ketika lima anaknya dibunuh dan ia mengira Torso suami keduanya yang membunuh. Sekuen 11, Baginda diminta menyingkir dari kerajaan bersama keluarganya. Sekuen 12, Pencerita menceritakan Gerombolan Zabaza melakukan persiapan untuk menyerang. Sekuen 13, Nyonya Kolonel Krozy melayat dan hadir dalam pemakaman Erika dan suaminya (ke-2) Torso. Sekuen 14, Ny Kolonel Krozy bertemu mantan istri jendral Leonel yang menyeberang ke gerombolan Zabaza, dan akhirnya nyonya Krozy dibunuh. Sekuen 15, Kropos mendengar Ny Krozy dibunuh, yang membuat goyah pikirannya. Sekuen 16, Baginda Raja mengadakan jamuan makan, ditengah keprihatinan. Sekuen 17 pencerita menceritakan ibukota yang dalam keadaan kacau seperti kota yang mati. Sekuen 18, Jendral Leonel mengambil alih kekuasaan dan menembak sendiri tangannya. Sekuen 19, menceritakan Kropos dan perasaannya menghadapi republik baru. Sekuen 20, menceritakan mantan istri Leonel dan kegiatan Zabaza yang bertambah kejam. Sekuen 21, menceritakan Kropos tentara rendahan yang tidak punya tujuan hidup. Sekuen 22, menceritakan anak jendral Leonel di bunuh mantan istrinya. Sekuen 23, menceritakan Kropos yang hidup sebagai suami istri yang tak dikenal publik dan diajak berjuang lagi oleh mantan istri jendral Leonel setelah istrinya dibunuh secara kejam.
Sekuen peristiwa dalam Nyali sengaja dipecah penceritaannya, untuk
mendapatkan gambaran keadaan tentara yang berpangkat Kopral, Kolonel, Jendral, dan Baginda Raja serta akibat yang muncul untuk keluarga mereka. Sekuen yang ditandai
6
nomor 1-23, tidak menggambarkan urutan cerita, namun menggambarkan urutan discoursenya. Sekuen 1,2,3,4, dalam tataran urutan cerita bisa disatukan namun sengaja dipisahkan karena ingin menekankan fokus penceritaan. Sekuen 5 fokus penceritaan pada tokoh Jendral Leonel. Jendral Leonel memerintahkan Dokter Combla sekalian “membunuh” Kolonel Krozy yang sedang sakit di Rumah Sakit, akibat ditembak Kropos. Krozy dianggap tidak berguna lagi oleh Jenderal Leonel. Menurut dokter Combla Kolonel Krozy tidak sakit secara fisik (hanya luka tembak), tetapi sakit secara mental karena Krozy tidak menyangka ditembak oleh Kropos tentara yang dia percaya untuk melaksanakan pengamanan tugas menumpas gerombolan. Sekuen 6, kembali pada Kropos dan gerombolannya yang menyerang desa Tong-Tong, diikuti dengan pengintrograsian Kropos oleh seseorang yang dapat diduga tentara atasannya. Sekuen 7,8,9 bisa disatukan dalam penceritaan tapi sengaja dipisah untuk menggambarkan perbedaan antara tentara berpangkat tinggi, dan tentara rendahan seperti Kropos. Sekuen 10, Erika mantan istri Kropos yang telah menikah lagi dengan Torso kehilangan anak-anaknya dari Kropos karena dibunuh. Erika serta Torso saling menusukkan agar mereka matibersama setelah mengalami kejadian yang memilukan. Sekuen 11 tentang baginda Raja. Sekuen 12 tentang Kropos dan gerombolannya. Sekuen 13, sebenarnya bisa disatukan dengan sekuen 10 (13, 10) sebelumnya yaitu bab tentang kematian Erika dan Torso dan penguburannya yang diikuti oleh Ny Krozy. Tapi sengaja diceritakan dalam bagian terpisah. Sekuen 14, Ny Krozy dibunuh istri Leonel. Sebelum dibunuh Nyonya Leonel bercerita tentang Krozy yang menjadi saingan Jendral Leonel oleh karena itu sebenarnya Krozy dibunuh oleh Jendral Leonel. Sekuen 15, Kropos mendengar Ny Krozy dibunuh Ny Leonel. Sekuen 16-23, adalah sekuen peristiwa yang menggambarkan kekejaman gerombolan Zabaza yang dipimpin oleh istri Leonel yang berseberangan dengan jendral Leonel. Pada sekuen 22 tampak Ny Leonel membunuh 3 anak jendral Leonel (setelah istri Leonel mengikuti gerombolan Zabaza).
Pencerita di sini sebagai pencerita yang memakai dia-an memakai gaya “melaporkan” kekerasan yang terjadi. Laporan itu terasa “dingin” sengaja menghilangkan faktor emosi, untuk mendapatkan kesan tegas kaku, dingin, dan siap meneropong dengan “kamera”. Sebuah uraian yang khas, cepat, tajam dalam mengurai kekejaman yang senantiasa dialami tokoh tentara dan kehidupannya sebagai tentara berpangkat kecil, kehidupan keluarganya (istri) dan atasannya yang berpangkat kolonel. Kehidupan mereka dikendalikan bahkan dijadikan korban oleh arsitek utama seorang Jendral Leonel.
Dengan gaya laporan yang dingin dalam mengantarkan kekejaman dilakukan oleh narator dalam mengikuti tokoh Kropos (tentara yang berpangkat paling rendah), kekejaman tidak lagi dirasakan sebagai kekejaman karena Kropos menghayatinya sebagai bagian tugas yang harus dilaksanakan saja. Tokoh ini tidak menyadari kalau dia desain sebagai “mesin” pembunuh. Akibatnya dia sangat taat pada perintah atasannya, sebenarnya meski dia sebagai tentara yang harus melaksanakan kewajibannya, dalam hati dia hanya taat pada Kolonel Krozy yang ditembaknya karena tugas, tapi tembakan itu diarahkan ke bagian tubuh lain, agar Krozy tidak mati. Akan tetapi ternyata Kolonel Krozy di rumah sakit tetap meninggal, karena dibunuh oleh dokter Combla. Dokter Combla memenerima perintah langsung dari Jendral Leonel, yang dibalik pernyataan biasa ternyata penuh dengan ancaman(kekerasan psikologis).
Nyali dalam Tataran Oposisi Subjek-Objek
Nyali menggambarkan urutan kepangkatan dalam tentara, urutan kepangkatan dari yang paling rendah dari Kopral, Provost, yang masuk bagian Tamtama, Perwira
7
(Letnan, Letnan Kolonel, Kolonel, Jenderal) dan Panglima Tertinggi). Nyali
mengangkat tokoh yang bernama Kropos.
Tokoh Nyali tidak bernama sebagaimana manusia biasa: Kropos yang berarti
kosong dan mudah rapuh. Tokoh Kropos dihadirkan dengan latihan yang keras untuk menghilangkan kemanusiaannya (Nyali, 1983: 7-8); menyaksikan sepuluh tentara yang baru lulus mati di lubang yang digalinya sendiri dan dibiarkan dalam keadaan lapar dan
haus.Nyali, 1983:9); Tokoh Kropos dinyatakan lulus dari latihan kekejaman dan
menjadi ketua gerombolan Zabaza yang mestinya mau dibasmi (Nyali, 1983: 21).
Nyali punya logika biner berupa oposisi yaitu subjek-objek, pengirim-penerima, pembantu-penghalang (Greimas,1983:207). Untuk memenuhi oposisi biner tersebut harus mememenuhi syarat 3 tes yaitu Tes Kualifikasi, Tes Pokok, dan Tes Pujian.
Dalam tulisan ini dibatasi oposisi yang terpenting yang berhubungan dengan kekerasan simbolik yang digambarkan dalam Nyali yaitu tiga tokoh. Pertama, tokoh Jendral Leonel; Kedua, tokoh Kolonel Krozy; Ketiga, tokoh Kopral Kropos.
Tokoh Leonel hadir dalam relasi subjek-objek seperti yang tertera dalam gambar skema berikut:
Syarat tiga tes dalam relasi oposisi biner: Pertama, Tes Kualifikasi: Jendral Leonel mempunyai misi rencana pergantian pemerintah yang kuat dengan membentuk gerombolan Zabaza. Gerombolan Zabaza yang dibentuk itu diharapkan untuk menciptakan pergolakan kecilagar dapat diperangi kapan saja, seolah-olah ada pemberontakan dalam masyarakat.Kedua,Tes Pokok yaitu Subjek menyiapkan petualangan berupa konflik-konflik antara subjek dan objek, Subjek yang ditunjukkan dalam gambar di atas adalah Jendral Leonel. Jendral mempergunakan bawahannya Kolonel untuk mengirim tentara Kopral Kropos memerangi gerombolan kejam Zabaza. Ketiga, Tes Pujian yaitu Jendral berhasil menguasai Negara dengan menggunakan cara menguasai Baginda Raja (atasan).
Skema yang kedua adalah adalah skema tentang tokoh Kropos seperti di bawah ini:
Proses Komunikasi Pengirim
Kolonel Krozy Objek
Kropos Penerima Gerombolan Pembantu Istri Kolonel Anti Subjek Kolonel yang mengabdi negara Subjek Jenderal Leonel Penghalang Keluarga Tentara
8
3 (tiga) tes yang harus dilewati: pertama, tes kualifikasi: Kolonel Krozy mengirimkan anggota tentranya antara lain Kropos untuk menumpas gerombolan Zabaza. Gerombolan ini tak bisa ditumpas habis karena ternyata gerombolan ini sengaja dipelihara oleh seorang jendral. Kedua, tes pokok subjek Kropos telah melewati proses yang sangat rumit zabaza, pada awalnya ditugasi untuk masuk membasmi Zabaza. Ketiga, Kropos berhasil masuk menembus Gerombolan Zabaza bahkan sampai pada level pimpinan gerombolan.
Skema lain yang perlu dicermati adalah tentang Kropos, yang berpangkat kopral.
Proses Komunikasi
Pengirim Kolonel Krozy
Anti Subjek Komandan/atasan
Kontrak Proses Pencari
Penghalang Mantan Atasan Pembantu Pistol atribut tentara Objek Gerombolan Zabaza Subjek Kropos yang sudah menjadi tentara kejam
Penerima Rencana Jenderal Leonel
mengambil alih kekuasaan negara Proses Komunikasi Pengirim Kolonel Krozy Objek Gerombolan Z b Penerima Masyarakat Tong Tong Pembantu Istri Kolonel Anti Subjek Torzo Subjek Kropos Penghalang
Erika (Istri Kropos) dan
Kelima Anaknya Kontrak
9
Pertama, Tes Kualifikasi: Tokoh Kropos adalah tentara berpangkat kopral (rendah) yang siap dikirim untuk menyerang Gerombolan Zabaza, Tokoh Kropos meninggalkan istri dan lima anaknya.
Kedua, Tes Pokok yaitu Kopral Kropos melewati latihan fisik dan psikologis sampai tingkat kehilangan rasa peri kemanusiaanya (menjadi kejam).
Ketiga, Tes Pujian yaitu meski Kropos sudah melalui berbagai ujian yang keras dan kejam, dia gagal dalam mewujudkan kebenaran yang dia yakini bahwa ada pengkhianatan pada kedudukan Baginda.
Inventarisasi Oposisi dalam Nyali berdasar skema di atasditemukan:
Aktor: tentara
Fisik
Moral
Oposisi kunci dalam Nyali yang utama ditemukan oposisi muda Vs tua
(pergantian kekuasaan). Oposisi ini menjadi payung yang meliputi arah dari kepangkatan tentara yang berpangkat tinggi ke tentara yang berpangkat rendah, yang menguasai dan dikuasai, dari isolasi individual tentara kerajaan Kropos ke komunitas Zabaza.
Transformasi nilai-nilai dasar dalam Nyali ditemukan antara lain:Pembunuh
(kejam, dikorbankan) dan tentara yang baik (regenerasi) juga dikorbankan. Orang yang jahat digambarkan dengan kematian, dan orang yang baik digambarkan dengan kehidupan. Pembunuh otomatis (dari tentara) sangat dan harus menghargai sistem. Ancaman nilai kekejaman mencapai target, menjadi kebaikan dalam pergantian kekuasaan yang sebaiknya berlangsung secara damai.
Kekerasan Simbolik dalam Nyali dijumpai dalam penghayatan tugas pembunuhan
tanpa rasa bersalah terutama tugas yang disandang Kropos, tentara yang berpangkat rendah (kopral). Sebagai tentara dia hanya menghayati peran kepatuhan tugas tanpa
syarat, meski banyak jatuh korban. Kekerasan simbolik dalam Nyali dialami oleh tentara
yang berpangkat rendah berupa strategi penguasaan, indoktrinasi, komando, instruksi
(periksa Nyali hlm: 7,9,12,15,16,21,25, 35,42,44, dan 45).
Adapun mekanisme kekerasan simbolik yang ditemukan dalam Nyali ditemukan
melalui bahasa, representasi, dan simbol seperti contoh di bawah ini:
“Semakin sibuk anda membuktikan sesuatu, Anda semakin jauh dari cita-cita anda sendiri. Karena hal itu menunjukkan anda tidak yakin. Ia kelihatan tak punya rencana..”(
Nyali, hlm.47).
“Kropos yang memimpin gerombolan itu tahu betul bagaimana cara membasmi,
baginda raja Vs jendral; suami Vs istri
jenderal Vs prajurit; kekerasan Vs kelembutan penguasa Vs rakyat; kejam Vs lembut kejahatan Vs kebaikan pemberontak Vs patuh
kuat Vs rapuh ; hidup Vs mati Muda Vs tua
Baik Vs Jahat; pujian Vs hukuman; Baik Vs licik
10
mengibul, dan menghabiskan tanpa perlawanan. Tong-Tong rontok dan habis tepat ketika cahaya merah mengapur langit (Nyali hlm: 32).
“Berbulan-bulan bendera setengah tiang dikibarkan seluruh kerajaan. Duka itu mengerak. Bagai pita panjang, ia melilit, makin hari makin tebal. Sebuah bendera yang ada di depan istana dibiarkan berkibar sampai robek. Angin yang meniup menggelepar-gelepar seperti hendak menerjang air (Nyali:80).
Nyali dalam Perspektif Ricoeur
1. Kritik Ideologi adalah kritik terhadap keyakinan dan ilusi penafsiran penulis yaitu
semacam pemurnian terhadap pemahamanNyali. Kisah Nyali berpusat pada
Kropos dan Jendral Leonel dan Baginda Raja yang mengungkap wilayah publik kekejaman yang terstruktur. Dari teks ditemukan tokoh Kropos dominan sebagai tokoh utama. Artinya dari analisis narasi dan struktural hanya memberi potensi pada sesuatu yang lebih dominan dan kurang mementingkan tokoh-tokoh yang tersembunyi misalnya Kolonel Krozy, Kolonel Tir-Tir, yang muncul hanya sebagai korban, meskipun mereka mendukung tokoh Kropos. Dua tokoh ini muncul hanya sebentar padahal mewakili tentara yang loyal pada negara dan bangsa (mereka di cenderung berada dipinggiran saja). Hanya dengan analisis narasi dan struktural penulis tidak dapat memperoleh pengetahuan tentang peran tokoh tentara yang tersembunyi. Dengan kritik ideologi penulis sebagai penafsir melakukan dekonstruksi dengan tujuan menunjukkan adanya pemahaman baru pada diri penulis sebagai penafsir’
2. Dekonstruksi: membongkar pemahaman penulis sebagai penafsir,tentang
kepentingan, tujuan dan motivasi penulis menuju pemahaman dan motivasi baru setelah melakukan analisis dan melokalisir permasalahan. Pengetahuan tentang ketentaraan yang berhubungan dengan kekerasan simbolik adalah perlunya transparansi dan keterbukaan serta ketulusan pada wilayah publik, terutama masalah-masalah kekerasan simbolik pada dunia tentara yang harus diangkat dan dikaji secara terbuka. Dari tokoh Kolonel Krozy dan Kolonel Tir-Tir terungkap bahwa tentara yang baik menjadi korban atau dikorbankan dan menjadi tumbal bahkan mereka sendiri tidak menyangka bahwa mereka dibohongi atasannya.
Dengan dekonstruksi dapat dimunculkan dalam Nyali adalah ungkapan yang khas
Nasionalisme dengan membuka sebanyak mungkin potensi civil society dan tidak
dimonopoli oleh negara.
3. Analogi permainan adalah pengambilan jarak yang positif. Permainan merupakan
bentuk jarak terhadap kehidupan yang terlalu formal. Dalam permainan seseorang dibebaskan dari ketakutan terhadap norma sosial dan sangsi-sangsinya dari keseriusan hidup formal. Kebebasan merupakan tanah yang subur bagi kreativitas.
Kreativitas ini yang penafsir pilih yaitu PointBlank yang dimainkan Game On
Line anak- anak seluruh dunia. Mereka bisa mengeser-geser pilihan. Apakah
semangat Nasionalisme hanya dipunyai institusi pemerintah? Dalam Game On
Line itu terdapat dua karakter yang sama-sama mengusung semangat Nasionalisme
yaitu tim CT Force dan Free Rebels. Karakteristik CT Force adalah membasmi
terorisme dari pemerintah. Tokoh-tokohnya Leopard, Acid Paul, Keen Eyes, Hide sedangkan Free Rebels juga punya alasan sendiri mengapa memberontak kepada pemerintah,karena mereka sebagai imigran selalu didiskriminasi oleh pemerintah. Tokohnya misalnya Red Buls, Tarantula, D Fox, Viper Red. Dari sini dapat dinyatakan bahwa nasionalisme tidak hanya milik negara akan tetapi yang dicap pemberontak juga mengusung nasionalisme atas nama imigran.
11
Karya sastra dapat mencerna lebih tajam dari sebuah peristiwa kekerasan yang pernah terjadi, dan dapat mengungkap kekerasan simbolik lewat tokoh-tokohnya. Karya sastra dipahami tidak lagi pengarang sebagai sumber makna, akan tetapi penafsir sebagai sumber makna. Namun demikian penafsir tidak sekedar menafsir secara sembarangan, penafsiran yang dituntun melalui teksnya.
Hasil pembacaan pada Nyali memberi tawaran dalam mencari tanggung jawab
kehidupan, mencari jatidiri dalam menghadapi hidup sebagai individu dan hidup sebagai anggota masyarakat. Memahami kekerasan simbolik yang tidak disadari telah diterima
oleh individu dan merevisinya dengan berpikir untuk kemaslahatan masyarakat. Nyali
karya Putu Wijaya dapat menjadi salah satu refleksi filosofis politik untuk merenung
dan bertindak mewujudkan Nasionalisme dan civil society. Nyali bermanfaat dan
memperkaya ilmu politik dengan cara pemahaman diri terutama dalam dunia ketentaraan yang harus selalu memikirkan kepentingan kebangsaan bukan sekedar kepentingan kelompok.
Simpulan
Dari hasil refleksi filosofis dalam pemahaman penulis, Nyali membuat penulis
berpikir bahwa cara pikir militerisme/ketentaraan secara tidak sadar telah dihayati sehari-hari oleh masyarakat, terbukti dari praktik mulai dari kehidupan RT, RW, sampai kelurahan. Tidak hanya itu, adanya praktek Hansip/Satpam di segala bidang, polisi tidur. Selain itu kalau mau menjadi PNS harus dilatih dengan kemiliteran/ketentaraan, membuktikan bahwa latihan tersebut diperkirakan untuk meningkatkan semangat loyalitas. Pendekatan kemiliteran ini masih dirasakan sampai sekarang, yaitu sistem tingkatan, menurut hemat penulis hal ini adalah wujud dari ketidakpercayaan pada orang lain atau menganggap sepele orang lain. Pengabaian sistem nilai yang ada di masyarakat terus berjalan. Semoga hal ini bukan semata kekuasaan demi kekuasaan yang menyebabkan orang yang tak berdaya semakin tidak punya daya.
Daftar Rujukan
Bourdieu, Pierre.2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jala Sutra.
______________1994. Practical Reason On The Teory of Action. California: Stanford
Press University.
Colombijn, Freek and Thomas Lindblat. 2002. Root Violence in Indonesia. Leiden:
KITLV
Haryatmoko.2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
__________2013.”Pelatihan Analisis Wacana Hermeneutika Paul Ricoeur”, tgl 23 Mei 2013 diadakan UK2JT FIB Unair.
Greimas, AJ. 1983. Structural Semantic An Attemp at a Method. London: University of
Nebrasca.
Harker, Richard, Cheelen Mahar dkk. 2009. (Habitux Modal) +Ranah= Praktik Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jala Sutra.
Ricoeur , Paul.1984. Time and Narrative Vol I ( translated by Kathleen Blamey and
David Pellauer).Chicago and London: The University of Chicago Press.
Ricoeur Paul.2009. Hermeneutika Ilmu Sosial (terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana
Riyanto, Armada.2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta:Kanisius
12
VEHICLE SHIFT OF THE NORTHERN COAST OF CENTRAL JAVANESE LITERATURE IN SONG LYRICS
Agus Nuryatin and Muhamad Burhanudin
(Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang – Indonesia)
Abstract: Vehicle shift of the Northern Coast of Central Javanese literature is as an effort for the readers to accept the effect of literature communication about Coast classic literature material, so that a Coast literature can be appreciated widely. This paper is expected to give contribution in an effort of tangent point search between the Coast literatures as a local literature to be song lyrics as a global culture. The implementation of vehicle shift as a dialogue form between local classic literatures and song lyrics can add insights of local form of globalizing.
The material object of this paper is Coast classic literature in the form of poem
written using Arabic-Javanese letter (pegon) to be vehicle shifted into song lyrics, so
that it is needed in advance a study of Philology that includes manuscripts, texts, and text editing towards the Coast literature. The vehicle shift of literature, especially poetry into song lyrics, is expected to gain positive appreciation. It is because song lyrics have a big enough place in the society. The vehicle shift of Coast literature in song lyrics will simplify the effect of literary communication generation to generation.
Introduction
Large number of past literary works or classic literatures need creative innovations to bring the literature close to the lover or the society itself. The vehicle shift is as an instrument for opening literature to the other form of art passes by textual limit in the beginning. Nowadays, literature has passed by its textual limit. Literature does not only appear textually in poetry, prose, or drama. Enjoying literary works in present time can be done not only by reading text, but also scrutinizing song lyrics, seeing films and literature performances on stage.
The vehicle shift of literature does not only present as a bond of aesthetic communication, but also as a mark that literature has a potential in developing creative industry. The appearance of poetry musical album or poetry songs is as a mark that literature world strives to new industry world. In the past time, economy of literature is determined by a number of copies of the printed book, but now song albums which are based on poetry lyrics also become a benchmark of the economic in literature. This phenomenon also occurs on the development and transformation of the Northern Coast of Central Javanese literature.
The development of Javanese literature according to Pigeaud (1967:4-7) can be classified into four parts: (1) Hindu era took place in the 9th – 15th century; (2) Java-Bali
era took place in the 16th – 19th century; (3) Coast era took place in the 15th – 19th
century. In this era, the activities of literature move to coastal towns which are the trade
central and spreading of Islam; (4) Surakarta and Yogyakarta era took place in the 18th –
20th century.
In the Coast era, literature writing with Arabic script Pegon based on Malay
Arabic letter developed. The activities of Coast literature in Central Java began in the region of Demak, Jepara Kudu, Pati, and Rembang. These towns are the place where Javanese Muslim communities began to be formed. From these towns, the activities of
13
Coast literature spread to Cirebon and Banten in West Java, and Sumenep and Bangkalan in Madula Island. In fact, the influence of Coast literature was not limited in Java Island only. Because of the high mobility of traders and Islam religion spreaders, the activities also spread out of Java, like Palembang, Lampung, Banjarmasin, and
Lombok. In the 18th – 19th century, with the shifting of central of Javanese culture to
Surakarta and Yogyakarta Palace, the activities of Coast literature writing also developed in the region of Surakarta and Yogyakarta, and also another surrounding places like Banyumas, Kedu, Madiun, and Kediri (Pigeaund 1967:6-7).
One of the works of Coast of Central Java that is the widest spread area is Syiir
(poem). Source of poem Coast literature is Arabic, Persian, and Malay literature. Indonesia language also began to borrow from Arabic and Persian vocabularies, especially those which are related to the concept of religion.
This paper will be concerned on a discussion of poem and its vehicle shift in song lyrics. Poems that developed in Central Java, more or less, reflected the general tendency of Coast literature of Central Java in poetry patterns that have big influence towards spiritual life of the Central Java society. The other reason which supports this paper is because the study of development and transformation of Coast literary works is still very few, whereas the influence of Coast literary works is not little towards the culture of Central Java society. The influence includes in some fields like metaphysics, cosmology, ethic, psychology, and aesthetics.
Vehicle Shift
The use of text in a song is called lyric. The term of song lyric is found in Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005:528), which means as a sung poetry work. William Russo (1988:154), said that words used in a song usually is called as text. In popular music, words used in a song is called lyrics. It is the same as what Semi said, lyric is short poetry that expresses emotion (1988:106). Thus, diction of lyric and poetry is not far different.
Damono (2012:76) said that when a poetry is changed into a song, it will have been as an unbreakable part of composition. The word “composition” affiliates form. Form, in its turn, leads to a definition of structure. In this form and structure, all “determination” and decision of art work engineer that is material (sound, voice, tone, rhythm, harmony, etc.) non-material (dynamic, nature, character, color, sense, etc) is accommodated (Hardjana, 2003:73).
Vehicle shift of literature into song lyrics is as an effort of artists to shift messages, ideas, and concepts of poetry into music media, so that it will be possible to have a change and development and to be a new art work. Vehicle is also as a tool to carry or move something from a place to another place. That “Something” can be in forms of concept, instruction, feeling, or even just milieu (Damono, 2012:1). The process of vehicle shift of poetry means a shift of method in working a poetry into existed rules of music so that poetry must obey thoroughly to the new vehicle in the form of song lyric rules. Transformation of literature, especially poetry in song, is usually called as change processes. In its processes, it can be through shrinkage, increment (expansion), and change with some variation. The study of vehicle shift demands a willing to think multi-dimensionally because this study operates in at least two different field, or even more. The object of this study is a form of vehicle shift from two different fields. They are poetry and music field.
This paper will discuss about the relation of poem vehicle shift and song lyrics, which is poem as Coast Javanese poetry and the text will not be discussed in detail like
14
an analysis of sound, rhyme, and diction. However, it will be limited by an analysis of phrase, theme, and content of the poetry. Song lyric that is changed from Javanese poetry in the form of poem by constructing the melody and harmony is expected to reflect the character or meaning of it, so that the poem can be understood easily by the listener.
Poem as Javanese Poetry
A literary work cannot be separated from the influence of supporter society, as Janet Wolff (1981:1) said, art is a social product. Art and society is a unity that supports each other and cannot be separated. A literary work reflects the culture of society. It is the same in poem as a Javanese poetry which is as a social product. Poems written in Javanese developed in Muslim student in the society of Java and was as manifestation from Javanese poetry influenced by Arabic-Islam (Muzakka, 2002:39).
Poem (singir) or Syiiran leads more to a definition of nazham in Javanese
language. Poem suits with nazham that is a sentence arranged on a regular basis and
ending with rhyme (Mustofa Bisri in Hamidi, 2005:4). Based on a number of lines in
each verse, poem consists of two lines of each verse (matsnawi). It is as reflected in the
following Poem entitled Érang-Érang Sekar panjang
Suwarga ora bakal kelebonan wong kang tuwa wong kang manggon suwarga umuré setengah tuwa Ngumuré lanang wadon iku kabèh padha-padha kira telung puluh tahun punjul telu tuwin lima Senajan goné mati iku uwis kaki-kaki
utawa gone mati iku uwis nini-nini
Caloné lanang wadon iku kabèh disanglingi rupa bagus rupa ayu hingga ngasi amanglingi Sakwusé salin rupa banjur ora owah-owah
kulitané kuning gadhing alus resik belingah-belingah (Siraj,Juz 3 :10)
Poem is always sung in its presentation with certain rhyme. Poem is usually given an introduction of gratitude to Prophet Muhammad SAW. Some of gratitude which are as an introduction of Poem are,
1. Shalatullah salamullahi 'ala Thaha Rasulillah Shalatullah salamullahi 'ala Yasin Habibillah Tawassalna bibismillah Wabilhadi Rasulillah
Wakulli mujahidi, mujahidi lillah Biahlil badri ya Allah
2. Allah humma salli wasalim ‘Alaa syayyidina wamaulana muhammadin ‘adadmma bi’ismilla hi shalatan daimatan bi dawami mulkilahi 3. Ilaa hilas tulir firdaus fii ahlaa Walal akhwaa ‘alan naril jahiimi
Wa hablidau watarwafir dhunubi wainakahau birundafil ‘adhimi 4. Yaa Rasulullah Salamun ‘alaik Yaa rofi’ ‘asya niwaddaroji
Affatayyaji rotal ‘alami Ya uhailaljuudi wal karomi 5. Shalli wasalim daaiman alahmadaa
Wal aali wal as-haa biman qodwahadaa 6. Laailaahaillallah almalikul khaqqul mubin
15
Poem has differences with another Javanese poetry like tembang, macapat,
geguritan, and parikan. Tembang macapat is bound with guru lagu rules (final sound
benchmark), guru wilangan (a number of syllables of each line) a number of gatra
(lines of rhyme), and also has to consider purwakanti guru swara (equation of sound or
rhyme), and purwakanti guru sastra (equation of consonants or frame of rhyme), that
kind of condition is not found in a poem although the bonds of a number of syllables,
rhymes, and lines of each verse bind them. Tembang macapat and poem are also
different in terms of language and material. Tembang macapat is influenced by Sanskrit
and the color of Hindu-Buddha which still appears in song, while poem tends to be colored by Arabic-Islam. Individual expression of poems do not appear because poems express a story or religion lessons which its expression is more collective.
Public’s Response to Poem
Poem as a literary work of Islamic school has a function of teaching medium or Islamic religion education medium. It is a function of literary work as Horatius said, Dulce et utile, entertaining and useful (Teeuw, 1983:183). Muzakka in his research about poem, found three main function of poem. They are entertain function, education and teaching function, and spiritual function.
Entertain function appears because the presence of poem in literature treasure is always sung whether with certain music accompaniment or not. Education and teaching
function appears because singir expresses didactic values, i.e. Islamic values education
and complex knowledge of Islam. Spiritual function appears because some of singir is
treated only as servitude to God. The most prominent function for the proponents between those function is as education and teaching function medium (Muzakka, 2006:97-98). It suggests that literary works have to be understood with its cultural social context as an aesthetic function that is not separated with its social function (Teeuw, 1984:183). Thus, poem as developing in its community that is Muslim society in Central Java is literary works that function socially as communication vehicle and socialization of Islamic values all at once.
Poem is often sung together by Javanese society in its presentation at mosque in
waiting prayer time between azan (call to pray) and iqomah. Poem is also used by kiai
(title for venerated scholar in Islam) and mubaligh (preacher) in recitation of the Quran
and tabligh (religious meeting) by singing it. Poem is loved and acceptable by the society because of the beautiful and simple language, and can be sung with famous tone among the religious society.
Vehicle Shift of Poem in Song lyrics
Poem as a poetry has a possibility to be vehicle-shifted into song lyrics. This can be possible because poetry is an expression that is musical (Carlyle in Waluyo, 1987:30). The musicality of poetry can be poured into another harmonious form when poetry text is presented with music accompaniment and beautiful and meaningful song lyrics as it should be. Poetry can be strength by melody and rhythm in order to form a song lyric.
Song lyrics have form of physical and spiritual structure as poetry. Song lyric is an expression of one from his/her inner mind which can be seen, listened, happened, or even imagined as poetry. However, song lyrics have special features compared with poetry because its ideas molding is strength with melody and rhythm suit with the lyrics of the song. Pasaribu (1986:11) said that elements of music can be stated as the
16
strengthener of song lyrics and medium to give a certain atmosphere towards existing words so that it can be said that song lyrics is bound with its instrument of music.
Basically, poem as coastal literature can be vehicle-shifted into song lyrics. The following are some examples of vehicle shifts of coastal literature in song lyrics. Song lyric Tombo Ati as follow.
Tombo Ati
Tombo ati iku limo perkarane
kaping pisan moco Qur'an lan maknane kaping pindo Sholat wengi lakonono kaping telu wong kang sholeh kumpulono kaping papat kudu weteng engkang luwe kaping limo dzikir wengi engkang suwe salah sakwijine sopo biso ngelakoni mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Song lyric Obat Hati is a vehicle shift from coastal literature text as follow. Bab Tambané Larané Ati
Pada sira nambanana ing larané atiira Larané ati iku sebab goné demen dunya Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati Nèk wis mati ora gelem jak ‘ibadah maring Gusti Tambané ati lara iku lima perkarané
Ingkang dhihin seka lima maca Qur’an karo dirasa Kaping pindho kudu melèk zikir wengi ingkang suwé Kaping telu kudu salat tahajud ingkang suwé Kaping pat seka lima angothongi wetengira Kaping lima kudu sira angumpuli para ‘ulama Lamun sira wus ngelakoni perkara ingkang lelima Gusti Allah paring waras ing larané atiira Mesthi sira anglakoni salah siji saka lima bok menawa Gusti Allah paring suda laranira ( Siraj, Juz 1 :22-23)
In the above poem Tambane Larane Ati, it is begun with an advice Pada sira
nambanana ing larane atinira, it is explained the cause of this heart disease that Larane ati iku nggone demen donya Larane ati iku nggone demen donya, the impact that will be
gained if the heart disease is not cured is Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mati /
Nek wis mati ora gelem jak ngibadah maring Gusti, it describes about five rituals of the heart disease medicineand ends with hope and prayers. To gain the musical aspects in
song lyric Obat Hati that is presented in description, there are five rituals that must be
done in curing heart disease and it ends with hope and prayers.
Based on the theme, there is a change of the spiritual structure in Obate Larane
Ati, which is in the beginning highlighted in the impacts caused if one gets heart disease
Lamun ora ditambani lawas-lawas dadi mai / Nek wis mati ora gelem jak ngibadah maring Gusti, five rituals are media to cure heart disease, whereas the five rituals are main points in the song lyrics Obat Hati.
Spiritual structure of poem Bab Tambane Larane Ati that is highlighted in the
17
(1) reading the Quran and its meaning; (2) doing night zikir (repeatedly chant part of the
confession of faith), (3) praying at night, (4) more fasting, and (5) gathering with pious people.
The order of the mention of the outer structure Obat Hati is created differently
with poem text Bab Tambane Larane Ati. It is done to reach the musical effect that is
rhyme and rhythm. The order of song lyric Obat Hati is; reading the Quran, praying at
night, gathering with pious people, more fasting, and doing zikir at night. On the other
hand, the order of poem Bab Tambane Larane Ati is reading the Quran by sensing its
meaning, doing zikir at night, tahajud praying, fasting, and gathering with mufti (pious
people). The differences of formal form between Bab Obate Larane Ati and Obat Hati
cause by the need of tone suitability aspect and enough intensity, but the theme is still the same.
Poem can also be vehicle-shifted in a song lyric Eling Eling by singing it in some
music genres like campursari, dangdut, and qasidah. The song lyric Eling-Eling is as
follow.
Eling-Eling
Eling eling sira menungso ngelinana anggonmu sholat ngaji
pupung durung katekanan Malaikat juru pati panggilane kang Maha Kuasa
gelem ora kudu digawa disalini sandang putih yen wis budal ora bisa mulih tunggangane kereta jawa roda papat rupa manungsa jujugane omah guwa tanpa bantal tanpa kelasa omahe ra ono lawange turu ijen ra ana kancane ditutupi anjang-anjang diurugi siram kembang tongga-tongga padha nyambat tangise kaya wong nembang yen ngaji arang-arang pertanda imane kurang.
The song lyric Eling-Eling is one of vehicle shift forms from coastal literature entitled
Syiir Erang-erang Sekar Panjang bab banget Bungah ana donya and bab Eling Pati as follow.
Bab Banget Bungah ana Dunya
Aja sira banget banget gonmu bungah ana dunya Malaikat juru pati ngelirak-ngelirik maring sira Olé ngelirik Malaikat arep jabut nyawanira goné jabut angenténi dhawuhé Kang Maha Mulya Sakwusé didhawuhi banjur tandang karo kondha aku iki ming sakderma kowé ora kena semaya (Siraj, Juz 1 : 2 )
Iling-iling sira manungsa kabèh iku bakal mati pumpung durung sira iku katekanan maring pati
18 Rasané pecat nyawa luwih bangét laranira katimbang kabesèté sekabéhé kulitira Ora ana penawaré sakliyané taatira aja pisan sira lali maring salat férdhuira Rasané wong ana kubur luwih lara luwih susah nek wis tangi penelangsané luwih banget karo gersah Ngadekira ana kubur ana patang puluh warsi tanpa pangan tanpa ngumbé ora ana kang melasi (Siraj, Juz 1 :5 )
In the process of vehicle shift into Eling-Eling song, spiritual structure of religion
lessons of poem Bab Banget Bungah Ana Donya Dan Bab Eling Pati must be
maintained. The spiritual structure is in the form of lesson to remember because death must come to every human. The poem and song remind humans to always do the command of God (prayer and read the Quran) because those who live must be dead. It is portrayed that if God has commanded an angel to take a human’s live, he/she must be dead anyway. In Islamic lessons, there is a guidance to take care of the body of dead people (bathe, shroud, pray, and bury). If the body has been bathed and shrouded disalini sandang putih, then it should be prayed and entered to a coffin tunggangane kereta jawa / roda papat rupa manungsa, after that there will be a ceremony pamitan jenazah then it is carried into a grave to be buried jujugane omah guwa / tanpa bantal tanpa kelasa.
Bab Banget Bungah Ana Donya portrays a task of angel of death clearly. When there is already a command of God to take one’s life then the angel will do the task immediately, and the human will not be able to bargain. Property of world will not be valued when someone has been passed away.
Eling-Eling song is in line with, continues, and highlights the lesson in Syiir Bab
Banget Bungah Ana Donya Dan Syiir Bab Eling Pati. The religious lesson of the song is that humans have to prepare provision of good deeds after death. The provision of life after death is in the form of loyalty to do the commands of God, i.e. prayer and read the
Quran (ngaji). Human that has been died will be through suffering and agony if he/she
do not supply faith and deeds in all his/her life.
Summary
Vehicle shift is as one of alternative offers to simplify and expanse the society to accept the effect of literary communication, especially the Northern Coast of Central Javanese classic literature. Effort to preserve and increase appreciation of coastal literature must be encouraged because of the minimum of literature observers who gather to research coastal literature. Coast literature especially in the form of poem, develop in the proponent society. The other thing that matters most is coast classic
literature written in Arabic-Javanese (pegon) letter has not yet been invented well and
still scatters among the society. Therefore, it is needed Philology work to solve the problems. Conservation of coast literature can be done through inventory, description, innovation, or vehicle shift literary works of coast into another form of works suit to the era, so that past literature is still appreciated by the now generation.
19
References
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Jakarta: Editum
Hamidi, Jasim. Asyhari Abta. 2005. Syiiran Kiai-Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Muzakka, Muh. 2006. ”Puisi Jawa Sebagai Media Pembelajaran Alternatif di Pesantren: Kajian Fungsi terhadap Puisi Singir” Jurnal Alayasastra. Vol.2. Desember 2006.
Pasaribu, Amir. 1982. Analisis Musik Indonesia. Jakarta: Pantja Simpati
Pegeaud, T. H. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff.
Russo, William. 1988. Composing Music. Chicago: The University of Chicago Press
Semi , Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga