• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI MARIA DERMOỦT (1955) KE SYLVIA PESSEIRERON (2012). MENCERMATI ZONA KONTAK (PASCA)KOLONIAL DALAM 4 TEKS

SASTRA BERLATAR AMBON DARI RANAH SASTRA HINDIA-BELANDA

Christina Suprihatin

(Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)

Abstrak: Karya dari ranah Sastra Migran yang menghadirkan permasalahan yang terkait dengan keberadaan kaum migran di Belanda sudah dikenal sejak dua dasawarsa terakhir abad yang lalu. Pada saat ini teks tersebut masih saja menjadi objek penelitian yang menarik. Namun sebenarnya dalam ranah Sastra Belanda telah terlebih dulu ditemukan sekelompok penulis yang memiliki permasalahan yang serupa, dan mereka menuangkan ekspresinya dalam teks yang masuk dalam kategori sastra Hindia-Belanda. Sastra Hindia-Belanda memiliki keunikan karena secara tematik selalu berkaitan dengan Hindia atau Indonesia. Dalam ranah itu juga ditemukan karya yang ditulis oleh para pengarang keturunan Maluku.

Dalam tulisan ini beberapa 3 karya perempuan penulis keturunan Ambon akan dikaji untuk mendapatkan gambaran bangun zona kontak dalam ruang kolonial. Karya dari Wies van Groningen (2005), Yvon Muskita (2008), dan Sylvia Pesseireron (2012) ditelaah dengan mencermati fokalisasi para tokoh perempuan saat mereka ‘memotret’ Ambon. Dalam hal ini pendapat Marry L. Pratt (1991) mengenai contact zones menjadi dasar pemikiran untuk menelaah pengamatan ruang. Teori fokalisasi yang digagas Bal (1999) digunakan untuk memahami dan memaknai pencermatan itu. Terkait dengan konteks kesejarahan, karya Maria Dermout (1955), yang berlatar Ambon ditelisik dan selanjutnya ia menjadi model pembanding untuk tiga karya lainnya. Ketika keempat karya itu dibaca dengan kacamata poskolonial, muncul pertanyaan bagaimanakah zona kontak yang direpresentasikan pada masing-masing karya? Apakah gambaran yang dihadirkan mengalami pergeseran yang signifikan, mengingat rentang waktu penciptaan karya.

Kata kunci: penulis keturunan Maluku, diaspora, rekonstruksi gambaran Maluku, sastra Hindia-Belanda

Latar Belakang

Peristiwa yang terjadi pada masa kolonial dan dampaknya masih saja menjadi pusat perhatian di Negeri Belanda, berbagai tulisan dan telaah ilmiah yang terkait dengan masa lalu Belanda sebagai kolonis secara berkala dipublikasikan. Dalam bidang sastra, perhatian itu nyata terlihat pada berbagai karya dari ranah Sastra Hindia-Belanda. Menurut Nieuwenhuys (1978) sastra Hindia-Belanda mewadahi berbagai teks yang secara tematik membatasi diri pada hal-hal yang terkait dengan Hindia-Belanda dari masa VOC hingga masa kini.

Dalam ranah sastra Hindia-Belanda juga ditemukan beberapa karya yang ditulis oleh penulis keturunan Maluku. Pada tahun 1985 publik Belanda dikejutkan dengan karya Frans Lopulalan yang berjudul Onder de sneeuw een Indisch graf (Sebuah makam Indo di bawah salju). Dalam kumpulan cerita itu, sosok ayah yang pensiunan anggota KNIL, menjadi ‘model’ bagi para ayah Maluku yang karena pekerjaan mereka harus bermigrasi ke Belanda. Di barak-barak penampungan sosok ayah itu membesarkan anak-anaknya dengan pendidikan Timur yang keras. Pengarang keturunan

54

Maluku di Negeri Belanda yang sekarang masih aktif menulis ini merupakan generasi

kedua14 keturunan Maluku. Rekonstruksi gambaran Maluku, diaspora dan dampaknya

menjadi isu yang paling menonjol dalam karya para penulis keturunan Maluku.

Terkait dengan isu yang pertama, muncul pertanyaan bagaimana Maluku direkonstruksi dalam karya yang ditulis oleh perempuan penulis keturunan Maluku di Negeri Belanda? Pilihan yang dijatuhkan pada perempuan penulis bukan karena pertimbangan gender semata. Seleksi juga dikaitkan dengan konteks kesejarahan. Pada tahun 1955 Maria Dermoût, seorang perempuan penulis terkemuka dalam ranah sastra Hindia-Belanda mempublikasi karya yang berlatar pulau Ambon. De tienduizend dingen (Sepuluh Ribu Benda) diapresiasi dengan baik tidak hanya di Negeri Belanda, karya ini telah diterjemahkan dalam setidaknya tiga belas bahasa, penerbit Pustaka Jaya menerbitkannya dalam bahsa Indonesia dengan judul Taman Kate-Kate (1975).

Rekonstruksi Maluku dan Zona Kontak

Cerita karya Wies van Groningen (2005) Mijn voormoeders van de Molukken15

(Nenek Moyangku dari Maluku), karya Yvon Muskita (2008) Snijden en stikken. Het verhaal van kleermaker Boeng (Memotong dan menjahit. Kisah Boeng, si tukang jahit), dan roman Sylvia Pessireron (2012) De verzwegen soldaat (serdadu yang membisu) dikaji dengan mencermati gambaran Maluku yang dihadirkan. Dalam tulisan ini rekonstruksi Maluku dalam tiga karya tersebut menjadi oposisi binari dari karya Maria Dermoût. Rekonstruksi gambaran Maluku yang dicermati oleh para tokoh di Negeri Belanda dalam tiga karya perempuan penulis keturunan Maluku dikontraskan dengan gambaran Maluku yang dicermati oleh sosok tokoh yang berada di Hindia.

Dalam naratologi, Bal (1978) memilah tiga tingkatan yang ada dalam sebuah teks sastra, yaitu geschiedenis (cerita), verhaal (kisah), dan teks. Teks naratif ditulis oleh seorang pengarang berisi cerita yang dituturkan oleh pencerita, dalam cerita ditemukan kisah yang merupakan lakuan dan ujaran para tokoh. Selain menuturkan lakuan mereka, terkadang para tokoh dalam cerita mengujarkan pengamatan dan penilaian mereka atas suatu objek, tindak ini dikenal sebagai fokalisasi16.

Fokalisasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencermati gambaran (ruang) Maluku sebagai tempat pertemuan berbagai budaya, sebuah contact zone. Peristilahan

14 Generasi kedua merujuk kepada kelompok penulis keturunan Maluku yang orang tua mereka bermigrasi ke Belanda. Mereka lahir dan dibesarkan di Belanda. Kelompok ini tidak pernah tinggal di Maluku dan mendapatkan pengetahuan mengenai Maluku dari orang tua mereka dan/atau anggota keluarga lainnya. Pengetahuan mengenai Maluku dan wilayah lain di Hindia juga dibangun dari berbagai praksis budaya pada saat mereka berada dalam komunitas Maluku di Negeri Belanda. Kelompok ini merekonstruksi gambaran Maluku berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan dan menciptakan ‘mite’ mengenai Maluku. Karena diasopra yang dilakukan orang tua mereka bukanlah migrasi individual namun merupakan dampak dari berakhirnya kolonisasi di Hindia, seringkali dalam karya para penulis generasi kedua ini ditemukan berbagai motif yang terkait dengan kesejarahan dan dampak migrasi dari Hindia ke Belanda. Isu-isu yang terkait dengan permasalahan diaspora, seperti identitas, represi, resistensi dan negosiasi yang dilakukan orang Maluku di Negeri Belanda menjadi hal yang mengemuka dalam karya para penulis generasi kedua. Lebih dalam cermati tulisan Bert Paasman(2003) mengenai keberadaan penulis generasi kedua dalam sastra Hindia-Belanda.

15 beberapa fragmen dalam cerita tersebut sudah lebih dulu dipublikasikan dalam Clara Hukom;

Verhalen uit Blangkedjerèn (1995) dan Is militair, is militair (2000).

55

ini dipinjam dari pemikiran Pratt (1991). Dalam ruang kolonial selalu ada tempat, dan kesempatan yang mempertemukan penjajah dan yang dijajahnya, Pratt mendefiniskan zona kontak sebagai ‘social spaces where cultures meet, clash, and grapple with each other, often in contexts of highly asymmetrical relations of power, such as colonialism, slavery, or their aftermaths as they are lived out in many parts of the world today’. Meskipun gambaran Maluku/Hindia yang direkonstruksi tidak lagi berada dalam sebuah ruang kolonial yang nyata, pada praktiknya di Negeri Belanda masih ditemukan zona kontak serupa yang di dalamnya terjadi relasi kuasa yang asimetris.

Zona kontak yang ditelaah dalam tiga karya perempuan penulis keturunan Maluku meliputi ruang pertemuan pascakolonial yang mempertemukan orang Maluku dengan anngota kelompok Maluku lainnya, dan dengan kelompok budaya lain, misalnya Belanda. Persinggungan budaya sesama orang Maluku di Belanda terjadi dalam berbagai ruang, salah satunya adalah barak-barak penampungan yang menjadi tempat tinggal orang tua para tokoh ketika mereka pertama kali berada di Belanda. Hal ini tidak

lepas dari kenyataan bahwa orang tua mereka bekerja sebagai serdadu KNIL17 (Het

Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger).

Ambon: Sepuluh Ribu Benda dalam Satu Kesatuan

Maria Dermoût (1988-1962) tinggal di Ambon pada tahun 1910-1914 mengikuti suaminya, Isaac Johannes Dermoût, yang bertugas sebagai hakim. De tienduizend dingen dibagi enam bab yang pada awalnya sepertinya tidak saling terhubung: ada bab tentang manusia, binatang dan benda-benda lainnya di pulau Ambon, lingkungan hidup di Ambon dengan berbagai tumbuhan, laut dan beragam kerang, dan tentang mite dan tradisi di Ambon. Enam bab itu ternyata saling terhubung dan memiliki satu kesamaan, yaitu hadirnya ‘kematian’ dalam lima bab pertama. Keterkaitan tokoh utama dalam

roman ini, sosok Felicia18 (= Mevrouw Van Kleyntjes) dengan lima kematian itu

diungkap dalam bab terakhir. Dalam bab terakhir yang berjudul Allerzielen (para arwah) Felicia bertemu dengan mereka yang telah mati dan ia juga berkesempatan berbicara dengan pihak-pihak yang disangkakan bertanggung jawab atas kematian itu dalam sebuah pertemuan. Dalam bab terakhir harmoni dihadirkan: masa lalu dengan masa kini, dan antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Syair dari penyair Cina abad

17 KNIL didirikan pada tahun 1830, dan memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai perang yang terjadi di Hindia, misalnya dalam Perang Aceh. Pada saat pembentukannya setengah dari anggota KNIL berasal militer Hindia, misalnya Korps Barisan Madura. Jumlah penduduk lokal yang bergabung dengan KNIL terus meningkat. Setelah Perang Dunia Pertama, tiga perempat dari anggota KNIL merupakan penduduk lokal wilayah koloni, sebagian besar mereka berasal dari Jawa dan Maluku Selatan. Posisi perwira dalam KNIL hanya boleh diduduki oleh orang Belanda.

18 Selama tinggal di Ambon Maria Dermoût bersahabat dengan Johanna Louisa van Aart, perempuan keturunan Belanda yang sudah bergenerasi lamanya tinggal di Ambon. Johanna Louisa van Aart mengelola sebuah hotel di kota Ambon dan memiliki sebuah rumah peristirahatan di Kate-Kate. Persahabatan dengan Van Aart mengantarkan Dermoût mengenal banyak teks mengenai Ambon, di antaranya dua karya dari biolog abad ke-17 Georg Everhard Rumphius (1627-1702), D’Amboinsche Rariteitkamer dan Het Amboinsche Kruidboek. Sosok perempuan inilah yang menginspirasi Dermoût dalam penciptaaan sosok Felicia, tokoh utama dalam buku De tienduizend dingen (Freriks, 2000: 116-119).

56

ke tujuh, Ts’ên Shên19 menginspirasi Maria Dermoût, dan menjadi motto yang

diletakkan di bawah judul buku.

Ruang dan tempat dalam karya Maria Dermoût menentukan identitas para tokoh.

Zona kontak yang dihadirkan Dermoût – baik secara geografis maupun imajiner –

memperlihatkan persinggungan berbagai budaya di Ambon, antara Eropa (Belanda, Skotlandia) dengan budaya lokal (berbagai kelompok di Maluku, Jawa). Persinggungan budaya yang terjadi meski diwarnai dengan banyak kekerasan - lima kematian dalam enam cerita bukanlah jumlah yang kecil – juga menawarkan pembelajaran. Dalam berbagai skala, misalnya ketidakharmonisan dalam masyarakat yang memunculkan rasa saling curiga, memperlihatkan betapa rentannya persinggungan budaya tersebut. Dalam kutipan berikut ini diperlihatkan ketidakharmonisan.

(…) Watvoor mensen? (…) dit waren de mensen van het eiland niet, dit waren ‘de zwervers van de zee’, Binongko’s, zij hadden wel ergens een eigen eiland, velen van hen woonden op het eiland Boeton; zij bouwden die grote zeewaardige praauwen en zwalkten met kleine troepen over zeeën, gingen hier en daar eens aan land, brandden het oerwoud af, trokken een paar hutten op, legden paar veldjes aan, vingen een visje in de baai, en verdwenen dan weer, alles platgebrand achter zich latende. Zij waren een vreemd schuw soort mensen, zij spraken een eigen taak die niemand verstond, niemand wilde ook met hen te maken hebben20. (De professor, hal. 266-267)

Dalam kutipan di atas Raden Mas Soeprapto, seorang bangsawan dari kraton Solo Jawa Tengah yang menjadi asisten profesor dari Skotlandia yang melakukan studi di Ambon - memfokalisasi pandangannya terhadap orang Binongko. Soeprapto, yang digambarkan sebagai keturunan bangsawan Jawa memposisikan dirinya sejajar dengan penduduk lokal pulau Ambon dalam mencermati orang Binongko. Dalam zona kontak itu jelas hadir relasi kuasa, Soeprapto yang orang Jawa menempatkan orang Binongko sebagai yang Liyan. Sebagai asisten sang profesor, ia menjadi pihak inferior, namun ia memiliki kelebihan pengetahuan mengenai wilayah Hindia. Sebaliknya sang profesor sebagai pihak superior juga digambarkan mempunyai kekurangan, ia dengan segala kelebihannya – pengetahuan, posisi, dan eksitensi sebagai orang Eropa – tidak cukup mengenal wilayah Ambon. Ketika pihak superior tidak waspada dan menafikan kelebihan inferior dan menolak pengetahuan yang ditawarkan pihak inferior hal yang fatal dapat terjadi seperti yang digambarkan dalam bab De professor: sang profesor tewas dibunuh orang Binongko. Soeprapto yang digambarkan mengenal wilayah Ambon dan penduduknya, memfokalisasi kelompok masyarakat Binongko. Di dalam fokalisasinya terhadap orang Binongko, lagi-lagi hierarki dan relasi kuasa mengemuka. Mencermati gaya penceritaannya, roman ini berbeda dari karya (pos)kolonial lain dalam ranah sastra Hindia-Belanda, Dermoût adalah sedikit dari perempuan penulis dari

19 Di bawah judul, Maria Dermoût mengutip satu baris dari syair karya Ts'ên Shên: ‘Wanneer de

‘tienduizend dingen’ gezien zijn in hun eenheid, keren wij terug tot in het begin en blijven waar wij altijd geweest zijn.’ (Apabila sepuluh ribu benda dilihat dalam kesatuannya, maka kita akan

kembali ke awal mula dan berada di tempat semula). Pemikiran Tao ini menjadi landasan Maria Dermoût.

20 (…) Orang macam apa? (…) mereka bukan penduduk pulau ini, mereka adalah ‘pengembara lautan’, Orang Binongko, mereka memiliki pulau sendiri, sebagian besar tinggal di pulau Buton. Mereka membangun perahu-perahu yang besar dan mengembara di lautan dalam kelompok-kelompok kecil. Di sana sini mereka berlabuh, membakari hutan rimba, lalu membangun gubuk dan mengolah tanah itu, menangkap ikan di teluk dan setelah itu lalu menghilang, mereka membiarkan semuanya hangus terbakar demikian saja. Mereka merupakan kelompok manusia pemalu yang aneh, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti siapa pun. Tidak seorang pun mau berurusan dengan mereka.

57

ranah sastra ini yang memberi kesempatan kepada sosok penduduk lokal dalam bukunya untuk menyuarakan pendapatnya.

Dalam bab ke-4, Constance en de matroos, zona kontak mempertemukan orang Eropa sebagai pengkoloni dengan penduduk lokal. Dalam lingkungan rumah dan kebun sebuah keluarga Belanda dua kelompok dipertemukan: orang Belanda yang berada pada tataran sosial tertinggi di Hindia bersentuhan dengan penduduk lokal dari kelas sosial rendah. Fokalisasi yang detil dilakukan pencerita terhadap enam orang Ambon yang bekerja untuk pasangan Belanda. Bab ‘Constance en de matroos’ dituturkan oleh seorang pencerita ekstern dan objek fokalisasinya berpindah-pindah. Pemfokusan objek fokalisasi pada penduduk lokal seolah menyiratkan pentingnya kehadiran mereka dalam cerita. Penduduk lokal yang secara hierarkis berada di posisi inferior bukanlah pihak yang terabaikan. Dalam bab ini esensi cerita justru terletak pada sosok para pekerja lokal tersebut, bukan pihak Belanda. Gaya Dermoût menarasikan cerita dan pilihannya melakukan perpindahan fokalisasi memperkuat fungsi zona kontak seperti yang ditunjukkan oleh Pratt. Sebuah zona kontak tidak saja menjadi sebuah wilayah pertemuan yang sarat dengan ketimpangan kuasa, namun ia juga dapat menjadi ajang pembelajaran bagi pihak yang bertemu. Berbeda pada karya poskolonial lainnya, karya Dermoût ini menempatkan pihak inferior tidak hanya menjadi dekor pada sebuah ruang dan tempat saja, tetapi ia merupakan bagian dari peristiwa, dari sebuah cerita.

Nenek Moyangku dari Maluku

Dalam buku tipis (55 halaman) Wies van Groningen menuturkan sejarah nenek moyangnya yang berasal dari Maluku. Wies van Groningen adalah nama samaran dari Louise Metal yang lahir pada tahun 1929 di Blangkejeren, Kabupaten Gayo di Aceh Tenggara. Van Groningen berdarah Indo, ibunya dari Maluku dan ayahnya orang Belanda. Meskipun ibunya dari Maluku, ia dibesarkan dalam komunitas Belanda dan mendapat pendidikan Barat. Clara Hukom, ibu dari Wies van Groningen adalah anak

dari Louisa Hukom21, sosok yang dikenal baik oleh Maria Dermoût muncul dalam salah

satu karyanya.

Dalam De afstraffing pembaca mendapat informasi mengenai sosok utama seorang perempuan Ambon yang bersuamikan seorang Belanda dari pencerita. Pencerita tidak melakukan pencermatan yang mendetil terhadap sosok ibu dan juga ruang kolonial. Dalam cerita ini, zona kontak dihadirkan di barak-barak tempat tinggal anggota militer Belanda. Zona kontak itu mempertemukan sosok ibu dengan anggota militer lainnya, baik orang Belanda maupun orang Ambon lainnya. Kedekatan dan solidaritas komunitas orang Ambon ditunjukkan dengan pemilihan kata sapaan, (…) want onder elkaar worden oudere Ambonezen met oom (of tante) aangesproken22.

Dalam zona kontak terlihat relasi kuasa: para perwira, kopral, serdadu, militer dan sipil. Kekerasan hadir dalam ruang kolonial, dari makna judul cerita pembaca dapat memperkirakannya. Seorang serdadu menolak menjadi pemanggul barang dalam sebuah patroli di Hindia. Si serdadu tidak sanggup membawa empat puluh kilo barang selama satu bulan berpatroli karena memiliki ketidaksempurnaan bentuk telapak kaki. Tidak ada penolakan yang berterima dalam zona kontak itu, pihak yang tertindas harus

21 Dalam cerita yang berjudul ‘De goede slang’ dari kumpulan cerita De sirenen (1963) Dermoût menceritakan tentang Louisa, seorang penjahit yang bekerja untuk keluarganya. Louisa digambarkan sebagai sosok pendongeng yang mampu memesona para pendengarnya.

22 Karena di antara kami, kami menyapa orang Ambon yang lebih tua dengan sapaan om atau tante.

58

melaksanan apa pun yang menjadi keinginan kaum superior. Untuk menebus kesalahan, hukuman fisik harus dijalani: 50 puluh kali pukulan dengan kayu pada tubuh korban yang diikat pada sebuah tonggak.

Kehadiran perempuan yang menjadi saksi pemukulan itu memperkuat patriarki dalam ruang kolonial, seorang perempuan tidak layak hadir dalam ranah publik yang mempertontonkan kuasa laki-laki. Perempuan dibungkam dan dibuat tidak berdaya untuk menyuarakan kemuakan mereka terhadap praktik kekerasan semacam itu. Menarik untuk mencermati bagaimana sosok perempuan Ambon digambarkan dalam cerita: mereka hadir sebagai perempuan yang lantang bersuara, dan cerdik membaca situasi. Dengan kecerdikannya – sosok ibu selama lima tahun ia menetap di barak di Blankejeren – berhasil menghentikan praktik kekerasan fisik untuk menghukum serdadu. Ketika suaminya, seorang laki-laki Belanda, superior dan memiliki kuasa, dan juga perwira Belanda lainnya tidak berhasil mengakhiri tindak kekerasan semacam itu, sosok ibu berdarah Ambon mampu menyelesaikannya. Terlalu banyak yang dipertaruhkan oleh kelompok superior untuk membuat - karier dan mutasi dalam pekerjaan – yang menghalangi mereka membuat terobosan di ruang kolonial.

Dalam karya Wies van Groningen, ruang kolonial yang dihadirkan melalui zona kontak di barak militer adalah ruang yang rentan dengan ketimpangan kuasa, sarat dengan tindak kekerasan. Namun sekaligus menjadi ajang pembelajaran betapa sosok inferior yang dianggap lemah mampu bernegosiasi dan menghasilkan perbaikan dalam zona kontak yang ada.

Dari Ambon Menuju Tempat yang Terlupakan

Yvon Muskita lahir pada tahun 1958 di kamp untuk orang Ambon di Venray. Pada usia sangat muda ia sudah meninggalkan kamp untuk tinggal bersama keluarga Belanda yang mengasuhnya. Debutnya terbit pada tahun 2008, Snijden en stikken, het leven van kleermaker Boeng. Tokoh utamanya adalah Boeng, anak seorang perwira KNIL yang harus meninggalkan Indonesia bersama orang Maluku lainnya. Di Belanda mereka ditempatkan di barak-barak yang berada di Belanda Timur, dan akhirnya mendapat sebuah rumah di wilayah yang sengaja dibangun untuk orang Maluku. Pekerjaan sebagai penjahir menempatkannya ada di tengah masyarakat Maluku migran tersebut, namun pada saat yang bersamaan keberadaannya yang lajang mengisolasinya. Ia menjahit baju untuk anak-anak, baju pengantin , dan baju yang dikenakan orang mati. Di penghujung usianya, kenangan masa lalu membawanya ke masa mudanya di Hindia, dan perpindahannya ke Belanda.

Cerita dituturkan oleh seorang pencerita akuan, yang sekaligus menjadi fokalisator utama. Setidaknya ada tiga tataran cerita dalam karya Muskita ini, yang pertama tokoh-aku menuturkan kehidupannya sebagai seorang penjahit. Kedua, berisikan sejarah orang Maluku di Belanda, yang ketiga pencerita menuturkan permasalahan yang dihadapi generasi kedua keturunan Maluku di Belanda yang diwakili oleh sosok Myra.

Dalam karya Muskita, zona kontak dalam ruang kolonial didominasi tempat-tempat yang mempertemukan Boeng dengan anggota masyarakat Maluku lainnya di Belanda. Buku in terdiri dari tiga bagian, masing-masing memperlihatkan zona kontak yang spesifik. Bab 1, de reis (perjalanan) yang berisi kenangan perjalanan dari Belanda, serta kehidupan saat awal berada di Belanda, situasi di barak dan masih besarnya keinginan untuk dapat kembali ke Maluku, negeri leluhur mereka. Bab kedua De wijk (tempat hunian) berisi kesulitan beradaptasi dengan Negeri Belanda, serta negosiasi yang dilakukan untuk dapat menerima kenyataan keberadaan di Belanda.

59

Dalam bab 2 zona kontak mempertemukan orang Maluku dengan penduduk Belanda, dalam zona kontak ini diperlihatkan persinggungan yang tidak berjalan mulus, penolakan dari kedua belah pihak. Dalam bab yang sama zona kontak yang mempertemukan sesama orang Maluku diperlihatkan permasalah keterpisahan antara orang tua dan anak-anak mereka, antara generasi pertama orang Maluku dan generasi kedua. Bila pada bab 1 generasi pertama mengalami kesulitan beradaptasi, pada bab ke-2 dalam berbagai zona kontak diperlihatkan kesulitan generasi kedua untuk berintegrasi dengan masyarakat Belanda, tokoh Myra digamabrkan tinggal dan bekerja di Den Haag. Bab ketiga, De trein (kereta api) menceritakan perjalanan Boeng ke Den Haag untuk bertemu dengan Myra. Permasalahan yang dihadapi generasi kedua memecahbelah kelompok masyarakat Maluku di Belanda dan menyeret sebagian menjadi sangat radikal. Banyak pemuda/I dari generasi kedua putus sekolah, tidak memiliki pekerjaan dan jatuh dalam jerat candu. Beratnya masalah yang dihadapi generasi kedua