• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIS MOTIF BATIK YOGYAKARTA

Endang Nurhayati Suharti, Rahmi D Andayani

(FBS Universitas Negeri Yogyakarta – Indonesia)

Abstrak: Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam masyarakat dan tergambar dalam seumlah karya sastra Jawa. Sumber data penelitian adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan kostum batik. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (1) Batik merupakan salah satu unsur busana pokok dalam busana tradisional Jawa, berbentuk blangkon, jarik, dan selendhang dengan berbagai macam motif dan maknanya. (2) Macam motif batik berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen sebagai simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. (3) Simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa.

Kata kunci: motif batik Yogyakarta, makna simbolis motif batik Pendahuluan

Berbicara hal batik sudah tidak asing lagi bagi pendengaran kita orang Indonesia khususnya orang Jawa. Batik adalah lukisan atau gambar yang dibuat dengan alat canthing. Orang melukis atau membuat gambar di atas kain mori disebut membatik (Jawa: mbathik), yang menghasilkan bathikan (Hamzuri, 1981). Batik yang dihasilkan di sini adalah yang disebut batik tulis oleh masyarakat Jawa, batik yang proses pembuatannya melalui berbagai tahapan dengan berbagai peralatannya. Dapat dikatakan bahwa batik yang dibicarakan di sini adalah batik klasik, klasik dalam pembuatannya maupun klasik dalam motifnya. Bukan batik yang ada dalam pikiran orang pada umumnya saat ini.

Batik klasik berbahan pokok mori dari katun bukan sekedar kain putih berbahan sintetis atau lainnya. Wujud batik yang dihasilkan adalah jarik atau kain panjang, selendhang, blangkon yang merupakan unsur pokok dalam busana Jawa tradisional, dan tentunya dengan berbagai ukurannya masing-masing sesuai peruntukannya. Kenapa bahan mori dari katun karena batik itu pada masa dulu (juga sekarang) yang dihasilkan adalah kain panjang yang disebut jarik atau nyamping untuk perempuan dan bebed untuk pria. Jarik dan bebed dalam pemakaiannya perlu dilipat-lipat atau diwiru pada bagian luarnya dan juga dengan motif-motif batik beraneka ragam. Klasik pada proses pembuatannya, dapat dilihat dari penyiapan mori yang digambar, peralatan membatiknya dari gawangan, anglo, tepas, kemudian canthing, malam untuk menggambar polanya. Setelah penggambaran atau yang umum disebut mbatiknya

106

selesai kemudian masuk ke pewarnaan atau disebut mbabar. Mbabar adalah proses penyelesaian pembatikan menjadi kain dengan berbagai bahanya,misalnya nila, tebu, tajin, soga. Pelaksaan pewarnaan atau mbabar batikan menjadi kain panjang yang siap pakai, tahapannya adalah medel (mbironi), nyoga, nyareni, dan yang terakhir nglorod terus dijemur dengan cara diangin-anginkan tidak dijemur di bawah sinar matahari nanti mengakibatkan pewarnaan menjadi rusak (Hamzuri, 1981). Sedangkan motif yang dihasilkan oleh pembatik-pembatik tersebut juga memiliki kekhususannya masing-masing baik dari kualitas, kerapihan maupun keindahannya.

Batik memiliki berbagai motif dan corak tertentu dengan berbagai isen-isen (ornamen yang diisikan dalam pola gambar batik) dan tidak hanya memperlihatkan keindahannya, tetapi juga dalam motif tersebut mengekspresian simbol-simbol yang berisikan harapan atau petunjuk taupun keinginan dari para pemakainya. Kain batik dengan motif yang terwujud dalam simbol tertentu tersebut memuat harapan ataupun keinginan si pemakai yang biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pula.

Makalah ini bertujuan menguraikan makna simbolis batik Yogyakarta yang dikaitkan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa yang masih hidup dalam masyarakat dan tergambar dalam sejumlah karya sastra Jawa. sumber data penelitian adalah dokumentasi upacara tradisional Jawa yang berkaitan dengan daur hidup dan karya-karya sastra Jawa yang mengangkat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan kostum batik.

Batik sebagai Salah Satu Unsur Pokok Busana Tradisional Jawa

Busana merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia setelah pangan, busana diartikan sebagai sesuatu yang dikenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maka berbicara busana tak akan pernah ada habisnya di sepanjang masa kehidupan manusia. Manusia dengan busana dapat melindungi diri dari panas, dingin, angin, dsb. Dengan busana manusia dapat memperlihatkan kerapihan, kesopanan, keserasian, yang ini semua dapat memperlihatkan keindahan dalam penampilannya. Keserasian berbusana dapat dilihat dari padu padan asesoris, tata rias, tata rias rambut, dan sebagainya, termasuk di dalamnya busana tradisional. Busana tradisional adalah busana yang bercirikan lokal tetentu, misalnya busana Jawa tradisional.

Perangkat busana pada masa lalu dibedakan menjadi lima, yakni bagian kepala, bagian dada, bagian pinggang, bagian perut sampai lutut, dan bagian kelima adalah bagian di bawah lutut, pembagiannya didasarkan pada keinginan untuk menonjokan bagian tertentu yang dianggap indah, misalnya bagian pinggang ditonjolkan karena langsingnya (Nurhadi, 2012). Pada dewasa ini busana tradisional Jawa keinginan menonjolkan bagian tertentu dari badan, dapat dibedakan menjadi tiga, yakni bagian (kepala), bagian badan, dan bagian bawah (kaki), disertai asesoris sesuai dengan keperluannya. Ketiga pembagian busana Jawa dibedakan antara pria dan wanita, seperti berikut.

per jenis

busana kelamin Pria wanita

Bagian atas Blangkon + asesoris Sanggul + asesoris

Bagian badan Surjan, beskap+ asesoris Kebaya, semekan + asesoris Bebed, kampuh Jarik/ nyamping, kampuh Lonthong, kamus Streples, setagen

107

Dari ketiga pembagian perangkat busana tadi yang merupakan pokok dalam berbusana adalah bebed – blangkon dan jarik – semekan. Salah satu unsur pokok busana dalam masyarakat Jawa biasa digunakan kain panjang bebed – blangkon dan jarik – semekan adalah batik. Berikut adalah contoh busana Jawa tradisional Jawa yang menggunakan bebed – blangkon dan jarik – semekan batik yang digunakan pada upacara alit atau busana sehari-hari.

Batik: bebed – blangkon dan jarik -semekan

Foto di atas menunjukkan bahwa penggunaan batik motif kawung sesuai dengan peruntukan batik pada anggota keluarga keraton Yogyakarta pada pembicaraan “Busana Jawa Kuna” (Alit Veldhuisen, 1972 dalam Noerhadi, 2012). Batik motif kawung termasuk motif larangan untuk dipakai orang kebanyakan.

Pada upacara pernikahan yang terdapat di luar keraton digunakan kain bebed – blangkon motif sida asih untuk pasangan pengantin. Pada busana pria bagian atas menggunakan surjan warna krem sama warnanya dengan pengantin putri menggunakan kebaya brokat. Sedangkan orang tua pengantin menggunakan bebed – blangkon dan jarik menggunakan motif batik truntum ceplok gurda, seperti gambar di bawah ini.

108

Gambar berikut pengantin juga menggunakan batik motif sida asih.

Batik sida asih (pengantin)

Bila busana batik yang ditemukan saat ini dengan yang dituliskan di primbon terdapat sedikit perbedaan. Dalam Primbon disebutkan bahwa batik yang digunakan oleh orang tua dan calon pengantin berbeda bergantung pada upacaranya. Pada waktu acara tarub orang tua menggunakan batik motif cakarayam, pada acara midodareni sampai ijab menggunakan truntum, untuk pengantin menggunakan batik motif nitik dan waktu ijab menggunakan truntum (Soemadidjojo, 1965).

Motif Batik Yogyakarta

Yogyakarta sudah tidak asing lagi bila disebut sebagai kota batik. Di Yogyakarta terdapat keraton yang digunakan sebagai sumber tentang hal yang berkaitan dengan batik. Perjalanan batik di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari peristiwa perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 menyebabkan kraton Mataram dibagi dua yakni Surakarta dan Yogyakarta. Semua benda-benda dibagi menjadi dua, hanya busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta. Yogyakarta yang akan melestraikan busana Mataram, dan Surakarta mencipta busana sendiri yang berbeda dengan busana Mataran yang dilestarikan di Yogyakarta. Pada akhirnya busana keraton Yogyakarta memiliki ciri tersendiri, begitu pula Surakarta juga memiliki busana dengan ciri yang berbeda, dengan penuangan dalam motif yang khusus pula.

Ciri batik Yogyakarta dilihat dari latar-nya (warna dasar) dan warna batikya dapat putih (warna mori), biru kehitaman, dan coklat soga, warna sered (pinggiran kain) apapun latarnya tetap putih warna mori (Kusumo Harimawan, 1426 H).

Motif batik secara umum dapat dibedakan menjadi dua: (1) motif geometris

Motif geometris dihiasi dengan terdiri dari motif-motif ilmu ukur, yang dimulai dari titik, menjadi garis, lingkaran, dan sebagainya, yang susunannya terlihat secara vertikal, horisontal, dan diagonal. Motif geometris dapat dibedakan menjadi (a) motif lereng atau parang yang polanya berupa lajur-lajur yang berisi isen-isen (ornamen) yang berbeda-beda. Sedangkan (b) motif ceplok, yang motif utamanya berupa bunga, buah, bintang, lingkaran, bujur sangkar dll, yang susunannya juga seperti geometris lereng disusun secara vertikal, horisontal, dan diagonal.

109

motrsedangkan motif non-geometris dihiasi terutama terdiri dari : flaura, fauna, bangunan-bangunan dan sayap dalam berbagai bentuk dan benda-benda alam (Prawirohardjo, 2002). Berikut contoh kain panjang dengan motif:

(a) Motif geometris lereng

Parang barong

Udan liris (2) Motif geometris ceplok

110

Batik motif semen

Berbagai motif batik, baik yang geometris maupun yang non-geometris yang berupa motif semen, nitik dan lereng dengan berbagai motif pokok dan isen-isen berupa simbol-simbol yang berisi makna tertentu. Simbol-simbol dalam kehidupan manusia tersebut berujud penggambaran lingkungan alam sekitarnya seperti bentuk parang, geometri, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Berikut akan dibicarakan simbol-simbol bermakna dari ornamen utama dan isen-isen dari motif batik yang terkait dengan upacara tradisional pernikahan yang masih dilaksanakan di daerah Yogyakarta.

Makna Simbolis Batik Yogyakarta

Batik Yogyakarta yang berisi simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa.

Isen-isen atau ornamen yang di dalam motif batik banyak variannya yang masing-masing memiliki makna sebagai harapan dalam kehidupan pendukungnya. Penggunaan isen-isen ternyata tidak sekedar diisikan di suatu pola batik tetapi dirancangkan pada suatu pola batik disesuaikan dengan peruntukannya. Motif batik memiliki peruntukannya masing-masing, misalnya motif parang rusak, parang barong diperuntukkan bagi raja, sedangkan orang biasa dapat menggunakan motif tambal sewu atau semen. Begitu pula untuk upacara berkaitan dengan upacara pernikahan, seperti telah disebutkan di atas pada umumnya menggunakan nitik, truntum, grompol, dan semen. Berikut akan dibicarakan makna simbolis dari motif batik yang digunakan.

Motif batik yang pada upacara pengantin terbatas jumlahnya, karena tidak akan sembarang memilih motif batiknya, misalnya pengantin dijariki atau dibebedi dengan jarik atau bebed motif kapal kandhas. Yang akan dibicarakan makna simbolis batik Yogyakarta terkait pernikahan adalah, motif truntum, motif cakar, grompol, dan semen.

Motif truntum pada umumnya digunakan oleh orang tua pengantin pada waktu diadakan pawiwahan atau pada waktu ijab. Motif truntum digunakan pada upacara siraman (Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993) dan digunakan oleh orang tua pada upacara midodareni, ijab, dan dipakai oleh pengantin putri pada waktu midodareni. Batik motif truntum tergolong motif geometris ceplok. Kata truntum

111

memiliki arti ‘trubus’, thukul’ (Sudaryanto dan Pranawa, 2001), motif ini mengandung makna dan harapan agar keluarga yang baru dapat thukul ‘tumbuh’ menjadi keluarga yang dapat berkembang dan memekarkan kehidupan sesuai dengan cita-citanya (Hermanto Bratasiswara, 2000), sebagaimana tergambar dalam motif berikut ini.

Motif lain yang digunakan dalam upara pernikahan adalah motif grompol, termasuk kelompok geometris ceplok. Grombol dalam bahasa Jawa berarti berkumpul atau bersatu, melambangkan harapan orang tua agar semua hal yang baik akan berkumpul, yaitu rejeki, kebahagiaan, kerukunan hidup, ketentraman untuk kedua keluarga pengantin. Selain itu, juga bermakna harapan supaya pasangan keluarga baru itu dapat berkumpul atau mengingat keluarga besarnya ke mana pun mereka pergi (updated: Feb 4th, 2013). Motif batik lain yang digunakan pada panggih antara lain motif sida asih. Sida asih tergolong motif non-geometris semen. Kata sida berarti jadi dan asih berarti cinta kasih, pengantin menggunakan batik motif ini yang empunya hajad dan tentunya pengantin memiliki harapan agar keluarga baru yang akan dibangun mendapatkan cinta kasih, kasih sayang dan harapannya nantinya dapat membangun keluarga yang selalu dipenuhi rasa kasih sayang sehingga keluarganya tenteram dan damai (updated: Feb 4th 2013). Batik motif sida asih seperti gambar berikut ini.

Penutup

Batik yang merupakan salah satu unsur pokok dalam busana tradisional Jawa berbentuk blangkon, bebed, jarik, dan semekan pantas untuk diperbicangkan. Pada batik yang dikenakan memiliki motif batik geometris dan non-geometris seperti motif parang, nitik, semen dsb yang berisi isen-isen atau ornamen yang berwujud simbol-simbol dalam kehidupan manusia berujud penggambaran alam sekitarnya. Simbol-simbol tersebut tidak sekedar penggambaran lingkungan sekitarnya, tetapi mengandung makna yang berisi ungkapan-ungkapan harapan kehidupan yang diinginkan. Misalnya motif truntum berisi harapan agar pengantin dapat memanngun keluarga yang selalu tumbuh rejekinya. Makna tersebut seterusnya diharapkan dapat menyemangati orang untuk bersikap hidup sesuai makna lambang, yang semuanya hanya akan terlaksana atas ijin Yang Maha Kuasa.

112 Daftar Rujukan

Hermanto Bratasiswara, 2000. Buwarna Adat TataCara Jawa. jakarta: yayasan Suryasumirat.Penerbit Djambadan.

Hamzuri. 1981. Batik Klasik. Jakarta: Penerbit Djambadan

Prawirohardjo, Oetari Siswomihardjo. 2002. Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang Dilupakan.yogyakarta: Penerbit Aksara.

Soemodidjojo, 1993. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Ngayogyakarta Hadiningrat: Soemodidjojo Mahadewa.

Sri Supadmi Murtiadji dan Suwardanidjaja, 1993. Tata Rias Pegantin Gaya Yogyakarta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto dan Pranawa (ed). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa.yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa

113