• Tidak ada hasil yang ditemukan

AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA: AGENDA KE DEPAN

C. Beberapa Agenda

Dikaitkan dengan Pemilu 2014 yang akan berlangsung sebentar lagi, berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilu harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi. Selain sebagai wujud pelaksanaan demokrasi, pemilu menjadi penting bagi perempuan, karena:

1. Pemilu merupakan mekanisme yang dapat mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga pembuat undang-undang (legislatif) dan kebijakan publik;

4 Ibid.

5 “Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif”, Teraju, Republika 28 Agustus 2013. Data lain menyebutkan persentase caleg perempuan sebesar 37,4%. Lihat “Menimbang Wajah Baru Calon Legislatif”, Kompas, 2 September 2013.

2. Keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga tersebut penting agar rancangan undang-undang (RUU) serta kebijakan publik yang dihasilkan memperhatikan kepentingan perempuan dan tidak diskriminatif terhadap perempuan;

3. Perempuan mempunyai kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri;

4. Perempuan merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk yang seharusnya mempunyai peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan masyarakat adil dan demokratis;

5. Sama seperti laki-laki, perempuan mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.

Dengan berbagai argumentasi tersebut di atas, peningkatan partisipasi politik perempuan, terutama di lembaga legislatif, menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Oleh karena itu, berbagai upaya harus terus dilakukan untuk mengatasi hambatan yang dihadapi oleh perempuan yang akan memasuki dunia politik, baik hambatan yang bersifat struktural maupun kultural, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Meskipun jumlah perempuan di lembaga legislatif terus mengalami peningkatan dari pemilu ke pemilu, namun sampai saat ini jumlah tersebut belum mencapai 30% sebagai “minoritas kritis” (critical minority) agar suara perempuan “terdengar” dan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengakselerasi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga tersebut.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: pertama, memperluas cakupan affirmative action. Selama ini affirmative action lebih banyak diatur dalam undang-undang tentang pemilu dibanding dalam 2 undang-undang lainnya yang terkait dengan pemilu, yaitu undang-undang tentang partai politik dan undang-undang tentang penyelenggara pemilu. Pemberlakuan affirmative action sebaiknya juga mulai diterapkan dalam internal partai yang merupakan peserta pemilu. Hal ini penting untuk mendukung efektivitas affirmative action yang selama ini sudah cukup diakomodasi dalam undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, terutama undang-undang tentang pemilu. Keterwakilan 30% untuk perempuan dalam kepengurusan parpol yang diatur dalam undang-undang tentang partai politik tidak akan berarti banyak bila penempatan perempuan dalam struktur kepengurusan parpol tersebut mengabaikan kualitas perempuan. Dengan memperhitungkan kualitas perempuan yang ditempatkan dalam kepengurusan parpol, kecenderungan selama ini yang terjadi di mana parpol sekedar memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan juga dapat dihindari.

Upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kader perempuan yang ditempatkan dalam kepengurusan parpol ini tidak terlepas dari pola rekrutmen yang dilakukan oleh parpol untuk mencari kader bagi partainya. Kajian yang dilakukan oleh Puskapol Fisip UI tahun 2009 tentang mekanisme rekrutmen kader di 7 parpol di DPR berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi dalam rekrutmen partai, yaitu:6

1. Pada umumnya partai belum memiliki prosedur rekrutmen yang mapan, sehingga rekrutmen lebih bersifat instan tanpa kriteria dan prosedur yang jelas;

2. Partai masih mengandalkan basis dukungan lama, yang seringkali telah mengalami pergeseran. Hal ini menyebabkan partai menjadi relatif pasif dan kurang inovatif dalam mengeksplorasi pendekatan untuk menjaga dan memperluas basis pendukung;

3. Rekrutmen kandidat di internal partai untuk maju dalam pemilihan umum kurang memperhatikan aspek kinerja bakal calon.

Realitas selama ini menunjukkan, parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang ingin menjadi kader partai. Belum semua parpol memberikan perhatian khusus untuk menjaring dan mengader perempuan sebagai anggota, bahkan kuota 30% lebih banyak digunakan parpol sebagai ajang memenuhi persyaratan agar dapat mengikuti pemilu daripada menjaring kader perempuan yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari data caleg Pemilu 2014 yang sebagian besar berasal dari kalangan swasta dan bisnis (50,9%) dan hanya kurang dari 10% yang berlatar belakang sebagai politisi sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 18

Latar Belakang Caleg Perempuan Pemilu 2014

Latar Belakang Persentase (%)

Swasta dan bisnis 50,9

akademisi 9,5 politisi 7,6 profesional 4,7 pensiunan 4,1 artis 0,9 Pejabat pemerintah 0,4 Tokoh agama 0,2

Sumber: “Kuota Perempuan, Sebuah Pekerjaan Rumah”,

Kompas, 30 September 2013.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa perempuan yang menjadi caleg pada Pemilu 2014 yang berlatar belakang politisi persentasenya kurang dari 10%. Caleg perempuan terbanyak justru berasal dari kalangan swasta dan bisnis (50,9%). Ke depan, idealnya caleg perempuan yang diajukan oleh parpol adalah caleg perempuan yang berlatar belakang politisi, dan bukan kader instan yang baru bergabung dengan parpol tersebut beberapa saat sebelum pemilu diselenggarakan. Perlu dilakukan pembatasan, kader yang dapat diajukan sebagai caleg adalah mereka yang sudah menjadi kader minimal sekian tahun. Kalaupun parpol membuka pendaftaran kepada masyarakat luas untuk menerima kader baru, hal itu harus dilakukan jauh hari sebelum proses pemilu dilaksanakan.

Kedua, memperberat sanksi bagi parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar caleg. Apabila selama ini sanksi terhadap partai yang melanggar ketentuan tersebut masih sebatas diatur dalam Peraturan KPU, sebaiknya ke depan sanksi tersebut dicantumkan dalam undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Sanksi ini dapat berupa penolakan daftar partai peserta pemilu yang tidak memenuhi persyaratan kuota atau sanksi keuangan dalam bentuk hilangnya hak atas dukungan dana kampanye.

Ketiga, melakukan pendidikan politik, yang merupakan salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh partai. Secara umum pendidikan politik ini dapat dibagi dua. Pertama, pendidikan politik bagi perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg). Dan kedua, pendidikan politik bagi perempuan yang menjadi pemilih, terutama mereka yang baru pertama kali memilih atau dikenal sebagai perempuan pemilih pemula.

Perempuan-perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) merupakan calon-calon aktor politik, sehingga perlu dibekali dengan pendidikan yang cukup agar mereka lebih berkualitas dan berperspektif gender. Hal ini sangat penting, agar mereka nantinya dapat memiliki kemampuan yang handal untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan perempuan secara maksimal. Demikian pula dengan perempuan yang akan menjadi pemilih dalam Pemilu 2014, perlu diberikan pendidikan agar mereka hanya memilih caleg yang berkualitas dan berperspektif gender.

Beberapa materi yang perlu diberikan kepada para perempuan yang menjadi caleg antara lain:

• Sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, termasuk konstitusi, lembaga-lembaga negara, dan tata pemerintahan yang baik; • Sistem pemilihan umum;

• Membangun citra diri; • Komunikasi politik; • Menggalang dana; dan • Membangun jejaring.

Adapun bagi perempuan pemilih, beberapa materi yang perlu disampaikan antara lain:

1. Informasi mengenai kondisi obyektif partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik saat ini, termasuk proporsi jumlah penduduk perempuan dengan jumlah perempuan yang menduduki jabatan-jabatan politik.

2. Informasi mengenai hak asasi perempuan, termasuk hak politik perempuan dan bagaimana menggunakan hak-hak tersebut;

3. Informasi mengenai undang-undang yang berkaitan dengan bidang politik;

4. Pengetahuan mengenai peran perempuan dan isu gender dalam politik, termasuk pengenalan terhadap konsep gender, konsep kesetaraan dan keadilan gender;

5. Pentingnya memilih parpol yang berperspektif gender dan konsekuensi dari pilihan tersebut.

Ketiga langkah tersebut di atas diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan keterwakilan di lembaga legislatif. Menurut pendapat penulis, ketiga langkah ini jauh lebih realistis dibanding mengadopsi affirmative action melalui reserved seats, yaitu memberikan sejumlah kursi kepada perempuan. Di beberapa negara seperti Tanzania dan India hal ini memang efektif dalam meningkatkan representasi perempuan. Akan tetapi di Indonesia penerapan teknik ini akan menghadapi berbagai kendala, terutama ketidaksiapan perempuan yang akan mengisi kursi yang akan diberikan untuk perempuan. Sebelum teknik ini diterapkan, sebaiknya perempuan benar-benar disiapkan untuk mengisi kursi ini, dengan melakukan peningkatan kapasitas bagi caleg perempuan sehingga perempuan yang duduk di kursi ini adalah perempuan yang berkualitas dan dapat menyuarakan dan membela kepentingan kaum perempuan, tidak sekedar menjadi “boneka” pajangan yang duduk untuk memenuhi jumlah kursi yang diberikan kepada perempuan.

Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik”, dalam Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Achie Sudiarti Luhulima (ed.), Jakarta: Convention Watch bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007.

A.D. Kusumaningtyas, “Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Anne Phillips, The Politics of Presence, Oxford: Clarendon Press, 1995.

Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005. Carol Lee Bacchi, The Politics of Affirmative Action: ‘Women’, Equality and Category

Politics, London-Thousand Oaks-New Delhi: SAGE Publications, 1996.

Eep Saefulloh Fatah, “Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. IFES, Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: IFES, tanpa tahun. Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012.

Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik.

Inter-Parliamentary Union, Equality in Politics: a Survey of Women and Men in Parliaments, Reports and Documents No. 54, 2008.

Isbodroini Suyanto, Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan, dalam Ihromi, TO (eds). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, …..(tahun…).

Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Kerja Sama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik.

Kemitraan, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011. Marwah Daud Ibrahim, Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan

Mengapa Tidak? Dalam Mely G. Tan (ed), Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

M,B. Wijaksana (ed), Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004.

Mely G. Tan, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999.

Nia Sjarifudin, Peningkatan Keterwakilan Perempuan: Sebuah Keniscayaan untuk Sebuah Perubahan, dalam Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Naskah Rekomendasi Kebijakan Representasi Perempuan dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu, , Desember 2010.

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992.

Sali Susiana, “Perda tentang Antipelacuran dan Hak Perempuan (Kajian tentang Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: Perspektif Feminis Radikal)”, Majalah Ilmiah KAJIAN Vol. 11, No. 2 Juni 2006. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Sali Susiana, Sulasi Rongiyati, dan Nurul Hilaliyah, Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER-United Nations Development Programme Indonesia, 2008.

Sali Susiana dan Dian Cahyaningrum, Implementasi Pasal tentang Affirmative Action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Studi di Provinsi Maluku Utara), Jurnal Kajian Vol. 15, No.1 Maret 2010, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011.

Sali Susiana, Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014, laporan penelitian, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI , 2013, tidak diterbitkan. Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara

Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Sandra Kartika (ed.). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Panduan bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999.

Makalah/Jurnal

Aisah Putri Budiarti, “Pemilu Tak Ramah Perempuan”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009.

Fajrul Fallah, “Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, Catatan Awal Tahun Women Research Institute, diselenggarakan oleh Women Research Institute, 21 Januari 2009.

Sri Budi Eko Wardani, Revisi UU Pemilu dan Keterwakilan Perempuan, makalah, 18 November 2011.

Women Research Institute, Pemilu 2009: Suara Terbanyak vs Nomor Urut (Studi atas Pemilu Legislatif 2009 di Indonesia, 12 Maret 2010.

Surat Kabar

Media Indonesia, 26 September 1996.

“Jumlah Caleg: KPU Tetapkan Maksimal 675 Calon untuk DPR,” Kompas, 3 Oktober 2008.

“Komisi Pemilihan Umum,” Republika, 7 Oktober 2008.

“10 Partai Langgar Ketentuan Zipper,” Media Indonesia, 8 Oktober 2008. “Komisi Pemilihan Umum,” Republika, 31 Oktober 2008.

“Kemajuan Semu Perempuan Indonesia”, Kompas, 11 Maret 2011. “Ormas Dilarang Jadi Sayap Partai,” Republika, 19 Februari 2013. “Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013.

“Nomor Urut Masih Sakti,” Teraju Republika, 29 April 2013.

“Kuota 30 Persen Perempuan Berpeluang Dilanggar,” Suara Pembaruan, 2 Juli 2013.

“Surat Suara Horisontal,” Media Indonesia, 29 Juli 2013.

“Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif,” Teraju, Republika, 28 Agustus 2013. “Menimbang Wajah Baru Calon Legislatif”, Kompas, 2 September 2013. “Kuota Perempuan, Sebuah Pekerjaan Rumah”, Kompas, 30 September 2013. Internet

Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan Konstitusi tanggal 22 August 2013, http://www. komnasperempuan.or.id/2013/08/siaran-pers-komnas-perempuan-kebijakan-diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 23 Oktober 2013.

Lain-lain

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Mengapa Perempuan Perlu di Lembaga Pengambil Keputusan, Buklet Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, 2006.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Perihal Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Mengertikah Anda? Begitu Banyak Peluang bagi Perempuan dalam Menyelenggarakan NKRI.” Leaflet Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, tanpa tahun.

Ratna Batara Munti, Benarkah Islam Melarang Perempuan Menjadi Imam bagi Laki-laki? Buklet Islam Seri 3. KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), 2011.

A Affirmative Action 11, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 31, 34, 36, 37, 38, 42, 52, 61, 62, 63, 65, 66, 70, 75, 78, 79, 81 ASEAN 21 B

Beijing Declaration and Platform for Action 4 By Design 41 C Caleg Perempuan 29, 32, 35,36, 37, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 62, 63, 64, 70, 72, 73, 74, 76, 77, 78 CEDAW 2, 25, 38, 61 CETRO 32, 57 D

Daftar Calon Sementara 44, 45, 46, 50, 53, 62, 68

Daftar Calon Tetap 44, 45, 46, 50, 55, 56, 62, 69

Decision Maker 11 Deklarasi Wina 4 DIM RUU Pemilu 43, 44

DPD 34, 39, 40, 49, 51, 58, 62, 63, 65, 66, 70, 73, 81 DPR 8, 11, 12, 13, 14, 18, 19, 23, 28, 31, 32, 34, 37, 39, 40, 41, 42, 44, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 70, 72, 74, 76, 81, 82 DPRD 11, 23, 28, 39, 40, 41, 42, 47, 49, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 70, 72, 73, 81 E Electoral Threshold 43 F Feminisme 1, 25 Fraksi 31, 32, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 58, 72 Fraksi-fraksi 41, 42, 44, 46, 48 G

Gender Inequality Index 20 Goals 5 I Indivisible 4 Inter-Parlementary Union 1, 16, 79 K Keterwakilan Perempuan 1, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 55, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81 KOMNAS Perempuan 9, 82 KPU 28, 40, 45, 46, 49, 50, 53, 54, 55, 62, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 77, 82 L Legislated Quota 22 Lembaga Legislatif 3, 4, 11, 12, 13, 14, 18, 21, 23, 26, 27, 34, 41, 50, 51, 58, 61, 62, 64, 70, 75, 78 M Maluku Utara 60, 62, 63, 64, 72, 81 Millenium Development 5

Parpol 18, 27, 28, 29, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 40, 44, 45, 46, 53, 54, 55, 58, 62, 63, 65, 66, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79 Partisipasi Politik 1, 2, 4, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 34, 41, 42, 61, 75, 79, 81, 82 Party Quota 22 Pasal 62 44, 45, 46, 66, 68 Pemilu 13, 14, 15, 16, 18, 20, 22, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76,77, 79, 80, 81 Persamaan de Facto 25, 38, 61 Political Will 16, 35 Preasure Group 31 R Reserver Seats 22, 23, 78 Right to Stand for Elections 1 Right to Vote 1 V Volksraad 11, 12 Z Zipper System 23, 24, 25, 42, 58, 62, 65, 67

Sali Susiana, lahir di Jakarta, 13 April 1971. Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (1995) dan Magister dari Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005). Menjadi peneliti Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 1996. Anggota Tim Asistensi untuk penyusunan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) dan tim khusus yang dibentuk DPR, antara lain RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014), Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (2013-2014), Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Saudi Arabia (2011), RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (2011), RUU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (2001), dan RUU tentang Perlindungan Anak (2000).

Melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan perempuan, antara lain: Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan Dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014 (2013), Implementasi Kebijakan Daerah dalam Penanganan Masalah Kekerasan terhadap Perempuan (2012), Akses Perempuan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi: Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (2011); Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah: Studi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali (2010); Efektivitas Pasal tentang Affirmative Action dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif: Studi di DPRD Provinsi Maluku Utara (2009); dan Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses Legislasi dan Penyusunan Anggaran (atas biaya United Nations Development Program/UNDP/2008).

Salah satu penulis Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen (Penerbit Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER – UNDP, 2008). Menjadi editor beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI, antara lain: Tenaga Kerja: Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Sosial (2013); Perlindungan Anak dari Perspektif Pendidikan, Psikologis, dan Sosial (2012); Tenaga Kerja Indonesia: antara Kesempatan Kerja, Kualitas, dan Perlindungan (2011); Pencapaian MDGs Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011); Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum, dan Ekonomi (2003); dan

Peran dalam Pembangunan (2000). Juga menjadi kontributor dalam beberapa buku: Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia (2009); Krisis Ekonomi Global dan Tantangan dalam Penanggulangan Kemiskinan (2009); Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi (2008); Pembangunan Kesejahteraan Rakyat: Tinjauan terhadap Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK (2006); Kesejahteraan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik (2005); dan Pembangunan Sosial: Teori dan Implikasi Kebijakan (2000).

Menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada jurnal ilmiah dan surat kabar, antara lain “Urgensi Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis” (Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7, No. 2 Agustus 2010); “Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium” (Majalah Parlementaria, Edisi 85 Th XLII, 2011); “Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” (Majalah Parlementaria, Edisi 80 Th XLI, 2010); “Nasib UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” (Kompas, 11 Agustus 2010) dan “RUU Anti KDRT: Buah Simalakama bagi Perempuan” (Kompas, 6 September 2004). Aktivitas lainnya adalah menjadi Anggota Kelompok Kerja Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan Deputi II Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKPH) Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2007-2009). Terakhir menulis buku Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan (2011).