• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2009

DALAM PEMILU TAHUN 2009

D. Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2009

Hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Pemilu 2004. Perempuan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meningkat menjadi 101 orang dari 560 orang Anggota DPR (17,86%) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdapat 36 orang perempuan dari 116 orang Anggota DPD (27,3%). Pada pemilu sebelumnya (Pemilu 2004), perempuan yang berhasil duduk di DPR berjumlah 65 orang (11,82%) dan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berjumlah 29 orang (21,09%).

Kenaikan signifikan angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sehingga mencapai hampir 18% yang terjadi pada Pemilu 2009 ini oleh sebagian kalangan dipandang sebagai hasil dari kebijakan afirmatif yang mengharuskan parpol peserta pemilu menempatkan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar caleg yang diajukan yang diperkuat dengan sistem selang-seling (zipper system), di mana di antara tiga caleg, satu di antaranya harus caleg perempuan.9

Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2009 digunakan sistem proporsional terbuka “murni” dan anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian secara teoritis nomor urut tidak lagi berpengaruh terhadap keterpilihan suatu caleg. Namun demikian, hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa nomor urut masih tetap berperan dalam menentukan apakah seorang caleg terpilih atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya caleg dengan nomor urut kecil yang terpilih.10 Dari 560 orang Anggota DPR, 356 orang di antaranya berada pada nomor urut 1 sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

8 10 Partai Langgar Ketentuan Zipper, Media Indonesia, 8 Oktober 2008, hlm. 4.

9 “Situasi Dilematis Kebijakan Afirmatif”, Teraju, Republika, 28 Agustus 2013.

Tabel 13

Caleg Terpilih Berdasarkan Nomor Urut

No. Urut Jumlah Persentase

1 356 63,6 2 111 19,8 3 40 7,1 4 25 4,5 5 9 1,7 6 3 0,5 7 9 4,5 8 3 0,5 9 2 0,4 10 0 0 11 1 0,2 12 1 0,2 Jumlah 560 100

Sumber: Nomor Urut Masih Sakti, Teraju, Republika, 29 April 2013, hal 27.

Dengan sistem selang-seling dapat dipastikan bahwa setidaknya ada satu caleg perempuan yang berada pada nomor urut atas. Hubungan yang signifikan antara penempatan perempuan pada nomor urut atas dengan tingkat keterpilihan perempuan ini antara lain dapat dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa 44% caleg perempuan yang terpilih untuk DPR berada pada nomor urut 1, kemudian 29% pada nomor urut 2, dan 20% pada nomor urut 3.11

Namun demikian, hasil Pemilu 2009 juga menunjukkan, bahwa untuk tingkat nasional atau pusat (DPR), beberapa provinsi tidak memiliki wakil perempuan, yaitu Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Aceh. Sementara untuk tingkat DPRD, persentase perempuan yang duduk di DPRD di 33 provinsi sebesar 16% dan di 461 DPRD kabupaten/kota sebesar 12%. Jumlah perempuan yang duduk di DPRD provinsi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 14

Jumlah Perempuan di DPRD Provinsi Hasil Pemilu 2009

No Nama Provinsi Jumlah Perempuan (%) Jumlah Laki-laki (%)

1. Aceh 4 (5,8) 65 (94,2)

2. Sumatera Utara 20 (20) 80 (80)

3. Sumatera Barat 7 (12,7) 48 (87,3)

No Nama Provinsi Jumlah Perempuan (%) Jumlah Laki-laki (%) 4. Riau 7 (12,7) 48 (87,3 5. Kepulauan Riau 8 (17,4) 38 (82,6) 6. Jambi 5 (10,9) 41 (89,1) 7. Sumatera Selatan 12 (16) 62 (84) 8. Bangka Belitung 5 (10,6) 42 (89,4) 9. Bengkulu 7 (15,6) 38 (84,4) 10. Lampung 14 (19,4) 58 (80,6) 11. DKI Jakarta 22 (23,7) 71 (76,3) 12. Jawa Barat 25 (25) 75 (75) 13. Banten 14 (16,5) 71 (83,5) 14. Jawa Tengah 21 (21) 79 (79) 15. DI Yogyakarta 11 (20) 44 (80) 16. Jawa Timur 18 (18) 82 (82) 17. Bali 4 (7,2) 51 (92,7)

18. Nusa Tenggara Barat 6 (10,9) 49 (89,1)

19. Nusa Tenggara Timur 3 (5,6) 51 (94,4)

20. Kalimantan Barat 4 (7,3) 51 (92,7) 21. Kalimantan Tengah 8 (17,8) 37 (82,2) 22. Kalimantan Selatan 7 (12,7) 48 (87,3) 23. Kalimantan Timur 11 (20,8) 42 (79,2) 24. Sulawesi Utara* 10 (22,2) 35 (77,8) 25. Gorontalo 9 (20) 36 (80) 26. Sulawesi Tengah 8 (17,8) 37 (82,2) 27. Sulawesi Selatan 12 (16) 63 (84) 28. Sulawesi Barat 4 (8,9) 41 (91,1) 29. Sulawesi Tenggara 7 (15,6) 38 (84,4) 30. Maluku 14 (31,1) 31 (68,9) 31. Maluku Utara 4 (8,9) 41 (91,1) 32. Papua 4 (7,1) 52 (92,9)

Sumber: diolah dari Puskapol FISIP, UI, 2013.

* Saat ini perempuan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 12 orang. Lihat Sali Susiana,

Rekrutmen Perempuan Calon Anggota DPRD Provinsi: Implementasi Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Pemilu 2014, laporan penelitian, Jakarta: Pusat Pengkajian,

Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI , 2013.

Dari Tabel 14 terlihat bahwa persentase perempuan yang duduk di DPRD provinsi bervariasi, mulai dari yang terendah, yaitu 5,6% (Provinsi Nusa Tenggara Timur) hingga yang tertinggi sebesar 31,1% (Provinsi Maluku). Di DPRD kabupaten/kota, persentase perempuan lebih kecil lagi, rata-rata 10%. Dari 461 kabupaten/kota, hanya 8 kabupaten/kota yang memiliki tingkat

keterwakilan perempuan tinggi (di atas 30%). Sebanyak 64 DPRD kabupaten/ kota hanya memiliki 1 orang anggota perempuan dan 27 DPRD kabupaten/ kota lainnya tidak memiliki anggota perempuan sama sekali.

Dilihat dari perspektif gender, akomodasi isu keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 sesuai dengan Pasal 4 Konvensi CEDAW. Pasal ini mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki (Pasal 4 ayat 1 Konvensi CEDAW).

Masuknya ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Pemilu sekaligus memenuhi kewajiban negara yang terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Rekomendasi ini antara lain berisi kewajiban Negara Peserta untuk melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Pengaturan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 ini juga lebih progresif bila dibandingkan dengan yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu sebelumnya (Pemilu Tahun 2004).

Kemajuan yang terdapat pada UU No. 10 Tahun 2008 dapat dianggap sebagai bagian dari upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di lembaga legislatif. Ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam sistem pemilu menjadi penting, mengingat sistem pemilu selama ini dianggap sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam partisipasi politik perempuan. Pentingnya faktor sistem pemilu dalam keterwakilan perempuan juga ditunjukkan oleh berbagai penelitian empiris. Salah satu di antaranya menunjukkan tiga faktor utama yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga yang anggotanya dipilih, yaitu: (1) sistem pemilu; (2) peran dan organisasi partai-partai politik; dan (3) penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action/aksi afirmatif atau diskriminasi positif) yang bersifat wajib atau sukarela.

Dari ketiga faktor tersebut di atas, sistem pemilu merupakan faktor yang secara langsung paling berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penggunaan sistem pemilu tertentu akan menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. Akan tetapi, penggunaan sistem pemilu tertentu, yaitu yang berdasarkan representasi proporsional, dapat memfasilitasi penggunaan cara lain untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, seperti keharusan partai-partai politik untuk

menetapkan suatu jumlah minimum kandidat perempuan yang harus ditempatkan partai pada kursi-kursi yang berpeluang untuk dimenangkan. Di sinilah kuota mengambil peran penting dalam meningkatkan keterwakilan perempuan.

Meskipun demikian, ketentuan yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan ini belum disertai dengan sanksi yang tegas bagi parpol yang tidak menjalankan ketentuan tersebut. Sama halnya dengan UU No. 12 Tahun 2003, dalam UU No. 10 Tahun 2008 juga tidak diatur mengenai sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi angka 30% dalam daftar calon yang diajukan. KPU hanya mengembalikan daftar tersebut kepada parpol untuk diperbaiki. Satu-satunya sanksi hanyalah sanksi moral, yaitu KPU mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetap (DCT) pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. Ketentuan ini terdapat dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 61 ayat (6) dan Pasal 66 ayat (2). Oleh karena itu, ada yang menganggap bahwa faktor regulasi afirmatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 sebenarnya tidak efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, baik DPR maupun DPRD.12