• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

DALAM PEMILU TAHUN 2009

B. Proses Pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah1

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pemerintah). Sesuai dengan Keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu (RUU Pemilu) disampaikan kepada DPR RI dengan Surat Pengantar Presiden Nomor R-27/PRES/05/2007 tanggal 25 Mei 2007 perihal Rancangan Undang-undang di Bidang Politik. Dalam surat tersebut Presiden menunjuk Menteri Dalam Negeri ad interim, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil dari pihak Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu.

Keanggotaan Pansus RUU Pemilu berjumlah 50 orang, yang terdiri dari 5 orang Pimpinan Pansus dan 45 Anggota Pansus. Pansus RUU Pemilu memulai kegiatan pada tanggal 10 Juli 2007. Kegiatan pertama yang dilaksanakan adalah mengadakan rapat kerja (Raker) dengan pihak Pemerintah, dengan agenda mendengarkan Keterangan/Penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta RUU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu dilakukan sejak tanggal 7 November hingga 5 Desember 2007. Pembahasan RUU Pemilu selanjutnya dilakukan dalam Tim perumus (Timmus) sejak tanggal 11 Januari sampai 2 Februari 2008. Timmus beranggotakan 17 orang Anggota Pansus, yang terdiri dari 2 orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG), 2 orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan 1 orang masing-masing dari 1 Sebagian disarikan dari Buku Kompilasi: Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen, Sali Susiana, Sulasi Rongiyati, dan Nurul Hilaliyah, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Proyek PROPER-United Nations Development Programme Indonesia, 2008, hlm. 20-29.

delapan fraksi lainnya, diketuai oleh Ignatius Mulyono dari Fraksi Partai Demokrat. Setelah itu RUU Pemilu secara lebih intensif dibahas dalam Tim Sinkronisasi (Timsin) mulai tanggal 4 sampai 23 Februari 2008.

Selama pembahasan, Pansus RUU Pemilu juga melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Forum Konstitusi, PERLUDEM, Koalisi Perempuan, Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (PD Politik) dan Perempuan Hanura untuk menerima masukan.

Isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan menjadi salah satu isu yang krusial dalam pembahasan RUU Pemilu. Pada awal pembahasan, isu ini diangkat oleh tiga fraksi, yaitu F-PG, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB). Isu ini kemudian semakin berkembang menjadi wacana selama proses pembahasan, bahkan menjadi salah satu bahan lobi antar-fraksi maupun antara fraksi-fraksi di DPR dengan pihak Pemerintah. Pada akhir pembahasan, hampir seluruh fraksi turut menanggapi isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan dan isu ini terakomodasi dalam UU Pemilu. Gambaran secara lengkap mengenai isu keterwakilan 30% untuk perempuan selama proses pembahasan RUU Pemilu dapat diperoleh dari beberapa Raker maupun lobi-lobi yang dilakukan oleh Pansus RUU Pemilu.

Dalam beberapa Raker dengan pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri ad-interim, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, isu ini menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dan mendapat tanggapan yang beragam dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. Pada Raker I dengan pemerintah tanggal 12 Juli 2007, salah satu agenda yang dibahas dalam Raker adalah Pandangan/Pendapat Fraksi-fraksi terhadap Pandangan dan Penjelasan Presiden/Pemerintah atas RUU tentang Pemilu. Tiga fraksi, yaitu F-PG, F-PPP, dan F-KB menjadikan isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan sebagai salah satu isu yang dibahas dalam Pandangan/Pendapat Fraksi. Sedangkan tujuh fraksi lainnya, yaitu F-PDIP, Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, (F-BPD), Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) tidak menyinggung mengenai isu keterwakilan perempuan. F-PG dalam Pandangan/Pendapat Fraksi menyatakan bahwa:

“Ruang partisipasi politik perempuan sebagai program menumbuhkan partisipasi perempuan yang berjalan secara sistematik dan direncanakan (by design). Untuk itu, dalam Pemilu Anggota DPR dan DPRD, Fraksi Partai Golkar melihat bahwa hal tersebut terkait dengan upaya secara sungguh-sungguh menetapkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.

Artinya pengaturan ini semata-mata untuk membuka ruang seluas-luasnya partisipasi politik perempuan dan merupakan affirmative action saja untuk kurun waktu tertentu dalam proses perpolitikan perempuan yang lebih besar. Hal ini juga senada dengan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46. Dengan demikian, setiap partai politik peserta pemilu wajib memperhatikan dalam mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam setiap daerah pemilihan dengan “mengupayakan dengan sungguh-sungguh” keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”

F-PPP juga menjadikan isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan sebagai salah satu catatan penting yang menyangkut materi RUU Pemilu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang dibacakan oleh juru bicara F-PPP, yaitu:

“Untuk keterwakilan perempuan di parlemen, Fraksi PPP memahami pemikiran dan aspirasi yang mengharapkan komitmen partai politik untuk secara serius memasukkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatifnya.”

Demikian pula dengan F-KB. Keterwakilan perempuan dalam pencalonan pemilu legislatif menjadi salah satu poin penting dalam sikap dan pandangan F-KB terhadap beberapa materi dan substansi dalam RUU Pemilu. Hal itu terdapat dalam poin ke sebelas. F-KB berpendapat bahwa:

“Sebagai konsekuensi dari demokrasi representatif, keterwakilan perempuan yang populasinya lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia harus terakomodir secara proporsional dalam lembaga perwakilan. Oleh karena itu, sistem pemilu perlu dibuat untuk dapat menjamin keterwakilan perempuan minimal 30%.”

Dalam Raker berikutnya, yaitu Raker III, yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 2007, dengan agenda Pengantar Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi-fraksi, ketiga fraksi yang sebelumnya sudah melontarkan gagasan mengenai keterwakilan perempuan secara lebih eksplisit menuangkan gagasan tersebut dalam Pengantar DIM Fraksi. Dalam garis besar gagasan yang disampaikan oleh F-PG, gagasan mengenai keterwakilan perempuan dan pengajuan calon legislatif terdapat dalam poin ke delapan berikut ini:

“Berkaitan dengan keterwakilan perempuan, F-PG memandang daftar bakal calon yang diusulkan oleh partai politik harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada akumulasi daftar calon di tiap provinsi. Daftar calon tersebut disusun dengan cara selang-seling, zipper system. Sikap F-PG terhadap hal ini merupakan suatu affirmative action untuk mewujudkan suatu sistem bernegara dan sistem politik yang berkeadilan dalam perspektif gender. Sebagai affirmative action, maka perlu disusun sebuah strategi dalam tahapan pencapaiannya. Pengaturan tentang ini

bukanlah dimaksud sebagai upaya diskriminatif, tetapi semata-mata sebagai perlakuan khusus dalam waktu tertentu agar peran politik wanita meningkat dan pada akhirnya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang lebih memperhatikan kepentingan perempuan saat ini yang pada akhirnya akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Berkaitan dengan jumlah daftar calon, dst...”

Sedangkan F-PPP menempatkan isu keterwakilan perempuan sebagai poin ketujuh dalam pandangan yang disampaikan, sebagai pengantar dalam pembahasan pasal per pasal dan ayat per ayat dalam DIM. Berikut pendapat F-PPP:

“Dalam pengajuan calon anggota legislatif, partai politik harus memperhatikan 30% keterwakilan perempuan. Memang kalau kita melihat data-data dari PPP orientasi struktur pada partai nampaknya belum bisa terpenuhi, tetapi kalau out put-nya adalah orientasi keterwakilan di parlemen, PPP tentu akan memperjuangkan sedemikian rupa, terutama pada 30% prosentase keterwakilan perempuan.”

Konsistensi ini juga terlihat pada F-KB. Dalam highlight dari pengantar F-KB terhadap DIM yang disampaikan, keterwakilan perempuan menjadi poin ketiga yang diusulkan oleh F-KB, dengan menyatakan bahwa: “untuk menjamin keterwakilan perempuan, baik di tingkat kepengurusan partai politik maupun sebagai calon legislatif, maka F-KB mengusulkan agar keduanya itu wajib mengakomodasi minimal 3% (tiga persen) perempuan.”

Pada Raker IV (19 September 2007), dengan agenda Pembahasan DIM RUU Pemilu, isu keterwakilan perempuan secara resmi menjadi poin penting yang harus dibahas, karena isu ini diakui oleh Ketua Pansus RUU Pemilu sebagai salah satu isu yang mengemuka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Pansus, yang menyatakan bahwa DIM RUU Pemilu berjumlah 1.386 DIM, yang terdiri dari: 440 DIM yang termasuk kategori tetap; 300 DIM usulan perubahan dan penyesuaian pasal dan urutan yang tidak terkait dengan substansi; dan 20 DIM usul perubahan redaksional. Terdapat juga DIM yang berkaitan dengan perubahan substansi dan terkait satu sama lain, yaitu 626 DIM. Dari 626 DIM ini, ada 14 isu yang cukup mengemuka, antara lain: judul, konsiderans, definisi dan ketentuan umum, sistem pemilu, syarat partai ikut pemilu, jumlah dan alokasi kursi serta daerah pemilihan, electoral threshold, keterwakilan perempuan, daftar pemilihan, pencalonan dan penghitungan suara, kampanye, perlengkapan pemungutan suara, penyelesaian sengketa pemilu dan pidana pemilu serta hal-hal yang terkait dengan soal hak pilih TNI/POLRI.

Pada awal pembahasan RUU Pemilu, isu mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan terdapat dalam dua pasal, yaitu Pasal 9 mengenai syarat

pembentukan parpol yang akan menjadi peserta pemilu dan Pasal 62 mengenai keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetap (DCT). Ketentuan mengenai keterwakilan perempuan sebagai salah satu syarat bagi parpol untuk menjadi peserta pemilu terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu: “Memperhatikan keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).”

Sedangkan ketentuan keterwakilan perempuan dalam DCS dan DCT yang diatur dalam Pasal 62 berbunyi: “Daftar bakal calon harus memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).”

Dalam DIM RUU Pemilu yang dibahas oleh Pansus RUU Pemilu, isu mengenai keterwakilan perempuan dalam DTS dan DCT yang tertuang dalam Pasal 62 tersebut terdapat pada no. urut 367, bersama dengan hak pilih TNI/ POLRI. Terhadap rumusan Pasal 62 yang diajukan oleh pemerintah, fraksi-fraksi yang ada di DPR memiliki sikap dan pandangan yang bervariasi, yang tercermin dalam usulan perubahan yang disampaikan oleh fraksi. Namun demikian, dari 10 fraksi yang ada, tidak semua fraksi menyampaikan usul perubahan.

Dalam DIM RUU Pemilu, hanya 2 fraksi yang menyampaikan usul perubahan terhadap DIM no. 367 ini. Salah satu fraksi mengusulkan adanya penambahan substansi pada akhir kalimat Pasal 62, melalui kata-kata “pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi,” sehingga rumusan menjadi: “Daftar bakal calon harus memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi.”

Sedangkan satu fraksi lainnya mengusulkan agar kata “harus” diganti dengan kata “dengan,” sehingga rumusan berubah menjadi: “Daftar bakal calon dengan memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).”

Dalam pembahasan selanjutnya di Pansus, rumusan Pasal 62 tersebut di atas terus mengalami perubahan. Ada fraksi yang mengusulkan rumusan berikut: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 55 harus memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada akumulasi daftar calon di setiap provinsi.” Fraksi tersebut juga mengusulkan adanya tambahan ayat baru, yaitu: “Daftar calon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas disusun dengan cara selang-seling 2:1.” Sedangkan satu fraksi lainnya mengusulkan rumusan sebagai berikut: “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 dengan memperhatikan keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus).”

Yang agak mengejutkan, ada satu fraksi yang mengusulkan rumusan yang secara substansial berbeda, karena mencantumkan angka lebih dari 30%. Rumusan tersebut berbunyi: “Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh paling sedikit 35% (tiga puluh lima perseratus).”

Pembahasan RUU Pemilu selanjutnya dilakukan secara lebih intensif dalam rapat Panitia Kerja (Panja). Dalam rapat Panja pada tanggal 22 November 2007, ada dua usulan rumusan alternatif mengenai keterwakilan perempuan, yaitu:

Alternatif I:

“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus memperhatikan keterwakilan dan mengupayakan sungguh-sungguh memuat bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)”.

Alternatif II:

“Daftar calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh keterwakilan bakal calon perempuan pada daftar calon paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)”.

Usulan tersebut disertai dengan beberapa catatan, antara lain:

a. KPU melakukan penolakan daftar bakal calon yang disampaikan oleh parpol peserta pemilu;

b. KPU berwenang untuk mengumumkan kepada publik melalui media massa; c. Memberikan insentif bagi pendidikan politik, khususnya bagi perempuan. Pada perkembangan selanjutnya, rumusan Pasal 62 yang pada awalnya hanya satu kalimat berubah menjadi beberapa ayat. Dalam Rapat Panja tanggal 29 November 2007, Pemerintah mengajukan rumusan sebagai berikut:

1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh memuat keterwakilan bakal calon perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus);

2) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib mengembalikan Daftar Bakal Calon yang diajukan oleh partai politik apabila partai politik peserta pemilu tidak memuat 30% (tiga puluh perseratus) perempuan di dalam Daftar Bakal Calon yang diajukan;

3) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berwenang mengumumkan nama-nama partai politik yang memuat dan tidak memuat paling sedikit 30% perempuan dalam Daftar Calon Sementara partai politik di media massa;

4) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berwenang mengumumkan nama-nama partai politik yang memuat dan tidak memuat paling sedikit 30% perempuan dalam Daftar Calon Tetap partai politik di media massa.

Rumusan ini kembali ditanggapi secara beragam oleh fraksi-fraksi. Ada fraksi yang mengusulkan agar 4 ayat tersebut diringkas menjadi 2 ayat saja. Substansi Ayat (1) tetap, dengan beberapa perubahan redaksional, sementara ayat (2) hilang. Sementara ayat (3) dan ayat (4) digabung. Fraksi lainnya ada yang mengusulkan agar parpol diberi batas waktu tertentu untuk memperbaiki Daftar Bakal Calon yang belum memuat 30% perempuan. Pada akhirnya, disepakati bahwa materi ini akan diserahkan ke Tim Perumus (TIMUS), dengan catatan, secara prinsip sudah disepakati bahwa:

a. Parpol memuat 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon;

b. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon;

c. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan di media massa persentase keterwakilan perempuan yang ada dalam partai politik. Dalam Raker terakhir sebelum pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan ke Pembahasan Tingkat II, isu keterwakilan perempuan menjadi salah satu bahan laporan Ketua Panja RUU Pemilu. Raker tersebut dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2008, dengan agenda Laporan Panja RUU Pemilu, Tanggapan Fraksi-fraksi, Persyaratan Persetujuan atau Pendapat Akhir Mini Fraksi, Pengambilan Keputusan terhadap Draft RUU Pemilu, dan Penandatanganan Draft serta Sambutan dari Pemerintah.

Dalam laporannya, Ketua Panja RUU Pemilu (DR. Y.H. Laoly, SH, MS/F-PDIP) antara lain menyatakan bahwa berkaitan dengan keterwakilan perempuan, Panja secara prinsip telah menyetujui bahwa partai politik memuat 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memberi kesempatan kepada peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan di media massa persentase keterwakilan perempuan partai politik baik dalam daftar calon sementara maupun dalam daftar calon tetap. Secara terperinci hal ini terdapat dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 8, Pasal 60, Pasal 62 ayat (2), Pasal 64, Pasal 65 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), dan Pasal 73 ayat (2).

Berbeda dengan pada saat penyampaian Pendapat Fraksi mengenai RUU Pemilu dan Pengantar DIM dari Fraksi, di mana hanya tiga fraksi yang menyinggung mengenai isu keterwakilan 30% persen untuk perempuan, maka pada saat penyampaian Pendapat Akhir Mini Fraksi, hampir semua fraksi, kecuali F-PDS, menyinggung mengenai masalah ini.

Dalam Pendapat Akhir Mini F-PG, dinyatakan bahwa berkenaan dengan keterwakilan perempuan, F-PG sesuai dengan usulan yang telah disampaikan, sangat setuju dan tentu sangat menyetujui ketentuan tentang keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu. Dalam undang-undang ini pengaturan daftar

bakal calon tidak hanya semata-mata memuat 30% keterwakilan perempuan, lebih dari itu dalam setiap 3 orang calon sekurang-kurangnya ada 1 orang perempuan. F-PG yakin pengaturan seperti ini akan sangat berarti bagi pemberdayaan kaum perempuan terutama dalam peningkatan peran politik, sehingga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang lebih berpihak, tidak saja terhadap kepentingan perempuan saat ini, namun pada gilirannya akan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.

F-PDIP yang sebelumnya tidak pernah menyinggung mengenai isu ini dalam Pendapat Akhir Mini secara singkat menyatakan bahwa yang paling penting dalam pemahaman F-PDIP adalah ajakan untuk bersama-sama melaksanakan kuota 30% perempuan. Hal itu bukan semata-mata basa-basi tetapi harus ditindaklanjuti dengan keikhlasan dan sukarela sekaligus untuk memotong kultur patriarkal dalam semua sistem perundang-undangan.

Demikian pula dengan F-PBR. Fraksi ini menegaskan bahwa terhadap pasal-pasal yang dilobi untuk yang tidak mencapai kesepakatan dan diambil keputusan melalui voting, diharapkan adanya konsistensi, jangan sampai diubah lagi. Apabila sudah disepakati adanya keterwakilan perempuan 30%, maka diharapkan tidak akan ada lagi lobi sehingga hasilnya dapat berubah. F-PBR juga berharap agar tidak ada hidden agenda dan adanya keterbukaan serta niat untuk saling melengkapi. Pendapat Mini F-PBR ini langsung ditanggapi oleh Ketua Rapat (Ketua Pansus) yang secara tegas menyatakan bahwa keterwakilan 30% untuk perempuan merupakan mandat penuh sehingga tidak akan berubah, demikian pula dengan para anggota Pansus.

F-PPP sebagai salah satu fraksi yang dari awal sudah konsisten mengusulkan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Pendapat Mini yang disampaikan yang terkait dengan masalah ini menyatakan rasa syukurnya karena ketentuan mengenai hal tersebut sudah berhasil dirumuskan. F-PPP juga menyatakan bahwa perjuangan 30% untuk keterwakilan perempuan tidak berhenti di situ saja tetapi harus diikuti dengan kesiapan kaum perempuan untuk mengisi ketentuan tersebut. F-PPP juga menghimbau kepada seluruh partai politik untuk segera melakukan kaderisasi perempuan, sehingga dalam menyusun daftar bakal calon anggota legislatif tidak lagi ada alasan bahwa tidak ada perempuan untuk memenuhi angka 30% tersebut.

Fraksi lainnya, yaitu F-PKS menyatakan bahwa RUU Pemilu telah maju selangkah dalam merumuskan keterwakilan perempuan dalam daftar calon. Hal ini dipertegas dengan ketentuan bahwa setiap 3 orang bakal calon terdapat 1 orang perempuan bakal calon. F-PD juga menggarisbawahi adanya keterwakilan peremuan sekurang-kurangnya 30% bagi persyaratan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang harus diajukan oleh partai politik peserta pemilu.

F-KB, sebagai fraksi yang turut mengusulkan keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Pendapat Mini menyatakan dapat menyetujui hasil kerja Panja dengan beberapa catatan. Pengaturan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan menjadi catatan poin keempat. Berbeda dengan fraksi-fraksi lainnya, F-KB menyadari bahwa hal tersebut memang belum sepenuhnya memuaskan dan berkesesuaian dengan kehendak dan aspirasi kaum perempuan Indonesia. F-KB berpendapat pengaturan dalam RUU ini belum bicara secara tegas memaksa partai politik untuk secara konsisten mengimplementasikan ketentuan dalam RUU ini mengenai 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon, karena tidak adanya prinsip pemberian reward dan punishment yang tegas, kecuali diumumkan oleh KPU. Akan tetapi apa yang sudah berhasil dirumuskan dalam undang-undang ini diharapkan dapat diimplementasikan secara konsisten dan kepada kaum perempuan Indonesia F-KB mengajak untuk memanfaatkan peluang yang ada ini dengan sebaik-baiknya. Perlu persiapan sumber daya perempuan di Indonesia dengan sebaik-baiknya, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dengan sistem pemilihan yang agak terbuka peluang untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan terbuka lebar bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan.

F-PBD yang sebelumnya tidak pernah menyinggung isu ini juga memberikan dukungan. Melalui Pendapat Mini, F-PBD menyatakan bahwa khusus menyangkut pendapat fraksi mengenai 30% perempuan, F-PBD sungguh-sungguh memberikan dukungan yang bulat dengan berbagai pertimbangan. F-PBD tidak membaca dari awal bahwa pengertian 30% itu bukan berarti bahwa setiap 2 laki-laki ada 1 perempuan, tetapi harus dibaca terbalik bahwa setiap 1 perempuan harus ada 2 laki-laki dengan pertimbangan bahwa di situlah kekuatan perempuan menghadapi laki-laki.

Terakhir F-PAN dalam Pendapat Mini menyatakan bahwa pada dasarnya F-PAN telah menganggap bahwa UU yang diterapkan untuk pemilu pada tahun 1999 sudah merupakan undang-undang yang baik terbukti dari pelaksanaan pemilihan umum yang cukup baik dan terpuji bahkan dipuji oleh dunia. Namun demikian F-PAN juga menghargai dan dapat memahami dinamika tertentu dalam masyarakat yang menghendaki adanya penyempurnaan dalam UU Pemilu. F PAN bersyukur karena telah tercapai beberapa pasal yang memang dianggap cukup memberikan penyempurnaan yang dikehendaki oleh masyarakat luas, antara lain masalah keterwakilan perempuan. F-PAN juga menyampaikan bahwa dalam masalah keterwakilan perempuan, pada tahun 1999 F-PAN tanpa dipaksa oleh UU telah terwakili lebih dari 30% dalam calon anggota legislatif untuk DPR. Jadi masalah ini bukan merupakan sebuah hal yang baru bagi F-PAN.

Proses pembahasan RUU Pemilu selanjutnya memasuki Pembicaraan Tingkat II, yaitu pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna, yang dilaksanakan pada 26 Januari 2008. UU Pemilu disahkan pada tanggal 31 Maret 2008. Terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan, yaitu Pasal 8 ayat (1), Pasal 53, Pasal 55 ayat (3), Pasal 57, Pasal 58, Pasal 61 ayat (6), dan Pasal 66 ayat (2).

Pasal 8 ayat (1) mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Pasal ini terdapat dalam Bab III yang mengatur tentang Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilihan Umum pada Bagian Kesatu yang mengatur tentang Peserta Pemilu Anggota