• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan tentang Kuota 30% untuk Perempuan dalam Undang- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

AWAL PENERAPAN KUOTA 30% UNTUK PEREMPUAN

A. Pengaturan tentang Kuota 30% untuk Perempuan dalam Undang- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Pemilihan umum (pemilu) Tahun 2004 yang merupakan pemilu kedua pada era reformasi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik (parpol) peserta pemilu. Di tingkat nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 2004 ini memperebutkan 550 kursi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 550 kursi ini diperebutkan oleh 7.756 orang calon anggota legislatif (caleg) yang tersebar di 69 daerah pemilihan (dapil).1

Berbeda dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemilu sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum untuk pertama kalinya dicantumkan ketentuan yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam undang-undang ini, terdapat satu pasal yang memuat ketentuan mengenai keterwakilan sekurang-kurangnya 30% untuk perempuan dalam pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan. Hal ini diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”

Selain dalam undang-undang tentang pemilu, undang-undang yang mengatur mengenai partai politik (parpol) untuk pertama kalinya juga menyinggung mengenai kesetaraan gender. Hal itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Pasal 7 huruf e. Pasal ini mengatur mengenai fungsi parpol. Dalam Huruf e pasal ini dinyatakan bahwa rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Terlepas dari rumusan mengenai isu gender pada dua pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tersebut, 1 Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan Maret 2004, hlm. 71.

masuknya konsep “kesetaraan gender” dan “keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” merupakan sebuah kemajuan, karena hal tersebut belum pernah diatur sebelumnya.

Dari keseluruhan caleg yang berjumlah 7.756 orang yang tersebar di 69 daerah pemilihan, terdapat sekitar 2.507 orang (32,3%) caleg perempuan.2 Perincian mengenai jumlah caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai politik (parpol) dalam Pemilu 2004 tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Jumlah Caleg Perempuan pada Pemilu 2004

No Nama Partai Jumlah

Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan Caleg laki-laki (%) Caleg Peremp. (%) Dapil Kuota Peremp. di Dapil %

1 Partai Nasionalis Ind.

Marhaenisme 215 155 (72,1) 60 (27,9) 69 48 69,5 2 Partai Buruh Sosial Demokrat 242 152 (62,8) 90 (37,2) 69 52 75,3 3 Partai Bulan Bintang 336 256 (76,2) 80 (23,8) 69 42 60,8 4 Partai Merdeka 202 130 (64,3) 72 (35,7) 69 51 73,9 5 Partai Persatuan Pembangunan 497 386 (77,7) 111 (22,3) 69 30 43,4 6 Partai Demokrasi Kebangsaan 223 150 (67,3) 73 (32,7) 69 47 68,1 7 Partai Perhimpunan

Indonesia Baru 244 150 (61,4) 94 (62,6) 69 53 76,8 8 Partai Nasional Banteng

Kerakyatan 216 152 (70,4) 64 (29,6) 68 37 54,4 9 Partai Demokrat 433 316 (72,9) 117 (27,1) 69 31 44,9

No Nama Partai Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan Caleg laki-laki (%) Caleg Peremp. (%) Dapil Kuota Peremp. di Dapil %

11 Partai Penegak Demokrasi

Indonesia 259 168 (64,8) 91 (35,2) 69 39 56,5

12 Partai Nahdlatul Ulama Indonesia 203 125 (61,5) 78 (38,5) 66 53 80,3 13 Partai Amanat Nasional 520 338 (65,0) 182 (35,0) 69 45 85,2 14 Partai Karya Peduli Bangsa 414 265 (64,0) 149 (36,0) 69 49 71,0 15 Partai Kebangkitan

Bangsa 451 281 (62,4) 170 (37,6) 69 45 65,2

16 Partai Keadilan Sejahtera 446 266 (59,6) 180 (40,4) 69 65 94,2 17 Partai Bintang Reformasi 317 217 (68,4) 100 (31,6) 68 35 51,4 18 Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan 558 400 (71,6) 185 (28,4) 69 31 44,9 19 Partai Damai Sejahtera 283 196 (69,2) 87 (30,8) 69 48 69,5 20 Partai Golkar 652 467 (71,6) 185 (28,4) 69 24 34,7 21 Partai Patriot Pancasila 173 122 (70,5) 51 (29,5) 69 42 60,8 22 Partai Syarikat Islam 261 160 (61,4) 101 (38,6) 69 35 50,7 23 Partai Persatuan Daerah 187 123 (65,7) 64 (34,3) 68 42 61,7 24 Partai Pelopor 174 121 (69,5) 53 (30,5) 65 26 40,0

Sumber: Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung,

dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004, hlm. 71. Masuknya pasal yang secara khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2003 tidak lepas dari peran pressure group yang secara terus menerus memberikan masukan kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pansus RUU Pemilu) di DPR. Mereka melakukan advokasi, antara lain melalui Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) yang merupakan gabungan aktivis perempuan, Anggota DPR dan caleg dari berbagai parpol, maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). GPPI mendorong adanya perubahan paket undang-undang bidang politik, terutama undang-undang yang mengatur mengenai parpol dan pemilu, dengan mencantumkan ketentuan yang khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam proses pembahasan RUU Pemilu, kelompok perempuan dan aktivis lainnya yang terus mengawal agar substansi tentang affirmative action tersebut dapat masuk ke dalam RUU Pemilu dikenal sebagai “Fraksi Balkon”, karena mereka duduk di balkon, sebuah tempat khusus yang disediakan untuk masyarakat atau kalangan di luar DPR, termasuk dari media agar dapat mengikuti rapat-rapat yang bersifat terbuka.

Keberhasilan pencantuman keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 juga didukung oleh peran beberapa perempuan Anggota DPR pada waktu itu, antara lain Lena Maryana Mukti dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi anggota Pansus RUU Pemilu, serta Aisyah Hamid Baidlowi dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) dan Ida Fauziah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan para pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), sebuah lembaga yang beranggotakan perempuan Anggota DPR dari berbagai fraksi yang ada di DPR pada masa itu.3

Tidak hanya perempuan Anggota DPR, keberhasilan untuk memasukkan pasal yang mengatur mengenai affirmative action tersebut juga melibatkan beberapa Anggota DPR laki-laki yang berasal dari berbagai fraksi, antara lain Ali Masykur Musa dari PKB, Roy B.B. Janis dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), A. Teras Narang dari Fraksi Golkar, dan Lukman Hakim Saefuddin dari Fraksi PPP yang turut membantu melakukan lobi mengenai substansi keterwakilan 30% perempuan ke masing-masing fraksi mereka.4

Dalam proses perumusan pasal yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Reformasi merupakan dua fraksi yang secara resmi mengusulkan agar rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik memperhatikan kesetaraan gender minimal 3 Nia Sjarifudin, Peningkatan Keterwakilan Perempuan: Sebuah Keniscayaan untuk Sebuah Perubahan, dalam Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, hlm. 33.

sebesar 30% bagi perempuan.5 Sebaliknya, Fraksi Bulan Bintang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) meminta kata-kata “dengan memperhatikan kesetaraan gender” dihapuskan.6

Dalam perkembangan selanjutnya, data CETRO (Center for Electoral Reform) menunjukkan, tiga partai, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil memenuhi angka keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) untuk DPR RI.7 Bahkan PAN dan PKS menominasikan lebih dari 30%, caleg perempuan, masing-masing sebesar 32% (PAN) dan 37,4% (PKS). Sementara PKB menominasikan 29,7% caleg perempuan untuk menduduki kursi DPR RI. Namun demikian, tidak seluruh caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai-partai tersebut menempati nomor potensial jadi, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5

Perbandingan Caleg Perempuan dan Laki-laki dalam Nomor Potensial Jadi

Partai Total Jumlah Caleg Caleg Perempuan (%) Caleg Laki-laki (%) Persentase Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi Jumlah Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi

PKS 578 orang 216 orang (37,4) 362 orang (62,6) 7,8% 17 orang PKB 471 orang 140 orang (29,7) 331 orang (72) 16,4% 23 orang PAN 531 orang 174 orang (32) 357 orang (68) 14,9% 26 orang PPP 617 orang 123 orang (19,9) 494 orang (80,1) 12,2% 15 orang

Sumber: Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2004 dalam A.D. Kusumaningtyas, “Pemilu 2004: Menagih

Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender”, Jurnal Perempuan No. 34:

Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 44.

Selain untuk pertama kalinya mencantumkan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam undang-undang bidang politik yang mengatur mengenai pemilu, Pemilu tahun 2004 juga diwarnai dengan hadirnya caleg selebriti perempuan, yang berprofesi sebagai artis film dan sinetron, musisi, bahkan mantan ratu kecantikan dan model. Eep Saefulloh Fatah menyebut 5 A.D. Kusumaningtyas, Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang

Berkeadilan Gender dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, hlm. 43.

6 Ibid., hlm. 44.

gejala ini sebagai “politik selebriti”.8 Dari sekitar 20 orang selebriti laki-laki dan perempuan yang menduduki nomor urut 1-3, terdapat 11 orang (55%) caleg selebriti perempuan. Para caleg selebriti perempuan ini tidak hanya dicalonkan oleh partai “lama” yang menjadi peserta pemilu, melainkan juga beberapa partai baru. Dari 11 orang caleg selebriti perempuan, 7 orang di antaranya (63,6%) dicalonkan oleh partai lama, sedangkan sisanya dicalonkan oleh partai baru, sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 6

Posisi Caleg Selebriti Perempuan dalam Pemilu 2004

No. Nama Caleg Partai Daerah Pemilihan Nomor Urut

1. Marisa Haque PDIP Jabar II 2

2. Renny Djajoesman Golkar Jateng I 2

3. Puput Novel Golkar Jabar VIII 3

4. Nurul Arifin Golkar Jabar VI 3

5. Ratna Paquita Wijaya PAN DKI I 3

6. Rieke Dyah Pitaloka PKB Jabar IV 1

7. Emilia Contesa PPP Jatim VII 2

8. Nia Daniati PKPB Jambi 2

9. Anna Tairas Demokrat Jatim IV 2

10. Angelina Sondakh Demokrat Jateng VI 1

11. Nindy Elise PDS Jabar VII 1

Sumber: Eep Saefulloh Fatah, Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik, dalam

Jurnal Perempuan No.. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal

Perempuan, Maret 2004, hlm. 56, diolah.

Apabila dikaitkan dengan peluang caleg selebriti perempuan untuk terpilih, maka menurut Eep Saefulloh Fatah keterlibatan para selebriti perempuan tersebut masih berjalan pada tataran kuantitatif, belum kualitatif.9 Memang bila dibandingkan dengan Pemilu 1999, jumlah selebriti perempuan yang direkrut untuk menjadi caleg oleh partai politik peserta pemilu meningkat secara signifikan. Sekalipun 11 orang caleg selebriti perempuan tersebut diposisikan dalam nomor urut atas (1-3), tetapi hanya sedikit dari mereka yang berpeluang untuk terpilih.10 Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, dari 11 caleg selebriti perempuan tersebut, hanya 1 orang perempuan yang terpilih, yaitu Marissa Haque.

8 Eep Saefulloh Fatah, “Caleg Selebriti Perempuan: dari Perlengkapan ke Pelaku Politik”, dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 52.

9 Ibid., hlm. 59.

B. Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil