• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK: SEBUAH KENISCAYAAN

Seiring perkembangan zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang keras, bahkan “kotor” dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme di negara-negara Barat yang kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga) untuk bergerak memasuki berbagai bidang yang ada di sektor publik, termasuk di dalamnya bidang politik.

Memasuki akhir abad ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections).1 Data dari International Parliamentary

Union menunjukkan, Selandia Baru merupakan negara pertama di dunia yang memberikan hak suara kepada perempuan pada tahun 1893.2 Sedangkan negara pertama yang mengadopsi dua hak demokratik mendasar kaum perempuan adalah Finlandia, yang dilakukan pada tahun 1906.3

Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir ini, masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi wacana yang penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan. Pembicaraan mengenai partisipasi politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari hak-hak politik perempuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun konvensi internasional.

1 Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen”

dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm. 18.

2 Ibid. 3 Ibid.

(2)

A. Hak Perempuan untuk Berpolitik

Keterlibatan perempuan dalam bidang politik merupakan salah satu bentuk nyata dari perwujudan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Implementasi dari ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak politik perempuan antara lain diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahkan secara khusus mengatur mengenai hak perempuan dalam Bab III Bagian ke-9 tentang Hak Wanita. Pasal 46 menyatakan bahwa “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.”

Berkaitan dengan partisipasi politik perempuan tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi dua konvensi, yaitu:

1) Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan Tahun 1952 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women;

2) Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). CEDAW ini juga dikenal secara luas sebagai Konvensi Perempuan.

(3)

Dalam Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women) Pasal 1 dinyatakan bahwa: “perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination).4 Selanjutnya dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa:5

• “perempuan dapat dipilih untuk semua badan elektif yang diatur dengan hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be eligible for election to all publicly elected body established by national law, on equal terms with men without any discrimination); • Perempuan berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan

semua fungsi resmi yang diatur semua hukum nasional, dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to hold public office and to exercise all public functions, established by national law, on equal terms with men without any discrimination).

Hak perempuan dalam kehidupan politik secara khusus juga diatur dalam Pasal 7 Konvensi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk:

a. Dipilih dan memilih;

b. Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan fungsi pemerintahan di semua tingkat;

c. Berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Selain dalam dua konvensi tersebut, hak politik perempuan juga terdapat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).6 Kovenan ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa: “Negara-negara Peserta Kovenan ini sepakat untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan perempuan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan dalam Kovenan ini” (The States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civic and political rights set forth in the present Covenant). Hak-hak ini antara lain mencakup hak atas hidup (Pasal 6), kesamaan di badan-badan pengadilan 4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2009, hlm. 258.

5 Ibid. 6 Ibid.

(4)

(Pasal 14), kebebasan mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain (Pasal 19). Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik juga menyatakan hal yang sama dalam Pasal 3. Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Politik telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun 1993 juga mendukung pemberdayaan perempuan. Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara negara barat dan negara-negara dunia ketiga yang menegaskan kembali konsep-konsep universal (universal), tidak terpisah satu hak dari hak lainnya (indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related), tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity).7 Pasal 1/18 Deklarasi Wina menyatakan secara tegas bahwa “hak asasi perempuan serta anak adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).8

Dengan meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan tersebut, berarti Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan setiap bagian dan pasal dari konvensi dan karena itu secara maksimal, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Akan tetapi, realitas politik yang ada saat ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik perempuan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan laki-laki, tidak terkecuali partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif.

Pentingnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari kesepakatan internasional dalam bentuk Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) yang merupakan hasil Konperensi Perempuan se-Dunia ke IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). BPFA mengidentifikasi 12 bidang kritis beserta tujuan-tujuan strategis bagi setiap bidang yang meliputi:

1. perempuan dan kemiskinan;

2. pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; 3. perempuan dan kesehatan;

4. kekerasan terhadap perempuan; 5. perempuan dan konflik bersenjata; 6. perempuan dan ekonomi;

7 Ibid., hlm. 244-245. 8 Ibid., hlm. 259.

(5)

7. perempuan dan pengambilan keputusan;

8. mekanisme institusional bagi kemajuan perempuan; 9. hak asasi perempuan;

10. perempuan dan media;

11. perempuan dan lingkungan; dan 12. anak perempuan.

Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati BPFA ini. Terkait bidang kritis nomor 7 (perempuan dan pengambilan keputusan), terdapat 2 poin yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dan negara-negara lain peserta konperensi, yaitu:9

1. mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambil keputusan; 2. meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan dan kepemimpinan.

Selain itu, komitmen untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender, termasuk dalam bidang politik dan pengambilan keputusan juga tercantum dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000. MDGs berisi 8 tujuan dan 17 target yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015. Ke delapan tujuan tersebut adalah:

1. meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; 2. mencapai pendidikan dasar secara universal;

3. meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4. mengurangi tingkat kematian anak;

5. memperbaiki kesehatan ibu;

6. memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; 7. menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan

8. membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan.

Peningkatan peran perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan merupakan salah satu indikator dalam target ketiga MDGs.

Walaupun secara normatif UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara, baik perempuan maupun laki-laki dan Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi dan kovenan, yang kemudian diperkuat dengan BPFA dan MDGs, namun sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi hampir di segala bidang kehidupan. Akibat 9 “Mengertikah Anda? Begitu Banyak Peluang bagi Perempuan dalam Menyelenggarakan

(6)

perlakuan yang diskriminatif, perempuan belum memperoleh manfaat yang optimal dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki, terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan. Demikian pula dengan partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pengambilan keputusan.

B. Partisipasi Politik Perempuan: Mengapa Perlu?

Beberapa definisi mengenai partisipasi politik menekankan bahwa unsur utama dalam partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Hal itu antara lain terlihat dalam definisi partisipasi politik yang diberikan oleh Surbakti yang mengartikan partisipasi politik sebagai “….keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.”10 Sementara itu, Suyanto mengatakan bahwa “…….partisipasi politik dalam pengertian umum adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik.”11 Suyanto mencontohkan masuknya seseorang dalam suatu partai atau keikutsertaan dalam pemilihan umum sebagai partisipasi politik.

Sedangkan Herbert McClosky menambahkan adanya sifat sukarela dalam kegiatan yang menjadi unsur partisipasi politik, yang dapat dilihat dari definisi berikut: “partisipasi adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum”.12 Secara lebih luas, Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson melihat adanya tujuan tertentu dari kegiatan ini, yaitu mempengaruhi pengambilan keputusan, sehingga mereka mendefinisikan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.”13 Dan bila melihat cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut, 10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1992, hlm. 140.

11 Isbodroini Suyanto, Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan,

dalam Ihromi, TO (eds). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 491.

12 Isbodroini Suyanto, Ibid., Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi

revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 367.

13 Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

(7)

partisipasi dapat dilakukan secara spontan, berkesinambungan maupun sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, serta efektif atau tidak efektif.14

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang sebagai warga negara untuk turut serta secara aktif dan sukarela dalam proses pembentukan kebijakan dengan tujuan mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik. Namun demikian tidak semua kegiatan dapat diartikan sebagai partisipasi politik. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu kegiatan dapat disebut sebagai partisipasi politik, yaitu:15

1. Merupakan kegiatan atau perilaku yang dapat diamati, bukan perilaku yang berupa sikap dan orientasi;

2. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik, tanpa memperhitungkan apakah kegiatan tersebut benar-benar efektif atau tidak;

3. Kegiatan tersebut tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi otonom) melainkan juga kegiatan yang oleh orang lain di luar pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah (partisipasi yang dimobilisasikan);

4. Kegiatan tersebut dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui perantara), melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (non-violence) maupun dengan cara-cara di luar prosedur yang wajar (non konvensional) dan berupa kekerasan (violence). Sebagaimana halnya laki-laki, sebagai bagian dari warga negara, perempuan juga perlu terlibat dalam politik. Mengapa? Karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri.16 Kebutuhan ini antara lain kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan isu-isu kesehatan reproduksi, seperti akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, terutama ketika seorang perempuan hamil dan melahirkan. Contoh lainnya, akibat perbedaan organ reproduksi, perempuan juga mengalami menstruasi, suatu hal yang tidak dialami oleh laki-laki, sehingga perempuan juga memiliki kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki berkaitan dengan organ reproduksinya tersebut.

14 Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, ibid.

15 Ibid, hlm. 6-9. Lihat juga Ramlan Surbakti, op.cit., hlm. 141-142.

16 Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam

(8)

Adanya pemahaman yang cukup mengenai perbedaan kebutuhan perempuan dengan laki-laki akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan berikut hasilnya, yang akan membawa dampak yang signifikan bagi perempuan. Sebuah contoh sederhana, dalam penanganan suatu bencana alam, adanya pemahaman bahwa perempuan mengalami menstruasi akan menambah komponen bantuan yang wajib diberikan kepada korban bencana alam. Bantuan tersebut tidak hanya berupa makanan, air bersih, dan pakaian, tetapi juga pembalut untuk perempuan.

Meskipun tidak berkaitan secara langsung, minimnya jumlah perempuan yang duduk di lembaga-lembaga pengambil keputusan pada gilirannya juga akan mempengaruhi setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh lembaga tersebut berikut hasilnya. Secara tidak langsung, perempuan telah dirugikan dengan kondisi ini. Terlebih lagi, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan laki-laki, sehingga keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dengan jumlah yang memadai diharapkan dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan perempuan.

Di tingkat daerah, representasi perempuan yang rendah dalam lembaga pembuatan kebijakan di tingkat lokal ditambah dengan ketiadaan perspektif gender dalam kebijakan tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat, khususnya kaum perempuan.17 Hal ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya peraturan daerah (perda) atau peraturan lainnya di tingkat daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti Perda yang mengatur tentang Syariat Islam, Perda tentang Anti Pelacuran atau Perbuatan Maksiat, Perda tentang Larangan untuk Keluar Malam bagi Perempuan, Perda tentang Kewajiban untuk Berbusana Muslim, dan berbagai aturan lainnya yang berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan.18 Beberapa contoh yang dapat disebut antara lain Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran,19 Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Busana Muslim,20 dan Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442 Tahun 2005 tentang Busana Muslim.21

17 Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 244. 18 Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta: Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011, hlm. 1-2.

19 Ibid., hlm. 8. Lihat juga, Sali Susiana, “Perda tentang Antipelacuran dan Hak Perempuan

(Kajian tentang Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: Perspektif Feminis Radikal)”, Majalah Ilmiah KAJIAN Vol. 11, No. 2 Juni 2006. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm. 95.

20 Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan, op.cit., hlm. 6. 21 Ibid., hlm. 7.

(9)

Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, kebijakan daerah yang diskriminatif terus meningkat jumlahnya. Hingga tanggal 18 Agustus 2013, terdapat 342 kebijakan diskriminatif, atau meningkat dua kali lipat dari tahun 2009 sebanyak 154 perda.22 Perda diskriminatif ini tersebar di lebih dari 100 kabupaten /kota di 25 provinsi.23 Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif tersebut (77,5%) secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas.24 Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas.25 Ada pula 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas (19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum.26

Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin banyak perempuan duduk di lembaga pengambil kebijakan, termasuk di tingkat lokal maka kebijakan tersebut secara otomatis akan berperspektif gender, namun setidaknya keberadaan perempuan di lembaga kebijakan tersebut akan dapat mewarnai proses perumusan kebijakan, mengingat pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki dan perempuan sendiri yang paling mengerti apa yang paling mereka butuhkan. Dalam konteks ini, keberadaan perempuan di lembaga-lembaga politik diharapkan dapat menyuarakan kepentingan dan kebutuhan kaum mereka sendiri, yaitu kaum perempuan.

22 Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan

Konstitusi tanggal 22 August 2013, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/08/siaran-pers-komnas-perempuan-kebijakan-diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/, diakses tanggal 23 Oktober 2013.

23 “Kemajuan Semu Perempuan Indonesia”, Kompas 11 Maret 2011.

24 Siaran Pers Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif yang Bertentangan dengan

Konstitusi tanggal 22 August 2013, op.cit.

25 Ibid. 26 Ibid.

(10)
(11)

DAN AFFIRMATIVE ACTION

Dalam bab sebelumnya telah diuraikan bahwa partisipasi politik perempuan yang dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional sangat diperlukan karena hanya perempuan sendiri yang paling mengerti kebutuhannya dan perempuan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Walaupun demikian, tidak serta merta perempuan dapat melenggang bebas masuk ke dunia politik. Banyak sekali hambatan yang harus dihadapi oleh perempuan yang akan memasuki dunia politik maupun perempuan yang sudah terjun ke dunia tersebut. Hambatan tersebut dapat bersifat struktural maupun kultural, dan dapat berasal dari dalam diri perempuan sendiri maupun dari luar dirinya. Bab ini akan membahas mengenai berbagai hambatan yang dihadapi oleh perempuan untuk berpolitik dan affirmative action sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Namun demikian, sebelumnya akan digambarkan secara sekilas bagaimana partisipasi politik perempuan dalam lembaga legislatif di Indonesia.

A. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif

Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Dan kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah) maupun dalam jabatan Eselon I sampai dengan Eselon III dalam kementerian/ lembaga. Uraian selanjutnya hanya akan difokuskan pada indikator yang pertama, yaitu keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif.

Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak masa pra-kemerdekaan, dengan dibentuknya Volksraad pada tahun 1918.1 Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi 1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(12)

perempuan dalam lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sebelum era reformasi meliputi:

1. masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama: 1955-1959)

2. pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan masa Orde Baru (1971-1998).

Sedangkan partisipasi setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998 bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto.

1. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif Sebelum Era Reformasi

Selama masa pra-kemerdekaan hingga sebelum era reformasi, lembaga legislatif yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:2

1. Volksraad (1918-1942);

2. Komite Nasional Indonesia (1945-1949);

3. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950); 4. DPR Sementara (1950-1956);

5. a. DPR hasil Pemilihan Umum 1955 (1956-1959) b. DPR Peralihan (1959-1960)

6. DPR Gotong Royong-Demokrasi Terpimpin (1960-1966); 7. DPR Gotong Royong-Demokrasi Pancasila (1966-1971); 8. DPR hasil Pemilihan Umum 1971;

9. DPR hasil Pemilihan Umum 1977; 10. DPR hasil Pemilihan Umum 1982; 11. DPR hasil Pemilihan Umum 1987; 12. DPR hasil Pemilihan Umum 1992; 13. DPR hasil Pemilihan Umum 1997; 14. DPR hasil Pemilihan Umum 1999; 15. DPR hasil Pemilihan Umum 2004.

Dari periodisasi tersebut tampak bahwa embrio atau cikal bakal lembaga legislatif sudah terbentuk jauh sebelum masa kemerdekaan. Akan tetapi partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR periode tahun 1955-1956 baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289 orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante (1956-1959), tetapi sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya (5,1%), mengingat pada masa ini jumlah total Anggota DPR meningkat hampir dua kali lipat menjadi 513 orang.

(13)

Persentase perempuan di lembaga legislatif baru meningkat kembali pada tahun 1971, di mana jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR tercatat 31 orang atau 6,7% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 496 orang. Pada masa Orde Baru ini, keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif terus menunjukkan adanya peningkatan, meskipun relatif lambat. Pada tahun 1987, jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif meningkat hampir dua kali lipat menjadi 59 orang (11,8%). Bahkan, pada periode 1987-1992, jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR mencapai 150 orang (15%).3 Jumlah ini kembali menurun menjadi 62 orang (12,5%) pada Pemilu 1992. Dan pada pemilu berikutnya (1997), jumlah ini menurun lagi menjadi 54 orang (10,8%). Persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Jumlah Perempuan di DPR Tahun 1955-1999

Periode Jumlah Anggota Laki-laki

(%)

Jumlah Anggota Perempuan (%) 1955-1956 272 (93,7) 17 (6,3) Konstituante (1956-1959) 488 (94,9) 25 (5,1) 1971-1977 460 (92,2) 36 (7,8) 1977-1982 460 (93,7) 29 (6,3) 1982-1987 460 (91,5) 39 (8,5) 1987-1992 500 (87) 65 (13) 1992-1997 500 (87,5) 62 (12,5) 1997-1999 500 (89,2) 54 (10,8)

Sumber: Ani W. Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 239, diolah.

Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif sudah dimulai sejak pertengahan tahun 50-an, namun hingga lebih dari 40 tahun kemudian persentase perempuan yang menduduki kursi di lembaga tersebut tidak pernah lebih dari 13%. Bahkan persentase terendah terjadi pada masa Konstituante, yaitu hanya 5,1%. Bagaimana dengan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif pasca-Orde Baru? 2. Partisipasi Politik Perempuan dalam Lembaga Legislatif pada Era

Reformasi

Pada era Reformasi, yang diawali dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, jumlah perempuan yang menduduki lembaga legislatif mengalami pasang surut. Pada awal reformasi hingga saat ini telah 3 Lihat Pengantar yang disampaikan oleh Mely G. Tan dalam Perempuan Indonesia Pemimpin

(14)

dilaksanakan tiga kali pemilihan umum. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 yang merupakan pemilu pertama kali yang diselenggarakan pada masa reformasi menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi di DPR menurun menjadi 45 orang atau hanya sebesar 9% dari total Anggota DPR secara keseluruhan yang berjumlah 500 orang. Pada periode sebelumnya (1997-1999) jumlah perempuan yang duduk di kursi legislatif sedikit lebih banyak, yaitu 54 orang atau 10,8%.

Namun demikian, pada pemilihan umum (pemilu) berikutnya, yaitu Pemilu Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 61 orang (11,09%). Demikian pula dengan hasil Pemilu Tahun 2009, di mana persentase tersebut mencapai 17,9% (101 orang dari total 560 orang Anggota DPR). Persentase perempuan dalam tiga pemilu pada era reformasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Jumlah Perempuan di DPR Hasil Pemilu 1999-2009

Pemilu Total Anggota DPR Jumlah Anggota Perempuan %

1999 500 orang 45 orang 9,00

2004 550 orang 61 orang 11,09

2009 560 orang 101 orang 17,86

Sumber: Kemitraan, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011.

Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa meskipun pada pemilu yang diselenggarakan pada awal reformasi kursi di DPR yang berhasil diduduki oleh perempuan lebih sedikit dibanding sebelumnya, tetapi pada dua pemilu berikutnya jumlah perempuan yang menduduki kursi di lembaga legislatif terus menunjukkan peningkatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah peningkatan tersebut merupakan salah satu dampak dari perubahan konstelasi politik pada masa reformasi yang relatif lebih terbuka dan dinamis ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi persentase perempuan di DPR? Misalnya, adanya tuntutan yang deras dari berbagai kalangan, terutama para aktivis perempuan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ditingkatkan.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Meskipun tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif selama era reformasi menunjukkan adanya peningkatan dari pemilu ke pemilu, namun persentasenya belum mencapai 30% sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di lembaga politik, tidak termasuk di dalamnya lembaga legislatif.

(15)

Center for Asia-Pasific Women in Politics mencatat adanya dua faktor utama yang menghambat partisipasi politik perempuan, yaitu:4

1. pengaruh dari masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan di bidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan; dan

2. kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial-politik, antara lain tipe sistem pemilihan umum (pemilu).

Nadezhda Shvedova mengategorikan masalah atau kendala yang dihadapi perempuan yang memasuki kehidupan politik di parlemen menjadi 3 jenis, yaitu kendala politik, kendala sosio-ekonomi, dan kendala psikologi atau sosio-kultural.5 Kendala politik yang utama yang dihadapi perempuan adalah:6

1. kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan hasil pemilihan;

2. kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan, terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda;

3. kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan; 4. tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang berkembang, baik bagi

kepemimpinan perempuan pada umumnya maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik pada khususnya;

5. hakekat sistem pemilihan, yang mungkin atau tidak mungkin menjadi menguntungkan bagi kandidat perempuan.

Kendala-kendala sosio-ekonomi yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam parlemen yaitu:7

1. kemiskinan dan pengangguran;

2. lemahnya sumber-sumber keuangan yang memadai;

3. buta huruf dan terbatasnya akses pendidikan dan pilihan profesi;

4. beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional.

4 Pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya

Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i.

5 Nadezhda Shvedova, “Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam

Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, op.cit., hlm. 17.

6 Ibid., hlm. 20. 7 Ibid., hlm. 26.

(16)

Adapun kendala-kendala ideologis dan psikologis perempuan yang memasuki parlemen mencakup:8

1. ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki; 2. kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri; 3. persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan “kotor”; 4. kehidupan perempuan yang digambarkan dalam media massa.

Secara lebih khusus, hasil survei yang telah dilakukan oleh Inter-Parliamentary Union antara tahun 2006-2008 terhadap 272 anggota parlemen dari 110 negara anggota Inter-Parliamentary Union (40% di antaranya laki-laki) dan dipublikasikan tahun 2008 menunjukkan adanya 3 hal yang mempengaruhi masuknya responden ke dunia politik, yaitu:9

1. konteks sosio-kultural (the socio-cultural context); 2. hambatan keuangan (financial constraints); dan

3. sistem pemilihan dan partai politik (electoral systems and political parties). Secara umum, hambatan yang dihadapi perempuan dalam politik antara lain:10

1. Perempuan kalah start dalam politik dibandingkan dengan laki-laki; 2. Beban yang berlapis yang dihadapi perempuan (privat, publik, dan

komunitas);

3. Kemampuan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki; 4. Pendidikan politik yang lebih rendah dibanding laki-laki;

5. Label nilai patriarki melalui budaya dan agama terhadap perempuan. Di Indonesia, beberapa faktor yang menghambat keterwakilan perempuan di lembaga pengambil keputusan antara lain:11

1. kurangnya kehendak politik (political will);

2. kurangnya critical mass (massa kritis) perempuan di dunia politik; 3. keberadaan dan kuatnya “jaringan laki-laki” (all boys club);

4. akses yang berbeda terhadap sumber-sumber politik; 5. sistem pemilu;

6. ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat (stereotype, kekerasan, marginalisasi, beban ganda, dan subordinasi);

8 Ibid., hlm. 29.

9 Inter-Parliamentary Union, Equality in Politics: a Survey of Women and Men in Parliaments,

Reports and Documents No. 54, 2008.

10 Pemilu 2009: Suara Terbanyak vs Nomor Urut (Studi atas Pemilu Legislatif 2009 di

Indonesia), Women Research Institute, 12 Maret 2010.

11 Mengapa Perempuan Perlu di Lembaga Pengambil Keputusan, Buklet Peningkatan Partisipasi

(17)

7. kurang dibukanya katup intelektualitas bagi individual perempuan yang berpotensi meraih dukungan massa dan berpotensi mengikuti rekrutmen di dunia politik, sehingga masih ada diskriminasi bagi perempuan untuk memasuki dunia politik, termasuk lembaga legislatif;

8. kurangnya percaya diri perempuan untuk memasuki wilayah atau arena politik, terlebih untuk bersaing dengan laki-laki;

9. lemahnya dukungan, baik secara internal maupun eksternal dalam mendukung perempuan di bidang politik, termasuk lemahnya dukungan media massa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh perempuan di bidang politik.

Menurut Marwah Daud Ibrahim, terdapat beberapa hambatan mendasar yang menjadi faktor penghalang bagi perempuan untuk tampil di barisan depan berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Hambatan tersebut secara tidak langsung telah dipolakan oleh struktur sosial pada sementara lapisan budaya masyarakat tertentu.12 Hambatan yang pertama menyangkut masalah fisik perempuan itu sendiri. Perempuan dibebani dengan kodrat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Keharusan ini mau tidak mau telah mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, hambatan teologis. Untuk waktu yang lama, perempuan dipandang sebagai makhluk yang diciptakan untuk lelaki, termasuk mendampingi, menghibur, dan mengurus keperluannya. Anggapan ini bersumber dari cerita teologis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki. Cerita ini telah jauh merasuk ke dalam benak masyarakat, dan secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk mengambil peran yang lebih “berarti”.

Ketiga, hambatan sosial budaya, terutama dalam bentuk stereotype. Pandangan ini melihat perempuan sebagai makhluk yang pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan. Sebaliknya, laki-laki dinilai sebagai makhluk aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya. Pandangan ini secara sosio-kultural menempatkan laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan.

Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara lain dapat dimunculkan oleh pandangan dikotomis antara tugas perempuan dan laki. Perempuan dinilai sebagai “makhluk rumah”, sedangkan laki-laki dilihat sebagai “makhluk luar rumah”. Pandangan dikotomis seperti ini kemungkinan besar telah membuat perempuan merasa enggan ke luar rumah, dan memunculkan pandangan bahwa tugas-tugas kerumahtanggaan 12 Marwah Daud Ibrahim, Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan Mengapa Tidak?

(18)

tidak layak digeluti oleh laki-laki. Dan kelima, hambatan hsitoris. Kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu juga dapat digunakan untuk membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah sebagaimana halnya laki-laki

Menurut penulis, kelima hambatan tersebut seringkali bersifat overlap (tumpang tindih), misalnya antara hambatan teologis dan hambatan sosial budaya. Misalnya, dalam ajaran agama Islam, pada prinsipnya tidak membeda-bedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi dalam praktik, masih terdapat resistensi dari beberapa kelompok tertentu bila perempuan maju menjadi pemimpin, tidak terkecuali pemimpin negara. Hal ini misalnya terlihat dari betapa kerasnya penolakan berbagai kalangan terhadap wacana presiden perempuan sebelum Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai Pesiden Republik Indonesia.

Keunggulan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri pada Pemilu 1999 tidak secara otomatis membuat putri Presiden pertama Republik Indonesia ini melangkah tanpa hambatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Berbagai kekuatan politik dan beberapa tokoh nasional secara tegas menolak pencalonan tersebut.13 Salah satu parpol bahkan merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa terkait pencalonan ini.14

Penolakan tersebut jelas tidak beralasan. Sebagaimana dinyatakan oleh Ratna Batara Munti bahwa Islam tidak membeda-bedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 71. Persamaan perlakuan ini sama halnya dengan kesempatan untuk mencapai tingkat spiritual seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 35 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa perempuan memiliki kesempatan mencapai tingkat kebaikan yang sama dengan laki-laki, sehingga Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.15

Terkait dengan keberadaan perempuan di parlemen, menurut Myra Diarsi, peran perempuan dalam lembaga legislatif dapat dianalogikan ke dalam tiga jenis.16 Pertama, peran politik perempuan Anggota DPR yang merupakan perpanjangan dari keadaan tradisional yang selama ini telah 13 Lebih lanjut baca Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta:

Kompas, 2005, hlm. 16-19.

14 Ibid., hlm. 16.

15 Maulana Muhammad Ali sebagaimana dikutip oleh Ratna Batara Munti, Benarkah Islam

Melarang Perempuan Menjadi Imam bagi Laki-laki? Buklet Islam Seri 3. KIAS (Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara), 2011 hlm. 7.

(19)

dipertahankan. Artinya, masuknya perempuan dalam bidang politik karena adanya relasi kekerabatan. Kedua, peran politik perempuan Anggota DPR pada batas-batas moral force saja. Perempuan di parlemen hanya sebagai problem solving dari permasalahan yang telah ada. Ketimpangan ini terlihat daria sikap yang selalu setuju terhadap berbagai kebijakan politik yang telah diputuskan. Perempuan anggota parlemen di banyak negara berkembang berada pada tingkat ini. Dan ketiga, yang merupakan tingkatan ideal, peran politik perempuan anggota DPR yang lebih nyata karena didukung oleh latar belakang pendidikan politik yang memadai. Tingkat inilah yang sebenarnya harus dicapai agar pemberdayaan perempuan menjadi lebih optimal.

C. Affirmative Action: Sejarah dan Penerapannya di Beberapa Negara Istilah affirmative action (aksi afirmatif) pertama kali digunakan dalam konteks diskriminasi rasial oleh Presiden Amerika John F. Kennedy dalam Perintah Eksekutif No. 10,925 pada tahun 1961.17 Pada saat itu Kennedy menginstruksikan para kontraktor federal untuk mengambil “aksi afirmatif” untuk menjamin agar para pelamar dan pekerja diperlakukan (sama) tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal kebangsaan.18

Dengan demikian pada awalnya affirmative action dirancang sebagai respons atas ketimpangan kondisi ekonomi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Affirmative action dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi dan posisi ekonomi perempuan atau ras tertentu di Amerika Serikat sebagai upaya perlawanan atas pemisahan dan diskriminasi terhadap mereka.19 Tindakan affirmative action memberikan perlakuan khusus kepada kelompok yang dianggap kurang beruntung di mana perlakuan tersebut bersifat sementara, hingga kelompok tersebut dianggap sudah memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok lain atau kelompok sosial minoritas yang dilindungi telah terintegrasi.20

Salah satu contoh affirmative action adalah Rancangan Undang-Undang Hak Sipil Tahun 1964 di Amerika Serikat yang kemudian diamandemen dan disahkan pada bulan Februari 1964 oleh Presiden Amerika Serikat Lyndon B. 17 Sandra Kartika (ed.). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan: Panduan bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999, hlm. 4.

18 Ibid.

19 Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,

Jakarta, hlm. 143.

(20)

Johnson.21 Selain melarang diskriminasi berbasis ras, warna kulit, agama, dan asal-usul kebangsaan, undang-undang tersebut juga telah mengintegrasikan pelarangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.22 Pada perkembangan selanjutnya, affirmative action mengacu pada berbagai aktivitas, seperti monitoring terhadap pembuat keputusan di tingkat yang lebih rendah untuk memastikan keadilan dalam keputusan mempekerjakan dan mempromosikan pegawai, dan menyebarluaskan informasi mengenai peluang kerja atau kesempatan-kesempatan lainnya.23

Affirmative action sebagai sebuah strategi untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu juga kemudian juga diadopsi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik, sebuah dunia yang pada awalnya dianggap sebagai dunia yang berwajah maskulin. Keterwakilan politik perempuan tersebut sangat berarti karena beberapa argumen.24 Pertama, dari segi demokrasi, jumlah perempuan lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu merupakan bangunan teoritis yang wajar bila wakil rakyat merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas keterwakilan dari rakyat untuk rakyat. Ketiga, dari segi penggunaan sumber daya, hal itu merupakan penggunaan kemampuan intelektual perempuan. Dan keempat, dari segi keterwakilan, banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.

Pengaruh perempuan yang berarti dalam politik sangat penting, mengingat sampai saat ini posisi dan kondisi antara laki-laki dan perempuan di berbagai belahan dunia masih menunjukkan adanya kesenjangan atau ketimpangan gender (gender gap). Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki ini dapat dilihat antara lain melalui Indeks Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) adalah indeks yang mencerminkan ketimpangan perempuan yang dilihat dari tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.25 Indeks yang terbentuk menunjukkan kehilangan dalam pembangunan manusia yang 21 Ibid.

22 Ibid.

23 Sandra Kartika (ed.)., op.cit., hlm. 4.

24 lihat pengantar buku Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang

Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktik Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, hal. i.

25 Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Kerja Sama

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik, halaman 13.

(21)

diakibatkan oleh adanya perbedaan gender. Nilai berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 0 menunjukkan perempuan dan laki-laki kehilangan kesempatan yang sama, sementara nilai 1 menunjukkan bahwa perempuan kehilangan lebih banyak dibanding dengan laki-laki.

Salah satu dimensi IKG adalah dimensi pemberdayaan yang dilihat dari dua indikator, yaitu:26 (1) proporsi kursi parlemen yang diduduki oleh laki-laki atau perempuan; dan (2) capaian tingkat pendidikan menengah dan tinggi dari tiap jenis kelamin. Dengan demikian, tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif termasuk ke dalam indikator yang pertama.

Rendahnya rasio perempuan terhadap laki-laki di parlemen menjadi salah satu faktor penentu IKG. Di beberapa negara, keterwakilan perempuan pada level pengambil keputusan bahkan merupakan posisi yang kritis bagi terlaksananya demokrasi di suatu negara.27 Di parlemen negara-negara ASEAN, rasio keterwakilan perempuan terhadap laki-laki terlihat berbanding terbalik dengan nilai IKG di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Myanmar yang mempunyai rasio keterwakilan perempuan dan laki-laki yang rendah memiliki nilai indeks ketimpangan yang tinggi. Sebaliknya, Singapura yang memiliki rasio keterwakilan perempuan yang tinggi mempunyai nilai indeks ketimpangan yang sangat rendah.28

Seperti halnya di negara-negara ASEAN, sebagian besar tingkat keterwakilan perempuan di negara-negara berkembang lainnya juga relatif masih rendah. Dalam konteks ini, affirmative action dapat dipandang sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dunia politik, terutama di lembaga legislatif. Pemberlakuan affirmative action di beberapa negara, terutama di Eropa, terbukti telah berhasil meningkatkan persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif.

Affirmative action tersebut antara lain dilakukan melalui mekanisme kuota. Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan.29 Kuota untuk perempuan bertujuan agar setidaknya perempuan dapat menjadi “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri dari 30% atau 40%.30 Angka 30% sebagai critical minority ini sesuai dengan Laporan Perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisa gender dan pembangunan di 174 negara yang menyatakan bahwa:

26 Ibid, hlm. 14.

27 Sun, dalam Indeks Ketimpangan Gender: Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012,

ibid., hlm. 15.

28 Ibid.

29 Modul Perempuan untuk Politik, Sebuah Panduan tentang Partisipasi Perempuan dalam

Politik,M,B. Wijaksana (ed), Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004, op.cit., hlm. 8.

(22)

“Meskipun benar tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam politik.”31

Ide dasar dari kuota adalah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik, sekaligus tidak akan menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi.32 Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik tersebut harus secara nyata dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.33

Praktik di beberapa negara selama ini kuota ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang yang mengatur mengenai pemilu dan partai politik, atau melalui komitmen informal partai politik.34 Secara umum terdapat 3 jenis kuota, yaitu:35

1. Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota); 2. Kuota yang diberikan khusus bagi perempuan (reserves seats); 3. Kuota Partai (party quota).

Kuota yang diterapkan dalam undang-undang (legislated quota) dilaksanakan oleh partai politik. Beberapa negara telah mengadopsi model kuota ini, antara lain: Perancis, Argentina, Afrika Selatan, dan Namibia.36 Amandemen Konstitusi Perancis tahun 1999 mulai memberlakukan persyaratan bagi partai politik agar mencantumkan 50% nama perempuan dalam daftar caleg yang diajukan dalam pemilu. Di Argentina, peraturan pemilu tahun 1991 di negara itu memperkenalkan kewajiban sistem kuota yang mensyaratkan dicantumkannya 30% kandidat perempuan dan memperhatikan proporsi kemungkinan terpilihnya. Setiap partai yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak diperkenankan mengikuti pemilu. Afrika Selatan menerapkan kuota melalui Undang-Undang tentang Struktur Pemerintahan Kota (the Municipal Structures Act) yang menyatakan bahwa partai politik sedapat mungkin harus mencari dan memastikan bahwa 50% calon perempuan akan terdaftar dalam pemilihan tingkat lokal. Sedangkan di Namibia pada tahun 1992 dan 1998 dalam pemilu tingkat lokal diberlakukan affirmative action yang menuntut agar partai politik mencantumkan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar kandidat partai.

31 IFES, op.cit., hal. 1. 32 Ibid.

33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid., hlm. 9. 36 Ibid.

(23)

Mekanisme pemberlakuan kuota melalui reserved seats, yaitu memberikan sejumlah kursi kepada perempuan antara lain diterapkan di Tanzania dan India.37 Di Tanzania, 20% kursi pemerintahan di tingkat nasional dan 25% kursi pemerintahan di tingkat lokal secara khusus diperuntukkan bagi perempuan. Sementara itu, 33% jabatan dalam pemerintahan lokal di India dipastikan akan diberikan kepada perempuan.

Keberhasilan pemberlakuan kuota di beberapa negara tersebut mengilhami berbagai kalangan di Indonesia, terutama akademisi dan aktivis gerakan perempuan untuk mencoba memasukkan ide kuota dalam undang-undang yang berkaitan dengan pemilu. Terdapat tiga hal yang mendasari tindakan affirmative action dengan menggunakan mekanisme kuota sebagai upaya untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga politik di Indonesia.38 Pertama, rendahnya angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, baik di tingkat pusat (DPR RI) maupun DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, transisi demokrasi yang berpeluang menciptakan kesempatan bagi organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan. Dan ketiga, buruknya situasi ekonomi pasca-krisis ekonomi tahun 1997 yang berdampak buruk terhadap perempuan dan anak.

Upaya untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan melalui affirmative action tersebut sesuai dengan amanat Pasal 28H UUD 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam konteks ini, affirmative action melalui keterwakilan 30% untuk perempuan dapat dianggap sebagai sebuah perlakuan khusus kepada kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki guna mencapai persamaan dan keadilan di bidang politik.

Selain melalui mekanisme kuota, affirmative action yang diterapkan di beberapa negara juga disertai dengan penerapan sistem selang-seling (zipper system). Sistem selang-seling biasanya menempatkan 1 orang kandidat perempuan di antara beberapa orang kandidat laki-laki dalam daftar tertentu, baik dalam partai maupun dalam daftar calon anggota legislatif, sehingga peluang perempuan untuk terpilih lebih besar. Pemberlakuan affirmative action melalui zipper system di beberapa negara tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.

37 Ibid.

38 Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,

(24)

Tabel 3

Pemberlakuan Affirmative Action di Beberapa Negara

No Negara Sistem

Elektoral Tindakan Affirmatif

% Keterwakilan Perempuan

(Senat)

1. Rwanda Representasi proporsional

Kuota: zipper system

UU menjamin 24 kursi untuk Dewan Nasional dan 30% kursi untuk Senat

48,8

2. Swedia Partai: zipper systemPartai menjamin 40-50%

kandidat perempuan 47,3

3. Finlandia

Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% dari laki-laki dan perempuan terepresentasi dalam badan-badan pengambilan keputusan

42,0

4. Norwegia Kuota partai: zipper systemPartai menjamin 40%

kandidat perempuan 37,9

5. Denmark Kuota partai: zipper systemPartai menjamin 40%

kandidat perempuan 36,9

6. Belanda

Kuota partai: zipper system Partai Buruh menjamin 50% kandidat perempuan dalam daftar partai

36,7

7. Argentina

UU Kuota: zipper system Parlemen menjamin 30% kandidat perempuan dalam daftar partai

35

8. Mozambik

Kuota partai: zipper system Partai menjamin 30% posisi perempuan dalam daftar partai

(25)

9. Belgia

UU Kuota: zipper system Parlemen menjamin posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam daftar partai

34,7

10. Afrika Selatan

Kuota partai: zipper system Partai menjamin 30% kandidat perempuan dalam daftar partai. Partai lokal diminta 50% kandidat perempuan dalam daftar partai meskipun tidak ada sanksi hukum

32,8

11. Austria

Kuota partai: zipper system Partai Hijau (50%); Partai Rakyat Austria (33,3%); Partai Sosial Demokrat (40%)

32,2

12. Islandia

Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40% kandidat perempuan meskipun tidak ada sanksi hukum

31,7

13. Jerman Sistem campuran

Kuota partai: zipper system Partai menjamin 40-50% kandidat perempuan dalam daftar partai

31,6

Sumber: Women’s Environment and Development Organization, 2007 dalam Aisah Putri Budiarti, Pemilu

Tak Ramah Perempuan, makalah dipresentasikan dalam Seminar Representasi Perempuan

Indonesia Pasca-Judicial Review UU Pemilu No. 1/2008, diselenggarakan oleh Women Research

Institute, 21 Januari 2009.

Dalam perspektif feminisme, affirmative action dalam bentuk kuota dan zipper system tersebut sesuai dengan Pasal 4 Konvensi CEDAW. Pasal ini mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki (ayat 1).

Kewajiban negara yang terkait dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Salah satu butir rekomendasi

(26)

umum komite ini secara tegas menyebutkan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Secara lengkap Komite ini memberikan rekomendasi bahwa Negara Peserta wajib:

a. Menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan negaranya, prinsip-prinsip Konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi Perempuan;

b. Menjamin bahwa partai politik dan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi Perempuan;

c. Melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; d. Adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk

menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (public elected positions).

Sistem kuota merupakan salah satu bentuk nyata dari tindakan khusus sementara. Masalah tindakan khusus sementara bahkan diatur secara khusus dalam Rekomendasi Umum Komite No. 25 (Sidang ke-30 Tahun 2004) tentang Tindakan Khusus Sementara. Komite menetapkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan tindakan khusus sementara. Terdapat dua butir rekomendasi yang berkaitan dengan penyusunan undang-undang yang mengatur mengenai keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu huruf a dan huruf c. Rekomendasi pada huruf a berbunyi:

a. Mencantumkan ketentuan dalam konstitusi atau legislasi nasional tentang kemungkinan dilaksanakannya tindakan khusus sementara. Sedangkan rekomendasi pada huruf c adalah:

c. Menegaskan kembali Rekomendasi Umum No. 5 (Sidang ke-7, tahun 1988) tentang Tindakan Khusus Sementara, yang menganjurkan agar negara lebih banyak menggunakan dan melaksanakan tindakan khusus sementara, seperti menentukan sistem kuota, untuk mempercepat pemajuan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan ketenagakerjaan.

Berbagai landasan hukum baik nasional maupun internasional yang mendasari affirmative action serta keberhasilan penerapan upaya ini di berbagai negara inilah yang mendorong penerapan upaya serupa di Indonesia yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.

(27)

AWAL PENERAPAN KUOTA 30% UNTUK PEREMPUAN

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, sistem pemilu merupakan salah satu faktor yang menghambat partisipasi perempuan di dunia politik. Dengan demikian, sistem pemilu suatu negara berperan penting dalam meningkatkan representasi politik perempuan, khususnya di negara-negara berkembang. Sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilu memang harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi. Selain sebagai wujud pelaksanaan demokrasi, pemilu menjadi penting bagi perempuan, karena:

1. Pemilu merupakan mekanisme yang dapat mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga pembuat undang-undang (legislatif) dan kebijakan publik;

2. Keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga tersebut penting agar produk legislasi (undang-undang) serta kebijakan publik yang dihasilkan memperhatikan kepentingan perempuan dan tidak diskriminatif terhadap perempuan;

3. Perempuan mempunyai kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri;

4. Perempuan merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk yang seharusnya mempunyai peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan masyarakat adil dan demokratis;

5. Sama seperti laki-laki, perempuan mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.

Mengingat pentingnya keberadaan perempuan dalam dunia politik, maka berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga-lembaga politik, termasuk di dalamnya lembaga legislatif. Dan melalui upaya yang tidak kenal lelah dari berbagai kalangan, akhirnya isu tentang kuota dapat diakomodasi dalam undang-undang tentang pemilu. Selain dalam undang-undang pemilu, dalam undang-undang tentang partai politik (parpol) juga dicantumkan ketentuan yang sensitif gender, meskipun

(28)

masih bersifat sangat umum, yang dirumuskan dengan kata-kata “dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”. Hal itu terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik yang mengatur tentang fungsi parpol dan Pasal 13 ayat (3) mengenai kepengurusan parpol.

A. Pengaturan tentang Kuota 30% untuk Perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Pemilihan umum (pemilu) Tahun 2004 yang merupakan pemilu kedua pada era reformasi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik (parpol) peserta pemilu. Di tingkat nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 2004 ini memperebutkan 550 kursi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 550 kursi ini diperebutkan oleh 7.756 orang calon anggota legislatif (caleg) yang tersebar di 69 daerah pemilihan (dapil).1

Berbeda dengan undang-undang yang mengatur mengenai pemilu sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum untuk pertama kalinya dicantumkan ketentuan yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam undang-undang ini, terdapat satu pasal yang memuat ketentuan mengenai keterwakilan sekurang-kurangnya 30% untuk perempuan dalam pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan. Hal ini diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”

Selain dalam undang-undang tentang pemilu, undang-undang yang mengatur mengenai partai politik (parpol) untuk pertama kalinya juga menyinggung mengenai kesetaraan gender. Hal itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Pasal 7 huruf e. Pasal ini mengatur mengenai fungsi parpol. Dalam Huruf e pasal ini dinyatakan bahwa rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Terlepas dari rumusan mengenai isu gender pada dua pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tersebut, 1 Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar

Burung, dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan Maret 2004, hlm. 71.

(29)

masuknya konsep “kesetaraan gender” dan “keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” merupakan sebuah kemajuan, karena hal tersebut belum pernah diatur sebelumnya.

Dari keseluruhan caleg yang berjumlah 7.756 orang yang tersebar di 69 daerah pemilihan, terdapat sekitar 2.507 orang (32,3%) caleg perempuan.2 Perincian mengenai jumlah caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai politik (parpol) dalam Pemilu 2004 tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Jumlah Caleg Perempuan pada Pemilu 2004

No Nama Partai Jumlah

Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan Caleg laki-laki (%) Caleg Peremp. (%) Dapil Kuota Peremp. di Dapil %

1 Partai Nasionalis Ind.

Marhaenisme 215 155 (72,1) 60 (27,9) 69 48 69,5 2 Partai Buruh Sosial Demokrat 242 152 (62,8) 90 (37,2) 69 52 75,3 3 Partai Bulan Bintang 336 256 (76,2) 80 (23,8) 69 42 60,8 4 Partai Merdeka 202 130 (64,3) 72 (35,7) 69 51 73,9 5 Partai Persatuan Pembangunan 497 386 (77,7) 111 (22,3) 69 30 43,4 6 Partai Demokrasi Kebangsaan 223 150 (67,3) 73 (32,7) 69 47 68,1 7 Partai Perhimpunan

Indonesia Baru 244 150 (61,4) 94 (62,6) 69 53 76,8 8 Partai Nasional Banteng

Kerakyatan 216 152 (70,4) 64 (29,6) 68 37 54,4 9 Partai Demokrat 433 316 (72,9) 117 (27,1) 69 31 44,9

(30)

No Nama Partai Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Jumlah Caleg Kuota Perempuan Berdasarkan Daerah Pemilihan Caleg laki-laki (%) Caleg Peremp. (%) Dapil Kuota Peremp. di Dapil %

11 Partai Penegak Demokrasi

Indonesia 259 168 (64,8) 91 (35,2) 69 39 56,5

12 Partai Nahdlatul Ulama Indonesia 203 125 (61,5) 78 (38,5) 66 53 80,3 13 Partai Amanat Nasional 520 338 (65,0) 182 (35,0) 69 45 85,2 14 Partai Karya Peduli Bangsa 414 265 (64,0) 149 (36,0) 69 49 71,0 15 Partai Kebangkitan

Bangsa 451 281 (62,4) 170 (37,6) 69 45 65,2

16 Partai Keadilan Sejahtera 446 266 (59,6) 180 (40,4) 69 65 94,2 17 Partai Bintang Reformasi 317 217 (68,4) 100 (31,6) 68 35 51,4 18 Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan 558 400 (71,6) 185 (28,4) 69 31 44,9 19 Partai Damai Sejahtera 283 196 (69,2) 87 (30,8) 69 48 69,5 20 Partai Golkar 652 467 (71,6) 185 (28,4) 69 24 34,7 21 Partai Patriot Pancasila 173 122 (70,5) 51 (29,5) 69 42 60,8 22 Partai Syarikat Islam 261 160 (61,4) 101 (38,6) 69 35 50,7 23 Partai Persatuan Daerah 187 123 (65,7) 64 (34,3) 68 42 61,7 24 Partai Pelopor 174 121 (69,5) 53 (30,5) 65 26 40,0

Sumber: Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung,

dalam Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Maret 2004, hlm. 71. Masuknya pasal yang secara khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

(31)

2003 tidak lepas dari peran pressure group yang secara terus menerus memberikan masukan kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pansus RUU Pemilu) di DPR. Mereka melakukan advokasi, antara lain melalui Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) yang merupakan gabungan aktivis perempuan, Anggota DPR dan caleg dari berbagai parpol, maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). GPPI mendorong adanya perubahan paket undang-undang bidang politik, terutama undang-undang yang mengatur mengenai parpol dan pemilu, dengan mencantumkan ketentuan yang khusus mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan. Dalam proses pembahasan RUU Pemilu, kelompok perempuan dan aktivis lainnya yang terus mengawal agar substansi tentang affirmative action tersebut dapat masuk ke dalam RUU Pemilu dikenal sebagai “Fraksi Balkon”, karena mereka duduk di balkon, sebuah tempat khusus yang disediakan untuk masyarakat atau kalangan di luar DPR, termasuk dari media agar dapat mengikuti rapat-rapat yang bersifat terbuka.

Keberhasilan pencantuman keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 juga didukung oleh peran beberapa perempuan Anggota DPR pada waktu itu, antara lain Lena Maryana Mukti dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi anggota Pansus RUU Pemilu, serta Aisyah Hamid Baidlowi dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) dan Ida Fauziah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan para pengurus Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), sebuah lembaga yang beranggotakan perempuan Anggota DPR dari berbagai fraksi yang ada di DPR pada masa itu.3

Tidak hanya perempuan Anggota DPR, keberhasilan untuk memasukkan pasal yang mengatur mengenai affirmative action tersebut juga melibatkan beberapa Anggota DPR laki-laki yang berasal dari berbagai fraksi, antara lain Ali Masykur Musa dari PKB, Roy B.B. Janis dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), A. Teras Narang dari Fraksi Golkar, dan Lukman Hakim Saefuddin dari Fraksi PPP yang turut membantu melakukan lobi mengenai substansi keterwakilan 30% perempuan ke masing-masing fraksi mereka.4

Dalam proses perumusan pasal yang berkaitan dengan keterwakilan 30% untuk perempuan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Reformasi merupakan dua fraksi yang secara resmi mengusulkan agar rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik memperhatikan kesetaraan gender minimal 3 Nia Sjarifudin, Peningkatan Keterwakilan Perempuan: Sebuah Keniscayaan untuk Sebuah

Perubahan, dalam Jurnal Perempuan No. 63: Catatan Perjuangan Politik Perempuan, hlm. 33.

(32)

sebesar 30% bagi perempuan.5 Sebaliknya, Fraksi Bulan Bintang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) meminta kata-kata “dengan memperhatikan kesetaraan gender” dihapuskan.6

Dalam perkembangan selanjutnya, data CETRO (Center for Electoral Reform) menunjukkan, tiga partai, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil memenuhi angka keterwakilan 30% untuk perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) untuk DPR RI.7 Bahkan PAN dan PKS menominasikan lebih dari 30%, caleg perempuan, masing-masing sebesar 32% (PAN) dan 37,4% (PKS). Sementara PKB menominasikan 29,7% caleg perempuan untuk menduduki kursi DPR RI. Namun demikian, tidak seluruh caleg perempuan yang dicalonkan oleh partai-partai tersebut menempati nomor potensial jadi, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5

Perbandingan Caleg Perempuan dan Laki-laki dalam Nomor Potensial Jadi

Partai Total Jumlah Caleg Caleg Perempuan (%) Caleg Laki-laki (%) Persentase Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi Jumlah Caleg Perempuan dalam Nomor Potensial Jadi

PKS 578 orang 216 orang (37,4) 362 orang (62,6) 7,8% 17 orang PKB 471 orang 140 orang (29,7) 331 orang (72) 16,4% 23 orang PAN 531 orang 174 orang (32) 357 orang (68) 14,9% 26 orang PPP 617 orang 123 orang (19,9) 494 orang (80,1) 12,2% 15 orang

Sumber: Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2004 dalam A.D. Kusumaningtyas, “Pemilu 2004: Menagih

Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender”, Jurnal Perempuan No. 34:

Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Maret 2004, hlm. 44.

Selain untuk pertama kalinya mencantumkan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam undang-undang bidang politik yang mengatur mengenai pemilu, Pemilu tahun 2004 juga diwarnai dengan hadirnya caleg selebriti perempuan, yang berprofesi sebagai artis film dan sinetron, musisi, bahkan mantan ratu kecantikan dan model. Eep Saefulloh Fatah menyebut 5 A.D. Kusumaningtyas, Pemilu 2004: Menagih Komitmen Parpol Islam untuk Demokrasi yang

Berkeadilan Gender dalam Jurnal Perempuan No. 34: Politik dan Keterwakilan Perempuan, hlm. 43.

6 Ibid., hlm. 44. 7 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut terlihat selama proses pembelajaran yang mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Meskipun demikian, guru kurang memanfaatkan media selama

Perhitungan rasio keuangan ini meliputi beberapa rasio, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio profitabilitas, dan rasio hutang dengan menggunakan pendekatan

Terutama digunakan pada kanker korion yang Terutama digunakan pada kanker korion yang sudah metastasis, biasanya dikombinasikan dengan sudah metastasis, biasanya dikombinasikan

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah Penggugat mengajukan gugatan cerai agar Pengadilan menjatuhkan Talak Satu Khul’i dari Tergugat terhadap

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Sistem Among dapat meningkatkan prestasi belajar mata pelajaran

Melalui kajian dan evaluasi serta mengacu kepada penerapan proses yang sama diberbagai organisasi dan framework terkait manajemen risiko tersebut diharapkan dapat

respon yang cukup baik dari kedua kakaknya, si bungsu tetap pergi mencari obat dengan restu sang ibu.. Obwohl [sie] nicht bekommen hatte [eine] Antwort genügend- gute-

Walaupun tingkat kesepakatan pada variabel pemeriksaan fisik lebih rendah dibandingkan dengan keluhan subjektif, namun secara keseluruhan tingkat kesepakatan antar 2