• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro dan Kontra Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013

AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA: AGENDA KE DEPAN

B. Pro dan Kontra Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013

Apabila secara normatif ketentuan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan menjadi salah satu pertimbangan dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik untuk menjadi anggota parpol maupun menjadi bakal calon Anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, apakah hal itu kemudian berarti bahwa tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hasil Pemilu 2014 mendatang juga akan meningkat? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat kembali apa yang sudah dipaparkan dalam Bab II mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat keterwakilan perempuan di lembaga politik, terutama lembaga legislatif. Selain itu, tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif sebagai hasil Pemilu 2014 juga akan sangat ditentukan oleh seberapa besar peluang yang dimiliki dan hambatan yang dihadapi oleh caleg perempuan.

Salah satu hal yang membedakan ketentuan mengenai affirmative action dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah terbitnya peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memuat adanya sanksi bagi parpol yang tidak

dapat memenuhi keterwakilan 30% perempuan. Peraturan yang merupakan tindak lanjut kebijakan afirmasi tersebut tersebut adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut PKPU). Pasal 27 ayat (1) Huruf b PKPU menyatakan, jika ketentuan 30% keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah pemilihan bersangkutan.

PKPU tersebut kemudian mendapatkan berbagai tanggapan, baik yang pro maupun kontra, terutama dari parpol peserta Pemilu 2014. Dari 15 parpol yang memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2014, hanya beberapa partai yang menyatakan kesiapannya untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Rata-rata parpol-parpol tersebut memiliki sayap organisasi yang fokus pada gerakan perempuan, antara lain Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Hal ini antara lain dapat dilihat dari pernyataan para pimpinan parpol tersebut. Melalui Wakil Ketua Majelis Tinggi (Marzuki Alie), Partai Demokrat menyatakan persyaratan tersebut tidak menjadi masalah karena Demokrat memiliki sayap organisasi, yaitu Perempuan Demokrat Republik Indonesia. Partai Nasdem yang merupakan sebuah partai baru, juga menyatakan kesiapannya untuk memenuhi ketentuan tersebut. Bahkan Partai Nasdem menyatakan siap menghadapi sanksi berupa penghapusan daerah pemilihan (dapil) bila tidak dapat memenuhi kuota 30% sebagaimana diatur dalam PKPU.

Organisasi sayap yang ada dalam parpol biasanya memang menyasar pada kelompok-kelompok tertentu, tidak terkecuali kelompok perempuan. Beberapa parpol peserta Pemilu 2014 memiliki organisasi sayap yang bergerak di bidang perempuan seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 16

Organisasi Sayap Partai Politik yang Bergerak di Bidang Perempuan

No. Nama Partai Politik Nama Organisasi Sayap

1. Demokrat Perempuan Demokrat Republik Indonesia 2. PDI Perjuangan Srikandi Perempuan PDI Perjuangan 3. Golongan Karya Kesatuan Perempuan Partai Golkar

4. Partai Kebangkitan Bangsa Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa 5. Partai Amanat Nasional Persaudaraan Perempuan Amanat Nasional 6. Partai Persatuan Pembangunan Wanita Persatuan Pembangunan

7. Partai Keadilan Sejahtera Persaudaraan Muslimah 8. Partai Gerindra Perempuan Indonesia Raya

9. Partai Hanura Perempuan Hanura 10. Partai Nasional Demokrat Garda Wanita Malahayati

Sumber: Ormas Dilarang Jadi Sayap Partai, Republika, 19 Februari 2013.

Meskipun hampir semua parpol memiliki sayap organisasi perempuan, sebagian besar parpol tetap keberatan dengan persyaratan yang diatur oleh PKPU. Di antaranya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Ketua Umum PPP (Surya Dharma Ali) menyatakan bahwa partainya kesulitan mencari caleg perempuan. Sekretaris Jenderal PPP (M. Romahurmuziy) bahkan menilai Peraturan KPU tersebut berlebihan. Ketua Dewan Syuro PBB (Yusril Ihza Mahendra) juga menyatakan syarat 30% calon anggota legislatif (caleg) perempuan dalam daftar bakal calon memberatkan parpol dan sulit dicapai untuk daerah-daerah tertentu, seperti Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Demikian pula dengan PKPI yang merasa keberatan dengan persyaratan tersebut. PKPI kesulitan memenuhi ketentuan itu, terutama di daerah terpencil dan daerah yang masih kuat memegang tradisi. Persyaratan yang diatur dalam PKPU juga mendapat tanggapan dari seluruh fraksi yang ada di DPR. Pada saat acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan KPU, seluruh fraksi memprotes sanksi berupa kehilangan kesertaan di suatu dapil jika parpol tidak memenuhi kuota 30% untuk caleg perempuan dan penempatan seorang caleg perempuan di setiap tiga nomor.

Sebaliknya, beberapa organisasi non-pemerintah dan aktivis yang fokus pada pemberdayaan politik perempuan sangat mendukung PKPU. Bahkan organisasi-organisasi tersebut membentuk koalisi yang disebut Koalisi Amankan Pemilu (KAP) 2014 dan menyampaikan sikap yang intinya menyatakan bahwa parpol peserta pemilu wajib memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. KAP 2014 juga menyatakan bahwa parpol harus bersedia menerima konsekuensi, yaitu tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan bersangkutan bila tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut.

Dari tanggapan beberapa parpol yang merasa keberatan dengan PKPU, dapat dilihat bahwa salah satu alasan yang diajukan oleh parpol adalah sulitnya memenuhi keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota untuk daerah-daerah tertentu. Hal ini sangat beralasan bila kita melihat hasil pemilu sebelumnya (Pemilu 2009). Untuk tingkat pusat saja, beberapa provinsi tidak memiliki wakil perempuan di DPR, yaitu Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, dan Aceh. Sementara untuk tingkat DPRD, persentase

perempuan yang duduk di DPRD di 33 provinsi sebesar 16% dan di 461 DPRD kabupaten/kota sebesar 12%.

Tanggapan agak berbeda dinyatakan oleh Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) yang mengungkapkan bahwa PKPU tentang kuota calon legislatif (caleg) 30% per partai sebagai tindak lanjut pengaturan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD akan membuka peluang terjadinya pelanggaran parpol. Peluang ini didasarkan pada ketidakjelasan sikap parpol terhadap kuota tersebut. Apabila tidak memenuhinya, partai akan kehilangan mengajukan caleg di dapilnya. Dengan demikian, partai yang tidak memenuhi kuota di suatu daerah maka partainya akan dicoret di dapil tersebut.

Lebih lanjut Ray Rangkuti menyatakan bahwa sanksi antara partai yang sengaja tidak memenuhi kuota agar dicoret dengan partai yang tidak mampu memenuhi kuota sama, yaitu keduanya tidak dapat mengikuti pemilu anggota legislatif di dapil tertentu. Hal ini tidak adil bagi parpol yang memang tidak dapat memenuhi kuota, karena sanksinya sama dengan partai yang sengaja gagal di suatu dapil. Ia menyarankan agar peraturan pemilu yang memicu ketidakadilan tersebut diubah seadil mungkin. Dengan demikian, sanksi bagi parpol yang tidak sengaja melanggar peraturan dengan mereka yang sengaja melanggar berbeda tingkatan. Partai yang sengaja gagal di suatu dapil seharusnya dibekukan hingga tingkat pusat.

Sinyalemen yang dinyatakan oleh Ray Rangkuti tersebut memang tidak terbukti. Akan tetapi, sebelum Daftar Calon Anggota Legislatif Tetap (DCT) diumumkan, muncul fenomena caleg ganda dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara (DCS) yang diajukan oleh parpol. Caleg ganda ini berupa bakal caleg yang diajukan oleh lebih dari satu parpol dan bakal caleg yang mencalonkan diri pada lebih dari satu dapil.1

Fenomena caleg ganda tersebut antara lain dilontarkan oleh Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI), yang menyatakan bahwa hal ini terjadi karena buruknya sistem administrasi partai.2 Munculnya caleg ganda juga menunjukkan bahwa rekrutmen parpol terhadap caleg belum berjalan dengan baik. Proses kaderisasi di internal partai tidak berjalan sehingga partai membuka lowongan menjelang pendaftaran caleg.3 Lebih parah lagi, FORMAPPI menduga adanya unsur kesengajaan dari partai karena duplikasi sebagian besar terjadi pada bakal caleg perempuan. Hal ini merupakan bentuk manipulasi untuk memenuhi kuota 30% perempuan di 1 “Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013, hlm. 2.

2 Ibid.

setiap dapil.4 Beberapa perempuan yang menjadi caleg ganda tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 17

Bakal Caleg Perempuan yang Menjadi Caleg Ganda dalam Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara (DCS)

No Nama Partai Dapil

1. Eka Susanti Partai Kebangkitan Bangsa Kalimantan BaratDapil III Sumatera Utara Dapil VI Jawa Tengah 2. Hasniati Partai Kebangkitan Bangsa Dapil II RiauKalimantan Barat 3. Karina Astri Rahmawati Partai Kebangkitan Bangsa Dapil IX Jawa BaratNusa Tenggara Barat 4. Nur Yuniati Partai Bulan Bintang Dapil I AcehDapil II Jawa Barat 5. Sri Sumiati Partai Bulan Bintang Dapil VIII Jawa TengahDapil VII Jawa Timur 6. Kasmawati Kasim Partai Bulan Bintang Dapil I Sulawesi SelatanDapil Sulawesi Tenggara

Sumber: “Caleg Ganda Ramaikan DCS”, Republika, 27 April 2013, hlm. 2, diolah.

Meskipun tidak semua parpol dapat memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan di setiap dapil, namun dari Daftar Calon Anggota Legislatif Tetap (DCT) untuk DPR RI Periode 2014-2019 yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Agustus 2013 telah menunjukkan bahwa persentase keterwakilan perempuan secara umum mencapai angka 35%.5