• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2004

AWAL PENERAPAN KUOTA 30% UNTUK PEREMPUAN

B. Tingkat Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2004

Hasil Pemilu tahun 2004 menempatkan 65 orang perempuan di lembaga DPR (11,82%), hanya meningkat sedikit apabila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pemilu 1999 menghasilkan 44 orang perempuan yang duduk di DPR atau sekitar 8,9%. Sementara itu di lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jumlah perempuan agak lebih besar, mencapai 29 orang (21,09%).

Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 secara eksplisit mencantumkan kata-kata “keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dengan demikian, secara sekilas tampak bahwa pasal ini telah mengakomodasi affirmative action bagi perempuan. Namun begitu, rumusan Pasal 65 ayat (1) menggunakan kata “dapat” dan “memperhatikan.” Dari dua kata tersebut dapat diinterpretasikan bahwa pasal ini tidak mewajibkan parpol untuk memenuhi keterwakilan 30%. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak adanya ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur mengenai sanksi bagi parpol yang tidak menjalankan ketentuan tersebut.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pasal 65 ayat (1) di satu sisi telah mendukung affirmative action terhadap peningkatan partisipasi politik perempuan, karena dalam pasal tersebut dicantumkan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Akan tetapi di sisi lain ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan tidak bersifat wajib dan tidak disertai dengan sanksi yang tegas.

Apabila melihat pemberlakuan kuota yang diterapkan di berbagai negara di dunia, maka kuota yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) ini dapat diklasifikasikan sebagai kuota yang bersifat sukarela. Di beberapa negara lainnya, untuk mempercepat peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen, ketentuan mengenai kuota diterapkan secara wajib. Negara-negara yang memberlakukan kuota sebagai kewajiban, baik melalui konstitusi maupun undang-undang, melengkapi ketentuan tersebut dengan sanksi yang tegas. Sanksi tersebut dapat berupa penolakan daftar partai peserta pemilu yang tidak memenuhi persyaratan kuota atau sanksi keuangan dalam bentuk hilangnya hak atas dukungan dana kampanye.11

Yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Ketentuan mengenai kuota diatur secara resmi dalam Undang-Undang Pemilu, namun tidak ada sanksi bagi parpol yang melanggar ketentuan itu. Hal ini dapat berarti dua hal. Pertama, para penyusun UU Pemilu berasumsi bahwa Indonesia sebenarnya “belum siap” menerapkan mekanisme kuota ini secara ketat, sehingga sanksi 11 Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya Dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IFES, tanpa tahun, halaman 17-18.

yang tegas juga belum dapat diterapkan. Oleh karena itu, dicantumkan kata “dapat” dan “memperhatikan,” bukan kata -kata “wajib” atau semacamnya. Kedua, ketiadaan sanksi juga dapat diartikan bahwa para penyusun UU tersebut sebenarnya tidak memiliki political will untuk menerapkan ketentuan mengenai kuota, terbukti dengan tidak adanya sanksi yang dapat memaksa parpol untuk memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan. Jadi, pencantuman ketentuan tersebut hanya bersifat kosmetik, sekedar untuk mengakomodasi derasnya tuntutan pemberlakuan kuota dari pihak luar, terutama para aktivis perempuan, sehingga diambil jalan tengah seperti itu.

Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa pemberlakuan kuota seperti yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) tidak efektif. Mengingat kuota tidak bersifat wajib, maka tidak semua parpol peserta pemilu memenuhi keterwakilan 30% perempuan. Dari 24 parpol peserta pemilu, hanya 14 parpol (58,3%) yang memenuhi keterwakilan perempuan, seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 7

Persentase Caleg Perempuan dan Perolehan Suara Partai Politik Peserta Pemilu 2004

No Partai Politik % Caleg Perempuan % Perolehan Suara

1. Partai Keadilan Sejahtera 40,3 7,34

2. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 38,8 1,26

3. Partai Sarekat Indonesia 38,6 0,60

4. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 38,5 0,59 5. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 38,4 0,79

6. Partai Kebangkitan Bangsa 37,6 10,57

7. Partai Buruh Sosial Demokrat 37,1 0,56

8. Partai Karya Peduli Bangsa 35,9 2,11

9. Partai Merdeka 35,6 0,74

10. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 35,1 0,75

11. Partai Amanat Nasional 35,0 6,44

12. Partai Persatuan Daerah 34,2 0,58

13. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 32,7 1,16

14. Partai Bintang Reformasi 31,5 2,44

Sumber: PUSKAPOL FISIP, UI, 2007.

Dari Tabel 7 terlihat bahwa sebagian besar parpol yang mencalonkan perempuan lebih dari 30% adalah parpol baru. Dari 14 parpol yang pencalonan perempuannya melebihi 30%, hanya tiga parpol yang memperoleh suara

di atas 3% (lolos electoral treshold/ET) pada Pemilu 2004, yaitu PKS, PKB, dan PAN. Sebelas parpol lainnya adalah partai-partai baru yang perolehan suaranya kecil sehingga tidak secara otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya (tidak lolos ET).

Pemilu 2004 juga menunjukkan bahwa parpol-parpol “lama” justru mencalonkan perempuan di bawah 30% yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8

Partai Politik yang Tidak Memenuhi Keterwakilan 30% Perempuan pada Pemilu 2004

No. Partai Politik Keterwakilan Perempuan

1. Partai Golongan Karya 28,3%

2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 28,3%

3. Partai Persatuan Pembangunan 22,3%

Sumber: PUSKAPOL FISIP, UI, 2007, diolah.

Menurut Achie Sudiarti Luhulima, banyaknya parpol yang tidak dapat memenuhi keterwakilan 30% perempuan, termasuk parpol-parpol besar, disebabkan parpol tidak melakukan upaya yang maksimal untuk mencalonkan perempuan, karena parpol tidak memiliki cukup banyak kader perempuan untuk dicalonkan.12 Beberapa parpol yang dapat memenuhi keterwakilan perempuan juga tidak sepenuhnya mendukung affirmative action, karena menempatkan perempuan pada urutan bawah, sehingga meskipun caleg perempuan tersebut mendapatkan suara yang cukup banyak, mereka tetap tidak terpilih mengingat perolehan suaranya digunakan untuk calon yang berada di urutan nomor atas yang notabene adalah laki-laki.13 Bentuk lain ketidakberpihakan parpol terhadap caleg perempuan adalah dengan menempatkan perempuan pada urutan atas, tetapi bukan pada daerah pemilihan yang menjadi basis partai, sehingga peluang caleg perempuan untuk terpilih sangat kecil karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari pemilih.14

Minimnya angka keterwakilan perempuan pada partai-partai lama sehingga tidak mampu mencapai keterwakilan 30% seperti terlihat pada Tabel 8 secara tidak langsung menunjukkan beratnya persaingan yang terjadi antar-bakal calon dalam internal parpol. Banyaknya kader yang terdapat 12 Achie Sudiarti Luhulima, “Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik”, dalam Bahan Ajar

tentang Hak Perempuan, UU No.7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Achie Sudiarti Luhulima (ed.), Jakarta: Convention Watch bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 205.

13 Ibid., hlm. 206.

dalam parpol-parpol tersebut mengakibatkan bakal calon perempuan harus bersaing secara ketat dengan bakal calon laki-laki yang jumlahnya relatif lebih banyak, sehingga peluang perempuan untuk menjadi caleg semakin kecil.

Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa tidak ada caleg yang dapat memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP), sehingga caleg ditetapkan berdasarkan nomor urut, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2003.

Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pengaturan tentang affirmative action dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Hasil Pemilu 2004 memperlihatkan bahwa jumlah caleg perempuan yang terpilih rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan jumlah caleg perempuan yang dicalonkan oleh parpol. Dari 560 orang Anggota DPR, hanya terdapat 65 orang (11,8%) Anggota yang berjenis kelamin perempuan. Perolehan kursi masing-masing parpol dan persentase caleg perempuan yang terpilih dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9

Perbandingan Jumlah Caleg Perempuan Nomor Jadi dan Caleg Perempuan Terpilih Partai Politik Peserta Pemilu 2004

No. Partai Politik Caleg Perempuan No. Jadi Caleg Perempuan Terpilih (%)

1. Partai Golongan Karya 17 19 (111,7)

2. Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan 17 12 (70,5)

3. Partai Demokrat 20 8 (40,0)

4. Partai Amanat Nasional 21 7 (33,3)

5. Partai Kebangkitan

Bangsa 24 7 (29,1)

6. Partai Keadilan Sejahtera 20 5 (25,0) 7. Partai Persatuan Pembangunan 14 3 (21,4) 8. Partai Bintang Reformasi 20 2 (10,0)

9. Partai Damai Sejahtera 22 2 (9,0)

Sumber: Eko Bambang Subiantoro, Keterwakilan Perempuan dalam Politik: Masih Menjadi Kabar Burung,

Dari sisi substansi, akomodasi isu keterwakilan 30% untuk perempuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum memang telah sejalan dengan Pasal 4 (ayat 1) Konvensi CEDAW yang mewajibkan Indonesia sebagai salah satu negara peserta untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara (temporary special measures) untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut, pengaturan mengenai affirmative action dalam bentuk keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% juga sesuai dengan Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik, terutama huruf c (melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki) dan Rekomendasi Umum Komite No. 25 (Sidang ke-30 Tahun 2004) tentang Tindakan Khusus Sementara, terutama huruf a dan huruf c.