• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Affirmative Action dalam tiga Undang-Undang tentang Pemilihan Umum

AFFIRMATIVE ACTION DI INDONESIA: AGENDA KE DEPAN

A. Pengaturan Affirmative Action dalam tiga Undang-Undang tentang Pemilihan Umum

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perjuangan untuk meningkatkan keterwakilan 30% perempuan melalui affirmative action merupakan sebuah perjalanan yang panjang. Apabila mencermati pasal-pasal yang berkaitan dengan affirmative action dalam dua pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, tampak bahwa ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut terus mengalami perkembangan, terutama dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemilu, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sebagai contoh, bila dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum hanya terdapat 1 pasal yang mengatur mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan, yaitu Pasal 65 ayat (1), maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, affirmative action juga diimplementasikan dalam bentuk zipper system (sistem selang-seling) yang mengatur bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon [Pasal 55 ayat (2)].

Demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan Pemilu Tahun 2014. Ketentuan yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 hampir sama dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan tersebut terkait dengan beberapa substansi, yaitu:

1. persyaratan partai politik (parpol) yang dapat menjadi peserta pemilu (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e dan Pasal 15 huruf d);

2. pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota [(Pasal 55, 56 ayat (2), 58, 59 ayat (2), Pasal 62 ayat (6), dan Pasal 67 ayat (2)]; dan

3. penetapan calon terpilih (Pasal 215 huruf b).

Perbandingan pengaturan mengenai affirmative action dalam ketiga undang-undang tentang pemilu tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada matriks berikut:

Tabel 16

Pengaturan Affirmative Action dalam Undang-Undang tentang Pemilu

Substansi UU No. 12/2003 UU No.10/2008 UU No. 8/2012

Persyaratan parpol peserta pemilu -menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat

[Pasal 8 ayat (1) huruf d] menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat

[Pasal 8 ayat (2) huruf e]

Pendaftaran parpol peserta pemilu

-Salah satu dokumen persyaratan pendaftaran adalah surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Pasal 15 huruf d)

Salah satu dokumen persyaratan pendaftaran adalah surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Pasal 15 huruf d)

Substansi UU No. 12/2003 UU No.10/2008 UU No. 8/2012 Metode pencalonan Memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Pasal 65 ayat 1) Daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (Pasal 53)

Daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (Pasal 55) Penempatan caleg

dalam daftar calon

-zipper system: dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon

(Pasal 55 ayat 2)

Dalam daftar bakal calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon.

Substansi UU No. 12/2003 UU No.10/2008 UU No. 8/2012

Verifikasi

keterwakilan 30%

untuk perempuan

-KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota melakukan verifikasi daftar calon yang diajukan oleh parpol telah memenuhi keterwakilan 30% untuk perempuan (Pasal 57) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon jika tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan [Pasal 58 ayat (2)] KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota melakukan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan (Pasal 58) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon jika tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan [Pasal 59 ayat (2)]

Sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi keterwakilan 30% perempuan dalam

daftar bakal calon

-KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota

mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik

pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 61

ayat (6)]

KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional

Substansi UU No. 12/2003 UU No.10/2008 UU No. 8/2012

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota

mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional

[Pasal 66 ayat (2)]

KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional [Pasal 67 ayat (2)] Dari matriks tersebut di atas terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengaturan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam dua undang-undang pemilu terakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Demikian pula dengan dua undang-undang lainnya yang terkait pemilu, yaitu undang-undang tentang penyelenggara pemilu dan undang-undang tentang partai politik, pengaturan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan juga hampir sama.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pasal 6 ayat (5) dinyatakan bahwa “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).” Rumusan ini hampir sama dengan rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, bahkan pasal yang mengatur hal itu juga sama, yaitu Pasal 6 ayat (5), yang menyatakan bahwa: “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).” Satu-satunya perbedaan hanyalah pilihan kata untuk menerangkan kata “30%”, yaitu tiga puluh persen (dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011) dan tiga puluh perseratus (dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007).

Begitu pula pengaturan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam undang-undang tentang partai politik, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Pendirian dan pembentukan

Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sedangkan terkait kepengurusan, dalam Pasal 2 ayat (5) dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Adapun untuk kepengurusan tingkat kabupaten/kota, keterwakilan 30% untuk perempuan tidak diatur secara tegas, sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 yang menyatakan bahwa:

“Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.” Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang merupakan hasil perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, rumusan mengenai keterwakilan perempuan 30% sebagai salah satu syarat pendirian parpol tidak mengalami perubahan sama sekali. Namun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 kuota 30% keterwakilan perempuan juga menjadi salah satu pertimbangan dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik untuk menjadi anggota parpol, bakal calon Anggota DPR dan DPRD, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maupun bakal calon presiden dan wakil presiden [Pasal 29 ayat (1a)].

B. Pro dan Kontra Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun