• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Contoh Pergeseran Bahasa

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 124-129)

PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA

2. Pengertian Pergeseran Bahasa

2.3 Beberapa Contoh Pergeseran Bahasa

Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa dapat diamati. Misalnya, ketika ada gejala yang menunjukkan bahwa penutur suatu komunitas bahasa mulai memilih menggunakan bahasa baru dalam domain-domain tertentu yang menggantikan bahasa lama, hal ini memberikan sinyal bahwa proses pergeseran bahasa sedang berlangsung.

Contoh 1

Pendatang atau kelompok pendatang ini untuk keperluan komunikasi mau tidak mau, harus menyesuaikan diri dengan “menanggalkan” bahasanya sendiri, lalu menggunakan bahasa penduduk setempat. Dalam kelompok asal, mereka memang dapat menggunakan bahasa pertama mereka, tetapi untuk berkomunikasi dengan orang lain, tentunya mereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasanya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa penduduk setempat. Andaikata kasus ini terjadi dalam masyarakat Indonesia, memang ada pilihan lain untuk berkomunikasi, yaitu dengan menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia, sebab bahasa ini memang difungsikan untuk menjadi alat komunikasi antarsuku. Yang sukar, kalau para pendatang itu juga tidak memahami dan menguasai bahasa Indonesia. Maka untuk berkomunikasi mereka terpaksa harus dapat menggunakan alat seadanya dan sebisanya. Berikut ini kita liat beberapa kasus pergeseran bahasa dalam masyarakat multilingual Indonesia sebagai akibat dari perpindahan atau mobilitas penduduk.

Contoh 2

Togar dan Sahat dua orang mahasiswa di Malang yang berasal dari Sumatera Utara. Ketika pertama datang di Malang mereka sedikit pun tidak mengerti bahasa Jawa. Maka keduanya terpaksa menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, teman-teman kuliah, sepemondokan, dan tetangga-tetangga, serta orang-orang lain berbahasa Jawa, keduanya pun mencoba sedikit demi sedikit belajar berbahasa Jawa. Pada mulanya mereka berbicara bahasa Jawa dengan aksen Batak, tetapi lama-kelamaan aksen Bataknya semakin berkurang. Maka sesudah dua tahun berada di Malang, keduanya lebih biasa berbahasa Jawa dalam setiap keperluan,

125

kecuali di mana diperlukan menggunakan bahasa Indonesia. Akhirnya, mereka berdua pun hampir tidak pernah lagi menggunakan bahasa ibu mereka, lebih-lebih di tempat umum. Maka di sini telah terjadi pergeseran bahasa. Kedudukan bahasa Madailing mereka, meskipun bahasa pertama, telah tergeser oleh bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa digunakan dalam situasi tidak formal, sedangkan bahasa Indonesia digunakan dalam situasi formal.

Contoh 3

Joko, seorang pemuda dari Pekalongan, Jawa Tengah, setelah menamatkan sekolah menengahnya, merantau ke Bali. Dengan bantuan seorang kenalan dia dapat bekerja sebagai tenaga administrasi pada sebuah perkebunan cengkeh di Tajun. Setiap hari dan sepanjang hari yang didengarnya adalah percakapan dalam bahasa Bali, yang pada mulanya tidak dipahaminya sama sekali. Untuk berkomunikasi dengan teman sekantor dia dapat menggunakan bahasa Indonesia, tetapi untuk berkomunikasi dengan pekerja kasar di perkebunan itu, dia mendapat kesulitan, sebab mereka hanya dapat berbahasa Bali. Dia pun mencoba belajar bahasa Bali sedikit demi sedikit. Lama- kelamaan akhirnya dia dapat juga berbahasa Bali. Lebih-lebih setelah ia menemukan jodohnya dengan gadis Bali dari keluarga desa yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Begitulah, akhirnya Joko yang sudah masuk dalam masyarakat tutur Bali ini tidak pernah lagi menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jawa. Di sini pun telah terjadi pergeseran bahasa pada diri Joko. Bahasa Jawanya yang dipelajari sejak bayi sudah tidak berfungsi lagi, diganti oleh bahasa Bali.

Contoh 4

Putu dan Made dua orang mahasiswa di Jogja yang berasal dari Bali. Ketika pertama datang ke Jogja mereka sedikit pun tidak mengerti bahasa Jawa. Maka keduanya terpaksa menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Jika mereka hanya berdua saja, mereka dapat menggunakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Bali. Karena semua orang di sekitarnya menggunakan bahasa jawa, keduanya pun mencoba sedikit-sedikit menggunakan bahasa Jawa. Pada mulanya mereka menggunakan bahasa Jawa dengan aksen Bali, tetapi lama-kelamaan aksen Bali mereka berkurang. Maka, sesudah tiga tahun berada di Jogja keduanya lebih biasa menggunakan bahasa Jawa dalam setiap keperluan, kecuali di mana diperlukan bahasa

126

Indonesia. Akhirnya, mereka pun hampir tidak pernah lagi menggunakan bahasa ibu mereka.

Suatu kenyataan bahwa bahasa Indonesia terdiri atas beragam suku dan bahasa. Dalam situasi resmi orang Indonesia berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, dalam situasi tidak resmi, percakapan sehari-hari, misalnya, orang Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam suku dan berbicara dalam bermacam-macam bahasa tidak selalu memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Mereka kadang-kadang memakai bahasa daerah masing-masing, bahasa daerah tempat asal mereka.

Tidak berbeda dengan bangsa lainnya, penggolongan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kebangsaan etnis (suku), kebanggaan keturunan, dan ciri-ciri khas kebahasaan yang dimiliki masih juga tampak dalam kehidupan kemasyarakatan Indonesia. Salah satu contohnya adalah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Cina. Warga negara Indonesia (WNI) keturunan Cina adalah orang-orang keturunan pendatang atau kelompok pendatang (imigran) dari Cina. Untuk berkomunikasi mereka menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, yaitu meninggalkan bahasa mereka sendiri lalu berganti menggunakan bahasa penduduk setempat. Lambat laun terjadilah pergeseran bahasa mereka. Selain itu, dengan munculnya kebijaksanaan pemerintah, yaitu program asimilasi terhadap seluruh penduduk WNI keturunan Cina dan penduduk Indonesia WNA semakin cepatlah proses pergeseran bahasa itu dan memunculkan sikap pemertahanan bahasa di antara kelompok-kelompok masyarakat itu.

Bila seorang atau sekelompok pelaku tutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa, dan gunanya jelas, yakni agar para pendatang dapat meyesuaikan diri mereka terhadap lingkungan baru, dan salah satu caranya ialah dengan mau tidak mau menanggalkan bahasa pertama mereka, dan mulai menggunakan bahasa kedua yakni bahasa setempat.

Fenomena di atas dapat mengakibatkan pergeseran bahasa Indonesia. Fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa sebenarnya telah ada sejak bahasa-bahasa itu mulai mengadakan kontak dengan bahasa lainnya (Grosjean 1982). Kontak antar dua suku atau suku bangsa yang masing-masing membawa bahasanya sendiri-sendiri lambat laun mengakibtakan terjadinya persaingan kebahasaan. Pada umumnya, di dalam persaingan kebahasaan terjadi fenomena-fenomena kebahasaan yang diawali dengan kedwibahsaan, diglosia, alih kode atau campur kode, interferensi, dan akhirnya permertahanan dan pergeseran bahasa. Jika satu bahasa lebih dominan, lebih

127

berprestise, atau lebih modern atau bahkan mungkin lebih “superior” daripada bahasa lain, bahasa tersebut dipastikan dapat bertahan, sedangkan lainnya dalam beberapa generasi akan ditinggalkan oleh penuturnya. Tidak jarang bahasa yang ditelantarkan oleh penuturnya itu lambat laun mengakibatkan kematian bahasa (Dorian,1981).

Apa yang dipaparkan para pakar di atas, memang peristiwa pergeseran bahasa itu bisa saja terjadi di mana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah, atau negara yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana-mana, sedangkan yang prospeknya suram segera ditinggalkan.

Pergeseran bahasa kadang-kadang disebut kepunahan bahasa, terutama kalau kelompok yang sedang bergeser bahasanya itu tinggal satu-satunya orang di dunia (Sumarsono, 2008:278). Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini. Pendatang atau kelompok pendatang ini untuk keperluan komunikasi mau tidak mau, harus menyesuaikan diri dengan “menanggalkan” bahasanya sendiri, lalu menggunakan bahasa penduduk setempat. Dalam kelompok asal, mereka memang dapat menggunakan bahasa pertama mereka; tetapi untuk berkomunikasi dengan orang lain; tentunya mereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasa sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa penduduk setempat. Andaikata kasus ini terjadi dalam masyarakat Indonesia, memang ada pilihan lain untuk berkomunikasi, yaitu dengan menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia, sebab bahasa ini memang difungsikan untuk menjadi alat komunikasi antarsuku. Yang sukar kalau para pendatang itu juga tidak memahami dan menguasai bahasa Indonesia. Maka untuk berkomunikasi mereka terpaksa harus dapat menggunakan alat seadanya dan sebisanya. Berikut ini kita lihat beberapa kasus pergeseran bahasa dalam masyarakat multilingual Indonesia sebagai akibat dari perpindahan atau mobilitas penduduk.

Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk mendatanginya. Fishman (1972) telah menunjukan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya (B-ib), dan malah telah terjadi

128

monolingual bahasa Inggris (B-in). secara sederhana pergeseran bahasa para imigran itu dilukiskan dalam diagram berikut.

Pada kotak pertama para imigran itu masih bermonolingual dengan bahasa ibunya. Ini tentu terjadi ketika mereka baru saja datang dan beberapa tahun setelah itu. Selanjutnya setelah beberapa lama, seperti digambarkan pada kotak kedua, mereka sudah menjadi bilingual bawahan (bahasa ibu dan bahasa Inggris) dimana bahasa ibu masih lebih dominan. Pada kurun waktu berikutnya, seperti digambarkan pada kotak ketiga, bilingualism mereka sudah menjadi setara. Artinya, penguasaan bahasa Inggris sudah sama baiknya dengan penguasaan bahasa ibu. Selanjutnya, seperti yang digambarkan pada kotak keempat, mereka menjadi bilingual bawahan kembali, tetapi dengan penguasaan bahasa yang berbeda. Kini penguasaan terhadap bahasa Inggris jauh lebih baik daripada penguasaan terhadap bahasa ibu. Akhirnya, seperti yang digambarkan pada kotak lima, mereka menjadi monolingual bahasa Inggris, bahasa ibu atau bahasa leluhur telah mereka lupakan.

Pergeseran yang dilukiskan di atas (kasus Sahat dan Togar) tidak sampai menyebabkan punahnya bahasa ibu karena pergeseran itu berlangsung bukan di tempat bahasa ibu digunakan. Begitu juga kasus yang dikemukakan oleh Fishman. Namun, dalam kasus-kasus lain seperti yang dilaporkan Danie (1987) dan Ayatrohaedi (1990) ada pergeseran bahasa yang menyebabkan punahnya suatu bahasa di tempat tadinya digunakan karena tidak ada lagi penuturnya, atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi Utara, Danie (1987) menemukan adanya bahasa yang pemakaiannya dan penuturnya sudah sangat menurun. Penyebabnya adalah (a) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua france di daerah itu, (b) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di daerah itu, (c) kebutuhan akan bahasa pengantar, bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, dan (d) berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di daerah itu. Karena itu peranan bahasa

Bilingual setara (B-ib-B-in) Bilingual bawahan (B-ib-B-ib) Monolingual (B-ib) Monolingual (B-in) Bilingual bawahan (B-in-B-ib)

129

Melayu Manado semakin kuat. Semua keluarga mendidik anak-anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil, walaupun yang diajarkan adalah bahasa Melayu Manado (masyarakat di sana beranggapan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Manado adalah sebuah bahasa yang sama). Laporan yang sama lebih dahulu telah dibuat oleh Tallei (1977) di mana dikatakan penutur asli bahasa Tonsea, di Minahasa juga, sudah mulai meninggalkan bahasa ibu, beralih ke bahasa Melayu Manado dengan alasan sama seperti yang disebutkan Danie.

Ayatrohaedi (1990) melaporkan bahwa saat ini sedang berlangsung proses kepunahan sebuah bahasa di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat. Menurut Ayatrohaedi sampai awal tahun lima puluhan di Jatiwangi ada tiga bahasa yang hidup berdampingan, yaitu, pertama bahasa Sunda, yang digunakan oleh etnis Sunda yang menjadi petani dan karyawan, dan juga digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan sampai kelas tiga sekolah dasar; kedua , bahasa Jawa Cirebon, yang digunakan oleh para penyebar agama Islam (karena tadinya mereka mempelajari agama Islam di Cirebon dengan pengantar bahasa tersebut), pedagang di pasar, dan untuk beberapa kegiatan lain. Lalu, yang ketiga adalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh sekelompok kecil orang Arab, Pakistan, dan India. Pada mulanya arah orientasi penduduk Jatiwangi adalah memang ke arah timur, yaitu kota Cirebon. Anak mereka banyak yang ke Cirebon untuk bersekolah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, dengan semakin ramai dan lancarnya arus lalulintas ke Bandung, maka orientasi itu berbalik ke arah barat, yaitu ke kota Bandung. Segala keperluan yang tidak dapat dipenuhi, dicari ke Bandung, dan tidak lagi ke Cirebon. Akibatnya, sesudah tiga puluh tahun kemudian, bahasa Jawa Cirebon yang dulu terdengar digunakan oleh anak-anak dan pedagang di pasar, tidak lagi terdengar. Memang masih ada satu dua orang yang menggunakan bahasa itu, tetapi rata-rata mereka sudah berumur di atas lima puluh tahun. Menurut Ayatrohaedi dalam sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang bahasa Jawa Cirebon di Jatiwangi hanya tinggal kenangan, sebab tanda-tanda kearah kepunahan itu sudah tampak jelas.

Prasyarat nyata bagi pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, tetapi banyak masyarakat dwibahasa, dialogsianya benar-benar stabil. Wilayah, daerah, atau negara yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana- mana; sedangkan yang prospeknya suram segera ditinggalkan.

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 124-129)