• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Wilian (2006)

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 135-140)

PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA

C. Penelitian Wilian (2006)

Berkenaan dengan pemertahanan bahasa yang diwujudkan oleh penutur bahasa Sumbawa yang menetap di Lombok. Dulunya mereka termasuk kelompok etnis Sumbawa. Akan tetapi, setelah mereka menetap di Lombo selama kurun waktu 3 abad, karena sebab-sebab kesejarahan, para warganya, terutama mereka yang berusian di bawah 20 tahun, mengidentifiasikan diri lebih sebagai orang sasak daripada sebagai orang sumbawa.

Dalam perilakunya, sebagian diantara mereka mengikuti adat istiadat Sasak atau campuran Sasak-Sumbawa. Secara kultural kebudayaan, Sasak banyak memperlihatkan pengaruh dari kebudayaan Bali, sedangkan kebudayaan Sumbawa lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Bugis. Yang menarik adalah, meskipun mereka menganggap diri mereka sebagai orang sasak, mereka tetap memakai bahasa Sumbawa sebagai sarana komunikasi antara sesamanya, khususnya di ranah rumah tangga, pertemanan, dan ketetanggaan. Permukiman mereka yang terkonsentrasi sehingga membentuk masyarakat yang homogen sangat mendukung dipakainya bahasa Sumbawa. Demikin juga sikap mereka yang positif terhadap bahasa mereka menjadi faktor lain dari dipertahankannya bahasa Sumbawa. Mereka bangga memakai bahasa Sumbawa dan secara terus menerus mengalihkan bahasa meleka ke anak cucu mereka.

Kawin campur tidak serta merta berpengaruh pada pemakaian bahasanya, dimana ada kesempatan mereka memakai bahasa Sumbawa. Seperti halnya dengan bahasa Melayu Loloan, menghadapi bahasa sasak, pemertahanan bahasa Sumbawa lebih kuat daripada ketika menghadapi bahasa Indonesia. Penutur bahasa Sumbawa,

136

lebih bersifat akomodatif terhadap bahasa Indonesia daripada terhadap bahasa Sasak. Sedikit demi sedikit bahasa Indonesia mulai memengaruhi pemakaian bahasa mereka. Keadaan ini merupakan gejala yang wajar. Para penutur bahasa Sumbawa menempatkan bahasa Indonesia lebih tinggi daripada bahasa mereka sendiri dan seterusnya menempatkan bahasa mereka lebih tinggi daripada bahasa Sasak.

Dari beberapa penelitian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan faktor- faktor yang dapat menyebabkan pemertahanan bahasa oleh sekelompok etnis antara lain.

1. Wilayah pemukiman yang terkonsentrasi, maksudnya adalah tempat tinggal mereka yang berkumpul menjadi satu walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Hal ini menyebabkan kelompok suatu etnis tersebut dalam berkomunikasi sehari-hari tetap menggunakan bahasa ibu mereka;

2. Adanya rasa cinta dan setia terhadap bahasa ibu mereka sehingga akan timbul sikap yang bangga untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka di tengah-tengah bahasa penduduk mayoritas daerah tempat mereka tinggal;

3. Adanya kesinambungan pengalihan bahasa dari generasi ke generasi berikutnya;

Contoh kasus pemertahanan bahasa di Buleleng. 1. Penggunaan bahasa Jawa di Pasar Seririt

Secara lebih nyata dan dapat kita amati bersama sikap pemertahanan bahasa ini dapat kita lihat pada sikap penduduk muslim yang tinggal di daerah Seririt, Buleleng Barat. Hal ini dapat kita jumpai di pasar umum Seririt. Apabila kita jalan-jalan di pasar tersebut, kita akan menjumpai sekumpulan pedagang ayam potong yang mayoritas beragama muslim. Pada saat melakukan komunikasi dengan sesama pedangang ayam yang notabennya sesama orang muslim, mereka akan memilih menggunakan B1 mereka yaitu bahasa Jawa. Berbeda halnya ketika mereka menghadapi pembeli yang latar belakangnya bukan beragama muslim maka secara otomatis mereka akan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Bali. Meskipun secara keseluruhan orang-orang yang berbelanja ke pasar tersebut kebanyakan penduduk asli Bali. Apabila pembeli adalah sesama orang Jawa maka otomatis pula mereka akan kembali menggunakan bahasa Jawa saat bertransaksi. Fenomena ini merupakan sebuah bukti nyata kalau sekelompok etnis Jawa di pasar umum Seririt ingin tetap mempertahankan bahasa Ibu mereka walaupun mereka sudah tinggal bertahun-tahun di Bali dan bergaul dengan masyarakat Bali yang memiliki bahasa Ibu berbeda, tetapi

137

mereka tetap bertahan dan bangga menggunakan bahasa Ibu mereka yaitu bahasa Jawa dalam segala ranah kehidupan.

2. Komunitas Kampung Madura di Kecamatan Seririt

Kampung Madura adalah istilah tempat yang digunakan komunitas Etnis Jawa yang tinggal dan menetap di Seririt. Masyarakat Kampung. Madura ini dominan beragama Islam. Dalam kesehariannya, masyarakat ini menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi sesama etniknya yang tinggal di Kampung Madura. Tidak jarang pula pada masyarakat lain sesama etnik jawa, mereka selalu menggunakan bahasa Jawa. Fenomena ini merupakan suatu usaha masyarakat etnik Jawa yang secara sadar maupun secara tidak sadar telah melakukan pemertahanan bahasa. Di tengah-tengah penduduk yang dominan etnik Bali bahkan hidup di tengah-tengah budaya Bali tempat mereka tinggal, mereka tetap mempertahankan bahasa ibu (b1) mereka yaitu bahasa Jawa.

Rangkuman

Terjadinya perubahan itu tentunya tidak dapat diamati, sebab perubahan itu yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu yang relatif terbatas. Namun, yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah itu direvisi, menghilang, atau munculnya kaidah baru; dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Pada bahasa-bahasa yang sudah mempunyai sejarah panjang tentu perubahan-perubahan itu sudah terjadi berangsur dan bertahap karena tujuan kita bukan untuk membicarakan perubahan itu secara terperinci, melainkan hanya untuk menunjukkan adanya bukti perubahan, maka hanya akan dibicarakan adanya perubahan itu dalam satu singkat saja, tanpa memperhatikan kapan perubahan itu terjadi.

Sejalan dengan perkembangan IPTEK, bahasa juga mengalami suatu pergesaran. Pergesaran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Pergeseran bahasa menunjukkan adanya suatu bahasa yang benar-benar ditinggalkan oleh komunitas penuturnya. Hal ini berarti bahwa ketika pergeseran bahasa terjadi, anggota suatu komunitas bahasa secara kolektif lebih memilih menggunakan bahasa baru

138

daripada bahasa lama yang secara tradisional biasa dipakai. Prasyarat nyata bagi pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, tetapi banyak masyarakat dwibahasa, diglosianya benar-benar stabil.

Wilayah, daerah, atau negara yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana-mana; sedangkan yang prospeknya suram segera ditinggalkan. Menurut para ahli bahasa, selain bilingualisme terdapat beberapa faktor lain yang menjadi pemicu pergeseran bahasa. Faktor-faktor tersebut antara lain migrasi, baik yang dilakukan oleh kelompok kecil ke wilayah yang menyebabkan bahasa mereka tidak lagi digunakan, maupun oleh kelompok besar yang memperkenalkan populasi lokal dengan bahasa baru, industrialisasi dan perubahan ekonomi, sekolah bahasa dan kebijakan pemerintah, urbanisasi prestise yang lebih tinggi, dan jumlah populasi yang lebih sedikit untuk bahasa yang mengalami pergeseran. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk mendatanginya.

Di sisi lain, terdapat pula beberapa hal sebagai bukti kepedulian masyarakat di berbagai belahan dunia untuk mempertahankan bahasa ibu atau bahasa daerah. Sebagai contoh, UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Selain itu, di Indonesia pun pemerintah menunjukkan bentuk kepeduliannya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang di antaranya berupa Peraturan Menteri maupun Peraturan Daerah untuk mempertahankan, membina, dan mengembangkan bahasa daerah baik melalui jalur formal maupun informal. Hal ini dianggap perlu karena bahasa daerah merupakan aset dunia yang wajib dipertahankan dan juga memiliki banyak kearifan lokal yang layak dipahami anggota komunitasnya.

Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Namun, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya, sehingga tidak terasa sebuah peradaban dapat diubah dengan keberadaan suatu bahasa. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka. Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual ada kemungkinan bahwa kebilingualan atau kemultilingualannya itu lestari. Kesetiaan para warganya pada bahasa mereka masing-masing tinggi. Mereka cenderung bertahan dengan bahasa mereka masing-masing, meskipun pada kenyataannya sebagian dari mereka ada yang bilingual dan sebagian lagi monolingual.

139 Soal :

1. Sejauhmanakah bahasa gaul (bahasa prokem) berpengaruh terhadap pergeseran bahasa Indonesia?

2. Apakah yang membedakan antara perubahan bahasa, pergeseran bahasa, dan pemertahanan bahasa?

3. Seorang pakar bahasa melontarkan sebuah pernyataan bahwa beberapa tahun lagi bahasa Bali akan punah, bagaimana menurut Saudara pernyataan tersebut, jelaskan! 4. Mencermati fenomena kedwibahasaan dan tantangan kehidupan global dewasa ini,

menurut Saudara faktor apakah yang paling berpengaruh terhadap pergeseran bahasa ibu saat ini?

5. Beberapa sekolah mewajibkan siswa untuk berbahasa Bali setiap hari Jumat, dengan maksud melestarikan bahasa Bali, menurut Saudara, efektifkah kegiatan ini dilakukan dalam upaya pemertahanan bahasa Bali, jelaskan!

Daftar Pustaka

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Crystal, David. 2000. Language Death. New York:Cambridge University Press

Dorian, N. 1981. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Fasold, R. (1984). Sociolingustics of Society. Basil Blak Well Inc. New York.

Fishman, J.A. (1972). The Sociology of Language. Massachusett: Newbury House Plublication.

Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1974. An Introduction to Language. New york:Holt Rinehartand Winston Inc.

Gal, Susan. 1979 Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria. New York: Academic Press.

Groesjean, Fracois. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press.

140

Saefuzaman. 2011. Perubahan, Pergeseran, dan Pemertahanan Bahasa. http://www.saefuzaman.web.id/2011/01/perubahan-pergeseran-dan-

pemertahanan.html. Diakses pada tanggal 3 Juni 2012

Sumarsono.1990. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Universitas Indonesia (Disertasi tidak diterbitkan)

Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sabda.

Tallei. 1977.”Pengeksplorasian Bahasa Indonesia dan Masalah –Masalah

Kodifikasinya”. Pengajaran Bahasa dan Sastra. Th.III.No.5 hal. 10-17

Wilian, Sudirman. (2006). “Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, dan Kebertahanan Bahasa:

Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok”. Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah

Masyarakat Indonesia tahun ke-23 Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Hal. 89-102

Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction Sosiolinguistik Third Editor. Oxford: Basil Blackwell Ltd.

BAB VII

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 135-140)