• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Variasi Bahasa

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 67-78)

Aslindgf (2007:17) menyatakan bahwa variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat/kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturannya yang tidak bersifat homogen. Merujuk pendapat Chaer dkk (2004:62) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.

Terkait dengan variasi bahasa, terdapat dua cara pandang mengenai hal tersebut. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat, waktu, pemakai, pemakaian, situasi, dan status. Berikut ini akan dibicarakan variasi bahasa berdasarkan tempat, waktu, pemakai, pemakaian, situasi, dan status.

68 a) Variasi Bahasa Berdasarkan Tempat

Jika dikaitkan dengan bahasa, tidak ada seorang pun yang bebas melakukan apa yang benar-benar dia sukai (Wardhaugh, 1998). Setiap individu tidak bisa mengucapkan kata-kata semaunya. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki batas-batas tertentu. Salah satu batas yang perlu diperhatikan dalam berbahasa adalah tempat (setting). Tempat (setting) sebuah peristiwa bisa menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda sekalipun tujuan dan partisipan yang dilibatkan sama.

Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula memengaruhi pilihan bahasa dan gaya dalam bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.

Pada sebagian masyarakat, tempat (setting) tertentu diperlukan agar sebuah peristiwa terjadi, misalnya, tempat khusus diperlukan untuk berdoa, untuk mengajar, atau untuk bercerita, dan peristiwa-peristiwa ini sering sesuai dengan pilihan varietas bahasa. Pembatasan bahasa (language restriction) atau tabu pada umumnya juga berhubungan dengan tempat (setting), seperti pembatasan berbicara tentang topik-topik tertentu di meja makan, bersiul di dalam rumah, atau bersumpah serapah di tempat ibadat.

Ada beberapa contoh yang menarik yang penulis angkat dalam kajian variasi bahasa berdasarkan tempat (setting) yakni variasi bahasa yang digunakan di daerah Manggarai, di Eropa, dan di daerah Bali. Hasil wawancara penulis dengan seorang mahasiswa pascasarjana Undiksha dari Manggarai (Oliva Tika Baung) menyatakan bahwa di daerah Manggarai terdapat tiga pembagian wilayah kerajaan, yaitu kerajaan Manggarai/Ruteng Runtuh, Kerajaan Todo Pongkor, dan Kerajaan Cibal. Bahasa yang digunakan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya) memiliki variasi bahasa yang berbeda. Misalkan saja, dalam penggunaan kata sapaan, terdapat perbedaan antara lingkungan kerajaan dan lingkungan di luar kerajaan (masyarakat umumnya). Dalam lingkungan kerajaan, anak lelaki raja dipanggil dengan sebutan “anak daeng”, sedangkan ketika anak raja berada di luar istana maka sapaan terhadap anak raja tidak lagi dipanggil“anak daeng”, tetapi dipanggil “anak kraeng”. Masyarakat umum yang tidak memiliki darah kerajaan, memanggil anak lelaki mereka

69

dengan sebutan “nara/nana”. Begitu pula dengan sapaan untuk putri raja. Dalam lingkungan kerajaan putri raja dipanggil dengan sebutan “nona”, sedangkan ketika putri raja berada di luar istana maka sapaan terhadap putri raja tidak lagi dipanggil “nona”, tetapi dipanggil “enu”. Pembantu yang bekerja di dalam istana disapa ”taki mendi”, sedangkan pembantu yang bekerja pada masyarakat umum, di luar istana disapa dengan istilah ”roeng”. Terdapat pula berbedaan bahasa dalam aktivitas sehari-hari jika dihubungkan dengan tempat berlangsungnya komunikasi. Pada lingkungan kerajaan, ada perbedaan bahasa yang dipakai dalam mengajak makan “mai jumik” atau “mai lompong”, artinya mari makan. Bahasa yang digunakan masyarakat umum di luar kerajaan untuk mengajak makan yakni “mai hang”. Hal ini dikarenakan dalam lingkungan istana, ada kekhususan bahasa yang digunakan yakni bahasa alus istana. Sementara itu pada lingkungan masyarakat umum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Manggarai umum.

Variasi bahasa berdasarkan tempat terjadinya tuturan juga dapat dicermati dari bentuk-bentuk salam pada bahasa Inggris. Mengutip pernyataan Brown dan Fraser (1979) bahwa bentuk-bentuk salam pada bahasa Inggris bisa berbeda apabila diucapkan di dalam dan di luar gedung. Contohnya, bentuk sapaan di dalam gedung adalah “Good morning, how are you today?”sedangkan bentuk sapaan di luar gedung memiliki perbedaan cara menyapa. Di luar gedung, orang-orang Eropa menyapa cukup dengan berkata ”How are you?”

Kalau kita tangkil ke pura Lempuyang, maka ada pantangan bagi umat yang akan menuju ke puncak pura Lempuyang untuk tidak mengucapkan kata-kata mengarah pada maksud mengeluh seperti “capek, aduh tinggi banget, saya sudah tidak kuat”. Hal- hal yang boleh diucapkan saat melakukan pendakian ke puncak pura Lempuyang adalah ucapan yang mengandung makna menyemangati hati, seperti “Wah, sebentar lagi kita sampai”.

Istilah bahasa tabu juga terkait dengan tempat terjadinya komunikasi. Di satu daerah tertentu terdapat kosakata yang ditabukan, namun di daerah lain kosakata tersebut tidak dianggap tabu. Contohnya dapat kita lihat kasus di daerah Flores. Untuk daerah Manggarai, kata mena artinya nama sebuah tempat atau tersangkut. Sementara itu pada daerah Flores Timur, tepatnya di Kabupaten Larantuka kata mena adalah kata yang tabu, tidak sopan. Kata mena di Kabupaten Larantuka berarti laki perempuan yang sedang melakukan hubungan seksual. Hal ini mengimplikasikan bahwa, tempat saat kita bertutur menyebabkan munculnya variasi bahasa.

70 b) Variasi Bahasa Berdasarkan Waktu

Mengutip pendapat Sumarsono (2008) bahwa bahasa bisa dianggap sebagai “cermin zamannya”. Artinya bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Kartomihardjo (1988) yang menyatakan bahwa bahasa adalah cerminan kehidupan masyarakat. Dalam artian bahwa perkembangan masyarakat menyebabkan perubahan struktur masyarakat dan lembaga- lembaganya dan hal ini tercermin dalam kosakata bahasa. Variasi bahasa berdasarkan waktu diistilahkan dengan kronolek atau dialek temporal. Variasi bahasa ini yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, sejarah perkembangan bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini.

Ragam bahasa Indonesia lama dipakai sejak zaman Kerajaan Sriwijaya sampai dengan saat dicetuskannya Sumpah Pemuda. Ciri dari ragam bahasa Indonesia lama masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia. Penggunaan ragam bahasa Indonesia baru, dimulai sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda Pada 28 oktober 1928 sampai dengan saat ini melalui pertumbuhan dan perkembangan bahasa yang beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia.

Perkembangan bahasa baku di satu negara pastilah berbeda dengan perkembangan bahasa baku di negara yang lain. Bahasa Indonesia baku semula lahir dari kehendak rakyat Indonesia yang diwakili oleh para pemuda dalam kongres mereka tahun 1982 pada bulan Oktober. Sejak itu nama Bahasa Indonesia dipergunakan untuk menggantikan Bahasa Melayu sebagai lingua franca di persada nusantara, namun bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu segenap bangsa Indonesia yang pada waktu dalam kondisi keperhatinan mengusir penjajah Belanda dari tanah airnya. Dengan penuh kebanggaan para pejuang kemerdekaan menggunakan bahasanya sendiri dan bukan lagi bahasa penjajah. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah bila sejak waktu itu bahsa Indonesia juga melambangkan perjuangan dan patriotisme yang menyala-nyala. Angkatan Satrawan muda yang dipimpin oleh St. Takdir Alisyahbana dengan Pujangga Barunya merintis sejak 1933 perkembangan bahasa Indonesia Modern.

Pada masa awal kependudukan Jepang muncul sekelompok satrawan yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan 46. Mereka muncul dengan bahasa Indonesia bercorak baru, lebih bebas, tak berbau klise, penuh dengan ungkapan dan pertandingan

71

baru di dalam karya-karya mereka. Sejak diakuinya Negara Republik Indonesia yang sah oleh Belanda pada tahun 1950, bahasa Indonesia tidak lagi hanya menjadi bahasa pergaulan dan seni, melainkan juga menjadi bahasa politik, bahasa hukum, bahasa ekonomi, dan sebagainya.

Penggunaan bahasa Bali kini dan dulu pun telah mengalami perbedaan. Pada abad ke-19, cara berbahasa masyarakat Bali diatur dalam suatu aturan sopan santun yang disebut masor singgih. Masor singgih merupakan penggunaan stratifikasi bahasa “unda

usuk” bahasa sesuai dengan wangsa seseorang di mana wangsa jaba harus menggunakan

bahasa bentuk alus atau hormat terhadap wangsa triwangsa (wesya, ksatria, brahmana). Orang triwangsa umumnya berbahasa lepas hormat terhadap kaum jaba. Agar pemakaian tingkatan “undu usuk” bahasa itu sesuai kedudukan seseorang di dalam masyarakat, apabila orang yang berbicara kepada orang yang belum dikenal, maka menurut sopan santun berbahasa, orang menanyakan wangsanya terlebih dahulu dengan kalimat, “Nunasang antuk linggih” (menanyakan apa wangsanya), “tiang anak jaba” (saya wangsa sudra), “tiang anak agung” (saya wangsa ksatriya). Setelah mengetahui wangsa dari masing-masing pembicara barulah terjadi komunikasi dan pilihan bahasa yang digunakan yaitu ragam hormat (alus) dari pihak jaba kepada ksatria dan lepas hormat (kasar) wangsa ksatria kepada sudra.

Kelonggaran penggunaan tingkatan bahasa Bali sudah mengalami perubahan mulai abad ke-20. Penggunaan tingkatan bahasa Bali kian berkurang terlebih di kalangan anak muda dan orang tua seperti yang diteliti oleh Suandi (1996). Anak muda Singaraja memiliki kesadaran yang rendah dalam menggunakan tingkatan bahasa Bali. Mereka menggunakan bahasa atas dasar keakraban. Bahkan pada daerah Singaraja kota dan Singaraja Timur, anak muda dari triwangsa tidak mendapatkan tegur sapa yang sopan sesuai wangsanya. Orang tua yang bekerja utamanya di lingkungan kantor terlebih lagi yang memiliki jabatan tinggi cenderung menggunakan bahasa Bali kepara atau bahasa Indonesia.

Stratifikasi masyarakat modern sangat tampak pada abad 21. Banyak dari golongan jaba memiliki jabatan penting (guru, dosen, direktur, manager, rektor dll) dalam berbagai kehidupan masyarakat telah menggeser golongan lama yang didasarkan pada wangsa. Perubahan ini tidak dapat dihindari akibat persaingan global. Persaingan global menuntut orang bersaing kompetitif, siapa yang berprestasi dan bekerja keras akan memenangkan persaingan tersebut. Hal ini juga berpengaruh terhadap penggunaan tingkatan bahasa Bali. Penggunaan bahasa Bali digunakan untuk menghormati atasan

72

masing-masing meskipun mereka dari golongan jaba atau triwangsa maka mereka akan menggunakan bahasa alus madia dalam pergaulannya setiap hari.

Nah, kalau kita cermati dewasa ini. Banyak terdapat kosakata dalam bidang pertanian yang tidak digunakan lagi seperti dulu. Sistem pertanian tradisional, mulai dari menanam sampai pengolahan hasil panen mengalami berbagai pemendekan seiring munculnya berbagai fasilitas pendukung yang mengubah sistem pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Pada tahun 1960-1970, bibit unggul dan mesin-mesin mulai masuk dalam sistem tradisonal. Fase-fase kerja dalam sistem pertanian seperti fase pengolahan tanah (mundukin), fase penyiapan bibit (penguritan), fase penanaman (memula), fase panen (manyi), dan fase pengolahan hasil panen (nyelip) mulai dimasuki oleh modernisasi sehingga setiap fase mengalami efisiensi dan pemendekan proses kerja. Penelitian Supendi (2007) membuktikan bahwa perubahan perilaku masyarakat petani tradisional akibat modernisasi menimbulkan kecendrungan hilangnya beberapa kosakata yang terdapat dalam sistem tradisional. Anak-anak petani mulai tidak mengetahui beberapa kosakata yang ada dalam sistem pertanian tradisonal, padahal anak-anak tersebut sehari-harinya ada di lingkungan petani. Contohnya anak-anak petani Bali sekarang tidak lagi mengenal istilah-istilah tengala, lampit, mejukut, ngai nini, manyi, glebeg, tambah, singkal, seet, pondong, maklumpu, nebuk, oot pesak dll. Namun, setidaknya mereka mengenal istilah karung, pestisida, traktor dan sebagainya.

Ketika tayangan Akademisi Fantasi Indonesia (AFI) pada tahun 2003 digemari masyarakat muncul kosakata eliminasi, pithc control, komentator, audisi yang sering digunakan dalam tayangan tersebut. Ketika film “Cinta Bunga” populer, kosakata “ya ngak sih, ya ngak” pemeran Dennis sangat populer dipakai oleh masyarakat. Namun, ketika Cinta Bunga mulai reda, kosakata-kosakata itupun jarang digunakan. Berdasarkan contoh di atas, penggunaan variasi bahasa dapat didasarkan pada masa tertentu dan menjadi cerminan zamannya.

c) Variasi Bahasa Berdasarkan Pemakai/Penutur

Variasi bahasa dari segi pemakai/penutur adalah variasi bahasa yang bersifat individu yang berada pada satu tempat/wilayah atau area tertentu. Pembagian variasi bahasa dari segi penutur meliputi idiolek, dialek, seks/jenis kelamin, dan usia.

Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb. Yang

73

paling dominan adalah warna suara. Kita dapat mengenali suara seseorang yang kita kenal hanya dengan mendengar suara tersebut. Contohnya idiolek Roma Irama yang berbeda ketika mengucapkan kata “terlalu”. Begitu pula idiolek Kyai Haji Zainudin MZ, dalam ungkapannya ”Masih banyak janda-janda dan anak-anak terlantar”. Idiolek Cinta Laura „Mana hujan, ngak ada ojek becek”. Setiap orang memiliki idiolek, warna suara suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat yang berbeda. Idiolek orang Lombok, orang Flores, orang Bima, orang Bali, orang Madura memiliki perbedaan satu dengan lainnya.

Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif sedikit, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Umpamanya, bahasa Bali dialek regional Singaraja yang mempunyai vocal /ə/ (e-pepet) untuk kata-kata seperti /kija/ „ke mana‟ dilafalkan /kijə/. Di dalam dialek Tabanan fonem itu dilafalkan /kijo/ (seperti pengucapan /O/ pada kata bahasa Indonesia tokoh).

Hal serupa juga terjadi di Lombok. Di daerah Lombok terdapat lima macam dialek yakni Lombok Barat dengan dialek Ngeto Ngete, Lombok Tengah dengan dialek Menu Mene, Lombok Timur dengan dialek Kutok Kete, Lombok Utara dengan dialek Ngeno Ngene dan Lombok Selatan dengan dialek Meriak Meriku. Dari kelima dialek tersebut, yang paling menunjukkan perbedaan adalah dialek Menu Mene (Lombok Tengah) dan Meriak Meriku (Lombok Selatan). Salah satu kosakatanya adalah /ngupi/ yang berarti mengajak minum kopi. Di daerah Lombok Tengah, dialek Menu Mene kata /ngupi/ tetap diujarkan dengan /ngupi/ sedangkan Lombok Selatan dengan dialek Meriak Meriku kata /ngupi/ diujarkan /nguper/. Kata /nu/ yang dalam bahasa Indonesia berarti itu, diucapkan berbeda antara dialek Menu Mene (Lombok Tengah) dan Meriak Meriku (Lombok Selatan). Kata /nu/ tetap diucapkan /nu/ pada dialek Menu Mene (Lombok Tengah) sedangkan pada dialek Meriak Meriku (Lombok Selatan) kata /nu/ diujarkan /iku/.

Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu variasi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa. Pada perkembangan awal bahasa anak, kosakata yang cenderung digunakan adalah kata-kata yang merupakan bunyi bilabial yakni bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutupnya bibir. Pada umumnya orang pertama dan paling dekat dengan anak pada masa perkembangan bahasanya adalah ibu. Jika kita perhatikan kata panggilan untuk ibu dalam berbagai bahasa, akan membenarkan bahwa bunyi bilabial itu dominan pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya, mbok, emak

74

(Jawa), mpok (Jakarta), meme (Bali), amak (Sasak). Ciri dari bahasa anak adalah penghilangan fungtor pada ujarannya. Bahasa remaja tercermin dari keinginan para remaja untuk membuat kelompok yang eksklusif yang menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia. Anak-anak remaja Manggarai relatif menggunakan bahasa Manggarai yang kasar, contohnya menyapa orang lain walaupun pesapa berumur lebih tua, mereka menyapa dengan “ngonia hau” artinya mau ke mana?. Bahasa ini adalah bahasa yang kasar sekali dalam bahasa Manggarai. Seharusnya ragam alus yang digunakan untuk menyapa orang tua adalah “ngonia titeh”. Bahasa orang dewasa relatif tetap. Di daerah Manggarai, orang dewasa menggunakan ragam alus dalam bertutur. Orang dewasa di daerah Manggarai cenderung lebih memiliki kemampuan dalam menggunakan bahasa sesuai dengan tingkatan bahasa. Misalkan saja, orang tua di Manggarai, yang memiliki anak yang sudah bekerja maka pilihan bahasa yang digunakan untuk bertutur dengan anaknya adalah bahasa alus. Contohnya ketika mengajak makan, bahasa yang digunakan adalah bahasa alus “Nu mai jumik cama titega” artinya “Mari Nak kita makan bersama”.

Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh ibu-ibu akan berbeda dengan variasi bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak. Bahasa wanita cenderung lebih konservatif dalam artian wanita lebih banyak memiliki kosakata dan bersifat pembaharuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar wanita memiliki kegemaran dalam membaca majalah, menonton tayangan gosip dan wanita cenderung senang bergosip/ngrumpi.

d) Variasi Bahasa Berdasarkan Pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek. Fungsiolek adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang tertentu. Misalnya jurnalistik, sastra, militer, perdagangan, dan sebagainya.

Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah. Komunikatif

75

karena jurnalis harus menyampaikan berita secara tepat dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Variasi bahasa jurnalistik berdasarkan pemakaiannya yang populer dewasa ini dapat dicermati dari bahasa yang digunakan dalam berita olahraga khususnya berita yang terkait dengan pertandingan sepak bola. Dalam berita-berita pertandingan sepak bola, jurnalis menggunakan ragam bahasa bebas yang liar dan terkesan hiperbola atau berlebihan. Kata-kata yang sering muncul dalam berita pertandingan sepak bola seperti kata gol, euforio, menggiring bola, finalti, sepak pojok, hand, offside, freekick, tendangan bebas, kartu merah, lapangan hijau, sangat membahayakan dan mematikan.

Ragam bahasa perdagangan cenderung bersifat persuasif atau memengaruhi dengan menggunakan pilihan bahasa yang menarik dan pada umumnya motto yang digunakan pendek. Hal ini disebabkan bahasa dalam dunia perdagangan, khususnya iklan menghitung jumlah kosakata dan waktu penanyangan di TV. Iklan yang panjang, biaya pemasangannya pun juga mahal begitu pula sebaiknya. Contoh iklan XL “Berkali-kali dari detik pertama”. Iklan motor Yamaha “Yamaha selalu di depan”, iklan mobil Suzuki, “Suzuki inovasi tiada henti”. Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas, adalah ragam bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.

e) Variasi Bahasa Berdasarkan Situasi

Situasi atau suasana tutur dapat memengaruhi pilihan ragam bahasa. Coulthard (1995) menjelaskan bahwa pemilihan ragam bahasa pada suasana resmi cenderung menggunakan ragam formal, seperti di tempat rapat. Sesuai dengan namanya, ragam formal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang resmi, sedangkan ragam informal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Ciri dari dua ragam ini adalah tingkat kebakuan pada bahasa yang digunakan. Dengan demikian ragam resmi ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang menunjukkan tingkat kebakuannya yang tinggi.

Bentuk komunikasi ini dibedakan lagi menjadi komunikasi lisan dan tertulis. Ragam lisan menyangkut ragam lisan resmi (ragam lisan formal) dan ragam lisan tidak resmi (ragam lisan informal), sedangkan ragam tertulis menyangkut ragam tulis resmi (ragam tulis formal), dan ragam tulis tidak resmi (ragam tulis informal). Ragam lisan resmi biasanya digunakan dalam forum yang sifatnya resmi pula. Misalnya dalam rapat- rapat, seminar, pidato, simposium, dan dalam perkuliahan (proses belajar mengajar). Ragam lisan tidak resmi dapat dilihat dalam pembicaraan di kafe, di pasar, di terminal, di

76

rumah, di kebun, di kampus (bukan dalam proses belajar mengajar) antarmahasiswa atau antardosen, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan penggunaan ragam lisan resmi, penutur cenderung dipengaruhi oleh faktor situasi dan mitra tutur, di samping faktor lain. Umpamanya ketika penutur berbicara dengan atasannya, tentunya gaya bicara dalam hal ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan ketika ia berkomunikasi atau berbicara dengan teman sebayanya atau bahkan teman dibawah umurnya.

Kalau dalam pembahasan di atas ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan resmi, ragam lisan tidak resmi, ragam tulis resmi, dan ragam tulis tidak resmi, maka dalam pembahasan ini akan dibahas adanya pembedaan ragam lisan baku, ragam lisan tidak baku, ragam tulis baku, dan ragam tulis tidak baku. Ragam lisan baku dalam pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan resmi dan ragam lisan tidak baku pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan tidak resmi. Demikian pula penggunaan ragam

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 67-78)