• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat Pemertahanan Bahasa

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 129-133)

PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA

3. Hakikat Pemertahanan Bahasa

130

Pentingnya bahasa kini semakin disadari oleh masyarakat di dunia. Hal ini terutama dipicu oleh kenyataan bahwa banyak bahasa di dunia, terutama bahasa ibu atau bahasa daerah, yang mengalami pergeseran dan bahkan keberadaannya terancam punah. Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. Seperti yang diinformasikan di dalam Kompas (14 Februari 2007), bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah dan hanya tiga belas bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta, yaitu bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makasar, Banjar, Bima, dan Sasak. Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta atau hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya bahasa di daerah Halmahera dan Maluku yang jumlah penuturnya sangat terbatas. Terdapat beberapa hal sebagai bukti kepedulian masyarakat di berbagai belahan dunia untuk mempertahankan bahasa ibu atau bahasa daerah. Sebagai contoh, UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Selain itu, di Indonesia pun pemerintah menunjukkan bentuk kepeduliannya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang di antaranya berupa Peraturan Menteri maupun Peraturan Daerah untuk mempertahankan, membina, dan mengembangkan bahasa daerah baik melalui jalur formal maupun informal. Hal ini dianggap perlu karena bahasa daerah merupakan asset dunia yang wajib dipertahankan dan juga memiliki banyak kearifan lokal yang layak dipahami anggota komunitasnya.

Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Namun, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya, sehingga tidak terasa sebuah peradaban dapat diubah dengan keberadaan suatu bahasa. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka. Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual ada kemungkinan bahwa kebilingualan atau kemultilingualannya itu lestari. Kesetiaan para warganya pada bahasa mereka masing-masing tinggi. Mereka cenderung bertahan dengan bahasa mereka masing-masing, meskipun pada kenyataannya sebagian dari mereka ada yang bilingual dan sebagian lagi monolingual.

Sebagai contoh keberadaan bahasa Jawa sangat bergantung kepada penuturnya, yang berbahasa ibu bahasa Jawa di dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni membawa para penutur bahasa Jawa mau tidak mau harus berhubungan dengan pemilik bahasa yang lain, seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Betawi, bahasa Bali, dan sebagainya.

131

Berdasarkan gejala kebahasaan tersebut akan diperoleh perubahan bentuk komunikasi antarpara penutur pemakai bahasa. Hal itu terlihat dengan adanya perbedaan perlakuan bahasa yang digunakan oleh para penutur kepada mitra tuturnya. Dengan demikian, loyalitas penutur bahasa ibu mendapat tantangan. Jika mereka masih mempunyai keloyalitasan tinggi terhadap bahasa ibunya, maka mereka telah mempertahankan keberadaan bahasa ibu. Namun sebaliknya, jika sikap yang dimunculkan mereka antipati atau kurang menghargai bahasa ibunya, maka keberadaan bahasa ibu tersebut dimungkinkan mengalami pergeseran.

Pemertahanan bahasa menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya. Pemertahanan bahasa (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain. Dengan kata lain pemertahanan bahasa dimaksudkan untuk (1) mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997).

Pemertahanan bahasa berhubungan dengan perubahan bahasa (language change), peralihan bahasa (language shift), dan kematian bahasa (language death). Hoffman (1991) dalam Fauzi (2008) menjelaskan bahwa ketika sebuah komunitas bahasa tidak mampu mempertahankan bahasanya, dan secara gradual memungut kosa kata bahasa yang lain, maka hal itu sudah mengarah kepada pergeseran bahasa (language shift). Sementara itu, „pemertahanan bahasa‟ (language maintenance) lebih mengacu kepada sebuah situasi di mana anggota-anggota sebuah komunitas bahasa mencoba untuk menjaga bahasa yang mereka miliki dengan cara selalu menggunakannya. Jika pada suatu keadaan menginginkan adanya pemertahanan bahasa yang terjadi, maka pada saat itu masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa (atau unsur kebahasaan) yang selama itu digunakan.

Arka (2009) dalam penelitiannya memaparkan pemertahanan tidak dilakukan sepenuhnya secara sadar. Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya

132

penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language death).

Sebagai contoh, sekelompok masyarakat etnik Jawa yang pindah dan menetap di Bali, apabila mereka tetap menggunakan bahasa Jawa (B1) ditengah-tengah masyarakat mayoritas (masyarakat Bali), maka dapat dikatakan meraka telah melakukan upaya pemertahanan bahasa. Namun, apabila mereka mulai terpengaruh untuk menggunakan bahasa mayoritas (bahasa Bali), maka dapat dikatakan mereka telah mengalami perubahan bahasa. Apabila hal ini terus berlanjut dalam kurun waktu yang lama, maka kemungkinan terjadi peralihan bahasa, dari bahasa Jawa menjadi bahasa Bali. Peralihan bahasa ini akan menyebabkan terjadinya kematian bahasa, karena penduduk etnik Jawa sudah sama sekali tidak menggunakan bahasa Jawa, melainkan sudah total menggunakan bahasa Bali.

Menurut Chaedar Alwasilah pemertahanan bahasa secara umum juga sangat erat kaitannya dengan pemertahanan kebudayaan. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, antara lain.

1. Nilai bahasa terletak pada makna yang disimbolkan oleh bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, dianggap simbol modernisme dan teknologi, sementara itu bahasa Arab dianggap sebagai simbol agama Islam. Dua contoh ini menguatkan asumsi bahwa bahasa adalah kendaraan kebudayaan.

2. Dalam konteks Indonesia rujukan budaya nasional pada mulanya tiada lain adalah budaya-budaya etnis yang diklaim khususnya oleh para birokrat pemerintah atau sekelompok elitis dalam masyarakat Indonesia sebagai budaya nasional. Kita tidak boleh melupakan bahwa negara kesatuan Indonesia ini terbentuk atas kesepakatan kelompok-kelompok etnis untuk menghimpun diri dalam sebuah organisasi yang disebut negara kesatuan.

3. Pada umumnya orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa daerah lebih banyak didasari oleh minat mempelajari budaya daripada bahasanya. Demikian pula pada umumnya para turis yang datang ke Indonesia juga ke negara lain terpanggil untuk melihat budaya Indonesia bukan untuk mempelajari bahasanya.

3.1Penelitian-penelitian Pemertahanan Bahasa

Mengenai pemertahanan bahasa ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia, Antara lain Sumarsono (1990), Lukman (2000), dan Wiliam

133

(2006). Berikut akan dipaparkan penjelasan lebih rinci mengenai penelitian-penelitian tersebut.

Dalam dokumen BAB I BAHASA DAN KEBUDAYAAN (Halaman 129-133)