• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bekas Sanggar

Dalam dokumen T EKA -T EK IW IJI T HUK UL (Halaman 136-138)

Teater

Jagat,

tempat Wiji

Thukul

pertama

kali

berproses

kesenian.

T E M P O /A H M A D R O F IQ

1 APRIL 2012 | | 97

- W i j i T h u k u l : S i a p a T h u k u l ?-

97

situ tampak kelebihan utama Thu- kul: dia sangat adaptif dan mampu mengadopsinya menjadi puisi,” Ha- lim menjelaskan.

Waktu berlalu. Hubungan Ha- lim-Thukul kian akrab. Pada 1986- 1987, Thukul dibantu Halim mu- lai mengamen puisi keliling kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Peka- longan, Tegal, Cirebon, hingga Ban- dung, serta Jakarta. Sekitar sebu- lan Thukul menggunakan jaring- an Halim di kota-kota yang dising- gahinya. ”Saya yang memberikan gagasan agar penyair yang menda- tangi publik. Dan Thukul tertarik melakukan itu dengan cara menga- men puisi,” ujar Halim.

Sebelum berkeliling, Halim dan Thukul menyiapkan selebaran pui- si, yang disebut mereka sebagai pui- si leafl et. Selebaran puisi itu terdiri atas enam sajak karya Thukul. Halim lupa judul-judul puisi yang sarat mu- atan kritik sosial itu. Yang pasti, pui- si-puisi tersebut dicetak dalam satu lembar kertas kwarto menjadi satu

leafl et enam muka. Mereka mence- tak sebanyak 500 eksemplar.

Puisi leafl et itu dibawa Thukul mengamen di berbagai kota. Setiap mengamen, ia menjual selebaran puisi itu seharga Rp 100, yang bisa digunakan untuk transportasi dan akomodasi. Dan Thukul tampak- nya cukup sukses. Ketika pulang ke Solo, dia malah bisa membawa uang sekitar Rp 250 ribu. ”Uang itu kami pakai untuk mencetak ulang puisi

leafl et. Thukul kemudian memba- wanya untuk mengamen ke Jawa Ti- mur sekitar dua minggu,” kata Ha- lim. ”Dia mengamen dari rumah makan hingga kampus-kampus.”

Sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berki- bar. Dia juga mulai memiliki jaring- an dan publik sendiri. Pada perio- de itulah Thukul mulai berbeda pe- mikiran dengan Lawu Warta, guru yang telah mendidik dan membe- sarkannya di Teater Jagat. Lawu ti- dak sepakat jika Thukul membawa puisi ke ranah politik praktis. ”Ke- senian ditonton atau tidak, itu tidak penting. Yang penting bagaimana kita menjalankannya,” ujar Lawu.

Sedangkan Thukul bersikap se- baliknya. Menurut dia, kesenian itu harus ditonton, harus punya pub- lik, dan mesti mampu memben- tuk kesadaran publik. Makanya dia mencurahkan hal itu dalam pui- si-puisinya. Thukul menganggap sikap Lawu tersebut adalah sikap orang lemah dan tidak progresif.

Sejak itu, Thukul tak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim, yang kebetulan me- ngontrak rumah tipe 21 di Kampung

gar,” tutur Halim. ”Ketika datang, mereka berdiskusi dan tidak jarang memberikan workshop. Seperti Mul- yono (perupa Tulungagung) datang mengajarkan cukil kayu.

Sebaliknya, Thukul sering diun- dang mengisi workshop. Ada sebuah

workshop menarik di sebuah kam- pung di Kota Solo. Dalam workshop

penulisan yang diikuti 20 pemuda itu, Thukul bertanya kepada para peserta, ”Sopo sing duwe pit montor

(Siapa yang punya sepeda motor)?” Tidak ada yang menjawab. ”Sopo sing duwe pit (Siapa yang punya se- peda)?” Tiga orang angkat tangan.

Selanjutnya, Thukul bertanya, ”Sopo sing duwe lambe, cangkem, ilat (Siapa yang punya bibir, mulut, dan lidah)?” Orang-orang bingung, lantas angkat tangan semua. Ke- mudian Thukul berkata dengan te- gas, ”Yo iku paitanmu, modalmu sing paling penting. Wong mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Itulah modal kamu yang paling penting. Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaima- na mereka bersuara).”

Halim terkesima melihat bagai- mana Thukul memberikan work- shop itu. ”Dia sungguh luar biasa,” katanya.

Thukul dan Sanggar Suka Banjir makin terkenal. Tapi jaringan yang terbangun dan makin membanjir- nya teman yang datang ke sanggar membuat aparat setempat gerah. ”Kami diawasi aparat, surat kami di- sabotase, dan kami sering dipanggil ke koramil hanya karena menerima tamu,” ujar Halim.

Meski begitu, Thukul tak surut langkah. Di Suka Banjir, dia terus mengajari anak-anak kampung me- lukis, menulis puisi, berteater, dan menyanyi.

Thukul terinspirasi konsep tea- ter Augusto Boal dari Brasil, yang pada 1960-an menjadikan teater sebagai alat pengorganisasian dari kampung ke kampung. Sang penya- ir juga mempraktekkan kata-kata Bertolt Brecht, penyair dan drama- wan kondang asal Jerman, yang se- ring dikutipnya, ”Setiap orang ada- lah seniman dan setiap tempat ada- lah panggung.” ●

Kalangan—masih masuk Kelurah- an Jagalan. Selanjutnya Halim, Thu- kul, dan Sipon mendirikan Sanggar Suka Banjir di halaman belakang ru- mah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir. ”Sekarang rumah itu sudah tidak ada, sudah jadi rumah- rumah gedong. Daerah itu juga su- dah tidak lagi banjir,” kata Halim.

Di sanggar itu, Thukul mulai me- nulis esai dan artikel pendek. Tema- tema tulisannya tentang keseni- an dan lingkungan. Halim membe- likan mesin tik merek Olivetti. Bia- sanya Thukul membuat coretan di kertas dan kemudian mengetiknya. Di Sanggar Suka Banjir, kesadaran Thukul tentang pentingnya publik semakin terbangun. Banyak teman yang datang. Sanggar selalu ramai dan dijadikan tempat berkumpul para remaja di sekitarnya.

Teman-teman jaringan kami juga banyak yang berkunjung ke sang-

98

T

IGA sahabat berbin- cang serius di tepi pan- tai Brumbun, Tulung- agung, Jawa Timur, pada suatu siang 20 ta- hun silam. Moelyono, perupa asal Tulungagung, selaku tuan rumah, berbicara tentang pemerintah yang makin represif. Dua tamunya, pe- lukis Semsar Siahaan dan Wiji Thu- kul, menimpali.

Moelyono berkisah tentang aksi polisi membubarkan pameran seni instalasi patung Marsinah beberapa bulan sebelumnya. Pameran itu dia gelar bersama jaringan buruh di Su- rabaya. Polisi menganggap pameran di gedung Dewan Kesenian Surabaya itu menghasut rakyat. Marsinah ada- lah buruh PT Catur Putra Surya yang diculik lalu tewas dianiaya setelah mogok kerja. Ia menjadi simbol pen- deritaan dan perlawanan buruh.

Bagi Moelyono, sebuah kegiatan dibubarkan polisi adalah hal biasa. Tapi, yang membuatnya kecewa, tak ada seniman di Surabaya mem- belanya. ”Saya benar-benar mera- sa sendiri,” ujar pria 51 tahun itu ke- tika ditemui Tempo di rumahnya pada 3 April lalu.

Peristiwa itu tak hanya menun- jukkan sikap arogan pemerintah, tapi juga memperlihatkan lemah- nya jaringan dan solidaritas peker- ja seni. Prihatin atas kejadian itu, Semsar mengajak Thukul bertemu dengan Moelyono. Dalam disku- si tersebut, Semsar mengusulkan membuat jaringan kerja seniman, menggalang kekuatan dan solida-

KETIKA POLITIK

Dalam dokumen T EKA -T EK IW IJI T HUK UL (Halaman 136-138)