• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Pinggir Thukul

Dalam dokumen T EKA -T EK IW IJI T HUK UL (Halaman 152-154)

IL U S T R A S I: E D I R M

W

IJI Thukul adalah sebuah catatan kaki. Dalam kitab besar sejarah Indonesia, politik ataupun sastra, ia bukan sebuah judul atau tokoh di tengah halaman. Ia ada di bawah lembar pagina, mungkin malah di akhir bab, dengan huruf kecil-kecil.

Tapi, seperti tiap catatan kaki, ia mengingatkan kita bah- wa ada satu informasi yang penting. Atau ia mengimbuh- kan sebuah nota yang layak diperhatikan—dan menunjuk- kan bahwa sejilid teks yang "lengkap" sekalipun selalu me- ninggalkan satu-dua perkara yang masih merundungnya.

Pada saat yang sama, ia juga bagian yang mendapatkan makna karena buku besar itu. Wiji Thukul terpaut dengan sejarah perubahan politik Indonesia menjelang akhir abad ke-20, ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penin- dasan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Dalam arti terten- tu, ia ikut mendapatkan kemenangan. Tapi ia pemenang yang tak membawa pialanya ke rumah. Ketika rezim yang dilawannya runtuh, ia hilang. Mungkin ia diculik dan dibu- nuh, seperti beberapa aktivis prodemokrasi lain, tanpa me- ninggalkan jejak.

Saya sedih tiap kali mengingat itu. Kami gagal bertemu senja itu di Kedai Tempo di Jalan Utan Kayu 68-H, Jakarta Timur. Thukul, yang berminggu-minggu berhasil disembu- nyikan di sebuah loteng untuk menghindari penangkapan militer, seakan-akan melanjutkan status kaburnya. Ia men- dadak jauh dari jangkauan teman-teman sendiri, ketika kami semua menduga bahwa para pembunuh, setelah Soe- harto jatuh, sudah tak punya daya lagi dan mereka yang di bawah tanah bisa bebas ke luar.

Tak adakah happy end bagi orang kerempeng ini? Diakah kelanjutan si bocah cilik yang selamanya kalah dalam "Me- gatruh Solidaritas"?

akulah bocah cilik kurus itu

yang tak pernah menang bila berkelahi

Tapi bila potret diri dalam sajak ini muram, tak berarti ia kelam. "Megatruh" jauh dari sikap mengasihani diri. Di da- lamnya ada kesakitan yang lebih menggores ketimbang ke- kalahan "aku" si anak sial itu:

...kudengar kabar

seorang kawan kita mati terkapar mati ditembak mayatnya dibuang kepalanya koyak

darahnya mengental dalam selokan

Dalam beberapa bait saja, sajak ini berhasil memotret

satu ruang dan waktu sosial-politik Indonesia. Ada anak yang menjual gelang emaknya untuk bisa bermain dadu lalu mengais-ngais tempat sampah untuk beroleh beberapa butir kacang. Ada seorang pemuda yang mati ditembak dan ditelantarkan di selokan (entah kenapa).

Agaknya satu ciri sastra Indonesia pasca-kemerdekaan adalah kemiskinan, represi, dan kekerasan politik yang tak cuma sekali muncul dalam puisi. Pada 1961 terbit sajak Agam Wispi, "Matinya Seorang Petani". Karya penyair Lekra yang terkenal ini bercerita tentang petani yang ditembak mati ke- tika memprotes ketidakadilan di Tanjung Morawa:

dia jatuh rubuh

19 MEI 2013| | 113 ingatannya melayang

didakap siksa

tapi siksa cuma dapat bangkainya

Sajak itu dilarang beredar oleh penguasa militer di awal "Demokrasi Terpimpin". Ironis atau tidak, peristiwa yang mirip terjadi di akhir masa itu, 1966.

Seorang mahasiswa di Jakarta mati terkena peluru ten- tara ketika ia ikut berdemonstrasi menentang kenaikan harga-harga yang menekan hidup orang sekelas penjual rambutan di tepi jalan. Taufi q Ismail (yang menerbitkan sajaknya dengan nama samaran; ia termasuk sastrawan pendukung "Manifes Kebudayaan" yang diberangus) me- nulis suasana protes dan berkabung di kampus Salemba saat itu:

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu.

Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi

Tak perlu ditegaskan lagi: sajak Thukul, Wispi, dan Taufi q adalah tiga rekaman tentang yang traumatik, tapi berulang, dalam sejarah Indonesia modern. Andai kita tak kenal data biografi s masing-masing penyair (yang berada dalam posisi politik yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan), kita akan menemukan variasi atas satu thema: kekuatan yang bersenjata membunuh orang yang tak bersenjata, dan ke- kuasaan dicoba ditegaskan.

Tapi saya rasa Thukul berbeda: ia adalah kepolosannya. Sementara tiga anak kecil dalam sajak Taufi q adalah satu de- vice buat menegaskan kontras yang tajam antara kepolosan dan efektifnya kekuasaan, dalam sajak Thukul si anak dan si polos itu tak cuma datang dari luar. Kekuasaan yang laten dan brutal menyengat langsung tubuhnya.

Mungkin sebab itu sajaknya (tak hanya yang saya kutip ini) terasa longgar, seperti suara anak yang seenaknya da- lam ekspresi. Sajak Taufi q menjaga bentuknya dalam imaji- imaji yang minimalis, lugas, deskriptif. Sajak Wispi menata langkahnya ke klimaks dengan ketegangan di tiap baris, ke- tika dengan pathos yang diam sangpencerita menyatukan diri dengan si korban.

Sajak Thukul lain: ekspresinya yang longgar terasa keti- ka dibiarkannya dirinya memakai kata Jawa seperti nang

("buyung") dan simbok ("emak"), tak peduli akan pahamkah pembacanya di Fakfak. Ia terbebas dari beban keinginan menampakkan kepiawaian puitik. Mungkin karena ia begi- tu berkelindan dengan kemelaratan, ia cuekkan keindahan. Tapi bisakah keindahan dicuekkan di "rumah-rumah mi- ring"? Käthe Kollwitz, perupa sosialis Jerman (1867-1945), hi- dup dengan kaum buruh yang melata di Berlin. Aneh atau tak aneh, baginya kaum buruh semata-mata "indah". Das Proletariat war für mich eben Schön.

Tapi "yang indah" memang bisa meluas: semacam tarik- an cinta yang misterius, yang membuat sajak-sajak Thukul tak melihat dengan jijik benda-benda penanda kekumuh- an di sekitarnya. Itu sebabnya ia, seperti Kollwitz, tak hanya menggoreskan teriak, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan tajam di catatan kaki. Goenawan Mohamad

Bahasa!

S

UTAN Takdir Alisjahbana mewariskan novel-no-

vel untuk selebrasi literasi dan peradaban di Indo- nesia. Penerbitan novel Tak Putus Dirundung Ma- lang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932),

Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun

(1940), Grotta Azzura (1970), serta Kalah dan Menang (1978) mengesahkan Takdir sebagai pengarang berhaluan Barat. Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) tak cuma menjadi tu- kang cerita. Novel-novel itu pembuktian seruan untuk meng- anut modernitas dan undangan berindonesia. Sutan Takdir Alisjah bana—dikenal dengan sebutan STA—bercerita dan me- nebar ide agar pembaca bergerak ke dunia baru, mendefi nisi- kan diri di zaman modern.

Pembaca telah akrab dengan novel STA, memberi pengaku- an sebagai pengarang ampuh. Kita justru jarang menobatkan STA sebagai ”pendakwah” bahasa Indonesia, pengge- rak peradaban modern berpijak ke bahasa Indone- sia. Misi mewartakan bahasa Indonesia dijalan- kan STA dengan mengelola majalah Poedjang- ga Baroe (1933) dan Pembinaan Bahasa Indo- nesia (1947-1952). STA juga rajin menulis esai mengenai bahasa Indonesia, tersebar ke pelbagai koran dan majalah. Warisan buku terpenting dari STA adalah Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Sedjarah Bahasa Indonesia (1956), serta Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).

Melalui Poedjangga Baroe, STA mengabar- kan gairah membentuk Indonesia berjiwa mo- dern. Majalah Poedjangga Baroe memiliki klaim: ”madjalah kesoesasteraan dan bahasa serta kebuda- jaan oemoem”. Klaim ini berlanjut ke peran Poedjangga Baroe sebagai ”pembawa semangat baroe” dan ”pembimbing semangat baroe”. Penggunaan slogan itu menghendaki ada te- baran gagasan demi menjadikan bahasa Indonesia sebagai ba- hasa modern, bahasa persatuan, bahasa peradaban, dan baha- sa ”kemadjoean”. Keith Foulcher (1991) menganggap agenda

Poedjangga Baroe mengesankan ”nasionalisme kebudayaan”, disajikan dengan idiom-idiom baru meski beraroma Barat.

Ambisi menguatkan bahasa Indonesia untuk persatuan di- sajikan secara impresif oleh STA dalam esai berjudul Bahasa Indonesia, Bahasa Persatoean (1932). STA menggunakan nama samaran Semangat Moeda. Pengakuan bahasa Indonesia se- bagai bahasa persatuan, sejak 1928, membuat pemerintah ko- lonial geram dan dendam. Pemerintah menerapkan kebijak- an ideologis di sekolah, bertujuan meminggirkan bahasa In- donesia, menghancurkan ikatan semangat persatuan. Pem- belajaran bahasa Indonesia dihapuskan dalam pelajaran di HIS. Kebijakan ini berlaku di Jawa, berlanjut ke Minangka- bau. Pemerintah kolonial menginginkan agenda pendidikan menggunakan bahasa daerah, ”melarang” penggunaan ba-

hasa Indonesia. STA menulis: ”Njatalah, bahwa pemerintah hendak meroesakkan persatoean jang telah dianjam dan di- semen dengan bahasa Indonesia. Pemerintah mengingatkan kepada tiap-tiap golongan bangsa, bahwa mereka ada mem- poenjai bahasa sendiri dan haroes memakai bahasanja itoe sadja.”

Situasi pada 1930-an itu memang ideologis. Gerakan nasio- nalisme menginginkan bahasa Indonesia menjadi basis persa- tuan, menggerakkan ide dan imajinasi pembentukan Indone- sia. Kebijakan pemerintah kolonial justru mau mengembali- kan kaum pribumi ke pengerasan perbedaan etnis, mencipta lakon perseteruan bahasa. Misi pemerintah kolonial dilawan oleh para guru, pengarang, jurnalis, dan kaum politik. Mere- ka terus mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah, menulis

dengan bahasa Indonesia, berpidato politik dengan bahasa Indonesia.

STA terus berperan sebagai ”pendakwah” ba- hasa Indonesia melalui serangkaian tulisannya. Esai berjudul Bahasa Indonesia di Poe djangga Baroe edisi Agustus 1933 berisi pengharapan dan ramalan atas nasib bahasa Indonesia. STA menulis: ”… saja jakin sejakin-jakinnja akan tibanja masa jang moelia dan gilang- gemilang bagi bahasa dan teristimewa bagi kesoesasteraan bahasa Indonesia. Sesoeng- goehnja kedoeanja itoe satoe, tiada dapat di- ceraikan lagi. Apa jang bergerak dan beriak, apa jang berombak dan bergelombang dida- lam kalboe rakjat Indonesia akan terdjelma da- lam kesoesasteraan bahasa Indonesia. Dan apa jang terdjelma dalam kesoesasteraan bahasa Indo- nesia pastilah gerak dan riak, ombak dan gelombang di- dalam kalboe rakjat Indonesia.”

Tulisan STA tentang bahasa Indonesia jarang teringat, dibi- arkan menua dalam buku-buku lawas. Kita enggan merawat tulisan bersejarah, menaruh sejarah dan pertumbuhan baha- sa Indonesia di bilik-bilik suram. Gairah STA sebagai ”pendak- wah” bahasa Indonesia sejak masa 1930-an terlupakan, tak tercatat di buku sejarah Indonesia. Bahasa Indonesia sulit jadi tema di penulisan sejarah Indonesia. Ketokohan STA tak ter- ingat, hilang dari ejawantah kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai bahasa Indonesia di abad ke-21.

Nasib bahasa Indonesia di masa sekarang selalu gamang, mengalami keminderan saat zaman bergerak cepat. Kita tak memiliki tokoh untuk mengurusi bahasa Indonesia. Kita cuma memiliki kaum birokrat, mengurusi bahasa Indonesia berdalih ”pekerjaan” dan ”jabatan”. Mereka sulit mewarisi ambisi STA. Bahasa Indonesia pun semakin merana, bergerak lamban dan pucat. Bahasa Indonesia cuma tema sepele sebe- lum kita memejamkan mata di atas ranjang.

●*) PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO

Dalam dokumen T EKA -T EK IW IJI T HUK UL (Halaman 152-154)