Yuki Irawan
tiga bulan be- kerja di beng- kel aluminium milik Yuki terse- but. Tak ada barang yang ia bawa selain baju dan celana yang juga ia kenakan saat per- tama kali ke bengkel. ”Saya sudah tak tahan lagi,” kata- nya saat ditemui di rumahnya di Desa Blambangan, Selasa pe- kan lalu.
Ada empat mandor yang bia- sa mengawasi mereka makan. Saat mandor-mandor itu lengah, Andi ber- jingkat-jingkat menuju ke depan kamar pe- kerja. Kamar itu berada persis di belakang rumah Yuki. Seluruh rumah dipagari be- ton setinggi 3,5 meter. Di pagar tembok de- kat kamar itu, ada lubang sebesar kardus
mi instan yang ditutupi asbes. Ia memanjat ke arah lubang itu, dan menje- bol asbesnya. Andi me- lompat, dan menjauh dari rumah dengan merangkak di dalam got.
Setelah jauh, ia bangkit dan lari sekencang-kencangnya ke arah permukiman di belakang ru- mah. Ia mengabaikan pertanyaan beberapa warga yang berpapasan de- ngannya. ”Saya takut ditangkap,” kata pria kurus itu. Setelah beberapa saat ber- lari, ia tiba di pematang sawah. Andi ber- sembunyi di bangunan kosong di tengah sawah sambil beristirahat. Setelah malam tiba, ia berjalan kaki ke Pelabuhan Merak. Dua hari ia berjalan kaki. ”Saya makan dari makanan sisa yang ditemukan di te- ngah jalan,” ujarnya.
Andi berhasil tiba di rumah setelah di- bantu seorang sopir truk. Tak ada kegem- biraan, karena ia pulang tak membawa uang. Ia enggan menceritakan penderita- annya ke para handai tolan di desa, kare- na yakin mereka tak akan percaya pada ki- sah penderitaan yang telah ia alami. Pria lulusan SMP ini juga memilih ”tiarap” ka- rena takut keberadaannya diketahui an- tek-antek Yuki di kampungnya.
Mereka dulu direkrut oleh seseorang yang bernama Taufi k, yang datang sendiri ke kampung itu. Taufi k menjanjikan Andi dan teman-temannya akan diberi gaji Rp 700 ribu per bulan. Semua makan dan penginapan ditanggung perusahaan. Na- mun, setelah bekerja, gaji mereka tak di- bayar utuh. ”Hanya separuh, itu pun dira- pel setelah berbulan-bulan,” kata Andi.
Dua minggu setelah bebas, Andi berte- mu dengan Junaidi, teman sekampungnya yang juga berhasil kabur dari bengkel itu. Keberanian keduanya menyatu, lalu me- reka mengadu ke kepala desa, Sobri. Mere-
Bengkel pembuatan kuali Rumah lama Yuki
Mandor Ruang kurungan Gudang Celah kabur WC Kamar pekerja 19 MEI 2013 | | 143
ka menceritakan semua penyiksaan yang dialami, dan mengatakan masih ada tujuh warga yang masih bekerja di sana.
Beberapa hari kemudian Sobri bersama perangkat Kecamatan Blambangan Pagar melapor ke sentra pelayanan Polres Tange- rang. Rencananya, mereka mengadukan perbuatan Yuki dan meminta bantuan po- lisi menjemput tujuh warganya yang ma- sih berada di bengkel. Petugas jaga malah menyuruh Sobri dan kawan-kawannya ke Kepolisian Sektor Sepatan Timur.
Bersama aparat Polsek, mereka berta- mu ke rumah Yuki. Usaha penjemputan ini gagal karena Yuki berhasil meyakinkan polisi bahwa ketujuh warga Lampung itu dalam keadaan sehat walafi at. ”Saya pu- lang lagi dan mengadu ke Bupati dan Pol-
res Lampung Utara,” kata Sobri. Kali ini pengaduannya ampuh, apalagi dibantu Komnas HAM dan Kontras, hingga meli- batkan Markas Besar Kepolisian.
Setelah dilepaskan dan dibawa ke kan- tor polisi, para buruh mulai buka mulut. Mereka dipaksa membuat 150-200 kua- li per hari. Bila hasilnya tak mencapai tar- get, para mandor yang bertubuh lebih be- sar dari mereka akan menganiaya mere- ka. Bila membandel, mereka akan diku- rung di sebuah ruangan khusus di gudang yang bersebelahan dengan bengkel. Jika mengeluh sakit, mereka juga dihajar. ”Bila bekerja lamban, mandor menendang kami, dipukul, disiram cairan kimia,” ujar Arifuddin, korban lainnya.
Jumlah pekerja, kata Arif, memang ba-
nyak, 34 orang. Namun mereka tak bera- ni melawan. Mereka jiper kepada anggo- ta Brimob dan tentara yang kerap bertan- dang ke rumah Yuki. Saat datang, mere- ka selalu menenteng senjata api laras pan- jang dan pistol. Para mandor juga ditakuti karena tinggal di sekitar pabrik dan dike- nal sebagai preman setempat. Yuki bah- kan mengancam akan membunuh mereka bila bertindak macam-macam. ”Kalau ka- bur, kalian ditembak dan dibuang ke laut,” ujar Arif menirukan ancaman Yuki.
Kepala Polres Tangerang Komisaris Be- sar Bambang Priyo Andogo mengatakan kedua anggota Brimob berpangkat binta- ra itu kini tengah diperiksa di Propam Pol- da Metro Jaya. ”Keterlibatan mereka ma- sih diselidiki,” katanya. Termasuk para calo tenaga kerja yang bekerja sama de- ngan Yuki.
Motif perbudakan ini, ujar Bambang, demi mendapatkan keuntungan berli- pat ganda. Sudah 12 tahun Yuki meneku- ni bisnis pengolahan aluminium. Baru beberapa tahun belakangan ia mempro- duksi panci dan kuali. Ia tak punya bis- nis lain. Sebelumnya, pabrik dikelola de- ngan normal. Buruh datang setiap hari, bekerja, lalu pulang. Baru satu setengah tahun belakangan perbudakan itu ber- langsung.
Yuki, kata Bambang, mulai menyekap pekerjanya karena permintaan kuali dan panci semakin tinggi. Pasar utama distri- busi mereka ada di Jabodetabek, Jawa Ba- rat, hingga Kalimantan dan Jawa Timur. Dengan penyekapan dan kerja paksa ini, omzetnya yang biasa hanya belasan juta rupiah per minggu berlipat menjadi Rp 30 juta sepekan. Semua perhitungan ini ada di buku keuangan milik perusahaan Yuki, yang disita polisi.
Pada Rabu sore pekan lalu, di Markas Polres Tangerang, Yuki akhirnya berbi- cara selama lima menit kepada wartawan setelah berhari-hari bungkam. Ia memin- ta maaf kepada para korban. Ia juga mem- bantah telah menganiaya dan menye- kap mereka. Kalaupun ada, itu dilakukan tanpa diketahuinya. ”Ada anak buah saya yang berkhianat,” ucapnya.
● MUSTAFA SILALAHI, PUTRI ANINDYA (JAKARTA), AYU CIPTA, JONIANSYAH (TANGERANG), NUROCHMAN ARRAZIE (LAMPUNG)
Pabrik panci dan buruh CV Sinar Logam di Sepatan, Tangerang.
F O T O -F O T O : T E M P O /M A R IF K A WA H Y U H ID A YA T PERBUDAKAN DI TANGERANG KRIMINALITAS
EKONOMI