• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik, ekonomi, idiologi, sosial budaya dan keamanan secara berkesinambungan. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu proses dengan titik tolak pemikiran yang dilandasi oleh keinginan menuju kemajuan bangsa. Pelaksanaan pembangunan di seluruh pelosok tanah air di satu sisi terus mengalami penyempurnaan dan telah membawa banyak keberhasilan. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masih terdapat permasalahan yang belum dapat dipecahkan secara sempurna antara lain: masalah ketimpangan pendapatan, kependudukan dan kemiskinan.

Tujuan pembangunan ekonomi bukanlah hanya semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari nilai Gross Domestic Product (GDP) yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas dari itu. Seers (1977) menyatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Kemiskinan yang merupakan salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah (low levels of living) di negara-negara sedang berkembang, oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap tetap merupakan tantangan besar

bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. PBB menempatkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama dari kedelapan Tujuan Pembangunan Millennium (Millenium Development Goals) yang dicanangkan pada tahun 2000 (World Bank, 2004).

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai negara yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan kepedulian pemerintah untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Kepedulian tersebut kemudian dirumuskan dalam tujuan pembangunan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam triple track strategy: pro-growth, pro-job dan pro-poor. Track pertama dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja dan track ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan (Yudhoyono, 2006).

Badan Pusat Statistik (2006), secara faktual telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari 54.20 juta jiwa atau 40.10 persen pada tahun 1976 menjadi 22.60 juta jiwa atau 17.47 persen pada tahun 1996. Angka kemiskinan mengalami perubahan yang cepat pada saat krisis multi-dimensi melanda Bangsa Indonesia (Suryahadi et al. 2003). Jumlah penduduk miskin meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu 49.50 juta jiwa (24.23 persen) pada tahun 1998. Jumlah

3

penduduk miskin pada tahun 2002, 2003, 2004 dan Februari 2005 cenderung menurun, masing-masing 38.40 juta jiwa (18.20 persen), 37.30 juta jiwa (17.40 persen), 36.20 (16.66 persen) dan 35.10 juta jiwa (15.90 persen), namun pada tahun 2006 meningkat kembali menjadi 39.30 juta (17.75 persen).

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1996– 2006

Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)

Persentase Penduduk Miskin (%) Tahun

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47 1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23 1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43 2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14 2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41 2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20 2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42 2004 11.40 24.80 36.20 12.13 20.11 16.66 2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97 2006 1) r) 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006 Catatan:

1) Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006

r) Merupakan angka revisi. Berdasarkan penghitungan awal yang diterbitkan dalam press release 1 September 2006, jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 adalah 39.05 juta.

Strategi besar pembangunan di masa lalu seperti diuraikan di atas adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade off terhadap pemerataan. Atmosfer strategi ini memunculkan budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effects kepada berbagai lapisan ekonomi. Pendekatan ini memfokuskan diri pada pembangunan industri secara besar-besaran, dimana kedudukan pemerintah sebagai pendorong kekuatan enterpreneur. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down effects, dimana mekanisme tersebut sangat diyakini akan terbentuk sejalan dengan akumulasi kapital dengan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Penerapan pendekatan ini di satu sisi

telah berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun disisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa dan kota, maupun kesenjangan antar kelompok di masyarakat. Hal tersebut ditunjukan oleh Tabel 1 dimana jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Tahun 2006 jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 24.81 juta jiwa atau sekitar 21.81 persen sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan adalah sebesar 14.49 juta jiwa atau sekitar 13.47 persen.

Kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pedesaan dan perkotaan ditunjukan oleh perbedaan kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2). Indeks P1 di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Perbedaan indeks P1 relatif tinggi terjadi pada periode 2000–2001 dimana di pedesaan sebesar 4.68 sedangkan diperkotaan hanya sebesar 1.74. Angka tersebut mengindikasikan bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di pedesaan relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di daerah perkotaan.

3 .5 2 1 .8 9 1 .7 4 2 .5 9 2 .5 5 2 .1 8 2 .0 5 2 .6 3 4 .8 4 4 .6 8 4 .6 8 3 .3 4 3 .5 3 3 .4 3 3 .3 4 4 .1 9 4 .3 3 3 .5 1 3 .4 2 3 .0 1 3 .1 3 2 .8 9 2 .7 8 3 .4 3 0 1 2 3 4 5 6 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 T a h u n P 1 K o t a D e s a K o t a + D e s a Sumber: BPS, 2006

Gambar 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999– 2006

5

Indeks P2 di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Perbedaan terbesar terjadi pada tahun 2001 dimana indeks P2 di pedesaan adalah 1.36 sedangkan di perkotaan sebesar 0.45. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran penduduk miskin di pedesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di perkotaan. 0.98 0.51 0.45 0.71 0.74 0.58 0.60 0.78 1.39 1.39 1.36 0.85 0.93 0.89 1.22 1.23 1.02 0.97 0.79 0.85 0.78 0.76 1.00 0.90 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun P 2

Kota Desa Kota+Desa

Sumber: BPS, 2006

Gambar 2. Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Menurut Daerah, Tahun 1999 - 2006

Jumlah penduduk miskin di Banten khususnya sejak krisis (1997) nampak mengalami fluktuasi. Penduduk miskin pada tahun 1996 sebesar 9.55 angka ini terus mengalami peningkatan, pada tahun 1999 mencapai 19.66 persen. Tahun 2000 yang juga titik awal lahirnya Provinsi Banten, insiden kemiskinan dapat ditekan menjadi 14.93 persen, namun terjadi peningkatan kembali menjadi 17.24 persen pada tahun 2001. Persentase penduduk miskin tahun 2006 mencapai 9.79 persen.

0.0 500.0 1000.0 1500.0 2000.0 Tahun J u m la h ( 0 0 0 ) 0 5 10 15 20 25 (% ) Jumlah 1547.8 1184.1 1424.0 786.7 855.8 779.2 805.9 904.3 Persen 19.66 14.93 17.24 9.22 9.56 8.58 8.65 9.79 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: BPS Banten, 2006

Gambar 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten, Tahun 1999– 2006

Angka kemiskinan tahun 2004 hingga 2006 di Provinsi Banten seperti disajikan pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa kantong kemiskinan berada di pedesaan yang jumlahnya hampir dua kali lipat dibanding penduduk miskin perkotaan. Penduduk miskin di desa sebesar 11.99 persen pada tahun 2004 dan sebesar 13.34 persen pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin di kota pada tahun 2004 tercatat sebesar 5.69 persen dan 7.47 persen tahun 2006.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Banten Menurut Tipe Daerah, Tahun 2004– 2006

2004 2005 2006 Daerah Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Jumlah (000 Jiwa) Persentase (%) Kota 279.9 5.69 370.2 6.56 417.1 7.47 Desa 499.3 11.99 460.3 12.34 487.1 13.34 Total 779.2 8.58 830.5 8.86 904.3 9.79 Sumber: BPS Banten, 2006

Jumlah penduduk miskin menurut hasil perhitungan BPS di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2007 masih tergolong tinggi, yaitu sekitar 176 812 jiwa atau 15.64 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya dimana data sebelum krisis yaitu pada tahun 1993 sebesar 13.35

7

persen, 1996 sebesar 11.94 dan tahun 2005 sebesar 13.89 persen. Selama kurun waktu 1993 – 2007, pada tahun 2000 merupakan angka tertinggi baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang yaitu sebesar 198 983 jiwa atau sekitar 19.80 persen.

Kabupaten Pandeglang merupakan kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) terbesar yaitu masing-masing sebesar 3.23 dan 1.07. Hal ini menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di Kabupaten Pandeglang relatif lebih jauh bila dibandingkan dengan di kabupaten lain. Begitu pula dengan distribusi pengeluaran penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang memiliki ketimpangan yang lebih tinggi dari ketimpangan distribusi pengeluaran penduduk miskin di kabupaten lain di Provinsi Banten.

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1 dan P2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Tahun 2006

Kab/Kota Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) P1 P2 Pandeglang 177.8 15.82 3.23 1.07 Lebak 172.4 14.55 2.04 0.47 Tanggerang 279.1 8.28 1.38 0.31 Serang 170.8 9.55 1.51 0.38 Kota Tanggerang 95.1 6.41 0.92 0.19 Kota Cilegon 16.6 4.99 0.81 0.18 Prov. Banten 904.3 9.79 2.04 0.55 Sumber: BPS, 2007

Melihat kondisi di atas maka jelas bahwa kemiskinan di Kabupaten Pandeglang masih merupakan persoalan yang serius dan oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pemecahan yang lebih serius di masa mendatang.

Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, sehingga mengakibatkan antara lain: tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta negara donor namun tingkat kemiskinan masih tinggi. Bermacam program aksi penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2005) dan Harniati (2007) menyatakan bahwa kebijakan- kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan (Sumodiningrat, 2003; Mega, 2003 dalam Papilaya 2006). Harniati (2007) menyebutkan bahwa upaya pengurangan kemiskinan selama ini dicirikan oleh antara lain: (1) terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak bersifat

9

karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam.

Program Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah, yang menuai kegagalan. Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Pelaksanaan Program KKP diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan program lain dalam penanggulangan kemiskinan. Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak ada perencanaan yang matang dan transparansi penggunaan dan alokasi anggaran yang rendah (Sahdan, 2005).

Belajar dari kegagalan penanganan kemiskinan di masa lalu, kebijakan penanggulangan kemiskinan secara makro memang penting tetapi tidak cukup, perlu ada perspektif di tingkat mikro. Kebijakan pengurangan kemiskinan di suatu wilayah tidak dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan dari daerah lain secara keseluruhan ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaan masyarakat di wilayah tersebut.

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah daerah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lain dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pandeglang, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan jenis intervensinya. Analisis mengenai faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan di wilayah pedesaan berdasarkan tipologi sangat diperlukan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang sesuai untuk sasaran tertentu, titik masuk pengurangan kemiskinan, prioritas berdasarkan urgensi, keterbatasan sumberdaya dan rentang waktu intervensi dapat diketahui dengan menganalisis kemiskinan berdasarkan tipologi.

Karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin di Kabupaten Pandeglang perlu juga mendapat perhatian dalam merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan. Harniati (2007) menyatakan bahwa faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin adalah suatu archetype kemiskinan: household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics.

Berdasarkan uraian di atas, maka strategi penanggulangan kemiskinan tidak dapat seragam untuk semua wilayah tetapi harus memperhatikan faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan wilayah desa dan rumahtangga di wilayah tersebut. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi, peluang usaha serta harga sumberdaya yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.