• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi yang menempatkan mereka yang bersalah untuk ditahan dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim. Kehidupan seorang Narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Ketika seseorang berada di LAPAS, hak - haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di lapas tersebut. Ini karena kebebasan yang dimilikinya hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut dimana hal tersebut sesuai dengan Dirjen Pemasyarakatan, Undang -Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Dalam konteks LAPAS, Sipir (Petugas LAPAS) merupakan orang yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para Narapidananya. Pemenuhan kebutuhan setiap para Narapidana sudah diatur melalui aturan - aturan yang ketat. Pada dasarnya semua orang yang berstatus Narapidana memiliki hak yang sama dikarenakan mereka adalah sama -sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Dengan kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas berkeadilan serta tidak membeda - bedakan kedudukan atau kelas sosial seseorang, seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan merupakan ruang lingkup dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM

Sumatera Utara yang berdiri di atas tanah berstatus hak pinjam pakai dari Pemerintah Daerah Sumatera Utara dengan luas area. Di tanah tersebut, didirikan beberapa bangunan, mulai dari gedung perkantoran Petugas RUTAN, blok tahanan, blok karantina, blok isolasi narapidana, mushola, dapur, ruang serba guna Berta berbagai fasilitas lainnya seperti lapangan olahraga, poliklinik LAPAS, ruang kebaktian, kantin, salon, perpustakaan dan ruang keterampilan untuk Narapidana.

Berdasarkan data DIRJEN PAS KEMENKUMHAM Sumatera Utara per Januari 2015 (Lihat Tabel).

Tabel 1. Komposisi Narapidana Wanita Lapas Klas II Wanita Tanjung Gusta Medan berdasarkan Tindak Pidana (Per Januari 2015)

Jenis Kejahatan jumlah Narapidana (Frekuensi Persentase (%) Narkotika 297 83,20 Pembunuhan 14 4,00 Penggelapan 10 2,80 Penipuan 6 1,70 Korupsi 5 1,40 Pencurian. 5 1,40 Perlindungan anak 5 1,40 Perampokan 4 1,10 Trafficking 4 1,10 Perjudian 2 0,60 Penadahan 2 0,60

Mata Uang 1 0,20

Merusak barang 1 0,20

Penganiayaan 1 0,20

Total 357 100

Sumber Data : Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Catatan : Pidana > 3 Tahun : Jenis Kejahatan Mata Uang, Pembunuhan, Penganiayaan, Perampokan, Penggelapan, Penipuan, Merusak Barang, Narkotika, Korupsi, Perlindungan Anak, Trafficking

Pidana < 3 Tahun : Jenis Kejahatan Perjudian, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Penadahan, Narkotika, Korupsi

Tabel 2. Komposisi Petugas LAPAS Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan Jenis Pekerjaan Jumlah Petugas Lapas

(F) Persentase (%) Pengaman 32 43,20 Staf 42 56,80 Total 74 100

Sumber Data : Dokumentasi KASUBAG TU LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Dari tabel 2 terilhat bahwa Sumber daya manusia dalam hal ini Petugas LAPAS kurang maksimal sehingga tidak sebanding dengan apa tugas – tugas

yang mereka emban baik itu dalam hal memantau segala aktivitas yang dikerjakan oleh ditambah dengan jumlah Narapidana yang sangat besar. Narapidana, Sebagaimana terjadi di berbagai LAPAS di Indonesia, Lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta pun mengalami kelebihan kapasitas penghuni. Dari jumlah total penghuni lapas ini merupakan narapidana yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika dan sebagian besar warga binaan pengguna narkoba itu rata-rata berasal dari kalangan orang mampu yang seringkali merninta fasilitas tambahan kepada petugas rutan, misalnya berupa sel tahanan khusus, sementara sel biasa umumnya dihuni dua puluh hingga tiga puluh warga binaan. Keadaan seperti inilah yang terkadang membuat sel hunian di lapas seolah-olah penuh (kelebihan kapasitas) yang hanya dialami oleh warga binaan dari kelompok yang tidak mampu. Jadi, sisi lain dari kelebihan kapasitas adalah adanya ketidakadilan yang dilakukan petugas di lapas terhadap narapidananya. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah hunian yang tidak merata antara satu sel dengan sel lainnya (kelebihan kapasitas di sel hunian tertentu). Adapun pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan berjumlah 4 sel yaitu :

Tabel 3 Pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan

Nama Blok Jumlah Kamar Kapasitas

Kelebihan Kapasitas

Blok A 4 Kamar 4 Orang 20 Orang

Blok B 12 Kamar 30 Orang 207 Orang

Blok D 6 Kamar 4 Orang 20 Orang

Jumlah 29 Kamar 62 Orang 357 Orang

Sumber Data : Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta Medan, Tanggal 20 Januari 2015

Dari tabel 3 terlihat bahwa kapasitas kamar di LAPAS tersebut tidak sesuai dengan kekentuan yang berlaku dimana dalam satu kamar yang seharusnya di tempatkan sebanyak 5 - 7 orang akan tetapi berubah bisa mencapai ratusan orang sehingga menimbulkan over kapasitas dan kekesakan yang berlebihan dari Narapidana yang berasal dari daerah yang berbeda dengan jenis kejahatan yang berbeda pula.

Selain itu, ketidakadilan di LAPAS juga terjadi dalam pemberian pelayanan atau pemanfaatan fasilitas. Mereka yang bisa menikmati pelayanan atau fasilitas adalah narapidana yang memiliki uang dan dekat dengan petugas. Mereka lebih diprioritaskan oleh Petugas untuk bisa menikmati pelayanan atau pembinaan yang ada di LAPAS dibandingkan penghuni lainnya. Temuan lapangan yang penulis dapatkan ini diperkuat dengan pernyataan DIRJEN Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM Untung Sugiyono, yang mengatakan bahwa ia tidak membantah soal adanya “kongkalikong” antara petugas dan narapidana atau antara petugas dan pengunjung. Namun, Untung Sugiyono beralasan hal itu terjadi karena minimnya pengawasan akibat berlebihnya daya tampung lapas atau rutan: “Dari kelebihan kapasitas saja, untuk melakukan pengawasan itu setengah mati. Untuk melakukan pelayanan yang optimal, setengah mati” (dikutip dari www. bataviase.co.id pada 5 November 2014 pukul 20.30 WIB).

Dengan munculnya keadaan LAPAS yang mengalami kelebihan kapasitas maka terbentuklah suatu kesepakatan antara Petugas LAPAS dan Narapidana Dalam pengambilan keputusan di penjara tidak semata - mata diambil dari perilaku Narapidana tetapi bersama dengan keputusan resmi dan tak resmi Petugas. Kesepakatan — kesepakatan yang dibentuk secara bersama, dijaga dan dipelihara oleh para petugas lapas sesuai konteks pemenuhan kebutuhan dan kepentingan demi keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan di dalam LAPAS. Kesepakatan tersebut melibatkan Narapidana dan Petugas LAPAS bekerja sama dalam unit – unit kerja maupun ruangan tertentu tetapi tidak semua Narapidana atau Petugas LAPAS ikut serta dan terlibat.

Berlakunya kesepakatan-kesepakatan ini membuat terhukum (narapidana) menjalankan kesetiaan untuk mendapatkan kepercayaan, perlindungan, demi terpenuhinya kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, ada larangan menggunakan telepon genggam, praktiknya narapidana diam-diam menggunakan handphone. Hal ini mengambarkan bahwa mereka (narapidana) setia memberikan uang perlindungan kepada petugas tertentu demi kebebasan menelepon (handphone). Contoh lain, narapidana pembantu seharusnya membantu petugas mengawasi narapidana lain, tapi secara terselubung narapidana pembantu malah lebih setia pada sesama narapidana dibanding petugas dengan membiarkan saja perilaku melanggar dilakukan narapidana lain karena solidaritas bergaul sesama narapidana. Kesepakatan bersama marak terkait pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemakaian handphone, interaksi dengan pihak keluarga, kebutuhan perut, membeli atau menjual rokok, roti, serta pemenuhan kebutuhan sekunder lain.

Kesepakatan bersama mempergunakan bahasa tersendiri (lokal) yang hanya dimengerti penghuni di balik tembok LAPAS. Bahasa pergaulan ini dipelajari terhukum atau narapidana (baru) untuk berinteraksi dan beradaptasi baik dalam kamar maupun blok selain untuk mempererat hubungan dengan petugas dan tamping. Bahasa lokal dalam LAPAS dipergunakan juga demi menjaga kerahasiaan aktivitas, dalam LAPAS dari amatan orang luar. Tiap narapidana mempunyai kebutuhan primer, sekunder dan tertier berbeda. Pemenuhan kebutuhan individu menjadi beragam, terwujud dalam kegiatan mengisi waktu luang, membuat kerajinan tangan, ikut pesantren, masuk anggota band, memakai handphone, memegang uang, mencari pemasukan, memenuhi kebutuhan seksual, sampai memasukkan barang terlarang dan seterusnya.

Kesepakatan bersama tampak dalam pemenuhan makan sebagai kebutuhan primer. Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan, dengan cara membeli makanan dari luar LAPAS bisa juga memesan melalui katering yang dibuat keluarga penghuni LAPAS, asalkan mampu membeli dan membayar saja. Untuk memperoleh masakan langsung dari dapur, kesepakatan dibuat dengan tamping dapur, tamping kebersihan, tamping keamanan, dimana makanan bisa didapat dan dipesan dari dapur berupa lauk pauk dan sayuran olahan. Pesanan ini sering diperjual-belikan tanpa ketahuan karena terkait kebutuhan-perut narapidana.

Makanan olahan dapur antara lain berupa sayur bening, tempe orek, tempe goreng, semur daging, oseng daging, nasi uduk atau nasi goreng. Makanan jenis ini tentu lebih menggugah selera dibanding nasi cadong. Bagi narapidana kurang mampu sering mensiasati makanan cadong dengan jenis makanan lain. Makanan

cadong dicampur lauk mie rebus atau goreng, dan campuran lauk ini menjadi makanan lumayan nikmat bagi mereka, meski terkadang harus berebut dahulu mendapatkan “tembakan” (alat memasak air) sebagai alat memasak untuk mie dan air dalam kamar. Berbeda dengan narapidana mampu (elit), narapidana tak mampu seringkali hanya bisa melihat sejumlah makanan nikmat yang tersedia di ruang para elit, tapi tak boleh mencicipi makanan tersebut, kecuali menunggu belas kasihan elit untuk berbagi dengan mereka.

Petugas dan narapidana tidak terlalu mementingkan identitas atau Tatar belakang berbeda, bahasa berbeda atau fisik berbeda tapi lebih menekankan pada kemampuan aktor memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Arena-arena sosial dalam Lapas menggerakkan dan menjadikan lembaga penghukuman (Lapas) menjadi tempat mengadu (curhat), bekerjasama dan berkompetisi atas pemenuhan kebutuhan dan kepentingan baik petugas atau napi tertentu. Selain itu, menjadi tempat pertukaran informasi masa hukuman, kebutuhan pribadi maupun pemasukan pribadi. Kesepakatan-kesepakatan yang diciptakan, dibentuk dan dipertahankan aktor sesuai konteks tertentu menjadi acuan berperilaku dalam kehidupan sosial di LAPAS.