• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1.5 Definisi Konsep

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa definisi konsep untuk mempermudah melakukan penelitian. Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu gagasan untuk memperjelas maksud dan pengertian konsep – konsep yang terdapat dalam laporan penelitian ini, maka dibuat batasan - batasan konsep yang dipakai sebagai berikut

1. Ketimpangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketimpangan Merupakan hal yang tidak sebagaimana mestinya (tidak ada, tidak beres) dilakukan oleh seseorang terhadap yang lainnya. Menurut Peter Blau, Ketimpangan merupakan diferensiasi berdasarkan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial, seperti faktor ekonomi dan status atau jabatan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat ketimpangan dalam hal pemenuhan fasilitas, pemberian remisi, proses pembinaan, kebutuhan akan makanan serta pembagian tugas dalam LAPAS

2. Narapidana

Merupakan orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Adapun hak — hak yang diterima narapidana antara lain :

2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

5. Menyampaikan keluhan dan Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya.

9. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

10.Mendapatkan pembebasan

3. Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut UU No 12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana.

4. Korve Blok merupakan jabatan tertinggi di dalam kamar atau yang bertanggung jawab di dalam kamar.

5. Tamping merupakan Narapidana yang dipekerjaan (pendamping atau perpanjangan tangan Petugas LAPAS

6. Sel tahanan merupakan suatu tempat bagi narapidana yang sering membuat keributan, melanggar aturan penjara serta membahayakan narapidana lainnya sehingga tidak dapat ditolerir oleh Petugas LAPAS.

7. Kekuasaan

Dalam konteks Sosiologi, kekuasaan adalah gejala kemasyarakatan yang umum sifatnya, dimana dan pada bentuk masyarakat bagaimanapun gejala ini selalu timbul namun yang lebih perlu digaris bawahi disini bahwa Sosiologi selalu memandang netral dari seperangkat gejala-gejala sosial yang menjadi obyek perhatiannya. Netral dalam arti tidak menilai suatu gejala itu baik atau buruk, yang pasti gejala itu ada hidup dalam masyarakat. Walaupun kekuasaan itu senantiasa ada dalam setiap masyarakat namun bukan berarti bahwa kekuasaan dapat dibagi rata para semua anggota masyarakat. Dengan ketidakmerataan ini justru kemudian timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar menurut pada kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau dengan kata lain antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh ini dengan rela atau karena terpaksa.

Apabila kekuasaan itu diterjemahkan pada diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya. Kekuasaan, dalam istilah umum disebut sebagai power, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut, kekuasaan itu juga mencakup baik suatu kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah itu patuh) dan juga untuk memberikan keputusan-keputuasan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tindakan-tindakan pihak lainnya. Max Weber mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang-orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan dari orang-orang atau golongan - golongan tertentu.

8. Remisi

Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjadi hukuman pidana, juga berubah dari waktu kewaktu. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai anugrah. Artinya remisi adalah anugrah dari pemerintah kepada narapidana. Dalam Gestichten Reglement, remisi hanya diberikan pada hari ulang tahun Ratu Belanda. Jadi remisi benar-benar anugrah belaka. Pada tahun 1950 berdasarkan keppres Nomor 156 Tahun 1950 remisi diberikan setiap ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Perubahan ini disambut dengan kelegahan hati rakyat Indonesia, sebab setiap ulang tahun. kemerdekaan Republik Indonesia banyak narapidana yang mendapat remisi. Sejak tahun 1950 remisi tidak lagi.

Dalam sistem pemasyarakatan remisi merupakan mata rantai dari suatu proses pemasyarakatan yang merupakan hak dari setiap narapidana. Dimana hak tersebut akan diterima apabila narapidana telah menjalankan kewajibannya yaitu menunjukan tingkah laku yang baik menurut penilaian TPP dan disamping itu

harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan — persyaratan yang dilandaskan kepada lamanya hukuman yang telah dijalankan. Pengertian remisi berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Yang dimaksud dengan narapidana yang berkelakuan baik ialah narapidana yang menaati perataturan yang berlaku dan tidak dikenakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi. Buku register F adalah suatu buku yang khusus untuk mencatat perilaku dan tindakan dari narapidana apabila melakukan suatu dan tindakan yang menyimpang dari tats tertib dan peraturan Berta menjelaskan pula jenis sanksi yang dijatuhkan. Remisi dibagi atas 3 berdasarkan. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2,3,4 terdiri atas :

1. Remisi umum yaitu pengurangan masam pidana yang diberikan kepada narapidana pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI,

2. Remisi khusus yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana pada hari keagamaan yang dianut oleh yang oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak — banyaknya satu kali dalam setahun bagi masing — masing agama,

3. Remisi tambahan yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang berjasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan

lembaga pemasyarakatan Remisi tersebut diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundang — undangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemasyarakatan yang didelegasikan kepada kepada kantor wilayah. Remisi tersebut diusulkan oleh kepada lembaga pemasyarakatan berdasarkan pengamatan sehari — hari pegawai lembaga pemasyarakatan.

Dimana remisi umum adalah remisi yang diterima oleh narapidana pada saat hari peringatan Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, sedangkan remisi khusus ialah remisi yang diperoleh oleh narapidana pada hari besar keagamaan sesuai dengan agama yang dianut oleh narapidana wajib dilakukan pendataan tentang agama. Menurut Pasal 3 (2) jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau anak pidana. Menteri Hukum dan HAM mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama pemberian remisi khusus ini dilaksanakan pada :

1.Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana yang beragama Islam 2. Setiap Natal bagi narapidana beragama. Kristen atau Khatolik 3. Setiap Hari Raya Nyepi bagi narapidana yang beragama Hindu

Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana yang beragama Budha Jadi selain jenis hari rays di atas (seperti Hari Raya Haji, Paskah, Galungan) narapidana tidak mendapatkan remisi.

Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, remisi merupakan hak narapidana. Tujuan pemasyarakatan adalah pembinaan pelanggaran hukum yang bertumpu kepada. Community Base Oriented (pelaksanaan pembinaan di tengahtengah masyarakat). Dalam hubungan ini pemberian remisi bagi narapidana yang memenuhi persyaratan merupakan salah

satu alternatif dalam rangka mempercepat proses reintegrasi, karena itu remisi merupakan manifestasi dari tujuan Pemasyarakatan dimaksud. Remisi merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak bisa dipisahkan dari fasilitas pembinaan yang lainnya, di mana hakekat pembinaan adalah selain memberikan saksi yang bersifat punitif, juga memberikan reward sebagai salah satu dari upaya pembinaan, agar program pembinaan dapat berjalan dan direspon oleh WBP, sedangkan tujuan dari Sistem Pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan dengan harapan kelak akan kembali dan diterima oleh masyarakat sekitarnya sebagai warga masyarakat serta dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainya.

9. Konsep pembinaan dalam sistem pemasyarakatan

Pembinaan narapidana adalah suatu sistem dimana didalam hal tersebut mempunyai yang saling bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Jika dilihat dari tujuan sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan dengan kata lain tujuan didirikannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untik membuat jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana sehingga peraturan – peraturannya bersifat keras bahkan sering tidak manusiawi. Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan dengan tahap — tahap yaitu tahap orientasi merupakan tahap dimana narapidana mampu mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya.

Di dalam pembinaan, narapidana dibina dan dibimbing agar tidak lagi melakukan tindak pidana dikemudian hari apabila keluar dari lembaga

pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama serta keterampilan. Pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ke tengah — tengah masyarakat di luar lembaga pemasyarakat dengan tujuan sebagai upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak canggung lagi apabila keluar dari lembaga pemasyarakatan apabila telah habis pidananya atau bila mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas atau pembebasan karena mendapat remisi. Namun sistem pemasyarakatan tersebut belum dapat terlefas dari sistem kepenjaraan setelah dikeluarkannya Undang — undang No 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

Tujuan berubah menjadi meningkatkan kesadaran narapidana akan eksistensi sebagai manusia. Kesadaran tersebut dicapai melalui introspeksi, motivasi dan pengembangan diri. Kesadaran tersebut dimaksudkan agar narapidana sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki akal dan budi. Perlakuan terhadap narapidana dalam konsep pemasyarakatan menempatkan kedudukan narapidana sebagai objek, dimana sebagai objek narapidana tersebut diperlakukan lebih rendah dari manusia lainnya. Sebagai objek, narapidana tidak diberi pembinaan tetapi tenaga sering dipergunakan untuk kepentingan penjara, pengurangan hukuman yang diberikan hanya sebagai anugerah.

Sistem pemasyarakatan telah mampu mengubah citra itu dengan memperlakukan sebagai subjek. Disinilah faktor manusiawi lebih banyak dipertimbangkan dengan cara menonjolkan harga diri dan kedudukannya sejajar dengan manusia lainnya. Perlakuan yang bersifat keras dikendorkan dan narapidana dibina agar setelah ia bebas kelak tidak lagi mengulangi perbuatannya dan dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dalam proses pembinaan ada beberapa komponen pembinaan antara lain pembina, yang dibina, materi pembinaan,

tempat pembinaan dan saranan pembinaan. Jadi narapidana adalah subjek sekaligus objek pembinaan. Sering kali materi pembinaan bukan datang dari pembinanya tetapi berasal dari narapidana itu sendiri.

Hal ini disebabkan oleh karena tumbuh rasa kesadaran dari narapidana itu sendiri merubah dirinya. Dalam sistem pemasyarakatan, pekerjaan yang diberikan kepada narapidana adalah pekerjaan yang bersifat melatih narapidana agar setelah ia bebas nantinya dapat menerapkannya kepandaiannya sebagai bakal hidup tidak lagi melakukan tindak pidana. Narapidana memperoleh pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak dirutan karena rutan hanya diperuntukan bagi para tahanan. Narapidana yang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan pada dasamya selam menjalani masa pidana kehilangan kebebasan bergerak artinya narapidana tersebut hanya bebas bergerak dalam lembaga pemasyarakatan saja. Kemerdekaan dan kebebasan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu namun pada kenyataannya buka saja kemerdekaan bergerak yang hilang, kemerdekaan lainpun ikut terampas. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan terhadap pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan tersebut berkembang menjadi perlindungan hukum baik kepada pihak yang dirugikan maupun pihak yang merugikan agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri — sendiri. Dengan kata lain pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya mendapatkan perlakuan yang manusiawi mendapat jaminan hukum yang memadai. Dalam melakukan pembinaan kepada narapidana juga dibutuhkan sarana - sarana pendukung. Sarana — sarana yang diperlukan dalam pembinaan narapidana tersebut adalah :

2. Sarana porsonalia meliputi penambahan tenaga pembina ahli sosiolog, psikolog, teolog, Pengadaan pegawai melalui seleksi, pengangkatan dan penempatan, Kepangkatan melalui sistem promosi dan mutasi, kode etik, pendidikan dan latihan, tats usaha kepegawaian. Masalah kepegawaian adalah masalah penting karena sangat berperan dalam pembinaan narapidana. Berdasarkan standar keamanan 1 orang pegawai dapat dikatakan efisien dan efektif jika membina dan mengawasi 5 orang narapidana karena terjadi over kapasitas hampir di setiap lembaga pemasyarakatan di Indonesia maka standar keamanan dari segi kepegawaian tersebut tidak dapat terpenuhi lagi.

3. Sarana fisik meliputi gedung, ruangan kerja, peralatan perkantoran, perlengkapan keamanan kesehatan damn peralatan keamanan.

4. Sarana administrasi keuangan meliputi administrasi, penyusunan anggaran keuangan dan makanan. Makanan yang diberikan kepada narapidana biasanya disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jumlah dan mute jatah makan narapidana harus memenuhi standar miniml dan sesuai anggaran yang tersedia namun kualitas dari makanan tersebut masih jauh dari standar kelayakan dari segi kesehatan. Metode pembinaan yang dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1) Pembinaan perseorangan merupakan pembinaan yang dilakukan secara perseorangan oleh petugas dan harus diterapkan secara tersendiri karena masing — masing narapidana yang akan dibina memiliki tingkat intelektual, emosi dan logika yang tidak sama.

2) Pembinaan berkelompok merupakan pembinaan yang dilakukan secara kelompok dengan cara ceramah, tanya jawab dan pembentukan tim. Pemilihan metode tergantung pada tujuan yang hendak dicapai dari proses

pembinaan.

Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjalani hukuman pidana berubah dari waktu ke waktu. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai anugerah yang diberikan pemerintah kepada narapidana. Selain syarat

berkelakukan baik, lama pidana bagi narapidana yang akan mendapat remisi tidak boleh kurang dari enam bulan dan narapidana yang dipidana seumur hidup

ABSTRAK

Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi yang menempatkan mereka yang bersalah untuk ditalian dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim. Kehidupan seorang narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Ketika seseorang berada di lapas, hak – haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di LAPAS tersebut. ini karena kebebasan yang dimilikinya hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut dimana hal tersebut sesuai dengan DIRJEN Pemasyarakatan, Undang – Undang No. 12 Tabun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam konteks LAPAS, Sipir ( Petugas LAPAS ) merupakan orang yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para narapidananya. Pemenuhan kebutuhan setiap para narapidana sudah diatur melalui aturan – aturan yang ketat. Pada dasarnya semua orang yang berstatus narapidana memiliki hak yang sang dikarenakan mereka adalah sama – sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum.

Dengan kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas berkeadilan serta tidak membeda – bedakan kedudukan atau kelas sosial seseorang, seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 namun pada kenyataannya ketidakadilan maupun ketimpangan terjadi akibat dari seorang Narapidana yang patuh terhadap petugas LAPAS sebagai atasannya sehingga kepatuhannya membawakannya kepada status yang lebih tinggi sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan dan mampu mempengaruhi Petugas, LAPAS untuk memenuhi kelangsungan hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui perbedaan perlakuan terhadap para Narapidana Wanita di LAPAS sehingga menimbulkan ketimpangan. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai faktor-faktor penyebab memicunya ketimpangan perlakuan Petugas LAPAS terhadap Narapidana Wanita.

Unit analisis penelitian meliputi informan kunci yang meliputi Para Narapidana Klas IIA Wanita Tanjung Gusta dan informan biasa adalah Para Petugas LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan terjadi keadaan yang overkapasitas dimana dalam hal ini, Kebanyakan merupakan Narapidana dengan kasus narkotika dan ditempatkan bersama Narapidana dengan kasus lain dalam beberapa blok yang hanya bisa menampung beberapa orang saja ditambah dengan jumlah Petugas LAPAS yang tidak sebanding dan tidak mampu memahami karakter dari Narapidana Wanita sehingga dalam pembinaan Hanya beberapa saja Narapidana yang bisa melakukan pembinaan. Selain itu untuk mendapatkan segala hal yang terbatas di LAPAS seperti blok yang nyaman, makanan yang enak dan bergizi dan bisa berkomunikasi melalui telepon genggam maka Narapidana Wanita biasa harus melakukan apa yang disuruh oleh Petugas LAPAS sehingga naik statusnya menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan yang berhasil melakukan pembinaan dengan baik sehingga mampu mendekatkan diri kepada Petugas LAPAS dan meminta apa yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidup mereka di LAPAS dan juga menyalahgunakan penghargaan yang diperoleh Narapidana Wanita dari Petugas LAPAS hanya untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya sendiri akan tetapi dalam hal inilah terdapat ketimpangan dimana Narapidana yang memiliki keahlian khusus ketika pembinaan berlangsung sehingga Petugas LAPAS menganggap bahwa Narapidana Wanita tersebut mampu membantu Petugas LAPAS dalam kegiatannya sehari – hari.

Skripsi

KETIMPANGAN PERLAKUAN TERHADAP NARAPIDANA