• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertukaran sosial Narapidana Wanita dengan Petugas LAPAS

PROFIL INFORMAN DAN INTERPRETASI DATA

5.3 Pertukaran sosial Narapidana Wanita dengan Petugas LAPAS

(Suatu strategi Narapidana Wanita mendapat keadaan yang layak di LAPAS)

Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans (dalam Margaret : 2007), prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi:

“seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya “.

keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya, semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi keuntungan “.

Begitupun dalam ketimpangan perlakuan baik yang dilakukan oleh Petugas LAPAS kepada Warga Binaan Pemasyarakatan maupun Narapidana biasa timbul sebuah pertukaran yaitu pertukaran timbal balik yang bersifat menguntungkan. Pertukaran timbal balik yang bersifat menguntungkan timbul didalam peristiwa pada sebuah pertukaran yaitu pertukaran timbal balik yang bersifat menguntungkan. Pertukaran timbal balik yang bersifat menguntungkan timbul didalam peristiwa pada saat melakukan pembinaan. Apabila dalam melakukan pembinaan tersebut, Narapidana tidak bisa menjalankannya dengan baik maka Narapidana Wanita tidak diberikan akses lebih oleh Petugas LAPAS.. Rahmawati (58), yang merupakan Warga. Binaan Pemasyarakatan LAPAS, beliau mengemukakan bahwa:

“Setiap Narapidana memiliki hak berupa hak pembinaan yang telah dijadwalkan dengan baik remisi, kebebasan dalam hat menjalankan keyakinan masing – masing, mendapatkan perawatan yang layak jika Narapidana tersebut sakit dan menjalani hukuman duo per tiga dari masa tahanan akan tetapi hak tersebut akan berkurang jika Narapidana yang bersangkutan melakukan pelanggaran ringan, sedang maupun berat. Wawancara 21 Mei 2015)

dan Elia br Ginting (32) mengatakan bahwa:

“Menurut beliau, Setiap Tahanan maupun Narapidana yang menghuni LAPAS tersebut mau ataupun tidak mau harus mematuhi segala peraturan yang ditetapkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusto tersebut. Para petugas LAPAS pun memperlakukan Para Tahanan maupun Narapidana sebagaimana mestinya sesuai dengan hak asasi kemanusiaan dan apa yang diterima oleh Para Tahanan maupun Narapidana dari Petugas LAPAS soma dengan Para Tahanan maupun Narapidana lainnya tergantung dari perilakunya sehari – hari baik itu kepada Petugas LAPAS maupun kepada sesama Tahanan maupun Narapidana dan juga proses pembinaan yang dijalankan oleh Tahanan maupun Narapidana. “. (Wawancara 21 Mei 2015)

RJ Sitorus (50) yang merupakan mantan Narapidana Wanita mengatakan bahwa:

“Perlakuan berbeda mungkin karena Narapidana tersebut patuh / mudah diatur dibandingkan dengan Narapidana yang tidak patuh. Narapidana di LAPAS memiliki hak beribadah maupun hak perawatan bila sakit. Narapidana yang disegani maupun dihormati adalah napi yang tunduk kepada atasannya sehingga atasannya menjadikan Narapidana tersebut kaki tangan KA LAPAS.” (Wawancara 10 September 2015)

H Tarigan (32) mengatakan bahwa:

“Adapun perbedaan perlakuan petugas tehadap narapidana dalam

hat pembinaan dimana narapidana dengan kasus - kasus yang berbeda maka petugas melakukan pembinaan yang berbeda juga. Semua fasilitas yang diterima oleh narapidana adalah sama. Hak yang diterima oleh petugas adalah mendapatkan makanan dan mendapat waktu kunjungan keluarga. Saya meminta fasilitas kepada petugas LAPAS berupa HP untuk berkomunikasi dengan keluarga tetapi petugas meminta sejumlah uang sesuai permintaan mereka. Ada narapidana yang kayo meminta fasislitas lebih kepada petugas berupa tempat tidur dan makanan. Semua narapidana diwajibkan oleh petugas jags melakukan tugas — tugas sesuai dengan aturan yang ada. Pada saat narapidana melanggar ketentuan LAPAS maka petugas menghukum narapidana dengan cara memperberat tugas yang diberikan. “ (Wawancara 06 Oktober 2015)

Asmah Simatupang S.ag (46) yang merupakan KA SUBSI BIMPAS mengatakan bahwa:

“ Remisi mempunyai peranan penting dari segi pembinaan

narapidana. Dengan adanya remisi tidak sedikit dari narapidana termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembinaan. Salah satu peraturan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan adalah mengikuti program pembinaan yang ada yakni akhlak atau ketaqwaan dan keterampilan yang disesuaikan dengan agama dan bakat dari masing — masing narapidana.

Adapun indikator yang diambil oleh pembina dalam menilai suksesnya program pembinaan dalah apabila semua narapidananya berkelakuan baik, tidak ada yang masuk daftar buku register F, pada setiap hari Proklamasi kemerdekaan dan hari besar keagamaan mendapatkan remisi bahkan tidak jarang karena membantu kegiatan pembinaan mendapatkan remisi tambahan. Beliau juga mengatakan narapidana yang berkelakuan buruk hanya

akan menyusahkan, hanya menambah pekerjaan, jadi tidak peduli spa motif mereka ikut Berta dalam kegiatan pembinaan yang penting laporan selalu baik sampai ke atasan. (Wawancara 18 Juni 2015)

Dapat dikatakan bahwa dalam pertukaran ini setiap Narapidana Wanita pada dasarnya memunyai hak dan kewajiban yang sama akan tetapi pada saat pembinaanlah Petugas LAPAS dapat menilai tiap — tiap Narapidana Wanita apakah mereka bisa menjalankannya dengan baik atau tidak.Apabila mereka lulus dalam pembinaan maka hak istimewa yang mereka dapatkan juga disediakan oleh Petugas LAPAS. Akan tetapi bagi Narapidana yang tidak mampu melaksanakan bimbingan dengan baik maka Narapidana Wanita tersebut mau atau tidak mau harus patuh terhadap senua pihak baik itu Petugas LAPAS maupun Warga Binaan Pemasyarakatan yang lain dan juga hak yang diterima diberikan oleh Petugas LAPAS

“ Saya tidak bisa melakukan bimbingan di LAPAS ini karena keterbatasan bahasa. Saya kan prang dari kampung nggak tabu bahasa Indonesia dan saya juga nggak sekolah tinggi kan jadi ngerti apa sib yang dilakukan Petugas LAPAS sehingga Petugas lapas menilai saya tidak mampu menjalankan bimbingan dengan baik dan saya tidak bisa menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan dan juga pasrah menerima hak saya apa adanya, “(Wawancara27Mei2015)