• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas HA Tanjung Gusta Medan sebagai suatu Institusi total

PROFIL INFORMAN DAN INTERPRETASI DATA

5.2 Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas HA Tanjung Gusta Medan sebagai suatu Institusi total

Goffman (dalam Poloma, Sosiologi Kontemporer, 2007) memaparkan bahwa institusi total adalah tempat bekerja dan tempat tinggal di many sejunilah besar orang tersatukan, terpisah dari masyarakat luas untuk waktu yang cukup lama, bersamasama dengan dipimpin insititusi yang sifatnya tertutup, yang diatur secara resmi dalam setiap aspek kehidupan. Dari definisi tersebut terlihat jelas dikemukakan bahwa total institution ini merupakan tempat yang di khususkan bagi sekelompok orang yang terpisahkan atau terisolasi dari lingkungan masyarakat luas, yang kemudian mereka diterapkan aturan-aturan secara resmi mencakup seluruh hal dalam aktifitas kehidupan mereka.

Tampilan institusi total dapat dideskripsikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:

Pertama, semua aspek-aspek kehidupan dilakukan di tempat yang sama dan dalam pengawasan tunggal yang sama.

Kedua, masing-masing anggota melakukan aktivitas yang sama dan cenderung memiliki pemikiran yang sama.

Ketiga, seluruh rangkaian kehidupan sehari-hari terjadwal secara ketat, dalam keseluruhan urutan yang diawasi oleh sistem atau organisasi dan pengawas formal. Keempat, berbagai aktivitas dipaksa dan diarahkan bersama-sama ke dalam rencana tunggal untuk memenuhi tujuan pimpinan institusi (Goffman, (dalam Poloma, Sosiologi Kontemporer, 2007).

Penduduk institusi total menyadari hak-hak mereka yang hilang. Mereka tahu mereka tidak memiliki kebebasan yang mereka miliki sebelumnya masuk ke situasi mereka sekarang. Jarak sosial antara staf dan narapidana adalah besar dan setiap kelompok cenderung tidak ramah terhadap yang lain (Weinstein R, 1982:41). Narapidana (bahkan sipir) merupakan individu yang hidup dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung, dan diatur secara formal. Institusi dikatakan total, ketika institusi ini membatasi ruang gerak orang-orang di dalamnya pada tiap kesempatan.

Ciri-ciri institusi total menurut Goffman (1961) antara lain dikendalikan oleh kekuasaan (hegemoni) dan memiliki hirarki yang jelas. Di dalam Institusi Total ini, semua kegiatan di situ diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan oleh dan melalui kekuasaan

“pejabat” asrama. Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan makan setiap siswa/taruna mendapat apa, jam berapa, diperbolehkan makan, di tempat mana mereka boleh makan dan tidak boleh makan, dan seterusnya semuanya diawasi dan ditentukan oleh para “pejabat” asrama. Semua kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang “ketat”. Kemudian, dengan penerapan institusi total ini membentuk apa yang dinamakan dengan identitas kolektif yang eksklusif. Masing-masing level hirarki mempunyai batasan dan otoritas yang tegas, tidak ada kata 'tidak' bagi mereka yang berada pada level hirarki yang lebih rendah. Semua ucapan yang keluar dari mulut seorang yang hirarkinya lebih tinggi adalah perintah dan tidak boleh dibantah.

Soniati Simanjorang (40) yang merupakan Warga Binaan Pemasyarakatan mengemukakan bahwa

“ Adapun hal – hal yang terjadi di tempat tersebut adalah setiap

narapidana berupaya untuk tidak melakukan pelanggaran seperti membawa uang yang berlebihan maupun membawa barang – barang seperti narkoba maupun barang berharga lainnya dan makan ala kadarnya. Aktivitas yang berlangsung di Lembaga Pemasyarakatan tersebut adalah peningkatan kualitas hidup para narapidana melalui program pembinaan yang dicanangkan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan setempat. “ (Wawancara 25 April 2015)

Rahmawati (44) mengatakan bahwa

“Saya kan warga binaan keamanan dan ketertiban dimana tugas saga itu membantu Para Staf Petugas melakukan pengawasan dan menjaga ketertiban Narapidana Wanita. Jadi saya juga ikut dalam melakukan razia terhadap narapidana dan datang ke blok – blok dengan waktu yang terjadwal sehingga terlihat jelas Para Narapidana Wanita tersebut pasrah menerima dan siap sedia dalam inspeksi tersebut. Wawancara 21 Mei 2015)

Elia br Ginting (32) mengatakan bahwa

“Saya bertugas disini membantu para Staf Petugas Lembaga Pemasyarakatan mendata setiap keluarga maupun kerabat yang ingin bertemu dengan para Tahanan maupun Narapidana serta menerima setiap barang – barang yang dibawa oleh keluarga para Tahanan maupun Narapidana untuk diberikan kepada keluarganya yang akan diterima oleh keluarganya yang menjadi Tahanan maupun Narapidana akan tetapi setiap barang – barang tersebut harus diperiksa terlebih dahulu apakah barang – barang tersebut merupakan barang – barang yang tidak diperbolehkan masuk ke LAPAS seperti perhiasan berharga, uang yang berlebihan, narkoba maupun senjata tajam. Setiap Tahanan maupun Narapidana yang menghuni LAPAS tersebut mau ataupun tidak mau harus mematuhi segala peraturan yang ditetapkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta tersebut. (Wawancara 21 Mei 2015)

Endang Sriwati (44) yang merupakan KPLP mengatakan bahwa

“Untuk menjaga keamanan dan ketertiban dari para Narapidana/Tahanan wanita disediakan pula pengawas yang ditugaskan untuk hal tersebut yang terdiri dari pengawas wanita, di mana pengawasan dilakukan secara bergantian atau dengan sistem applusan yaitu Regu Jaga A bertugas mulai dari jam 07.00-13.00 WIB, Regu Jaga B bertugas mulai dari jam 13.00-19.00 WIB, dan Regu Jaga C bertugas mulai dari jam 19.00-07.00 WIB atau dengan kata lain Regu Jaga A disebut dengan Regu Jaga Pagi, Regu Jaga B disebut dengan Regu Jaga Siang dan Regu Jaga C disebut dengan Regu Jaga Malam. Untuk Regu Jaga C (Regu Jaga Malam) dibantu oleh seorang petugas Piket dan Pembantu Piket yang terdiri dari petugas wanita juga Wawancara 18 Juni 2015)

Dapat dikatakan bahwa LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan merupakan suatu lembaga dimana penghuninya merupakan Narapidana Wanita yang berbeda asal daerahnya dan jenis kejahatannya ditempatkan dalam satu ruangan yang sama jauh dari jangkauan masyarakat luas yang di dalamnya terdapat aktivitas bersama dan setiap perilaku Narapidana Wanita dibatasi serta diawasi dengan aturan – aturan yang diberlakukan oleh Petugas LAPAS harus dilaksanakan oleh setiap Narapidana Wanita dan tentunya diberlakukan sanksi bagi setiap Narapidana yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama akan

institusi total mengalami beberapa dilema yang sistematis mulai dari blok yang terbatas, kualitas makanan yang buruk serta mentalitas Narapidana Wanita sehingga menimbulkan gangguan keamanan.

RJ Sitorus (50) yang merupakan mantan Narapidana Wanita mengatakan bahwa:

“ Adapun menu makanan yang disajikan di LAPAS kurang enak

karena keterbatasan dana dari pemerintah dan kalau fasilitas kesehatannya pun kurang memadai karena di Klinik LAPAS hanya mampu mengobati penyakit ringan. Pokok nya fasilitas LAPAS kurang memuaskan karena persediaan air Bering berkurang dan pemakaiannya pun sangat dibatasi. “(Wa-wancara 10 September 2015)

Damaris Hutasoit (49) mengatakan bahwa

“ Makanan yang disajikan pun tidak enak dan tidak layaklah untuk

dimakan. Memang bahan makanan kalo datang kelihatannya segar tapi kalo sudah diolah bagai makanan sampah. Ikannya pun kayak ikon “ Indosiar “. Kalo mau makanan yang enak kita itu harus kasih duit 20.000 kepada Tamping. Kalo nggak bisa bayangkan sajalah kita melihat makanan itu seperti kita memakan ayam goreng. Wawancara 23 September 2015)

Nova (40) yang merupakan Narapidana Wanita biasa mengatakan bahwa “ Ketika saya tidur di dalam blok, saya merasakan agak susah

karena memang di blok itu sudah terlalu padat'sekitar dua puluh tiga orang apalagi ketika suasananya udah padat ditambah lagi dengan narapidana yang membuat kerusuhan jadi kami merasa tidak nyaman. Wa-wancara 27 Mei 2015)

Asmah Simatupang S.Ag (46) yang merupakan KA SUBSI BIMPAS mengatakan bahwa:

“Adanya kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumlah mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamananlketertiban. Hal tersebut merupakan menjadi tugas bagi semua pihak yang ada di dalamnya baik itu KALAPAS dan Staf yang ada di lingkungan LAPAS, serta para NarapidanalTahanan untuk dapat merawat dan memelihara semua saranalfasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal.

Meskipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan dan melaksanakan “Program pembinaan yang ada disesuaikan dengan bakat narapidana. Mereka melakukan program tersebut karena narapidana ingin mengisi waktu Luang oleh karena berada di dalam kamar satu harian penuh merupakan hal yang membosankan. Karma mereka menyadari keterampilan merupakan modal utama setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Walaupun seorang narapidana memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi tapi tetap saja penerimaan dari masyarakat tidak terlalu baik setelah mereka bebas. Mereka mengikuti program pembinaan karena terpaksa. Ada tekanan psikologis selama narapidana berada di lembaga pemasyarakatan. Hal yang selalu terlintas dalam benaknya adalah bagaimana secepainya bisa bebas. Cara yang melanggarperaiurun adakalanya terpikir Ykni dengan melarikan diri tapi ada juga cares yang lebih terhormat yaitu dengan menunjukan itikad baik agar memperoleh remisi karena setelah beberapa kah mendapat remisi dan jika telah menjalani hukuman dalam waktu tertentu mereka akan mendapatkan bebas / lepas ber.yarat namun tidak semua narapidana melakukannya, ada juga narapidana yang benar-benar ikhlas dalam melaksanak,an program pembinaan.” (Wawancara 18 Juni 2015)