• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Latar belakang Masalah

Horton dan Hunt dalam (Narwoko dan Bagong, 2010) menyatakan bahwa perkawinan atau yang disebut dengan pernikahan, merupakan pola sosial yang disetujui dengan cara dua orang atau lebih membentuk keluarga. Artinya, orang yang terikat dalam ikatan perkawinan dapat melakukan hubungan layaknya suami istri tanpa harus takut melanggar norma dan nilai yang berlaku di masyarakat karena pernikahan adalah cara yang dilegalkan dalam adat, agama dan juga negara.

Pasangan yang ingin hidup bersama, dengan kata lain membangun hubungan rumah tangga, akan diikat oleh suatu hubungan yang dinamakan dengan pernikahan.Dalam pelaksanaannya, pernikahan membutuhkan pemikiran yang matang dari sepasang kekasih yang ingin mengikat hubungannya dalam suatu hubungan rumah tangga.Salah satu yang dipikirkan adalah mengenai pesta pernikahan. Penyelenggaraan pesta pernikahan tidak hanya melibatkan seorang pria dan wanita yang akan menikah saja, melainkan orangtua dari kedua belah pihak pengantin juga turut campur dalam membiayai pesta pernikahan anaknya tersebut, sehingga pesta pernikahan anaknya menjadi meriah dengan tetap menggunakan upacara adat masing-masing suku.

Mainu, Kecamatan Dolok Batunanggar Kabupaten Simalungun. Menurut Putri (2012), keberadaan etnis Jawa di Sumatera Utara tidak terlepas dari penjajahan Belanda di Indonesia. Pada tahun 1890-1920 telah dibuka perkebunan besar (onderafdeling) oleh Belanda yang mengawali datangnya pekerja kuli kontrak murah dari pulau Jawa ke tanah Sumatera Kedatangan orang Jawa ke Sumatera saat itu untuk menggantikan Kuli orang Tionghoa yang terus menerus. Pada tahun 1910 kedatangan kuli Jawa ke tanah Sumatera semakin banyak dan tersebar ke beberapa daerah yang menjadi konsentrasi perkebunan kekuasaan Belanda, salah satunya adalah daerah Simalungun, khususnyadi Dusun Purwosari Bawah.

Pada saat ini peneliti melihat bahwa masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, mengalami perubahan. Masyarakat di dusun tersebut, telah menjadikan penyelenggaraan pesta pernikahan sebagai suatu media untuk penampilan citra diri dalam suatu masyarakat dan juga untuk mencari keuntungan. Akibatnya, penyelenggaraan pesta pernikahan mewah bagi masyarakat di Dusun Purwosari Bawah sudah menjadi gaya hidup, dimana mereka sulit untuk melepaskan diri dari perheletan besar yaitu pernikahan Padahal, menurut Kristiana, dkk (2012), proses terpenting dalam pelaksanaan pernikahan etnis Jawa yaitu ijab kobul, slametan dan sajen, yang dilakukan dan berlaku pada semua kategori masyarakat, sedangkan pelaksanaan pesta hanya dilakukan oleh orang yang memilki ekonomi cukup. Pergeseran pesta pernikahan etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, terjadi akibat nilai-nilai kapitalis yang telah merambat masuk ke pedesaan.

Akibatnya, etnis Jawa yang tinggal di pedesaan tersebut telah menjadikan pesta pernikahan sebagai suatu objek konsumsi, sekaligus menjadi objek produksi untuk memperoleh keuntungan. Dalam hal ini,orang kaya, menengah, dan miskin berlomba-lomba untuk menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah, sekaligus memanfaatkan momentum tersebut untuk memperoleh keuntungan. Kemewahan itu tampak dari berbagai segi, mulai dari pakain pengantin, makanan dan juga hiburan, bahkan kartu undangan pernikahan juga didesign dengan mewah, selain itu ada fenomena baru yaitu foto pre-wedding. Dalam skripsi Husain (2012) menyebutkan bahwa

“ Foto pre-wedding dahulu bukan merupakan satu rangkaian dalam proses perkawinan, tetapi belakangan ini masyarakat menjadikan foto pre-wedding sebagai sesuatu yang diharuskan. Foto pre-wedding ini sendiri, nantinya akan dipajang pada sampul undangan sebelum disebar. Selain itu, hiburan dahulunya dalam pesta perkawinan tidak terlalu dipermasalahkan, tetapi saat ini masyarakat akan merasa malu ketika tidak menampilkan sebuah hiburan seperti penyelenggaraan keyboard tidak jarang biduan penyanyi keyboard berpakaian yang seksi”.

Hal ini tampak sebagai perubahan dalam pesta pernikahan.Saat ini, masyarakat etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah telah terseret dalam arus pencitraan diri yang berlebihan. Atas dasar pencitraan ini, seseorang akan merasa malu, khususnya orangtua jika tidak menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya, bahkan mereka rela meminjam uang untuk tetap menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. Hal ini, menurut Darmawan (2010) bahwa pesta pernikahan sekarang sudah menjadi ajang kontestasi.Bukan rahasia lagi jika gengsi dan status sosial seseorang dipertaruhkan pada momentum, seperti pesta pernikahan

Kemudian, masyarakat di Dusun Purwosari Bawah mengharapkan biaya yang sudah dikeluarkan untuk menggelar pesta pernikahan mewah, dapat kembali melalui sumbangan para tamu. Dengan kata lain, penyelenggaraan pesta pernikahan mewah merupakan strategi untuk mengkemas komoditi pesta pernikahan menjadi lebih menarik. Dalam hal ini, pasar turut berperan dalam menentukan arah komodifikasi pesta pernikahan dari segi penampilannya yakni tratak, pelaminan, makanan dan juga hiburan dikemas sedemikian rupa, untuk menjadikan pesta pernikahan menjadi komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar.

Menurut Featherstone (2005),sistem kapitalis saat ini, tidak semata-mata melihat sebagai produksi nilai guna, melainkan telah beralih kepada produksi tukar.Dalam hal ini, segala sesuatu diproduksi bukan semata-mata karena memilki kegunaan bagi masyarakat, melainkan karena sesuatu tersebut bisa dipertukarkan dipasar. Selain itu, konsumsi tidak lagi dipahami sebagai konsumsi nilai guna, melainkan konsumsi nilai tanda, untuk menjadi objek produksi dan konsumsi, suatu benda harus menjadi tanda. Penyelenggaraan pesta pernikahan yang mewah merupakan suatu bentuk konsumsi tanda untuk menunjukkan identitas status sosial penyelenggara di masyarakat, namun juga sebagai produksi tanda untuk mencari keuntungan dari para tamu undangan.

Pesta pernikahan berkembang menjadi institusi yang mencari nilai tukar melalui penciptaan citra, dalam rangka memperoleh keuntungan. Citra dalam hal ini diartikan sebagai rangkaian ilusi yang disuntikkan pada sebuah komoditi, untuk mengendalikan massa konsumen (Pilliang, 2012). Dalam hal ini citra mewah yang

ditampilkan dalam sebuah pesta pernikahan menggambarkan kebahagiaan dan kesenangan, yang dinikmati oleh para tamu undangan.

Kemudian, menurut Baudrillard (dalam Martono, 2012), bahwa masyarakat sekarang telah beralih kepada masyarakat tontonan, yang yang menjadikan hiburan, musik, iklan menjadi fokus kehidupan sehari-hari. Kemewahan pesta pernikahan, mulai dari makanan, hiburan dan pelaminan menjadi suatu komoditi yang dinikmati oleh para tamu undangan, bahkan untuk sekedar bersenang-senang. Dengan kata lain, kebutuhan manusia mungkin dapat dipenuhi melalui objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Dimana, yang dikonsumsi tamu undangan dalam penyelenggaraan pesta pernikahan mewah adalah hasrat yang melibatkan proses psikologis, aspek bawah sadar manusia. Dalam hal ini, orang datang ke pesta pernikahan karena dipengaruhi hasrat untuk melihat kemegahan dan juga untuk memperoleh kesenangan dari hiburan yang ditampikan. Terlihat jelas bahwa pesta pernikahan telah mengalami apa yang disebut komodifikasi, dalam arti pesta pernikahan telah berubah menjadi komoditi komersil, yang digunakan untuk mencari keuntungan.

Keuntungan yang didapat dari penyelengaraan pesta pernikahan berasal dari sumbangan para tamu yang bestelandan juga rewang,dimana tradisi tersebut, berasal dari akar kebudayaan masyarakat jawa yang bersifat gayub, yang mementingkan kebersamaan ketimbang individual. Menurut Putri (2012) tujuan awal, tradisi nyumbang adalah adalah untuk membantu meringankan beban keluarga yang

Komodifikasi pesta pernikahan menyebabkan tradisi bestelan dimanfaatkan sebagai media untuk memperoleh keuntungan, bahkan dari hasil pra-observasi di lapangan, penyelenggara pesta pernikahan memanfaatkan waktu yang tepat untuk menyelenggarakan pesta pernikahan. Pesta pernikahan yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah paling banyak diselenggarakan pada saat hari bonusan perusahaan perkebunan PTPN IV Nusantara dan juga PT. Bridgestone, mengingat masyarakat yang tinggal di Dusun Purwosari Bawah banyak yang bekerja diperkebunan tersebut. Pada saat bonusan, gaji mereka bertambah 5 kali lipat, jika pada bulan biasa, gaji para karyawan 1,2 juta, maka pada saat bonusan gaji mreka menjadi 6 juta, sehingga apabila mereka diundang ke pesta pernikahan, mereka dapat menyumbang lebih banyak jika dibandingkan pada hari lain.

Selain itu, untuk menimalisir pengeluaran pembiayaan pesta pernikahan, penyelenggara pesta pernikahan akan memberikan nasi bungkus yang isinya ala kadarnya kepada para tamu undangan. Menurut Maulana (2009), mereka akan mendapatkan sumbangan yang lebih besar jumlahnya melebihi dari biaya yang dikeluarkan, dengan membuat sajian ala kadarnya kepada para tamu undangan. Besar kecil uang yang didapat dari pesta pernikahan, tergantung banyaknya tamu yang datang ke pesta pernikahan tersebut. Semakin banyak tamu yang datang ke pesta pernikahan, semakin tinggi pula keuntungan yang didapat. Dari hasil pra-observasi di Dusun Purwosari Bawah, peneliti melihat bahwa semakin mewah pesta pernikahan yang digelar, maka akan berpengaruh terhadap nilai jual pesta pernikahan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa, semakin meriah dan megah pesta pernikahan yang

digelar, akan semakin menarik minat tamu undangan yang datang ke pesta pernikahan yang digelar. Demikian sebaliknya, semakin sederhana pesta pernikahan yang digelar, akan mengurangi minat orang untuk datang ke pesta pernikahan. Menurut Darmawan (2010) pesta pernikahan merupakan arena untuk mengukuhkan siapa yang paling kaya dan juga memiliki jaringan yang luas.

Seseorang yang memiliki kedudukan tinggi pada masyarakat Dusun Purwosari Bawah akan menyelenggarakan pesta pernikahan di rumahnya dengan sangat mewah, dimana pesta tersebut akan dihadiri banyak tamu, sehingga keuntungan yang didapat juga banyak. Tamu yang datang ke pesta pernikahan orang kaya jauh lebih banyak ketimbang pernikahan orang miskin. Hal ini dikarenakan orang kaya memiliki jaringan luas. Jaringan luas ini bisa berasal dari teman bisnis, tetangga maupun saudara. Selain itu, alasan orang kaya memperoleh banyak keuntungan dalam pesta pernikahan karena orang kaya akan selalu aktif menghadiri pesta pernikahan tetangganya yang lain, dibandingkan orang miskin yang jarang datang ke pesta pernikahan tetangganya.

Demikian sebaliknya, jika seseorang berkedudukan rendah di masyarakat, tamu yang datang ke pesta pernikahannya juga relatif lebih sedikit, tidak jarang bahkan mereka mengalami kerugian, karena lebih besar biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta pernikahan dibandingkan uang yang didapatkan dari sumbangan para tamu. Padahal, bagi orang miskin menyelenggarkan pesta pernikahan bukanlah hal yang mudah, karena terbatasnya dana, bahkan mereka rela meminjam uang kepada sanak saudara untuk dapat membiayai pesta pernikahan anaknya. Hal ini sesuai dengan

“ keuntungan orang kaya dari pesta pernikahan, jau lebih besar dibandingkan orang miskin. Orang kaya bisa beli undangan banyak untuk ngundang tamu, sedangkan orang miskin, karena terbatasnya dana hanya mengundang sedikit tamu karena tidak mampu beli banyak undangan, sehingga orang kaya memperoleh sumbangan yang lebih besar dibanding orang miskin, karena tamu yang datang lebih banyak”. (wawancara 07 Desember 2013)

Dalam hal ini, menurut Baudrillard dalam (Martono, 2012), bahwa konsumsi setiap orang berbeda-beda. Kaum miskin diposisikan sebagai seseorang yang tidak memiliki hak istimewa, sementara kelompok orang kaya memiliki kemampuan ekonomi yang melebihi orang miskin, sehingga orang kaya dapat dengan mudah mengkonsumsi suatu objek. Hal ini lah yang melanggengkan kemiskinan, dimana realitas kemiskinan sengaja dibentuk dalam sistem industri dan kapitalis. Dimana, orang kaya, menengah dan miskin diperlombakan. Orang kaya, menengah dan miskin diperlombakan untuk menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah dan juga untuk mengejar keuntungan yang besar. Pada masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, setelah seseorang selesai menyelenggarakan pesta pernikahan, akan ada perbincangan di masyarakat sekitarnya mengenai keuntungan yang didapat. Semakin tinggi keuntungan yang didapat, maka akan menjadi kebanggaan si penyelenggara pesta pernikahan, namun sebaliknya jika ternyata penyelenggara pesta pernikahan mengalami kerugian maka akan ada perasaan malu di masyarakat.

Berbagai fenomena yang dijelaskan di atas, yang melatarbelakangi peneliti, untuk melihat lebih jelas bagaimana komersialisasi pesta pernikahan dan identitas status sosial yang muncul di dalam penyelengaraan pesta perkawinan di Dusun Purwosari Bawah, Desa Padang Mainu, Kecamatan Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun.