• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.6. Stratifikasi Sosial dan Gaya Hidup

Menurut Sorokin dalam (Narwoko dan Bagong, 2010), menyatakan bahwa Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal. Sistem stratifikasi menyebabkan masyarakat menjadi tidak seimbang, dikarenakan pembagian hak dan kewajiban yang tidak seimbang.

Dalam suatu masyarakat, terjadinya pelapisan sosial dikarenakan oleh dua hal, yaitu pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya dan pelapisan sosial yang disengaja. Pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya misalnya didasarkan pada umur, jenis kelamin, dan dalam batas-batas tertentu didasarkan pada kepemilikan harta sedangkan pelapisan sosial yang sengaja dibentuk dalam masyarakat misalnya pembagian kekuasaan yang resmi dalam suatu organisasi misalnya pendidikan, perusahaan, dan organisasi masyarakat lainnya.

Menurut Narwoko dan Bagong (2010) menyatakan bahwa stratifikasi dalam masyarakat memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Perbedaan dalam kemampuan dan kesanggupan. Anggota masyarakat yang memiliki kedudukan dan strata yang tinggi, tentu memiliki kesanggupan

dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang memiliki kedudukan yang rendah

2. Perbedaan dalam gaya hidup (life Style). Seseorang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi cenderung berorientasi pada kehidupan yang serba mewah sebagai gaya hidup. Contohnya, seorang direktur perusahaan akan cenderung memakai pakaian bermerek seperti crocodile serta aksesoris ternama lainnya. Hal ini dilakukan karena apabila direktur tersebut berpakain seperti gembel maka dia akan menjadi gunjingan.

3. Perbedaan dalam hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitasnya yang diperolehnya. Sebaliknya, seseorang yang menduduki kedudukan yang rendah sulit untuk memperoleh haknya.

Menurut Jeffris dan Ransford dalam (Narwoko dan Bagong, 2010), membedakan tiga macam stratifikasi sosial dalam masyarakat, yaitu:

1. Hierarki Kelas yang didasarkan pada penguasaan barang dan jasa atau kata lainnya berdasarkan kekayaan. Dimana, masyarakat disini terbagi dalam beberapa kelas yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas dapat diartikan sebagai orang kaya, dimana mereka akan memiliki akses terhadap pemilikan barang dan jasa karena mereka memiliki uang yang digunakan untuk memperoleh itu semua. Sedangkan mereka yang kelas bawah karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan, mereka kesulitan untuk memperoleh atas

2. Hierarki Kekuasaan. Indikator yang digunakan disini adalah dimensi politik yaitu distribusi kekuasaan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain dan mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dalam suatu masyarakat, kelas yang berkuasa jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Walaupun demikian, kelas yang berkuasa walaupun merupakan kelompok minoritas dalam segi jumlah, namun mereka dapat mempengaruhi dalam pembuatan suatu kebijakan yang mempengaruhi masyarakat dalam suatu kelompok.

3. Hierarki Status. Menurut Weber, manusia dikelompokkan dalam berdasarkan status dan kehormatan dalam suatu masyarakat dimana seseorang yang memiliki status sosial tertentu akan memiliki gaya hidup tertentu pula dan penghargaan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Disini, masyarakat dibagi dalam dua bentuk yaitu kelompok masyarakat yang disegani atau terhormat dan kelompok masyarakat yang biasanya. Masyarakat yang terhormat ini bisa saja dikarenakan karena mereka merupakan keturunan bangsawan ataupun kepala suku yang disegani. Dimana, seseorang yang disegani ini cenderung menjaga gaya hidup dalam masyarakat, serta terkadang membatasi pergaulan mereka di dalam suatu masyarakat.

Kemudian Basrowi (2005) menambahkan dasar pengklasifikasian pelapisan-pelapisan sosial dalam masyarakat, selain berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan

kehormatan adalah ilmu pengetahuan. Dimana dasar ini dipakai pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

Menurut Darsono (2004) beberapa indikator yang digunakan untuk penilaian secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan lapisan sosial dalam masyarakat desa yaitu:

1. Bentuk rumah, ukuran, kondisi perawatan rumah, tata kebun, luas lahan pertanian yang dimiliki

2. Wilayah tempat tinggal atau lingkungan. Dimana, tempat mereka tinggal menentukan status sosial mereka di masyarakat. Misalnya, ada perbedaan antara mereka yang tinggal di pedesaan yaitu apakah mereka tinggal di dekat kecamatan atau mereka yang jauh dengan letak kecamatan.

3. Profesi atau pekerjaan menentukan profesi seseorang dalam masyarakat. Misalnya, untuk orang desa menjadi kepala desa merupakan hal yang sangat membanggakan ketimbang mereka bekerja sebagai karyawan perkebunan, walau karyawan perkebunan ini memiliki gaji yang lebih besar.

4. Sumber pendapatan akan menentukan status sosial dalam suatu lapisan masyarakat tertentu. Dalam hal ini, bukan jumlah pendapatan yang menjadi ukuran melainkan status yang dinikmati melalui sumber itu.

merupakan sesuatu yang melekat pada kedudukan seseorang, dimana jika seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya di masyarakat maka dia dapat dikatakan telah melaksanakan perannya. Status dan peran tidak dapat dipisahkan. Peran berfungsi untuk mengatur prilaku seseorang dalam masyarakat. Status sosial meliputi praksis yang menekankan dan menunjukkan kehormatan dan perbedaan yang merupakan stratifikasi. Status bisa dikonsepkan dengan gaya hidup. Dimana gaya hidup disini, lebih dikaitkan dengan selera. Selera merupakan satu dari penanda elemen identitas seseorang dalam masyarakat.

Menurut Lury (1996) bahwa suatu masyarakat terbagi dalam tiga lapisan (strata) yaitu lapisan kelas atas, lapisan kelas menengah dan kelas bawah.Akibat adanya stratifikasi sosial tersebut, telah melahirkan gaya hidup yang berbeda. seseorang yang berada di kelas atas memilik gaya hidup yang berbeda dengan mereka yang berada di kelas menengah maupun kelas bawah. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi terhadap barang mewah hanya dapat dilakukan olek sekelompok elit konsumen yang memberinya nilai. Tindakan konsumsi secara aktif digunakan untuk menunjukkan status sosial, selera yang baik atau sekedar untuk diketahui. Komoditas secara aktif digunakan sebagai penunjuk posisi sosial dan gaya hidup seorang konsumen.

Dalam hal ini, kita dapat melihat kasus dalam penyelenggaraan pesta pernikahan. Dimana seseorang yang berada di kelas atas akan berusaha menggelar pesta yang besar dalam suatu masyarakat bahkan mereka cenderung membuat pesta di gedung yang mewah, dan juga menampilkan hiburan. Mereka juga tidak lupa untuk

memamerkan harta benda mereka, seperti emas dan berlian pada hari istimewa tersebut. Hal itu karena mereka ingin menunjukkan identitas status sosial mereka di masyarakat sebagai orang kaya. Sedangkan masyarakat yang menengah dan miskin berusaha untuk menggelar pesta pernikahan yang sama dengan orang kaya, walaupun tidak begitu meriah. Selain itu, menurut Lury (1996), menyatakan bahwa rangsangan untuk meniru adalah salah satu permintaan konsumen terhadap suatu komoditas. Dalam hal ini, gaya hidup bukan monopoli kelas atas saja, melainkan kelas menengah dan kelas bawah dapat memakai gaya hidup tertentu walau hanya bersifat meniru atau kepura-puraan.

Selanjutnya penyelenggaraan pesta mewah juga berpengaruh terhadap hasil sumbangan dari para tamu. Akan tampak perbedaan antara hasil sumbangan yang didapat oleh orang kaya, menengah dan miskin, dan kesemuanya itu akan tampak, sebagai kesenjangan, dimana orang kaya, menengah dan miskin diperlombakan dalam menjaga citra pesta pernikahan dan dibalik itu semuanya mereka juga diperlombakan dalam mencari keuntungan dari penyelenggaraan pesta pernikahan.