• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Proses Pernikahan Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah

Pernikahan merupakan suatu upacara pengukuhan janji nikah yang dilakukan oleh dua orang untuk meresmikan ikatan perkawinannya. Dalam hal ini, pernikahan merupakan impian besar bagi sebagian besar pasangan yang ingin membangun hubungan rumah tangga. Bagi masyarakat Jawa sendiri, pernikahan merupakan suatu siklus daur hidup yang harus dijalani individu ketika beranjak dewasa, yang mana proses tersebut tidak dapat dilepaskan dari adat istiadat, mengingat hubungan intim antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah dianggap perbuatan yang memalukan. Hal ini, secara sosiologis menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko dan Bagong, 2010) bahwa pernikahan merupakan pola sosial yang disetujui dengan cara dua orang atau lebih membentuk keluarga. Pola sosial yang disetujui disini, artinya adalah bahwa dengan pernikahan seseorang dapat melakukan hubungan suami-istri tanpa harus takut melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat, karena pada hakikatnya pernikahan merupakan suatu cara yang dilegalkan menurut adat, agama dan juga Negara.

Dengan kata lain, pernikahan berfungsi sebagai suatu jalan untuk mengawali dorongan seks dalam masyarakat, tanpa adanya pengawasan dan pembatasan akan terjadi pertentangan sosial. Dalam hal ini, ada norma dan nilai yang mengatur tentang

melanggarnya, hal ini bertujuan untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat di dusun Purwosari Bawah. Dari tahun 2007-2013 telah terjadi tiga kasus perselingkuhan di Dusun Purwosari Bawah, yang mana ketiga kasus tersebut terjadi kepada pasangan yang telah menikah, bahkan melibatkan seorang wanita yang telah memiliki gelar agama. Ketiga kasus tersebut, terjadi pada tahun 2007, 2012 dan terakhir pada tahun 2013. Dari kesemua kasus tersebut, pihak-pihak yang terlibat perselingkuhan mendapat sanksi sosial, berupa tindakan pengeroyokan, pengucilan dari pergaulan masyarakat dan juga kurungan penjara. Pada tahun 2013, kasus perselingkuhan yang terjadi membuat sang wanita dan selingkuhannya dimasukkan ke dalam penjara.

Pelaksanaan pernikahan etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pesta pernikahan Etnis Jawa di daerah asalnya. Hal ini dipertegas pada saat wawancara dengan ibu Jiyem yaitu:

“pelaksanaan pernikahan etnis Jawa di dusun Purwosari Bawah tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pesta pernikahan di pulau Jawa. Pernikahan di daerah sini sangat kental budaya Jawa, baik sebelum dan saat resepsi pernikahan berlangsung. Seseorang yang tidak menggunakan adat Jawa dalam pernikahannya dianggap tidak mempunyai adat” (wawancara 06 Desember 2013)

Berdasarkan pernyataan tersebut, bagi etnis Jawa menjunjung tinggi adat istiadat merupakan suatu kewajiban, walaupun mereka berada jauh dari daerah asalnya, namun mereka tetap membawa identitas sebagai etnis Jawa, sebagaimana upacara pesta pernikahan yang merupakan salah satu wujud ekspresi untuk menujukkan suatu identitas etnis sebagai etnis Jawa. Menurut Lusiana, dkk (2012), proses terpenting dalam upacara pernikahan Etnis Jawa adalah ijab kobul, sesajen dan

juga slameten. Ketiga hal tersebut, merupakan sesuatu yang sangat penting yang wajib dilakukan oleh semua kalangan status sosial ekonomi di masyarakat dan hanya bagi masyarakat yang memiliki kekayaan lebih yang dapat melaksanakan resepsi pesta pernikahan.

Hal sebaliknya terjadi pada saat ini, masyarakat sekarang, khususnya orangtua merasa memiliki kewajiban untuk dapat melaksanakan pesta pernikahan anaknya. Dalam pelaksanaan pernikahan Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah,digelar dengan sangat meriah, hal ini dikarenakan nama baik orangtua dipertaruhkan dalam menggelar hajatan besar seperti itu. Nama orangtua dari calon pengantin perempuan yang menjadi perbincangan di masyarakat, perihal pesta pernikahan anaknya. Hal ini juga yang melatarbelakangi orangtua untuk berusaha membuat pesta pernikahan mewah anaknya dan mereka juga tidak akan merasa rugi untuk mengeluarkan uang banyak dalam membiayai pesta pernikahan anaknya, karena mereka tidak ingin ada perasaan dibedakan. Hal ini juga dipertegas oleh wawancara dengan ibu Siti:

“ pelaksanaan pesta pernikahan merupakan kewajiban orangtua terhadap anaknya, ibu merasa ikhlas jika harus mengeluarkan uang sangat banyak untuk membiayai pesta pernikahan anak ibu, yang paling penting kebahagiaan anak ibu, karena pesta pernikahan itu merupakan sesuatu yang penting yang dirayakan satu kali seumur hidup bagi anak ibu. Kasian dia, jika tidak digelar pesta pernikahan seperti teman-teman yang lain, dia pasti akan merasa minder. Kalau digelar pesta kan dia bisa punya kenang-kenagan berupa foto untuk ditunjukkan kepada anak-anaknya” ( wawancara 07 Desember 2013).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, menempatkan masalah perkawinan sebagai masalah

dengan sangat meriah, mulai dari dekorasi pelaminan, tata rias pengantin, makanan dan juga hiburan. Perkawianan bagi etnis Jawa, tidak hanya meyatukan ke dua pengantin, melainkan keluarga besar yang dahulunya tidak begitu dekat, menjadi semakin dekat. Sebagaimana,menurut Hildred (1982), pernikahan merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok yang tidak bersaudara atau pengukuhan keanggotan kelompok secara endogam. Oleh sebab itu, apabila keluarga dari pihak wanita kekurangan biaya untuk menyelenggarakan pesta pernikahan, maka keluarga pihak laki-laki juga dapat membantu.

Adapun tahapan/proses yang harus dilalui untuk menuju sebuah pernikahan pada etnis Jawa di Dusun Purwosari bawah yaitu:

1. Tahap Penjajakan

Tahap penjajakan sama dengan kencan, yang mana merupakan perjanjian sosial yang secara kebetulan dilakukan oleh dua orang individu yang berlainan jenis seksnya untuk mendapat kesenangan, dalam bahasa Jawanya dikenal dengan Babat Alas yang artinya membuka hutan. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak saling mengenal sebelum menuju tahap yang lebih lanjut. Jika dahulunya penentuan jodoh ini ditentukan oleh orangtua, namun sekarang orangtua membebaskan anaknya untuk memilih pasangan sendiri, orangtua hanya memberikan nasehat kepada anaknya. Hal ini terungkap pada saat wawancara dengan ibu Siti:

“ kalau dulu, nikahnya dijodohkan sama orangtua ibu, sedangkan ibu sama suami hanya kenal satu minggu dan setelah itu menikah. Namun, semua anak ibu, tidak ada yang dijodohkan mereka bebas untuk memilih pasangan

masing-masing, orangtua hanya memberikan wejangan saja” (wawancara, 07 Desember 2013)

2. Tahap Peminangan/ Lamaran

Kemudian setelah tahap pengenalan itu berjalan lancar dan kedua muda-mudi tersebut telah mantap dengan pasangannya, maka akan dilanjutkan dengan tahap peminangan yang disebut juga dengan lamaran, yang merupakan kunjungan resmi keluarga pihak laki laki-laki ke rumah keluarga pihak perempuan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah anak perempuan tersebut sudah ada yang memiliki atau tidak, jika tidak ada yang memiliki, maka keluarga pihak pria mengutarakan niatnya untuk mempersunting anak perempuan tersebut.

Umumnya kedatangan pihak laki-laki akan disertai dengan membawa buah tangan, berupa makanan. Setelah lamaran diterima, maka akan dibicarakan mengenai hari pernikahan dan mas kawin. Untuk menentukan hari pernikahan keluarga pihak perempuan akan menanyakan kepada orangtua (sesepuh adat) mengenai hari pernikahan yang tepat, penentuan hari pernikahan ini didasarkan pada hari lahir kedua calon mempelai dalam tanggalan Masehi dihitung dari tanggal sepasaran Jawa (tanggal mingguan dalam kalendar Jawa), penentuan hari pernikahan ini sangat penting, bahkan dapat mempengaruhi keberlanjutan pelaksanaan pesta pernikahan. Hal ini sesuai wawancaradengan ibu Susiyah:

“ pencocokan tangal lahir sangat penting. Jika ternyata dari hasil perhitungan mereka dikatakan tidak cocok, maka lebih baik pernikahan

dilamar tinggal menentukan hari pernikahannya saja, namun ketika keluarga pihak perempuan mencocoknya tanggal mereka, eh ternyata, tidak cocok. Saya meminta pengertian anak saya untuk membatalkan pernikahan tersebut dan keluarga pihak perempuan juga menyetujuinya, sehingga pernikahannya dibatalkan”. (wawancara 25 Desember 2013)

Namun, ada juga masyarakat yang tidak begitu mempedulikan mengenai kecocokan tanggal lahir pasangan yang menikah, bagi mereka menjalani pernikahan merupakan sesuatu yang harus dijalani, kesenangan dan kesusahan dijalani secara bersama. Mereka mempercayai kalau memang jodoh, maka akan bersatu. Hal ini dipertegas oleh wawancara dengan ibu Jiyem yaitu:

“pernikahan ibu dan suami tidak ada menanyakan ke orangtua mengenai kecocokan tanggal lahir, waktu itu ibu hanya berpikir, kalau memang jodoh ya dijalani saya, seandainya tidak berjodoh, maka akan berpisah juga. Walaupun begitu kakak-nya ibu yang pandai membaca tanggalan Jawa, melihat bahwa setelah kami menikah, maka pernikahan kami ibarat gelas yang sumpil sedikit, ya itu memang terbukti. Setelah satu bulan ibu menikah, mamak dari ibu meninggal” ( wawancara 06 Desember 2013)

Berdasarkan hal tersebut, mencocokkan hari lahir kedua pasangan pengantin di Dusun Purwosari Bawah tergantung dengan kepercayaan masing-masing individu di Dusun Purwosari Bawah.

3. Pertunangan/Pinengsetan

Setelah penentuan tanggal pernikahan telah ditentukan, maka akan dilanjutkan dengan pinengsetan, yang merupakan pemberian seserahan kepada pihak wanita sebelum menuju pernikahan.Pemberian seserahan ini merupakan suatu bentuk penghargaan pihak pria terhadap wanita yang akan dinikahinya. Hal yang menjadi

simbol dalam pinengsetan ini yaitu pakain lengkap wanita yang dalam bahasa Jawa-nya disebut sandangan sapangadek, perhiasan dan uang yang disebut dengan tukon.

Selain itu, terdapat istilah baru dalam sebuah pertunangan yaitu tukar cincin. Makna tukar cincin ini yaitu sebagai simbol pengikat pihak calon pengantin pria terhadap calon pengantin perempuan. Fenomena tukar cincin ini terjadi pada era tahun 80-an ke atas, dimana sebelum tahun 80-an, era tukar cincin di Dusun Purwosari Bawah, tidak ada. Hal ini terungkap pada saat wawancaradengan ibu Susiyah di lapangan:

“ pernikahan ibu waktu itu ada pada tahun 1979, pinengsetannya hanya diberi pakaian dan juga uang jahitnya, pada saat itu belum ada trent tukar cincin, baru setelah ibu nikah, di Dusun ini mulai trent mengenai tukar cincin”. (wawancara 25 Desember 2013)

Selanjutnya hal yang mendukung pernyataan ini juga disampaikan oleh Informan ibu Atik:

“Ibu nikah tahun 1980, setelah tiga tahun pacaran dimulai dari tahun 1977, barulah kami memutuskan untuk menikah, pada saat pinengsetan, ibu diberi pakaian dan juga cincin sebagai simbol bahwa ibu sudah ada yang memiliki ”. ( Wawancara 11 Desember 2013) Dalam pelaksanaan perkawinan di Dusun Purwosari Bawah, adakalanya pada saat lamaran juga langsung dilakukan upacara tunangan dengan langsung memberikan seserahan, hal ini dilakukan jika pihak pria yakin bahwa perempuan telah positip menerima lamarannya.

4. Pernikahan

Pernikahan merupakan suatu tahap akhir, dimana seseorang akan menerima status baru menjadi pasangan suami-istri. Secara umum proses dalam pernikahan ini yaitu: