• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3) Acara Setelah Resepsi Pernikahan

5.3. Identitas Status sosial ekonomi dalam Penyelenggaraan Pesta Pernikahan di Dusun Purwosari Bawah

Pesta pernikahan merupakan perhelatan besar yang besar yang dirasakan oleh kedua pengantin sekali seumur hidup, sebelum memasuki dunia rumah tangga, pada momentum seperti itu mereka akan menjadi objek perhatian semua orang karena mereka bagaikan menjadi raja dan ratu yang duduk disinggah sana. Dalam era kapitalis, pesta pernikahan telah menjadi komoditi tanda yang dikonsumsi penyelenggara pesta pernikahan. Menurut Baudrillard dalam (Martono, 2012) bahwa budaya sekarang telah menjadi suatu objek materi simbol, akibatnya orang rela berkorban untuk meraihnya karena simbol tersebut menjadi penanda identitas status sosial ekonomi seseorang di masyarakat. Masyarakat etnis Jawa di dusun Purwosari Bawah berusaha untuk menggelar pesta pernikahan meriah, karena tidak ingin merasa dikucilkan dalam pergaulan masyarakat sekitar.

Menurut Lury (1996), dalam suatu masyarakat terbagi atas beberapa lapisan kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah dan juga kelas bawah. Pembagian kelas tersebut menggambarkan pembagian hak dan kewajiban yang tidak seimbang, yang secara tidak langsung hal ini menunjukkan stratifiakasi sosial. Semakin kompleks suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks pula pelapisan sosial dalam suatu masyarakat. Hal ini dikarenakan peneliti melihat bahwa pada masyarakat etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, pelapisan sosial ini tidak hanya terbatas pada pembagian kelas, kekuasaan, pengetahuan, status, melainkan juga gaya hidup.

Stratifikasi sosial yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah terjadi dengan sendirinya, tidak terdapat institusi resmi yang sengaja dibentuk untuk membagi kekuasaan tersebut, melainkan kepemilikan harta kekayaan yang secara tidak langsung menyebabkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Kesenjangan ekonomi pada masyarakat etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, dapat dengan kontras kita bedakan, hal ini dapat kita lihat dari segi pemilikan rumah. Akan terlihat perbedaan rumah yang dimiliki orang kaya dengan rumah yang dimiliki orang miskin, bahkan di Dusun Purwosari bawah, masih terdapat rumah yang beratapkan bambu dan lantai rumahnya masih beralaskan tanah. Berbanding terbalik dengan kediaman orang kaya, yang rumahnya besar bahkan terdapat mobil dalam bagasi rumahya. Hal ini menunjukkan bahwa stratifikasi yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah memperlihatkan perbedaan kemampuan dan kesanggupan antara kelas atas, menengah dan juga bawah.

Perbedaan ini juga semakin diperlihatkan pada saat penyelenggaraan pesta pernikahan, dalam suatu pesta pernikahan setiap orang berusaha untuk menunjukkan kepemilikahan hartanya dengan menggelar pesta pernikahan mewah. Secara tidak sadar, masyarakat di Dusun Purwosari Bawah melakukan proses konsumsi dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, dalam hal ini kegiatan konsumsi tidak dipahami sebagai kegiatan menghabiskan nilai guna suatu barang, melainkan konsumsi dipandang sebagai proses menggunakan atau mendestruksikan tanda-tanda yang terkandung pada suatu objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial (Pilliang, 2012). Dalam hal ini suatu objek yaitu pesta pernikahan dapat menentukan status, prestise dan simbol-simbol tertentu bagi pemiliknya.

Penyelenggaraan pesta pernikahan mewah di dusun Purwosari Bawah diselenggarakan untuk menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat.

Menurut Baudrillard dalam (Martono, 2012), konsumsi terhadap komoditi digunakan sebagai pencitraan dalam masyarakat, akibat pencitraan ini masyarakat di Dusun purwosari Bawah akan merasa malu, jika tidak menyelenggarakan pesta pernikahan. Seseorang yang tidak menyelenggarakan pesta pernikahan, akan dianggap memiliki status sosial ekonomi yang rendah dalam masyarakat, apalagi pada masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, nama baik orangtua dari calon pengatin perempuan yang dipertaruhkan. Jika pesta pernikahan yang digelar lancar, maka hal ini akan mengangkat nama baik dari orangtua pengantin perempuan, bahkan akibat pencitraan ini orangtua tidak malu jika harus memestakan anaknya yang telah hamil diluar nikah, bahkan mereka di dudukkan di pelaminan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan terhadap anak gadis perawan dengan yang telah hamil di luar nikah. Hal ini juga dipertegas oleh wawancara dengan ibu Jiyem:

“ pada zaman sekarang, di desa ini banyak sekali remaja yang hamil di luar nikah, namun orangtua tetap menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya, paling anak tersebut hanya akan menjadi gunjingan oleh masyarakat sini, namun pada saat pesta pernikahan digelar, orang yang menggunjing tersebut juga akan datang ke pesta pernikahan tersebut”. (wawancara 06 Desember 2013)

Berdasarkan pernyataan informan di atas terlihat jelas bahwa masyarakat di Dusun Purwosari Bawah sedang terseret jauh ke dalam arus pencitraan diri, akibanya setiap lapisan sosial di masyarakat berlomba-lomba untuk menyelenggarakan pesta

Dalam pelaksanaannya, setiap lapisan kelas masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, memiki perbedaan kemampuan dalam menyelenggarakan pesta pernikahan mewah. Bagi kelas atas di Dusun Purwosari Bawah, menyelenggarakan pesta pernikahan mewah anaknya sangat mudah, begitu pula dengan kelas menengah. Namun, bagi kelas bawah menyelenggarakan pesta pernikahan mewah tidak mudah, apalagi dilihat dari segi kemampuan ekonomi mereka yang tidak berkecukupan. Hal ini sebagaimana menurut Jenkins (2004), kelas bawah dianggap kurang mampu untuk mengadopsi cara pandang estetis secara spesifik terhadap objek yang dibangun berdasarkan estetis. Namun hal terjadi sebaliknya, kelas bawah di dusun Purwosari Bawah juga berusaha menggelar pesta pernikahan anaknya dengan meriah, walaupun tidak semeriah pesta pernikahan kelas atas. Dapat dipahami bahwa gaya hidup dalam penyelenggaran pesta mewah bukan monopoli kelas atas saja, melainkan kelas bawah dapat menyelenggarakan pesta mewah, walaupun hanya bersifat meniru. Meniru dalam hal ini, kelas bawah dapat menyewa objek pesta pernikahan, seperti pelaminan, hiburan dan juga traktak, yang memiliki harga lebih murah, namun memiliki kegunaan yang sama. Jika kelas atas dengan kemampuan ekonominya, menyewa simbol-simbol pesta pernikahan dengan harga mahal dengan kualitas mutu yang bagus. Maka kelas bawah akan menyewa simbol pesta pernikahan dengan harga murah,sedangkan kualitas mutu dari simbol tersebut tidak begitu dipedulikan.

Dalam buku Bondan (2008) dituliskan bahwa betapa sulitnya kehidupan petani Jawa di kampung kecil, namun mereka akan tidak akan lepas dari penyelenggaraan perhelatan besar yaitu perkawinan, mereka merasa martabatnya rendah jika tidak

menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. Hal ini juga yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah, walaupun mereka tidak memiliki uang lebih untuk menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya mereka akan tetap akan menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya, hal ini karena mereka tidak ingin merasa diasingkan dalam pergaulan di masyarakat. Hal ini terungkap dengan ibu Kasmini:

“waktu selesai pesta, uang yang didapat dari pesta pernikahan digunakan untuk membayar hutang untuk membiayai pesta pernikahan”. (wawancara 11 Desember 2013)

Hal ini juga didukung oleh wawancara dengan informan ibu Jiyem berikut:

“Uang dibutuhkan untuk membiayai pesta pernikahan. kalau gak modal kan bisa minta tolong dahulu sama kedai , untuk hutang barang belanjaan seperti, sayuran, beras dan juga perlengkapan lainnya, nanti kalau pestanya sudah selesai bari kita bayar”.( wawancara 06 Desember 2013)

Dari hasil wawancara di atas, peneliti melihat bahwa tradisi hutang untuk menggelar pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah adalah hal yang biasa, bahkan para penjual dan tempat penyewaan alat-alat pernikahan membenarkan tindakan tersebut. Dalam hal ini, pasar memberikan kemudahan bagi penyelenggara pesta pernikahan untuk mengkemas penampilan pesta pernikahan yang akan digelar.

Ada beberapa aspek yang menunjukkan perbedaan status ekonomi seseorang dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, yaitu:

1. Uang seserahan

pada saat upacara pinengsetan. Dahulunya pemberian uang seserahan ini lebih dikenal dengan uang jahit untuk pakaian, karena pada hakikatnya masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah tidak pernah mengenal istilah uang seserahan. Pada dasarnya prinsip uang seserahan adalah tergantung kemampuan ekonomi pihak pria, namun sekarang pemberian uang seserahan ini sudah menjadi semacam kewajiban bagi masyarakat di Dusun Purwosari Bawah. Saat ini, pemberian seserahan ini tidak hanya dilihat dari kondisi ekonomi pria, melainkan juga melihat dari kondisi status pendidikan perempuan yang akan dinikahi. Dari segi pendidikan, semakin tinggi pendidikan yang dimiliki wanita, maka akan semakin tinggi pula uang seserahan yang akan diminta. Hal ini juga dipertegas oleh wawancara dengan ibu Siti:

“ kalau zaman sekarang, uang angus untuk perempuan yang tamatan SMA di kampung ya sudah 10 juta, kalau perempuan kulia, ya lebih dari itu uang angusnya”. (wawancara 07 Desember 2013)

Dari pernyataan ibu Siti tersebut, memperlihatkan bahwa uang seserahan tersebut menjadi semakin penting, apabila pihak pria ingin mempersunting seorang wanita, bahkan pihak pria akan rela meminjam uang kepada sanak saudara, bahkan meminjam uang ke Bank untuk dapat memberikan uang seserahan, sesuai yang diminta keluarga pihak wanita.

2. Pelaminan

Pelaminan merupakan suatu tempat dimana kedua pengantin duduk secara bersandingan, bagaikan menjadi raja dan ratu. Jika dahulu pelaminan bentuknya sangat sederhana bahkan terbuat dari kasur yang digulung yang dilapisi dengan kain

kemudian di atasnya diberi hiasan bunga. Namun pada saat ini, pelaminan telah mengalami modifikasi, pengantin tidak lagi duduk di atas kasur, melainkan duduk di atas kursi jepara. Hal ini terungkap pada saat wawancara dengan ibu Siti:

“kalau pernikahan wawak dulu, pelaminannya terbuat dari tilam yang dilapisi dengan kain jarek, atas pelaminan tersebut diberi kembang. Kalau zaman sekarang pelaminannya sudah berubah, pengantin duduk dikursi yang bagus dengan dihiasi dengan bermacam-macam aksesoris yang menambah keindahan pelaminan”. (wawancara 07 Desember 2013)

Dari segi harga, semakin mewah dan megah pelaminannya, maka akan semakin mahal harga pelaminan tersebut. Di Dusun Purwosari Bawah, harga pelaminan yang paling murah adalah 1,3 juta, yang sedang harganya yaitu 2,1 juta, dan yang paling mahal harganya 7 juta. Dalam hal ini, orang kaya, menengah dan miskin dapat memilih menyewa pelaminan, sesuai dengan kemampuan ekonominya. Dari segi kepemilikan harta, semakin kaya kedudukan orang tersebut di masyarakat, maka akan semakin mahal pelaminan yang akan disewanya.

3. Tukar cincin

Tukar cincin merupakan simbol yang menunjukkan bahwa si perempuan telah ada laki-laki yang akan menikahinya. Dengan adanya simbol tersebut, diharapkan jika ada laki-laki lain, yang ingin berniat mendekati perempuan tersebut, maka niatnya dapat diurungkan. Cincin dalam upacara tunangan, merupakan suatu trend yang mulai berkembang pada tahun 80-an. Hal ini terungkap pada saat wawancara dengan ibu Susiyah:

“ tukar cincin dalam sebuah acara tunangan merupakan trend dalam masyarakat, pada waktu ibu nikah pada tahun 1979, tukar cincin ini tidak dikenal dalam istilah masyarakat di desa ini, kemudian setelah ibu nikah, trend tukar cincin ini mulai berkembang”. ( wawancara 25 Desember 2013) Selanjutnya pernyataan yang mendukung juga disampaikan oleh informan ibu Atik berikut:

“ pada waktu ibu nikah tahun 1980, saat itu pinengsetannya diberi baju dan juga cincin” (wawancara 11 Desember 2013)

Tukar cincin yang dilakukan oleh calon pengantin, juga dapat menunjukkan status sosial orang tersebut di masyarakat. Tidak ada ketentuan mengenai berapa gram cincin yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pada saat ini, apabila pihak laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, maka pihak laki-laki akan memberikan cincin dengan kadar mas murni 24 karat dan juga semakin berat cincin mas-nya. Sedangkan mereka yang memiliki kedudukan rendah di masyarakat, akan memberikan cincin dengan kadar mas yang tidak murni 24 karat, bahkan mereka tidak melakukan tradisi tukar cincin.

4. Tratak

Tratak adalah tempat perlindungan bagi para tamu dari panasnya sinar matahari dan juga air hujan. Dahulunya tratak terbuat dari bambu, namun saat ini tratak sudah terbuat dari rangkaian besi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai tempat perlindungan. Tiga hari sebelum pelaksanaan pesta pernikahan, orang yang rewang, akan disibukkan dengan kegiatan memasang tratak. dari segi harga, semakin luas dan menarik design tratak, maka akan semakin mahal harga sewa tratak. Di dusun Purwosari Bawah, harga sewa tratak yang paling murah

adalah 1,5 juta, yang sednag harganya 2,5 juta dan yang paling mahal harganya 3 juta. Dalam hal ini semakin tinggi, kedudukan status ekonomi seseorang di Dusun Purwosari Bawah, maka orang tersebut akan menyewa tratak yang paling bagus dengan harga mahal.

5. Kartu Undangan

Kartu Undangan merupakan sebuah media yang dijadikan masyarakat untuk mengundang para tamu agar datang ke pesta pernikahan yang telah dibuat. Dahulunya masyarakat tidak menggunakan kartu undangan untuk mengundang para tamu, melainkan mendatangi rumahnya masing-masing. Namun pada saat ini, kartu undangan telah mengalami modifikasi, bentuk kartu undangan semkin beragam, sedangkan dari segi komposisi kartu undangan juga semakin tebal. Harga kartu undangan ini juga beragam-ragam, dilihat dari komposisi kertas dan juga designnya, semakin tebal komposisi kartu undangan, maka akan semakin mahal harga kartu undangan tersebut. Begitu pula, semakin meriah design kartu undangan, maka akan semakin mahal pula harga kartu undangan. Dari segi kemampuan ekonomi penyelenggara pesta, semakin tinggin kemampuan ekonomi seseorang di Dusun purwosari Bawah, maka dia akan membeli kartu undangan yang mahal, walaupun begitu mereka juga tetap membeli kartu undangan yang mudah. Tujuannya adalah kartu undangan yang murah diberikan kepada tamu undangan yang biasa, sedangkan tamu undangan yang istemewa, diberikan kartu undangan yang mahal.

Selain itu, kedudukan seseorang di masyarakat juga menentukan mengenai berapa jumlah kartu undangan yang disebar. Dengan kemampuan ekonomi orang kaya yang melebihi orang miskin, maka orang kayaakan lebih banyak menyebar kartu undangan, karena memiliki uang lebih banyak untuk membeli kartu undangan, jika dibandingkan dengan orang menengah dan miskin. Dari hasil observasi di Dusun Purwosari Bawah, harga kartu undangan di mulai dari 500 rupiah dan yang paling mahal 5000 ribu rupiah.

6. Foto Pre-wedding

Foto pre-wedding merupakan fenomena baru pada masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah. Dalam masyarakat, foto pre-wedding ini sendiri masih merupakan kontroversi, ada sebagian ulama yang menganggap foto pre-wedding merupakan suatu hal yang diharamkan, karena dalam foto pre-wedding akan menapilkan kemesraan kedua pengantin yang belum menikah. Pada masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah yang 100 % beraga muslim, maka foto pre-wedding dapat dipandang sebagai fenomena yang menyimpan dari agama. Dari hasil obervasi di lapangan bahkan foto pre-wedding ini juga ditempelkan pada kartu undangan sebelum disebar, sehingga semua orang dapat melihat keintimin kedua calon pengantin yang belum menikah. Selain itu, foto pre-wedding juga dipajang di dekat pintu masuk dari tempat pesta. Di Dusun Purwosari Bawah, foto pre-wedding ini masih dilakukan dilakukan oleh orang terbatas. Dalam hal ini, fenomena foto pre-wedding ini masih dilakukan oleh orang kaya di Dusun Purwosari Bawah, sedangkan bagi kalangan menengah dan miskin foto pre-wedding belum ditemukan.

Gambar 5.3. kartu undangan pernikahan 7. Papan Bunga

Sama halnya dengan foto pre-wedding, papan bunga juga merupakan fenomena baru dalam pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah. Papan bunga ini berisi ucapan selamat yang diperuntukkan kepada kedua pengantin yang berasal dari saudara, kerabat, rekan bisnis dan juga orangtua penyelenggara pesta pernikahan. Dari segi harga, harga sewa 1 papan bunga di Dusun Purwosari Bawah yaitu 100 ribu. Dalam hal ini, semakin tinggi kedudukan seseorang di masyarakat Dusun Purwosari Bawah, maka akan semakin banyak papan bunga yang dipajang di depan rumah penyelenggara pesta pernikahan. Dalam pesta pernikahan orang kaya di Dusun Purwosari Bawah, akan terdapat lebih dari dua papan bunga, sedangkan kelompok menengah hanya terdapat 1 papan bunga di pesta pernikahan anaknya. Kemudian orang miskin, tidak terdapat papan bunga dalam pesta pernikahan anaknya.

8. Hiburan

Hiburan merupakan suatu pelengkap dalam penyelenggaraan pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah, bahkan tanpa adanya hiburan, pesta pernikahan menjadi kurang menarik. Hiburan yang ditampilkan dalam pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah beragam, mulai dari kesenian daerah Jawa yaitu ludruk, jaran kepang, wayang dan juga reog. selain itu, ada hiburan lain yaitu keyboard. Dari segi harga, pertunjukkan kesenian daerah seperti wayang , ludruk dan reog, memiliki harga yang relatif mahal jika dibandingkan jarang kepang dan juga keyboard. Oleh karena itu banyak masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, yang lebih gemar untuk menyelenggarakan hiburan keyboard dan juga jaran kepang. Pertunjukkan ludruk, wayang dan juga jarang kepang, hanya digelar pada saat pernikahan orang kaya di Dusun Purwosari Bawah.

Berdasarkan beberapa aspek di atas, kita dapat melihat bahwa kalangan menengah dan juga miskin juga dapat menyelenggarakan pesta pernikahan yang hampir sama dengan pesta pernikahan orang kaya. Hal ini sama yang diungkapkan oleh Lury (1996) bahwa rangsangan untuk meniru merupakan salah satu permintaan konsumen tehadap komoditas. Dalam hal ini, jika orang kaya di Dusun Purwosari Bawah menyewa simbol-simbol pesta pernikahan dengan kualitas mutu nomor 1, kalangan menengah nomor 2, sedangkan orang miskin akan menyewa simbol pesta pernikahan dengan kualitas paling rendah.

Selain itu, telah terjadi perubahan simbol yang menyangkut penyelenggaraan pesta pernikahan. Perubahan simbol tersebut terjadi akibat adanya interaksi individu dalam masyarakat. Menurut teori interaksionisme simbolik yang disampaikan oleh

Blumer dalam (Polomo, 2010), manusia bertindak berdasarkan makna yang penting bagi mereka yang mana makna tersebut disempurnakan pada saat interaksi berlangsung. Akibat adanya interaksi tersebut, memungkinkan terjadinya perubahan simbol dalam masyarakat, sesuatu yang dahulunya diangap tabu dapat menjadi realitas sosial yang dilakukan oleh individu secara kolektif. Dalam hal ini, foto pre-wedding dalam sebuah pesta pernikahan dahulu-nya merupakan sesuatu hal yang dianggap tabu dalam masyarakat, namun sekarang menjadi suatu gaya hidup yang dilakukan oleh individu menjelang pernikahannya.

Menurut Soekanto (2009), perubahan sosial yang terjadi di masyarakat meliputi beberapa unsur yaitu nilai sosial, pola-pola prilaku, lembaga masyarakat dan juga lapisan sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang telah berubah pada masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, dapat dilihat dari pola-pola tindakan individu yang menganggap hamil di luar nikah merupakan hal yang sudah biasa, bahkan mereka tetap menyelenggarakan pesta pernikahan secara besar-besaran. Lembaga masyarakat yang seharusnya mengontrol tindakan anggota dalam masyarakat, bahkan tidak lagi menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang menyimpang.

5.4.Perubahan dalam Penyelenggaraan Pesta Pernikahan Etnis Jawa di Dusun