• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3) Acara Setelah Resepsi Pernikahan

5.2. Komersialisasi Pesta Pernikahan di Dusun Purwosari Bawah

Pernikahan merupakan suatu peristiwa yang sakral, dimana seorang laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam ikatan janji perkawinan. Salah satu tujuan sakral dari pesta pernikahan adalah menyiarkan kepada khalayak ramai karena telah bersatunya sepasang insan manusia yang berlainan jenis dalam suatu perkawinan. Kedatangan para tamu undangan untuk menyaksikan pesta pernikahan yang digelar, secara tidak langsung telah mendatangkan keuntungan bagi para penyelenggara pesta pernikahan etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, akibatnya hal tersebut, memunculkan kapitalisme melalui komodifikasi pesta pernikahan, dengan menjadi pesta pernikahan sebagai komoditi komersil.

Pada era kapitalis saat ini, segala sesuatu baik itu berupa objek benda maupun budaya telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan guna untuk memperoleh keuntungan. Menurut Barker dalam ( Mudana , 2012) bahwa objek, kualitas dan tanda telah berubah menjadi komoditas untuk memperoleh keuntungan. Dalam hal ini menurut Baudrillard dalam (Martono, 2012) menyatakan bahwa produksi tidak lagi dilihat dari nilai guna suatu barang, melainkan melihat apakah objek tersebut dapat dipertukarkan di pasar dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Hal yang menjadi nilai jual adalah citra pesta pernikahan mewah. Penyelenggaraan pesta pernikahan mewah merupakan suatu produksi simbol untuk memperoleh keuntungan. Hal ini dipertegas oleh wawancara di lapangan dengan informan Jiyem:

“ kalau pesta itu, ya ada untungnya, yang berasal dari sumbangan orang bestelan dan rewang. Bentuknya berupa uang, kado dan bahan pokok untuk pesta” (wawancara 06 Desemeber 2013)

Pernyataan ibu Jiyem tersebut, menjelaskan bahwa keuntungan pesta pernikahan berasal dari sumbangan para tamu yang rewang dan bestelan, yang disebut dengan tradisi nyumbang. Hal ini juga diperkuat dari hasil observasi, peneliti melihat bahwa di sudut tiang tratak, bahkan digantungkan amplop beserta pulpennya. Hal itu berfungsi apabila ada tamu yang tidak memiliki amplop, maka dia bisa mengambil amplop yang digantungkan tersebut.

Gambar 5.2. ampop

Hal ini menyiratkan betapa pentingnya tradisi nyumbang bagi penyelenggara pesta pernikahan. Jika dilihat dari tujuan awal tradisi nyumbang yaitu sebagai wujud tolong menolong sesama masyarakat untuk meringankan beban biaya bagi penyelenggara pesta, namun saat ini nilai sakral dari tradisi nyumbang ini telah berubah, menjadi semakin transaksional, bahkan tujuan awal dari mengundang tamu yaitu untuk mendo’akan kedua pengantin yang menikah, telah berubah menjadi tujuan

ekonomi juga. Dalam hal ini, penyelenggara pesta dan juga masyarakat secara tidak sadar telah menyembunyikan makna sakral dari sebuah pesta pernikahan. Menurut Marx dalam (Pilliang, 2012) bahwa produk telah mengalami mistifikasi, yaitu yang terlihat dari sebuah produk hanya sebuah tampilan palsu dan menyembunyikan tampilan sesungguhnya.

Komersialisasi pesta pernikahan yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah, dalam hal ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan pasar juga ikut terkait dalam mengkemas pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah, menjadi pesta pernikahan mewah, dari segi penampilan dan bentuk. Munculnya jasa sewa pelaminan, tratak, hiburan, foto, undangan, bahkan jasa pawang hujan, yang turut andil dalam mengkemas pesta pernikahan semakin komersialisasi.Hal ini menurut Darmawan (2010) bahwa pesta pernikahan telah berubah menjadi industri yang melibatkan banyak orang, mulai dari jasa pelaminan, traktak, hiburan, undangan, foto pernikahan dan juga pawang hujan.

Dalam pelaksanaan pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah, setengah bulan bahkan sebulan sebelum pesta pernikahan akan digelar, penyelenggara pesta akan meminta bantuan kepada orangtua (sesepuh adat) agar pada saat pesta pernikahan digelar, tidak terjadi hujan, karena apabila hujan, hal ini akan memberikan efek buruk bagi penyelenggara pesta pernikahan, salah satunya akan mengganggu kedatangan para tamu undangan. Hal ini juga dipertegas pada saat wawancara denganibu Suarni:

nya hujan itu diserahkan lagi kepada yang Maha Kuasa”. (wawancara 10 Desember 2013

Selain itu, penyelenggara pesta juga mempertimbangkan waktu yang tepat dalam menyelenggarakan pesta pernikahan. Ada pantangan bagi orang Jawa dalam menyelenggarakan pesta yaitu pada bulan suro, selainya tidak ada pantangan bulan dalam menyelenggarakan pesta. Biasanya pesta pernikahan banyak diadakan pada hari sabtu dan juga minggu, hal ini dikarenakan pada hari tersebut para pekerja memperoleh gaji, sehingga mereka memiliki uang untuk menyumbang penyelenggara pesta, bahkan pada saat bulan bonusan, yaitu pada bulan 6 dan bulan 12, akan semakin banyak masyarakat etnis Jawa di dusun Purwosari Bawah yang menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. Pada saat bonusan para pekerja yang bekerja di Perkebunan PTPN IV Nusantara Dolok Ilir dan PT Bridgestone, akan memperoleh uang bonus yang besar bahkan sampai 6 juta. Dengan demikian, uang bonusan dapat mereka gunakan untuk menyumbang penyelenggara pesta pernikahan. Apabila waktu penyelenggara pesta pernikahan tidak pada waktu yang tepat diselenggarakan, maka hal tersebut dapat merugikan dari penyelenggara pesta pernikahan.

Kemudian dari segi undangan, penyelenggara pesta memperhitungkan secara rinci mengenai jumlah orang yang diundang, semakin banyak tamu yang datang, maka akan semakin banyak jumlah orang yang diundang. Bagi orang Jawa, menghadiri undangan adalah suatu kewajiban sosial yang diperuntukkan kepada penyelenggara pesta pernikahan. Ada perinsip malu yang dipegang orang Jawa, apabila tidak menghadiri pesta pernikahan, akibatnya mereka akan datang ke pesta pernikahana,

apabila sudah diundang. Bagi penyelenggara pesta pernikahan sebulan sebelum pesta pernikahan digelar mereka akan mempersiapkan berapa banyak jumlah undangan yang disebar, mulai dari saudara, kerabat dan juga tetangga. Dalam hal ini status ekonomi seseorang di masyarakat dusun Purwosari Bawah turut mempengaruhi seberapa besar jumlah tamu yang diundang. Harga undangan yang bervariasi, membuat masyarakat perlu selektif mengenai tamu yang diundang. Dalam hal ini, semakin tinggi kedudukan seseorang di masyarakat, maka akan semakin banyak jumlah tamu yang diundang.

Menurut Darmawan (2010) pesta pernikahan merupakan arena untuk mengukuhkan siapa yang paing kaya dan memiliki jaringan yang lebih luas. Orang yang memiliki kedudukan tinggi di dusun Purwosari Bawah, dalam arti orang kaya, pesta pernikahannya akan dihadiri banyak tamu, jika dibandingkan orang menengah dan juga miskin. Hal ini dikarenakan orang kaya memiliki jaringan luas yang berasal dari teman bisnis tetangga maupun saudara. Selain itu, orang kaya di Dusun Purwosari Bawah, akan selalu aktif dalam menghadiri dan menyumbang pesta pernikahan tetangganya yang lain, karena mereka memiliki modal untuk menyumbang orang pesta yang lain. Sedangkan seseorang yang berkedudukan rendah di masayarakat, tamu yang diundang ke pesta pernikahannya relatif sedikit, hal ini karena harga undangan yang mahal. Jumlah tamu yang datang akan mempengaruhi terhadap keuntungan yang didapat, yang pada akhirnya orang miskin hanya memperoleh keuntungan yang sedikit jika dibandingkan dengan pesta pernikahan orang kaya dan menengah.

pernikahan juga para tamu undangan. Dalam hal ini, semakin menarik pesta pernikahan yang digelar, akan mempengaruhi terhadap jumlah tamu yang datang, bahkan para tamu yang datang tidak segan-segan untuk menyanyi di atas pentas bersama para biduan. Secara tidak langsung penyelenggara pesta pernikahan, menggelar hiburan di acara pesta pernikahannya adalah untuk menghibur para tamu undangan. Dalam kesehariannya tamu undangan adalah mereka yang bekerja, baik kepada perusahaan maupun berwiraswata, dengan adanya hiburan dalam pesta pernikahan, menjadi sarana bagi para tamu undangan untuk melepas sejenak kelelahan mereka setelah seharian bekerja, sehingga hiburan tersebut sering sekali menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat di dusun Purwosari Bawah. Dari hasil observasi, ada salah satu warga yaitu Bapak Bandi yang menampilkan hiburan berupa pertunjukkan keyboard gondang, yang merupakan kesenian dari masyarakat Batak.. Harga pertunjukkan reog itu sendiri saat ini di dusun Purwosari Bawah yaitu 1,8 juta rupiah. Pertunjukkan reog akan dilakukan dari siang hari sampai pada malam hari dan pada malam hari pertunjukkan tersebut semakin meriah, karena semakin banyak para pemain reog yang melakukan atraksi yang hebat.

Seminggu sebelum pesta pernikahan digelar, telah tersebar kabar mengenai pertunjukkan yang akan digelar penyelenggara pesta pernikahan. Ketika masyarakat yang telah diundang mengetahui bahwa penyelenggara pesta pernikahan menyelenggarakan keyboard gondang, mereka akan datang pada malam hari dengan alasan, selain mereka bestelan mereka juga ingin menyaksikan pertunjukkan keyboard gondang. Dalam hal ini, orang datang ke pesta pernikahan karena adanya dipengaruhi

hasrat yaitu hasrat untuk melihat hiburan dalam pesta pernikahan. Peneliti melihat bahwa pada saat hiburan yang menarik ditampilkan akan ada banyak orang pada malam hari yang datang untuk berkumpul di tempat penyelenggara pesta pernikahan. Dapat disimpulkan bahwa semakin meriah dan megah pesta pernikahan yang dibuat akan menarik minat tamu undangan yang datang untuk melihat kemegahan pesta pernikahan yang dibuat penyelenggara pesta pernikahan. Demikian sebaliknya, semakin sederhana pesta pernikahan yang dibuat akan mengurangi minat orang untuk datang ke pesta pernikahan, bahkan mereka lebih memilih untuk menitipkan uang sumbangan kepada kerabat lain yang datang ke pesta pernikahan tersebut. Menurut Baudrillard dalam (Martono, 2012), dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekarang telah beralih masyarakat tontonan, yang hal ini sama dengan masyarkat konsumsi.

Selain itu, dari hasil observasi di lapangan, peneliti melihat bahwa keberadaan hiburan itu sendiri telah membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar, yaitu mulai bermunculan pedagang musiman seperti pedagang mainan anak dan juga makanan. Mereka memanfaatkan momentum pesta pernikahan untuk mencari rezeki. Hal ini juga membuat pesta pernikahan tersebut, semakin meriah, sehingga dalam hal ini para tamu undangan, selain bisa memenuhi kewajiban sosial yaitu, menghadiri undangan pesta pernikahan juga dapat menyaksikan hiburan. Selain itu mereka juga dapat membeli makanan ringan yang dijual para penjual makanan musiman tersebut.

Bagi para penyelenggara pesta pernikahan menyediakan hiburan, undangan, tratak, satu set pelengkapan pelaminan dan juga biaya untuk membeli makanan,

agar pesta pernikahan anaknya tidak mengalami kerugian yaitu dengan memberi sajian makanan ala kadanya. Hal ini juga diperkuat oleh wawancara dengan ibu Jiyem:

pesta pernikahan itu untung, ya kalau kita menyumbang 25 ribu, dapt nasi bontot-nya, berupa nasi, lauknya telur dan juga mie. Ya untung besar lah mereka” (wawancara 06 Desember 2013)

Dari pernyataan ibu Jiyem di atas, bahkan makanan menjadi ujung tolak ukur dari sumbangan para tamu yang datang, bahkan tidak ada perbedaan mengenai jumlah uang sumbangan yang diterima dengan makanan yang diberikan penyelenggara pesta pernikahan. Sajian nasi bungkus, yang berisi nasi ala kadarnya, merupakan strategi bagi penyelenggara pesta pernikahan agar pesta pernikahan yang digelar tidak mengalami kerugian.

Dalam kenyataan di masyarakat, akan tampak terdapat perbedaan keuntungan yang didapat oleh mereka yang memiliki kedudukan tinggi,menengah dan rendah di masyarakat. Hal ini juga diperkuat pada saat wawancara di lapangan:

“Waktu itu modal pesta ibu ada 25 juta ada kembalinya 32 juta itu lain kadonya”. (wawancara Siti, 07 Desember 2013)

“modal pestanya kira-kira 20 juta lebih, ibu dapat kembalinya hampir 30 juta, ya itu untuk beli mas dan juga dikasih sama anak perempuan ibu, yang nikah”(wawancara Suarni, 10 Desember 2013)

Selanjutnya hal yang sama juga disampaikan oleh informan yang berada di kelas menengah:

“Rata-rata sumbangan orang 20 ribu, dari 1500 ratus undangan yang diundang 95 % yang datang. Modal ibu untuk menyelenggarakan pesta itu balik, dan untungnya bisa untuk beli 1 ekor sapi (wawancara Arfain, 25 Desember 2013)

“modal ibu, kemaren hampir 20 juta ada, ya kalau ditanya untung, ya ada tapi sidikit lah”. (wawancara Mubariyah, 13 Desember 2013)

Selanjutnya pernyataan yang sama juga disampaikan oleh informan yang berada di kelas menengah bawah:

waktu itu ibu dapatnya 14 juta modalnya 10 juta” (wawancara Atik, 11 Desember 2013)

“waktu itu dapat uang lebih, digunakan untuk membayar hutang dan sisanya dikasihkan sama anak” (wawancara Kasmini, 12 Desember 2013)

Walaupun begitu tidak semua pesta yang ada di Dusun Purwosari Bawah memperoleh keuntungan. Sering kali seseorang yang berada di kelas Bawah berusaha untuk menggelar pesta besar-besaran menyerupai pesta kalangan menengah atas, sehingga mereka mengeluarkan modal yang besar, bahkan modal tersebut juga hasil meminjam, akibatnya mereka mengalami kerugian. Hal ini terungkap pada wawancara oleh Bapak Bandi di lapangan:

“ pesta pernikahan anak saya yang kemarin menghabiskan dana 32 juta, sedangkan hasil sumbangan yang didapat 29 juta, ya itu tidak bisa dikatakan rugi juga, orang kurangnya hanya sedikit” (wawancara 22 Desember 2013) Dari hasil observasi di lapangan, masyarakat Dusun Purwosari Bawah akan merasa malu, jika pesta pernikahan yang diselenggarakan rugi. Dalam hal ini, bapak Bandi tidak bersedia jika dikatakan pesta pernikahan anaknya yang baru digelar, dikatakan rugi. Bagi masyarakat di Dusun Purwosari Bawah, keuntungan lebih dari suatu pesta pernikahan menunjukkan identitas status sosial seseorang di masyarakat, bahkan apabila kelas menengah bawah memperoleh keuntungan yang banyak, dia bisa menggunakan uang tersebut untuk memperbaiki kehidupan status sosial ekonomi keluarganya. Hal ini terungkap dari wawancara dengan ibu Suminah:

“ apabila suatu keluarga memperoleh keuntungan yang banyak dari sumbangan para tamu. Orang tersebut bisa berubah nasib. Uang tersebut bisa diputarkan untuk modal usaha”. (wawancara 02 Januari 2014)

Selain itu, apabila pesta pernikahan yang telah digelar berakhir, maka akan ada pembicaraan di masyarakat, mengenai keuntungan yang didapat dari penyelenggara pesta pernikahan, bahkan tetangga disekitar rumah tidak sungkan untuk bertanya berapa keuntungan yang didapat kepada penyelenggara pesta. Apabila penyelenggara pesta rugi, orangtua dari pengantin tersebut akan menjadi pembicaraan di masyarakat. Padahal, tidak jarang masyarakat miskin di Dusun Purwosari Bawah harus meminjam uang kepada sanak saudara maupun tetangga untuk membiayai pesta pernikahan anaknya, namun mereka tetap merugi, sehingga setelah pesta pernikahan selesai, mereka juga harus memikirkan lagi mengenai pembayaran hutang.

Berdasarkan hal di atas, tradisi nyumbang di Dusun Purwosari Bawah telah menyebabkanmasyarakat menjadi semakin bersifat kapitalis, melihat segala sesuatu dari keuntungan yang didapat, bahkan hubungan sosial di masyarakat telah dinilai dari segi uang. Nilai sakral yang terkandung dalam tradisi nyumbang telah berganti menjadi nilai profan, secara tidak langsung telah mengubah hubungan sosial di dalam masyarakat Dusun Purwosari Bawah, bahkan pada penyelenggara pesta pernikahan di Dusun Purwosari Bawah akan terlihat perbedaan pelayanan yang diberikan kepada mereka yang diharapkan memberikan uang sumbangan yang lebih besar. Hal ini juga diperkuat pada saat wawancara dengan ibu Suarni:

“ kalau saudara maupun kerabat dekat, itu ya diistemawakan, mereka dijamu lebih khusus. Di suruh di dalam rumah nanti disediakan makanannya. Orang itu nyumbang juga beda, kalau tamu biasa paling hanya 25 ribu, tapi

kalau saudara itu kan sampai 100 ribu lebih, kalau pulang nanti dibawain nasi bontot sama jenang, walaupun sudah makan disini. Kalau tamu biasa ya, apabila sudah makan jalan tidak dikasih lagi nasi bontot, kecuali mereka ada keluarga yang tidak nitip amplop ataupun tidak makan jalan, baru dikasih nasi bungkus”. ( wawancara 10 Desember 2013)

Dari pernyataan tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat perbedaan pelayanan yang dilakukan oleh masyarakat etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, jika dibandingkan dengan di daerah pulau Jawa, khususnya desa Kilensari. Dalam skripsi Zainy (2008), akan ada perbedaan waktu tamu yang diundang berdasarkan kelas sosial dan juga makanan yang akan diberikan di desa Kilensari. Namun di Dusun Purwosari Bawah, perbedaan pelayanan tersebut diberikan hanya terbatas pada saudara dan juga kerabat dekat. Jika saudara dijamu di dalam rumah dan dihidangkan dengan makanan yang lebih beragam, sedangkan tamu biasa diperlakukan secara sederhana, mereka ditempatkan diluar rumah dan dihidangkan dengan makanan yang ala kadarnya. Hal ini dikarenakan saudara maupun kerabat dekat akan memberikan sumbangan yang lebih besar, jika dibandingkan tamu biasa, bahkan perbedaan tersebut akan tampak pada saat 3 hari sebelum pesta pernikahan di gelar. Para saudara dan juga kerabat dekat akan diantarkan nasi tonjokan, yang lauknya berupa daging dan makanan istimewa lainnya. Pada masyarakat dusun Purwosari Bawah, apabila seseorang telah menerima nasi tonjokan, setidaknya suami-istri akan menyumbang yang punya hajatan sekitar 100 ribu.

Menurut Damsar (2009), resiprositas merujuk pada gerakan di natara kelompok-kelompok yang saling berhubungan. Tradisi nyumbang merupakan salah

bentuk pemberian dan mengharapkan kembali dari pemberian yang telah diberikan. Dari hasil observasi di Dusun Purwosari bawah, penyelenggara pesta akan mencatat setiap orang yang telah menyumbang.

Secara umum tujuan dari tradisi nyumbang adalah sebagai wujud tolong menolong masyarakat etnis Jawa. Dahulunya, bentuk tradisi ini bersifat sukarela, orang memberi, karena rasa ikhlas. Dalam arti, dahulunya tradisi nyumbang bersifat resiprositas umum. Namun karena modernisasi saat ini, apalagi ketika kapitalis telah menyentuh kehidupan masyarakat desa, secara tidak langsung hal ini mengubah bentuk interaksi sosial di masyarakat, akibatnya masyarakat memandang segala sesuatu berdasarkan untung dan rugi. Hal ini, menurut Blumer dalam (Poloma, 2009) mengenai teori interaksionisme simbolik, yaitu manusia bertindak berdasarkan makna yang penting bagi mereka, dimana makna tersebut disempurnakan pada saat interaksi berlangsung. Dengan adanya interaksi tersebut, memungkinkan adanya perubahan simbol dalam masyarakat.Dalam hal ini, individu mengalami self indification, yaitu proses dalam konteks sosial dimana individu mencoba mengantisipasi tindakan orang lain. Tradisi nyumbang yang dahulunya bersifat sukarela, sekarang telah berubah sifat. Sekarang sudah menjadi kewajiban, apabila orang tersebut telah diundang, maka dia harus datang. Telah ada perubahan pemaknaan terhadap tradisi nyumbang, bahkan orang akan malu jika tidak menyumbang orang yang pesta.

5.3.Identitas Status sosial ekonomi dalam Penyelenggaraan Pesta Pernikahan di