• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3) Acara Setelah Resepsi Pernikahan

5.4. Perubahan dalam Penyelenggaraan Pesta Pernikahan Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah

Dalam memahami perubahan, kita harus mengingat bahwa hakikat dasar manusia yang bersifat dinamis, yang selalu berubah, tidak bisa diam. Perubahan yang

Perubahan dalam pesta pernikahan dapat diartikan sebagai pergeseran nilai-nilai dalam pesta pernikahan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan juga internal, yang mana perubahan pesta pernikahan yang terjadi di Dusun Purwosari Bawah terkait dengan komersialisasi pesta pernikahan dan juga identitas status sosial masyarakat di dusun Purwosari Bawah.

Jika kita membicarakan mengenai perubahan sosial kebudayaan, maka kita akan membicarakan mengenai wujud kebudayaan itu sendiri. Dalam hal menurut Basrowi (2005), ada tiga wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan yang pertama merupakan,ide, gagasan, nilai dan norma-norma dan peraturan sebagainya, yang mana wujud kebudayaan ini tidak didokumentasikan. Dalam hal ini terjadi perubahan nilai terkait dengan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah di Dusun Purwosari Bawah. Jika dahulunya masyarakat Dusun Purwosari Bawah akan malu, jika ada anak gadisnya yang hamil di luar nikah, namun saat ini orangtua sudah tidak malu lagi untuk menikahkan, bahkan mendudukkan anaknya tersebut di pelaminan.

Kemudian wujud kebudayaan yang kedua merupakan sesuatu yang kompleks dari tindakan berpola dari manusia dan hubungannya dengan sistem sosial. Perubahan wujud kebudayaan kedua ini dalam pesta pernikahan, dapat dilihat dari tradisi nyumbang. Ada perubahan pemaknaan nilai tradisi nyumbang, dalam hal ini semangat kapitalis telah memasuki nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi nyumbang. Tujuan awal dari tradisi nyumbang adalah sebagai wujud tolong menolong, untuk meringankan beban biaya penyelenggara pesta pernikahan. Namun saat ini, tradisi ini

dimaknai sebagai sebuah momentum untuk memperoleh keuntungan, dengan medianya sendiri yaitu pesta pernikahan. Secara tidak langsung telah terjadi komodifikasi pesta pernikahan.

Kemudian wujud kebudayaan yang ketiga merupakan hasil benda karya manusia, yang dapat dilihat dan didokumentasikan. Dalam hal ini simbol-simbol benda dalam pesta pernikahan seperti tratak, pelaminan, hiburan, makanan, merupakan bentuk dari wujud kebudayaan ketiga. Tratak, pelaminan, hiburan dan makananan dalam pesta pernikahan saat ini telah mengalami modifikasi, bahkan dari segi hiburan, penampilan pertunjukkan kesenian Jawa pada pesta pernikahan Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, sudah jarang ditampilkan. Pada saat hiburan keyboard yang menampilkan biduan yang berpakain seksi, lebih banyak ditampilkan.

Berbagai Perubahan simbol tersebut, terjadi akibat adanya interaksi individu dalam masyarakat. Menurut teori interaksionisme simbolik yang disampaikan oleh Blumer dalam (Polomo, 2010), manusia bertindak berdasarkan makna yang penting bagi mereka yang mana makna tersebut disempurnakan pada saat interaksi berlangsung. Akibat adanya interaksi tersebut memungkinkan terjadinya perubahan simbol dalam masyarakat, sesuatu yang dahulunya diangap tabu dapat menjadi realitas sosial yang dilakukan oleh individu secara kolektif. Dalam hal ini, penyanyi keyboard yang berpakain seksi dalam sebuah pesta pernikahan dahulu-nya merupakan sesuatu hal yang dianggap tabuh dalam masyarakat, namun sekarang yang terjadi adalah keyboard dengan penyanyi berpakain seksi sudah menjamur dan telihat hampir di

sudah menjadi suatu gaya hidup yang dilakukan oleh individu menjelang pernikahannya.Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekanto (2009) bahwa penyebab perubahan di atas adalah toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang, yang mana perbuatan yang dahulunya merupakan suatu aib, namun sekarang merupakan hal yang wajar, yang dilakukan hampir setiap lapisan masyarakat.

Adapun beberapa faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam pesta pernikahan etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, yang pertama adalah kontak dengan kebudayaan lain. Dalam hal ini akan terjadi proses akulurasi yaitu apabila kebudayaan asli harus berhadapan dengan kebudayaan asing, maka mereka akan membaur, walaupun begitu masing-masing kebudayaan tersebut tidak kehilangan jati diri nya. Dari hasil observasi di lapangan, peneliti melihat bahwa telah terjadi perubahan kebudayaan Jawa akibat telah berbaur dengan kebuyaan Batak, salah satunya adalah hiburan dalam pesta pernikahan. Pada saat ini masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, sudah banyak yang menggelar keyboard gondangpada saat resepsi pesta pernikahan anaknya, padahal keyboard gondang tersebut bukanlah kebudayaan yang dimiliki oleh Etnis Jawa, namun saat ini kesenian tersebut telah membaur pada resepsi pesta pernikahan Etnis Jawa.

Kemudian sistem pendidikan yang maju merupakan faktor pendorong perubahan sosial di Dusun Purwosari Bawah.Pendidikan mengajarkan aneka macam kemampuan terhadap individu, selain itu pendidikan juga memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya, serta menerima hal-hal yan baru dan juga menyaring sesuatu hal yang baru yang dianggap tidak cocok dengan

kebudayaan yang dimiliki. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang, maka akan semakin kritis daya pikir orang tersebut. Bagi masyarakat Etnis Jawa di Dusun Purwosari Bawah, semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh perempuan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya uang seserahan yang akan diterima. Hal ini dipertegas pada saat wawancara dengan ibu Jiyem:

“ pendidikan perempuan yang tinggi akan berpengaruh terhadap uang seserahan yang diterima dari pihak laki-laki, paling tidak jika dia kulia, anak perempuan tersebut akan memperoleh uang seserahan paling sedikit di atas 15 juta”. (wawancara 06 Desember 2013)

Selain faktor tersebut, toleransi merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan sosial. Menurut Soekanto (2009), toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang merupakan salah satu faktor pendorong perubahan sosial, yang mana semakin cepat perubahan sosial budaya yang terjadi dikarenakan tingkat toleransi masyarakat yang semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena hamil di luar nikah di Dusun Purwosari Bawah. Dahulunya, di Dusun Purwosari Bawah, anak gadis yang hamil di luar nikah akan diasingkan ke daerah lain oleh orangtuanya, karena hal itu merupakan aib. Namun saat ini, orangtua tidak mengasingkan anak perempuannya yang telah hamil, sebelum menikah, yang terjadi saat ini orangtua sudah tidak malu untuk menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. Hal ini juga dipertegas oleh wawancara dengan ibu Jiyem:

“ kalau orang dulu, anak gadisnya hamil di luar nikah, ya diungsikan ke tempat lain. Tapi kalau sekarang ya gak gitu lagi, walaupun itu aib, orangtua akan tetap menyelenggarakan pesta nikah anaknya tersebut, masyarakat juga kelihatan sudah biasa terhadap hal begitu”. (wawancara,

Hal tersebut, memperlihatkan bahwa masyarakat telah menganggap hamil di luar nikah, bukan lagi sebagai suatu perbuatan menyimpang yang sangat memalukan.Kemudian faktor terakhir yang menyebabkan perubahan sosial budaya di Dusun Purwosari Bawah yaitu Sistem sosial yang terbuka. Hal ini memungkinkan adanya gerak sosial yang vertikal yang akan memberikan kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. Dengan keadaan demikian inidividu akan mengadakan identifikasi dengan warga yang memiliki status sosial yang lebih tinggi, dengan adanya identifikasi tersebut seseorang akan tahu dimana lapisan kelas sosial ia berada. Seseorang yang merasa dirinya berada dalam kedudukan tinggi akan membentuk gaya hidup yang berbeda dengan mereka yang status sosial ekonomi yang lebih rendah, sedangkan bagi mereka yang berada di status sosial ekonomi rendah akan selalu merasa tidak puas dengan keadaannya. Akibat sistem sosial terbuka, menyebabkan masyarakat miskin di Dusun Purwosari Bawah, juga turut serta ingin menyelenggarakan pesta pernikahan Mewah, seperti orang kaya.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN