• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang Masalah

Provinsi Banten merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Jawa Barat, yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Provinsi Banten sebagai unsur penanggungjawab untuk mewujudkan semua program semaksimal mungkin dalam setiap melaksanakan tugasnya. Agar semua dapat terlaksana dengan maksimal diperlukan kinerja dari semua komponen terkait, termasuk kinerja organisasi agar menjadi handal dan optimal sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan.

Suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila tujuan organisasi atau nilai-nilai yang ditetapkan dalam visinya tercapai. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang disepakati bersama antara stakeholders dari organisasi yang bersangkutan. Akan tetapi seringkali visi organisasi dapat tercapai namun bukan secara sengaja atau sebagaimana direncanakan sehingga diperlukan nilai pengembanan misi organisasi dan keterkaitannya dengan pencapaian misi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 1 ayat (1) Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis. Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum pada pasal 1 ayat (6) Komisi Pemilihan Umum selanjutnya disingkat KPU, adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. Sedangkan berdasarkan pasal 1 ayat (7) Komisi Pemilihan Umum Provinsi selanjutnya disingkat KPU Provinsi, adalah Penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di provinsi dan pada pasal 1 ayat (8) Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota, adalah Penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga hirarkies, dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia merupakan lembaga regulator pembuat peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi merupakan koordinator dan supervisi sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota merupakan implementator.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai organisasi melakukan interaksi dan hubungan antar pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan. Hubungan dan

interaksi yang baik antar pegawai merupakan hal penting karena akan mempengaruhi eksistensi modal sosial pegawai. Eksistensi modal sosial pegawai menjadi penting karena mempengaruhi kinjerja pegawai yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja organisasi (Akdere, 2005). Selain itu modal sosial yang dimiliki oleh pegawai tersebut akan membentuk budaya organisasi, budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi (Luthans, 1998).

Pencapaian hasil kerja atau kinerja dapat dinilai menurut pelaku, yaitu kinerja yang diraih individu (kinerja individu), oleh kelompok (kinerja kelompok), oleh institusi (kinerja organisasi) dan oleh suatu program atau kebijakan (kinerja program/kebijakan). Kinerja individu menggambarkan sampai seberapa jauh seseorang telah melaksanakan tugas pokoknya sehingga dapat memberikan hasil yang ditetapkan oleh kelompok atau institusi. Kinerja kelompok menggambarkan hasil yang ditetapkan sampai seberapa jauh suatu kelompok telah melaksanakan kegiatan kegiatan pokoknya sehingga mencapai hasil sebagaimana ditetapkan oleh institusi. Kinerja institusi berkenaan dengan sampai seberapa jauh suatu institusi telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga mencapai visi atau misi institusi. Sedangkan kinerja program atau kebijakan berkenaan dengan sampai seberapa jauh kegiatan-kegiatan dalam program atau kebijakan telah dilaksanakan sehingga dapat mencapai tujuan program atau kebijakan tersebut.

Kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai hasil kerja organisasi dalam mencapai tujuannya yang tentu saja akan dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa

fisik seperti sumber daya manusia maupun nonfisik seperti peraturan, informasi, dan kebijakan. Konsep kinerja organisasi juga menggambarkan bahwa setiap organisasi publik memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator kinerja yang ada untuk melihat apakah organisasi tersebut sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan untuk mengetahui tujuannya sudah tercapai atau belum.

Kinerja organisasi merupakan produk dari banyak faktor, termasuk struktur organisasi, pengetahuan, sumber daya bukan manusia, posisi strategis dan proses sumber daya manusia. Kinerja memerlukan strategi, tujuan dan integritas. Strategi merupakan integritas rencana tindak sangat luas untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara itu, yang dimaksud dengan tujuan adalah memperbaiki produktivitas sumber daya manusia. Karena strategi bersifat terintegritas, semua faktor atau variabel saling berhubungan dan memberikan kontribusi pada kinerja. Sementara itu, integritas tidak hanya diperlukan untuk menghadapi keadaan, tetapi lebih penting lagi untuk proses perubahan yang perlu dilakukan untuk menghadapi masa depan organisasi.

Konsep modal sosial (social capital) sedang berkembang saat ini. Berkembangnya konsep ini didasari pemahaman bahwa modal sosial akan berpengaruh pada kinerja. Hal ini didukung beberapa riset yang menunjukkan adanya pengaruh modal sosial pada beberapa ukuran kinerja seperti: bukti dari urban publik school (Leana and Frits, 2006), modal sosial terhadap kinerja tenaga medis RSUD Talaud (Yosua, Haris dan Hosea, 2013), kinerja dosen berbasis

modal sosial dan organisasional (Fauzan, 2012) dan pengaruh modal sosial terhadap kinerja anggota organisasi (Prayogo, 2003).

Nahapiet dan Ghoshal (1998) membagi modal sosial menjadi tiga dimensi yang meliputi dimensi struktural, dimensi relasional, dan dimensi kognitif. Dimensi struktural merupakan pola hubungan antar orang dan interaksi sosial yang ada dalam organisasi. Dimensi struktural memiliki makna bahwa posisi seseorang dalam struktur interaksi akan memberinya keuntungan tertentu. Dengan demikian, seseorang yang memiliki interaksi yang baik dengan rekan kerjanya akan berkinerja dengan lebih baik. Adanya interaksi yang baik akan sangat kondusif untuk kerjasama yang baik antara anggota organisasi. Interaksi yang baik akan mengakibatkan intensitas hubungan kerja yang semakin baik dan menumbuhkan kedekatan antar karyawan. Dengan demikian, seseorang akan lebih mudah mendapatkan bantuan dan dukungan dari rekan kerjanya, misalnya seseorang akan bisa saling mengakses sumberdaya dan informasi dengan sesama rekan kerja. Hal ini akan memperlancar proses kerja anggota organisasi, yang akan membuat anggota organisasi tersebut berkinerja dengan lebih baik.

Dimensi relasional merupakan asset yang diciptakan dan tumbuh dalam hubungan antar anggota organisasi yang mencakup kepercayaan (trust) dan kelayakan dipercaya (trustworthiness). Kepercayaan adalah atribut yang melekat dalam suatu hubungan. Kelayakan dipercaya merupakan atribut yang melekat pada individu yang terlibat dalam hubungan tersebut. Makin tinggi tingkat kepercayaan antar rekan kerja dalam suatu organisasi, orang-orang dalam organisasi tersebut dikatakan memiliki tingkat kelayakan dipercaya yang tinggi.

Dalam kondisi saling mempercayai yang tinggi, orang akan lebih mampu bekerja dengan lebih baik dalam suatu social exchange dalam bentuk kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, dimensi relasional juga akan mempengaruhi proses kerja seseorang, sehingga akan membuat orang bekerja dengan lebih baik.

Dimensi kognitif merupakan sumber daya yang memberikan representasi dan interpretasi bersama, serta menjadi sistem makna (system of meaning) antar pihak dalam organisasi. Nahapiet dan Ghoshal (1998) mendefinisikan dimensi ketiga ini sebagaishared languages (codes), shared narratives dan shared vision

yang memfasilitasi pemahaman tentang tujuan kolektif dan cara bertindak dalam suatu sistem sosial. Shared languages (codes) dan shared narratives merupakan sarana orang berdiskusi dan bertukar informasi dalam menjalankan proses kerjanya. Jika ada shared languages (codes) dan shared narratives, komunikasi antara anggota organisasi akan lebih baik dan terbuka. Shared languages (codes)

dan shared narratives juga akan mempengaruhi persepsi anggota organisasi. Adanya shared languages (codes) dan shared narratives akan menciptakan persepsi yang sama antar anggota organisasi yang akan mempercepat proses komunikasi untuk menunjang kinerja. Umumnya dimensi kognitif dalam bentuk

shared languages (codes) dan shared narratives akan mengarah ke pemahaman yang sama tentang tujuan organisasi (shared vision). Jika anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan organisasi mereka akan bisa bekerja dengan lebih baik.

Pada dasarnya modal sosial dalam organisasi tercipta dengan adanya interkasi yang terjadi pada individu-individu dalam organisasi yang berasal

kepercayaan antara individu baik dengan atasan, dengan bawahan atau sasama pegawai. Dalam hal ini kepercayaan merupakan modal penting untuk membina hubungan interaksi yang baik, selain itu bentuk modal sosial lainnya adalah jaringan sosial/kerja yang tercipta ketika kerja sama dalam menyelesaikan tujuan yang dalam hal ini adalah visi dan misi dalam organisasi dan terakhir adalah bentuk modal sosial berupa kepatuhan terhadap norma yang bisa berbentuk aturan atau kebijakan dalam organisasi. Modal sosial yang ada dalam organisasi merupakan hal penting dalam membentuk perilaku individu yang ada dalam organisasi.

Untuk menggambarkan keterkaitan antara modal sosial dan budaya organisasi, pada dasarnya budaya organisasi merupakan suatu pemahaman terhadap nilai dan norma yang ada dalam lingkup organisasi yang dipahami dan dipatuhi oleh anggota organisasi. Budaya organisasi terbentuk oleh perilaku individu, sedangkan perilaku individu tersebut dibawa oleh modal sosial anggota organisasi.

Dalam kinerja organisasi merupakan sebuah produk yang dipengaruhi oleh kinerja pegawai. Modal sosial yang dibawa oleh pegawai akan mempengaruhi kinerja pegawai yang secara langsung juga akan mempengaruhi kinerja organisasi. Salah satu hal yang mempengaruhi kinerja organisasi adalah produktivitas pegawai. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pegawai tersebut mengerjakan pekerjaan. Setiap pekerjaan dalam organisasi dilakukan dengan bekerjasama antara satu dengan lainnya sehingga visi dan misi dapat tercapai. Dalam bekerja sama ada banyak hal yang dimanfaatkan oleh pegawai salah

satunya adalah modal sosial, apabila modal sosial yang ada sudah dimanfaatkan dengan baik oleh anggota organisasi akan secara tidak langsung mempermudah kerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan yang dalam hal ini bila sudah tercapai akan mempengaruhi kinerja organisasi.

Dalam proses berorganisasi setiap individu akan memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki untuk dapat diterima dan menyesuaikan diri dengan budaya organisasi ditempat mereka bekerja. Budaya organisasi ini dapat terlihat ketika anggota organisasi telah mematuhi peraturan, kebijakan atau keputusan tertinggi dalam organisasi tersebut. Organisasi yang baik ditandai dengan adanya rasa percaya antara baik kepada atasan, bawahan atau anggota organisasi lain, yang jika ini sudah terpenuhi maka akan mempermudah interaksi dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sejalan dengan Program Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah, maka sejak Tahun 2013 Sekretariat Jenderal KPU sebagai KPU Pusat telah menetapkan program reformasi menjadi bagian dari program dan kegiatan prioritas lembaga. Berkenaan dengan kondisi organisasi birokrasi,

Sekretariat Jenderal KPU telah melakukan evaluasi organisasi untuk menilai kondisi organisasi. Hasil dari penilaian kinerja organisasi tersebut menunjukkan gambaran kondisi organisasi yang dinilai dari 5 (lima) aspek yang dinilai yaitu: struktur organisasi, manajemen sumber daya manusia, tata kerja, sarana dan prasarana, komunikasi dan koordinasi organisasi. Pada prosesnya Sekretariat Jenderal KPU telah melakukan evaluasi kinerja organisasi di lingkungan organisasi dengan mengevaluasi kelembagaan Sekertariat Jenderal KPU dan

evaluasi kondisi kinerja pegawai Sekertariat Jenderal KPU dengan cara kaji diri

(self assessment) untuk menilai kondisi birokrasi di Sekertariat Jenderal KPU. Hasil evaluasi kinerja organisasi Sekertariat Jenderal KPU dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1.1

Hasil Evaluasi Kinerja Organisasi Sekertariat Komisi Pemilihan Umum

No Aspek Hasil Survei

Sesuai Tidak Sesuai 1 Struktur Organisasi

a. Struktur Organisasi 62,96% 37,04% b. Tugas dan Fungsi 61,11% 38,89%

2 Sumber Daya Manusia

a. Jumlah Personel 22,22% 77,78% b. Kompetensi 53,70% 46,30% c. Penghargaan Terhadap Prestasi 62,96%

3 Tata Kerja

a. Tumpang Tindih Tanggung Jawab 77,78% 22,22% b. Tugas Belum Tertampung Struktur Organisasi 50% 50% c. Hambatan Dalam Melaksanakan Tugas 38,89% 61,11%

4 Sarana dan Prasarana

a. Sarana Utama 51,85% 48,15% b. Sarana Pendukung

b.1 meja, kursi, lemari, komputer dan telepon 38,89% 61,11% b.2 sarana transportasi 29,63% 70,37%

5 Komunikasi dan Koordinasi Organisasi

a. Hubungan Antara KPU Dengan Instansi Terkait 92,13% 7,87% b. Hubungan Kerja Sekertariat KPU Dengan

Komisioner KPU

81,84% 18,52%

c. Hal-hal Lain Yang Berhubungan Dengan KPU 77,16% 22,84% Sumber: kpu.go.id

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten merupakan penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu Provinsi Banten. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten terintegrasi dan membawahi KPU Kabupaten/Kota. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam menjalankan tugasnya Komisi

Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten terdiri dari lima orang anggota komisioner dan untuk mendukung pekerjaan dan tugasnya dibantu oleh sekertariat. Dalam pengambilan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten menggunakan asas kolektif kolegial artinya semua anggota organisasi mempunyai kedudukan yang sama dan setiap keputusan atau kebijakan di musyawarahkan dalam rapat pleno. Keputusan rapat pleno merupakan keputusan tertinggi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten sebagai lembaga yang bergerak sebagai koordinator juga merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat pegawai yang melakukan interaksi atau hubungan baik dengan atasan, bawahan atau sesama pegawai. Setiap pegawai di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten memanfaatkan modal sosial untuk dapat diterima di organisasi dan dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Pegawai di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten dituntut untuk melakukan kinerja yang maksimal agar kinerja organisasi dapat berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditentukan.

Beberapa hal yang secara tidak langsung tetapi komprehensif untuk mengetahui sehat-tidaknya suatu organisasi diantaranya tingkat absen, intensitas administrasi (kegiatan manajemen), tingkat otonomi, sentralisasi, komitmen, komunkasi, kompleksitas, pelanggaran konflik, koordinasi, departementasi, keadilan distributif, efektivitas, formalisasi, training umum, ideologi, inovasi, mekanisasi, motivasi, kuatnya hubungan (nilai-nilai kerja dari pegawai), stratifikasi upah/ gaji, basis kekuasaaan, stratifikasi prestasi, produktivitas,

rutinitas, kepuasan, besarnya organisasi, standarisasi, pergantian karyawan, kohesi kelompok dan beban kerja.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa fakta masalah yang ditemukan,

pertamadalam interaksi antara individu terdapat kecemburuan sosial terkait bobot pekerjaan yang dibebankan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, pada bagian program dan data adalah bagian yang sangat sulit sementara individu yang mengerjakan tidak banyak yang berkemampuan sedangkan pada bagian hukum adalah bagain yang sifatnya musiman yang dalam artinya apabila ada permasalahan hukum baru ditindaklanjuti. Dalam hal ini bobot pekerjaan antara satu bagian berbeda, ada yang memang cenderung sulit karena berhubungan dengan teknologi informasi dan tidak didukung dengan sumber daya yang memiliki kemampuan, namun ada pula bagian yang sifatnya musiman, seperti bagian hukum yang bekerja lebih apabila terjadi permasalahan hukum.

Kedua, terdapat pegawai yang melanggar kode etik yakin melanggar peraturan dengan tidak masuk kerja selama lebih dari 108 hari. Pegawai tersebut adalah Kepala Bagian Keuangan, Umum dan Logislitik yang sejak pemilu legislatif dan pemilu eksekutif sudah tidak masuk bekerja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 pasal 1 ayat (1) Displin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil unutk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang diperlukan dalam peraturan perundangan-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin, selanjutnya pada pasal 1 ayat (4)

dijelaskan bahwa hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar disiplin PNS.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi terdiri dari lima orang komisioner dan dibantu oleh sekertariat yang terdiri dari Pegawai Organik, Pegawai Daerah dan Pegawai Kontrak. Pegawai Organik adalah pegawai yang berasal dari pegawai negeri sipil di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Pegawai Daerah adalah pegawai yang berasal dari daerah Provinsi Banten sedangkan pegawai kontrak adalah pegawai non-PNS. Pegawai yang melanggar aturan dengan tidak masuk kerja selama lebih dari 108 adalah pegawai yang berasal dari daerah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, pegawai tersebut telah mendapatkan teguran dalam rapat pleno namun tetap tidak menghiraukan teguran tersebut. Dalam rapat pleno merupakan keputusan tertinggi dalam organisasi ini, namun pegawai tersebut tetap tidak menghiaraukan apa yang telah menjadi keputusan bersama. Saat ini pegawai tersebut telah dikenai sanksi pelanggaran disiplin oleh Badan Kepegawaian Daerah. Komisioner sangat menaruh kepercayaan kepada staf walaupun ada staf yang nakal. Minimal ada 4 staf yang nakal dengan menggelapkan uang, mencari keuntungan pribadi dan main trik.

Ketiga, adanya atasan yang tidak masuk kerja tersebut menimbulkan ketidakpercayaan dari bawahan kepada atasan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, mengatakan bahwa pegawai dari daerah pada level kepala sub bagian memang kurang dalam segi kinerja, sehingga

anggota organisasi lain tidak terpengaruh dengan kehadiran atasan tersebut karena pekerjaan dilaksanakan oleh staf. Pegawai tersebut hanya menandatangani hal yang berkaitan dengan administrasi tanpa memahami pekerjaan tersebut. Padahal semakin tinggi posisi seorang pegawai dalam organisasi tersebut semakin besar kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Keempat, adanya disfungsi peran pejabat struktural dalam struktur organisasi. Berdasarkan struktur organisasi yang diterbitkan pada Februari tahun 2015 di Sekertariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten terdapat pegawai yang ada di dalam struktur organisasi namun tidak melaksanakan fungsinya.

Berdasarkan Struktur Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten bagian yang mengalami disfungsi peran dalam struktur organisasi adalah Bagian Keuangan, Umum dan Logistik, Sub Bagian Program dan Data, Sub Organisasi dan SDM, Sub Bagian Umum dan Logistik dan Sub Bagian Teknis dan Hupmas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, struktur dan pembagian tugas dan pembinaan dilakukan top-down artinya pembagian tugas dilakukan dari atas ke bawah. Namun kendala yang dihadapi adalah pada level kapala sub bagian mengalami disfungsi. Padahal level kepala sub bagian adalah ujung tombak dalam melakukan pembinaan kepada staf terkait.

Kelima, tidak ada sumber daya manusia yang ahli terutama dalam bidang IT. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten membutuhkan sumber daya manusia

yang ahli programmer terutama dalam membuat program, desain web untuk mempermudah akses. Sejauh ini sumber daya yang ada hanya sebatas pelaksana. Saat ini website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten masih bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membuat program website.

Keenam, terdapat hambatan dimana para pegawai tidak mengetahui sepenuhnya terkait tugas, pokok dan fungsi pekerjaannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota komisioner, dalam melaksanakan pekerjaan, hambatan yang dihadapi oleh pegawai adalah tidak memahami sepenuhnya tugas, pokok dan fungsi pekerjaannya mereka sehingga tujuan cenderung tidak tercapai. Selain itu hambatan lain yang terjadi adalah hubungan pegawai dan stakeholder dalam hal penyelenggaraan pemilu personel tidak memahami sepenuhnya peraturan yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam hal ini peraturan seolah olah hanya difokuskan kepada komisioner. Dalam penyelanggaraan pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sering membuat peraturan terkait penyelanggaraan pemilihan umum misalnya peraturan terkait pencalonan, namun pegawai tidak mau untuk belajar mengetahui dan memahami peraturan tersebut kendati telah ada sosialisasi yang dilakukan komisioner.

Berdasarkan fakta dan permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk

meneliti “Pengaruh Modal Sosial dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja