• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Deskripsi Teori .1 Modal Sosial

2.1.3 Kinerja Organisasi

Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. Kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Sedangkan kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digerakan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai upaya pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Kata kinerja dalam pengertian bahasa inggris adalah performance yang berarti prestasi kerja atau hasil suatu pekerjaan atau kemampuan kita melakukan perkerjaan. Beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian kinerja:

Menurut Moeheriono kinerja adalah:

“hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kuantatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung jawab masing masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”

Menurut Prawirosentono mengatakan bahwa:

“kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau

sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai

dengan moral dan etika”

Sedangkan menurut Timpe kinerja dikatakan bahwa:

“kinerja adalah prestasi, yang ditentukan oleh faktor lingkungan dan perilaku menajemen hal tersebut menunjukan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan begitu penting untuk mendorong tingkat kinerja pegawai yang paling efektif dan produktif dalam interaksi social organisasi akan senantiasa terjadi adanya harapan bawahan terhadap atasan dan sebaliknya”

Menurut Armstrong dan Baron (1998) dalam Wibowo (2007: 2) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Hikman (1990) dalam Usman (2009: 456) menyatakan kinerja merupakan tanda keberhasilan suatu organisasi dan orang orang yang telah dicapai seseorang dalam bidang tugasnya. Stephen Robbins (1989) dalam Pasolong (2010: 176)

menjelaskan kinerja adalah hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dibandingkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kemudian menurut Sinambela (2006) dalam Pasolong (2010: 176), kinerja pegawai adalah kemampuan pegawai dalam melalakukan sesuatu dengan keahlian tertentu. Menurut John W Atkinson dalam Wibowo (2007: 75) kinerja merupakan fungsi motivasi dan kemampuan. Dengan demikian, model persamaan kinerja fungsi dan kemampuan. Menurut Hersley dan Blanchard (1993) dalam Rivai (2005: 15) mengemukakan bahwa :

“Kinerja merupakan fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesedian dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana

mengerjakannya”

Menurut Bacal (2001) dalam Makmur (2008: 198) kinerja merupakan sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seseorang karyawan dan penyelia langsungnya. Menurut Lyman Porter dan Edward Lawler dalam Wibowo (2007: 75) kinerja merupakan :

“Fungsi dari keinginan melakukan pekerjaan, keterampilan yang perlu

untuk menyelesaikan tugas, pemahaman yang jelas atas apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Dengan demikian, dapat dirumuskan model persamaan kinerja yaitu fungsi keinginan untuk melakukan pekerjaan, keterampilan, pemahanan apa dan bagaimana

melakukan”

Menurut Salim Peter (1991) dalam Usman (2009: 457), kinerja digunakan apabila seseorang menjalankan tugas atau proses dengan terampil sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada. Menurut Ningsih (2002) dalam Ihyaul (2009: 19) yang menyatakan bahwa:

“kinerja merupakan aktivitas atau proses yang mengubah input menjadi

output kemudian menjadi outcome, misalnya kesesuaian program atau aktivitas dengan hukum, peraturan dan pedoaman yang berlaku atau

standar proses yang telah ditetapkam”

Menurut Otley (1999) dalam Mahmudi (2005: 6) kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait denga kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut. Kinerja merupakan suatu konstruk yang bersifat multidimensional pengukurannya juga bervariasi tergantung pada kompleksitas faktor faktor membentuk kinerja. Menurut Murphy dan Cleveland (1995) dalam Pasolong (2010: 175) kinerja adalah kualitas perilaku yang berorientasi pada tugas dan pekerjaan.

Menurut Wibawa (1992) dalam Pasolong (2010: 176) mengemukakan bahwa :

“kinerja organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara

menyeluruh untuk kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhan

secara efektif”

Definisi kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel Nogi (2005: 175) sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut. Senada dengan pendapat Bastian dalam Hessel Nogi tersebut,

Encyclopedia of Public Administration and Public Policy Tahun 2003 dalam Yeremias T. Keban (2004: 193), juga menyebutkan kinerja dapat memberikan gambaran tentang seberapa jauh organisasi mencapai hasil ketika dibandingkan dengan pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.

Dalam Yeremias T. Keban (2004: 203) untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting sebagai berikut:

(1) Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataannya, orang menilai secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur atau mengendaikan perbuatan tersebut. (2) Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian kinerja. Aturan main menyangkut siapa yang harus menilai, kapan menilai, kriteria apa yang digunakan dalam sistem penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya manusia tersebut. Dengan demikian manajemen sumber daya manusia juga merupakan kunci utama keberhasilan sistem penilaian kinerja.

(3) Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bias kepada pengukuran tabiat atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan.

(4) Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kinerja, maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukakan penilaian secara tepat dan benar.

Menurut Soesilo dalam Hessel Nogi (2005: 180), kinerja suatu organisasi dipengaruhi adanya faktor-faktor berikut :

(1) Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi;

(2) Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi;

(3) Sumber daya manusia, yang berhubungan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal;

(4) Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data base untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja organisasi;

(5) Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi.

Selanjutnya Yuwono dkk. dalam Hessel Nogi (2005: 180) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kinerja suatu organisasi

meliputi upaya manajemen dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan organisasi, budaya organisasi, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan kepemimpinan yang efektif.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi baik publik maupun swasta. Secara detail Ruky dalam Hessel Nogi (2005: 180) mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai berikut :

(1) Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi, semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut;

(2) Kualitasinputatau material yang digunakan oleh organisasi;

(3) Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan;

(4) Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan;

(5) Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standard dan tujuan organisasi; (6) Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi, dan lain-lainnya.

Menurut Atmosoeprapto, dalam Hessel Nogi (2005: 181) mengemukakan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, secara lebih lanjut kedua faktor tersebut diuraikan sebagai berikut :

a. Faktor eksternal, yang terdiri dari :

1) Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan Negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.

2) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.

3) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

b. Faktor internal, yang terdiri dari :

1) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi.

2) Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. 3) Sumber Daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalanya organisasi secara keseluruhan.

4) Budaya Organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

Kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai hasil kerja organisasi dalam mencapai tujuannya yang tentu saja akan dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Sumber daya yang dimaksud dapat berupa fisik seperti sumber daya manusia maupun nonfisik seperti peraturan, informasi, dan kebijakan. Konsep kinerja organisasi juga menggambarkan bahwa setiap organisasi publik memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator kinerja yang ada untuk melihat apakah organisasi tersebut sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan untuk mengetahui tujuannya sudah tercapai atau belum.

Indikator kinerja merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi yang diwujudkan dalam ukuran ukuran tertentu. Indikator kinerja digunakan untuk menggambarkan capaian yang diperoleh oleh suatu organisasi publik. Indikator kinerja sangat penting digunakan karena untuk mengetahui apakah suatu aktivitas atau program telah dilakukan secara efesien dan efektif.

Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori kinerja Balanced Scorecard. Balanced Scorecard terdiri atas dua kata, yaitu (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Balanced scorecard ditemukan dan digunakan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton tahun 1992 dalam artikel mereka di Harvard Business Review yang berjudul The Balances Scorecard Measures That Drives Performance. Dalam artikel ini disebutkan bahwabalanced scorecard merupakan suatu alat akuntansi manajemen yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan yang ditinjau dari perspektif finansial (financial perspective) dan perspektif non finansial (Customer Perspective, Internal Business Process Perspective, dan Learning and Growth Perspective) secara seimbang.

Balance scorecard dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi dalam menterjemahkan visi, misi serta strategi organisasi kedalam tindakan-tindakan nyata. Selain mempertimbangkan aspek finansial, balance scorecard

juga mempertimbangkan aspek non finansial. Balance scorecard tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga aktivitas-aktivitas penentu hasil akhir. Aplikasi

balance scorecardjuga mencakup aktivitas pertumbuhan dan pembelajaran, yang dapat memberikan kontribusi pada proses bisnis internal. Oleh karena itu,

balanced scorecarddinilai sesuai untuk diterapkan pada organisasi sektor publik. Kaplan dan Norton menggunakan konsep Balance Scorecard sebagai alat ukur kinerja administrasi yang dikaji dari empat perspektif yang saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain yaitu yakni financial, customer focus, internal process dan learning and growth yang bersumbu pada visi dan

strategi organisasi.Balance scorecard merupakan contoh dari pengukuran kinerja organisasi bersifat internal.

Balanced Scorecard merupakan suatu kerangka yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran kinerja suatu organisasi. Pada awal perkembangannya, balanced scorecard merupakan kartu skor yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja eksekutif. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan dimasa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Balanced scorecard

menjadi demikian popular karena fungsinya sebagai strategi korporasi, lebih dari sekedar pengukur kinerja semata.

Keunggulan dibandingkan dengan konsep pengukuran lain adalah keterkaitan antara empat persektif balanced scorecard itu sendiri. Dengan menggunakan data sekunder terkini, kajian dilakukan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman korporasi menggunakan balanced scorecard sehingga lebih mampu memberikan manfaat lebih dari ukuran kinerja lainnya. Bahkan,

balanced scorecard oleh berbagai akademis diintegrasikan terhadap konsep lain untuk memperoleh alat yang sinergi dalam pengembangan korporasi.

Penerapan balanced scorecard di organisasi publik juga tidak sama dengan apa yang dilakukan di organisasi bisnis. Perbedaan tersebut antara lain adanya perubahan framework dimana yang menjadi pemicu dalam balanced scorecard untuk organisasi publik adalah misi untuk melayani masyarakat, perubahan posisi perspektif financial dan perspektif pelanggan, perspektif

perspektif learning and growth menjadi perspektif employee’s and organization

capacity.

Beberapa perubahan yang diperlukan atas jenis ukuran dalam kerangka kerjabalanced scrorecarduntuk organisasi publik akan dijelaskan sebagai berikut (Moeheriono, 2012: 171) dan sekaligus menjadi dasar teori dalam penelitian ini :

1) Perspektif Stakeholder menjelaskan cara-cara bagaimana penciptaan nilai untuk stakeholders serta bagaimana nilai tersebut akan dipenuhi sehingga tercapai tujuan organisasi. Keberhasilan dalam perspektif stakeholder itu diperoleh dari keberhasilan organisasi mengelola mitra kerja. Oleh karena itu, sasaran kegiatan dalam persfektif mitra kerja organiasi harus diarahkan mengacu pada persfektif ini. Hal penting lainnya yang mempengaruhi adalah perubahan kebijakan pemerintah yang kemungkinan akan mengubah tujuan danstakeholderorganisasi.

2) Perspektif Proses Internal merupakan analisis utama proses internal organisasi. analisis ini mencangkup identifikasi tugas pokok dan fungsi serta kegiatan yang diperlukan untuk mendukung pencapaian prespektif

stakeholderserta sumber daya dan kapabilitas yang dibutuhkan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.

3) Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran memungkinkan organisasi melakukan pembaharuan kapasitas sumber daya manusia, informasidan lingkungan kerja yang kondusif untuk meningkatkan, baik efesiensi maupun produktivitasnya dalam mendorong terwujudnya proses internal yang akan memberikan kepuasan dan memenuhi harapan mitra kerja. 4) Perspektif Keuangan pada organisasi publik, perspektif anggaran bukan

menjadi tujuan utama, namun lebih bersifat efektivitas alokasi sumber dana agar dapat mendorong pencapaian sasaran stategik organisasi. oleh sebab itu, alokasi dana harus diarahkan untuk mencapai sasaran dari kegiatan dan program perspektif lain.

Balanced scorecard merupakan suatu alat yang mempunyai tiga elemen, yaitu sistem pengukuran (measurement system), sistem manajemen stratejik (strategic management system), dan alat komunikasi (communication tool).

Balanced Scorecard menekankan pengukuran keuangan dan non keuangan yang harus menjadi bagian dari sistem informasi bagi semua pekerja yang harus

mengerti dengan konsekuensi keuangan atas keputusan dan tindakan yang mereka lakukan.

Keberhasilan implementasi balanced scorecard sebagai sistem peningkatan organisasi kinerja pada instansi pemerintahan tergantung pada beberapa faktor penting, yaitu :

(1) Komitmen Pimpinan. Kepemimpinan yang kuat adalah unsur kuat yang terpenting dalam menciptakan iklim organisasi yang positif bagi upaya mendorong peningkatan kinerja pegawai, kedudukan kepemimpinan dan pimpinan tertinggi sangat penting bagi seluruh proses pengukuran dan peningkatan kinerja.

(2) Partisipasi Karyawan. Manfaat balanced scorecard membentuk partisipasi dan komunikasi sehubungan dengan visi, misi dan strategi organisasi. oleh karena itu, partisipasi khususnya oleh pejabat menengah, diperlukan dalam proses penyusunan ukuran kinerja dan implementasinya sebagai sebuah sistem peningkatan kinerja.

(3) Hambatan Organisasi. Untuk mengatasi ketakukan tak berdasar tentang anggapan buruk dan efek pengukuran dan peningkatan kinerja, pemakaian resmi daribalanced scorecardharus dijelaskan kepada pejabat dan seluruh pegawai. Para pegawai itu harus diberitahu bahwa pengukuran kinerja adalah pada tingkat organisasi dan bahwa data yang diperoleh akan digunakan untuk meningkatkan penilaian dan perbaikan organisasi.

(4) Budaya Organisasi. Penggunaan balanced scorecard dapat mempengaruhi setiap orang yang ada di suatu organisasi, maka mereka harus berhadapan dengan budaya organisasi. banyak organisasi pemerintah, khususnya kantor pemerintah memiliki budaya sinisme dan arogansi terhadap pegawainya. Sangat penting untuk menghilangkan dan mencegah sikap seperti ini mempengaruhi mereka.

(5) Kejelasan dan Konsistensi Indikator Kinerja. Penetapan indikator kinerja harus jelas didefinisikan sehingga nantinya dapat dipahami oleh setiap orang dalam berorganisasi. Hal ini penting, terutama bagi organisasi besar dengan beberapa visi.

(6) Kebutuhan Nyata untuk Perbaikan. Kebutuhan untuk perbaikan harus ditunjukan secara nyata agar hasil pengukuran kinerja memiliki efek pengaruh yang positif. Hasil kinerja masa lalu atau ancaman di masa depan dapat digunakan untuk menunjukan adanya kebutuhan perbaikan. (7) Cakupan Kegiatan. Jika kegiatan balanced scorecard terlalu luas dan melibatkan orang banyak, maka hal ini akan menjadi rumit dan sulit dikelola. Karena pada situasi seperti ini, mungkin lebih praktis untuk memulai dengan satu bagian organisasi dan kemudian memperluas ke bagian lain pada saat pimpinan dan pegawai telah memperoleh pengalaman cukup.

(8) Ketersediaan Informasi Kinerja. Keberhasilan sistem pengukuran kinerja scorecard ini tergantung pada ketersediaan informasi relevan. Seperti yang diuangkapkan sebelumnya, pada tahap awal balanced scorecard, informasi yang dibutuhkan untuk menghitung beberapa indicator kerja mungkin tidak tersedia. Sistem informasi yang cost-effectiveharus dibangun untuk menghasilkan informasi tersebut.

(9) Imbalan dan Penghargaan. Sistem pengukuran kinerja yang tidak diimbangi oleh sebuah sistem intensif atas kinerja yang mengikat, lama-kelamaan dapat menghancurkan sistem pengukuran kinerja itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena komitmen yang diperoleh pada saat awal pengukuran tidak terpelihara dengan baik. Oleh karena itu, sistem imbalan dan penghargaan diperlukan untuk mendorong adanya tim yang terintegritas dan lintas fungsional sehingga momentum peningkatan kinerja dapat dijaga.

Darwanto (2009) Balanced scorecard memberi manfaat bagi organisasi dalam beberapa cara yaitu menjelaskan visi organisasi, menyelaraskan organisasi untuk mencapai visi itu, mengintegrasikan perencanaan strategis dan alokasi sumber daya dan meningkatkan efektivitas manajemen dengan menyediakan informasi yang tepat untuk mengarahkan perubahan. Balanced scorecard

membuat organisasi, termasuk organisasi publik, berfokus pada strategi, karena penerapan balanced scorecard memungkinkan semua unit dalam organisasi memberikan kontribusi secara terukur pada pelaksanaan strategi organisasi.

Balanced scorecard dikembangkan oleh setiap organisasi pemerintah untuk mempertajam perannya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, sehingga membedakannya dengan organisasi pemerintah lain. Perumusan balanced scorecardbukan suatu pekerjaan sekali jadi, melainkan tugas yang terus menerus, dengan setiap saat ada proses penyempurnaan dan yang terpenting adalah dapat dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi organisasi.