• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak bisa terlepas dari individu yang lain. Secara kodrat manusia akan selalu hidup berdampingan dengan memiliki budaya dan ciri khas yang berbeda pula.

Abdurrahmat Fathoni (2005:46) mengatakan bahwa:

Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak yang khas. Hal itu terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan.

Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaan sendiri.

Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil, berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena di antara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga karena warganya menganut sesuatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak yang khas tadi juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unusur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain. Seperti halnya dalam

1

Kabupaten Bulukumba, dimana menurut data statistik menunjukan bahwa seluruhnya bergama Islam. Namun demikian mereka masih sangat menjujung tinggi hukum adat yang oleh masyarakat komunitas Ammatoa dikenal dengan nama Pasang (hukum/aturan adat).

Komunitas Ammatoa sangat taat pada pasang, sehingga diimplikasikan langsung dalam konsep hidup beragama, dapat dikatakan bahwa Pasang ini adalah sebuah produk kearifan lokal yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional Ammatoa berupa hukum adat, yang bersumber pada keyakinan dari nenek moyangnya, telah diwariskan dari generasi ke generasi, apabila itu berlarut-larut tanpa ada pemecahan lebih lanjut, pada saatnya akan melahirkan prilaku-prilaku yang lebih merugikan, khususnya dalam hal konsep ajaran agama Islam.

Menurut H. Umar Syihab (1990:57) mengatakan bahwa Islam adalah suatu agama yang mengajarkan kebenaran-kebenaran dan tata nilai yang universal dan kekal. agama Islam mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sejajar dan laju perkembangan teknologi dan peradaban. Agama Islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw. 15 abad yang lalu masih dan akan tetap mempunyai fungsi sebagai pedoman hidup bagi umat Islam dibagian manapun, untuk masa kini dan masa selanjutnya.

Islam menghendaki manusia agar supaya selalu berada pada martabat yang tinggi. Islam memandang manusia sebagai makhluk

seperti alam dan tumbuhan. Kepada alam hewani dan terus meningkatkan sehingga menjadi makhluk yang berakal, berperasaan dan rasa indera.

Islam juga menghendaki agar manusia menjadi anggota yang berdayaguna bagi masyarakat.

Dalam pelaksanaan konsep ajaran agama Islam bagi komunitas Ammatoa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukmba Sulawesi Selatan.

Masih diantaranya mereka belum menjadikan agama Islam sebagai pegangan hidup, atau dengan kata lain belum menyikapi dan mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh. Dari segi aqidah misalnya mereka masih dipengaruhi dengan adat-adat kebiasaan yang dilakukan dalam hari-hari tertentu adat kebiasaan itu yang mana dalam pelaksanaannya sama halnya dengan masyarakat primitif yang menganggap roh itu mempunyai kekuatan (animisme) dan melakukan sesajen untuk roh-roh dan lain-lain. Demikian pula terhadap syariat Islam mereka tidak melakukan shalat disebabkan kurangnya pemahaman tentang ajaran agama Islam.

Namun disisi lain komunitas Ammatoa mempunyai prilaku keagamaan yang baik khususnya dalam masalah akhlak (etika) misalnya mereka menjunjung tinggi sifat rendah diri, ramah, sopa santun dan meraka pantang untuk melanggarnya.

Bertolak dari uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Perilaku Sosial Beragama Komunitas Ammatoa di kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan?

2. Bagaimana Pemahaman Komunitas Ammatoa terhadap Agama Islam?

3. Bagaimana Pemahaman Komunitas Ammatoa terhadap Ajaran Agama Islam?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penelitan ini adalah :

1. Untuk mengetahui Prilaku Sosial Beragama Komunitas Ammatoa di kecamatan Kajang kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.

2. Untuk mengetahui pemahaman Komunitas Ammatoa terhadap Agama Islam di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.

3. Untuk Mengetahui Pemahaman Komunitas Ammatoa terhadap Ajaran Agama Islam.

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain :

1. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat akademis (akademic significance) yang dapat menambah informasi dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kebudayaan pada khususnya serta sebagai bahan bacaan dan referensi bagi penelitian selanjutnya atau sebagai bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang melakukan penelitian atau penulisan dibidang yang sama.

2. Kegunaan praktis.

a. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah khususnya kepada pemerintah sekabupaten Bulukumba serta Departemen Agama.

b. Diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang nilainya tidak lebih sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meingkatkan prilaku beragama.

c. Menambah wawasan pengetahuan bagi penulisan mengenai prilaku sosial beragama dan pemahaman ajaran agama Islam.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Sosial Beragama 1. Pengertian Prilaku Sosial

Menurut Hurlock B. Elizabeth (1995:262) Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial. Pendapat lain mengatakan bahwa Perilaku sosial adalah sifat seseorang yang tercermin dalam ucapan dan tindakannya yang dilakukan sehari-hari. Perilaku Sosial juga merupakan tingkah laku manusia yang terjadi dalam masyarakat.

Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (2005:42) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut juga merupakan gejala yang direfleksikan oleh kekuatan dari dalam misalnya: kondisi iman, kondisi psikis atau fisik, dan cultur masyarakat. Perilaku adalah suatu yang berkaitan dengan interaksi seseorang dengan orang lain atau suatu yang lainnya, perilaku juga identik dengan tingkah laku atau akhlak kita, kepribadian yang baik dan tutur kata yang santun. Sedangkan keagamaan diberi pengertian sifat-sifat yang terdapat dalam agama, atau segala sesuatu mengenai agama.

7

Menurut Weber seorang jerman dan juga salah satu tokoh sosiologi pada tahun (1864-1920) dalam Soerjono Soekanto (2002 : 9) yang mana bentuk perilaku sosial timbal balik. Gejala itu kemudian tercermin pada pengertian sosial yang mana para individu secara mutual mendasarkan perilakunya pada perilaku yang diharapkan oleh pihak-pihak lain.

Sehingga dari kesimpulan yang tersebut di atas dapat di jelaskan bahwa perilaku sosial keagamaan adalah sifat seseorang yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang sifat tersebut tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Jamaludin Kaffie (2003 : 48) berikut ini pengertian perilaku sosial yang identik dengan tingkah laku, akhlak, dan budi pekerti.

1) Tingkah laku adalah semua proses (yaitu keadaan jiwa yang timbul dari nilai-nilai seseorang kemudian di terima oleh panca indra dan selanjutnya menimbulkan satu keputusan), yang merupakan dasar pembentukan sikap yang akhirnya melalui ambang terjadinya tindakan. Hal ini merupakan wujud dari nilai-nilai dan sikap seseorang untuk memiliki tingkah laku yang baik dalam masyarakat, yang dibentuk untuk memiliki kepribadian jiwa dan akhlak yang mulia. Tingkah laku seseorang terbentuk atas dasar jiwanya sendiri yang muncul sebagai suatu kepribadian seseorang. Jadi setiap seseoranglah yang membentuk karakter tingkah lakunya sendiri-sendiri.

2) Budi pekerti adalah perbuatan dan hasil rasio dan rasa yang dimanifestasi pada kasta dan tingkah laku masyarakat. Budi pekerti merupakan perbuatan yang kita lakukan sehari-hari di lingkungan masyarakat, yang mana perbuatan tersebut mencerminkan perilaku kita sehari-hari.

3) Akhlak menurut Ibnu Maskawih seorang tokoh islam terkemuka dari timur tengah yang terkenal dengan akhlak dan budi pekertinya. Mengartikan akhlak merupakan keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan tidak mengahajatkan pikiran.

2. Pengertian Beragama

Menurut Harun Nasution (2001:1) mengatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata sangkrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu “a” tidak dan “gama” pergi. Jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.

Ada juga yang mengartikan bahwa agama berasal dari bahasa sansekerta, yakni dari kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau (beraturan). Para ahli bahasa menyamakan dengan kata religion dari bahasa Inggris, religi dari bahasa belanda, atau religio dari bahasa latin yang akar katanya relogare yang berarti mengikat, dan ada pula yang mengartikan agama yaitu jalan bepergian (maksudnya

jalan hidup), lepas dari masalah mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya menganggap agama itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun oleh masyarakat manusia, agar hiudup menjadi tertib, damai dan tidak kacau.

Seorang sarjana barat, W.B. Sidjabat, dalam Badruddin Hsubky (1991 : 52) mengatakan bahwa agama adalah keprihatinan yang harus dari manusia, yang mengungkap jawaban tentang panggilan dari Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa dan Maha Kekal, dengan demikian agama berarti bukan sesuatu yang membingungkan. Tetapi sesuatu yang dapat mengarahkan, membimbing, atau menunjukkan manusia kejalan yang lurus.

Menurut Kaelany, (2000:17) mengemukakan bahwa agama adalah hal yang mengatur hidup manusia, meluruskan dan mengendalikan akal yang bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan saja menyebabkan manusia lupa diri, melainkan juga akan membawa ia ke jurang kesesatan, mengingkari Tuhan, tidak percaya kepada yang gaib dan berbagai akibat negatif lainnya. Kesemuanya itu nanti akan berakibat merugikan manusia itu sendiri. Tuhan menghendaki manusia beruntung dalam hidupnya, karena itu ia turunkan aturan hidup berupa Agama.

Menurut Edi Sedyawati dalam Kaelany (2000 : 66) memandang bahwa:

Agama adalah suatu sistem yang berintikan pada kepercayaan akan kebenaran-kebenaran yang mutlak disertai segala perangkat yang terintegrasi di dalamnya, meliputi tata peribadatan, tata peran para

pelaku, dan tata benda yang diperlukan untuk mewujudkan agama yang bersangkutan.

Para ahli agama dalam Ishomuddin (2002:31) sulit menyepakati apa yang menjadi unsur esensial agama. Namun hampir semua agama diketahui mengandung empat unsur penting yaitu:

1. Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.

2. Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib itu.

3. Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan gaib itu, seperti takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah, dan lain-lain.

4. Tingkah laku tertentu dapat diamati, seperti shalat (sembahyang), doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi, dan lain-lain sebagai buah dari tiga unsur perama.

Tiga unsur pertama merupakan jiwa agama, sedang unsur yang keempat merupakan bentuk lahiriah. Keyakinan atau pengakuan adanya kekuatan gaib, merupakan keyakinan pokok dalam semua agama, kecuali dalam agama Budha Hinayanah. Masyarakat primitif umumya meyakini ada tiga macam kekuatan gaib, yaitu kekuatan sakti, roh-roh terutama (roh-roh manusia yang telah wafat) dan dewa-dewa atau tuhan. Mereka sekaligus berpaham dinamisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bisa memberikan manfaat atau malapetaka kepada manusia; berpaham animisme yakni mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati roh-roh; terutama roh-roh manusia. Yang dapat menolong dan menggangu manusia; dan berpaham politeisme yakni mempercayai atau menyembah banyak dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan yang lebih besar dari roh;

atau berpaham henoteisme, yakni menyembah satu dewa atau satu

tuhan, tetapi tidak mengingkari adanya para dewa atau tuhan-Tuhan lain yang menjadi saingan bagi dewa atau Tuhan yang meraka sembah. Pada masyarakat primitif sebenarnya terdapat keyakinan tentang Tuhan atau dewa tertinggi, yang menciptakan para dewa dan alam semesta semuanya; akan tetapi sebagian mereka cenderung menyembah karena dianggap terlalu jauh untuk disembah seperti perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah SWT.

Menurut Harun Nasution (2001: 8) mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animisme, politeisme, atau henoteisme, tetapi agama monoteisme, agama tauhid. Dasar ajaran monoteisme ialah Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Dengan demikian perbedaan antara henoteisme dan monoteisme adalah bahwa agama akhir ini Tuhan tidak lagi merupakan Tuhan nasional tetapi Tuhan internasional, Tuhan semua bangsa di dunia ini bahkan Tuhan alam semesta.

Tujuan hidup dalam agama monoteisme bukan lagi mencari keselamatan materi saja, tetapi juga keselamatan hidup kedua atau hidup spiritual. Dalam istilah agama disebut keselamatan dunia dan keselamatan akhirat.

3. Sikap Beragama dan Pola Tingkah Laku Sosial

Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya

dengan suatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dengan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai sikap beragama, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi efektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individual.

Menurut Mar’at dalam Jalaluddin (2002:199), meskipun belum lengkap, Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengetian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa:

1. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan.

2. Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.

3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, temapat ibadah, maupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan, ataupun percakapan.

4. Sikap sebagai wujud dari kesiapan unntuk bertindak dengan cara tertentu terhadap objek.

5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan efektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu.

6. Sikap memiliki sikap intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah.

7. Sikap bergabung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan disaat situasi yang berbedabelum tentu cocok.

8. Sikap dapat bersifat ralatif konsisten dalam sejarah hidup individu.

9. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun komisi individu.

10. Sikap merupakan penilaian terhadap suatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan.

11. Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai.

Rumusan tersebut di atas, dapat menunjukkan bahwa sikap merupakan predis posisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen, kognisi, afeksi, dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dan komponen tersebut secara kompleks. Tiga komponen psikologi di atas yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap suatu objek, baik yang berbentuk konkret ataupun objek yang abstrak.

Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau diprediksikan tentang objek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang), sedangkan komponen konasi dihubungkan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek. Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu objek.

Bagaimana bentuk sikap beragama dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terdapat objek yang ditentukan oleh pengaruh kepribadian dan

faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu menggugah motif untuk bertingkah laku.

Sedangkan menurut pandangan psikologi dalam Jalaluddin (2002:242) bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi efektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata (over behavior) sedangkan reaksi afetif bersifat tertutup (cover).

Menurut Ahmad Mobarak (2000:66) mengatakan bahwa Tingkah laku manusia dapat dibedakan dari berbagai segi secara psikologi tingkah laku manusia dapat dibagi menjadi tiga kelompok:

1. Tingkah laku yang bersifat fitrah dan yang diusahakan.

2. Tingkah laku yang disengaja dan yang tidak disengaja.

3. Tingkah laku yang lahir dan tingkah laku batin.

Dari segi akhlak, tingkah laku manusia merupakan perwujudan dari kualitas kepribadiannya. Kepribadian seseorang merupakan sinergi dari pilar-pilar internal, termasuk keyakinan agama yang dimilikinya.

4. Fungsi dan Peran Agama

Para ahli antropologi dalam Ishomuddin (2002 : 50) memandang agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dari inti dan sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dari menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.

Sedangkan fungsi agama menurut para ahli sosiologi dalam Ishomuddin (2002 : 51) yang berbeda satu sama lain; “sebagai pemujaan

masyarakat (Durkheim); sebagai ideologi (Marx) dan sebagai sumber perubahan sosial (Webers). Fungsi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Metta Spenser dan Alex Inkeles yaitu fungsi dukungan, fungsi kependetaan, fungsi kontrol sosial, fungsi kenabian dan funsi identitas.

Fungsi agama bagi masyarakat kalau kita kaji dari sudut pandang sosiologis menurut E.K Nottingham sebagaimana dikutip oleh Ishomuddin bahwa secara empiris, agama dapat berfungsi di dalam masyarakat antara lain sebagai:

1. Faktor yang mengintegrasikan masyarakat;

2. Faktor yang mendistegrasikan masyarakat;

3. Faktor yang bisa melestarikan nilai-nilai sosial; dan

4. Faktor yang bisa memainkan peran yang bersifat kreatif inovatif dan bahkan bersifat revolusioner.

Fungsi yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi dalam Islam terlihat lebih terinci sesuai dengan ajaran agama islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seisi alam ini, yang ajaran-ajarannya sarat dengan perintah tentang ibadah dan muamalah. Ada ahli mengklasifikasikan inti pokok ajaran Islam itu berupa pokok ajaran Islam itu berupa aspek ibadah dan aspek tanggungjawab menusia untuk menanamkan kebenaran (amar ma’ruf) dan mencegah kerusakan (nahya anil mungkar) disinilah letak posisi sentral Al-Qur’an dalam Islam.

Djamaluddin al-Afghany seperti yang dikutip oleh Ishomuddin (2002:52) mengatakan bahwa agama memandang perlu untuk memimpin akal manusia menganut tiga macam kepercayaan antara lain;

1. Tashdiq, penuh kepercayaan bahwa manusia itu raja bumi, dan dialah makhluk termulia bi bumi.

2. Penuh keyakinan, bahwa orang yang beragama adalah umat yang paling mulia, sebaliknya orang yang menentang adalah dalam kesesatan dan kebatilan.

3. Menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwa manusia hidup di dunia hanya untuk mencapai hasil yang nyata, agar menyiapkan dirinya berpindah naik ke alam yang lain yang lebih tinggi dan lebih luas dari pada alam dunia, dan untuk berpindah dari alam yang sempit benyak gangguan atau lebih tepat disebut tempat kesusahan dan alam penderitaan ke tempat yang luas tanpa penderitaan.

Ketiga macam keparcayaan itu menurut Afgany diperlukan guna, 1) sebagai penangkis permusuhan; 2) membawa umat untuk berlomba melakukan pekerjaan utama; 3) sebagai benteng pertahanan menghadapi golongan penindas.

Fungsi agama diberbagai komunitas sistem sosial memang beda-beda di dalam masyarakat tradisional, agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, menjalankan baik fungsi asketik, fungsi integrsi maupun fungsi-fungsi lainnya. Kenyataan tentang fungsi agama kiranya telah diwakili dalam pandangan ahli-ahli sosiolog kenamaan atas.

Menurut Jalaluddin (2002 : 245) masalah agama tak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain;

1. Berfungsi sebagai edukatif;

2. Berfungsi sebagai penyelamat;

3. Berfungsi sebagai perdamaian;

4. Berfungsi sebagai sosial kontrol;

5. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas;

6. Berfungsi sebagai transformatif;

7. Berfungsi sebagai kreatif;

8. Berfungsi sebagai sublimatif.

Fungsi edukatif adalah ajaran agama yanng meraka anut, memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melrang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

Fungsi penyelamat, dimanapun manusia berada dia selalu mengiginkan dirinya seelamat. Keselamatan yang meliputi bidang yang luas diajarkan oleh agama, yaitu keselamatan dunia akhirat. Agama berfungsi sebagai perdamaian, bahwa melalui agama seseorang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.

Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menghilang dari batinnya, apabila seorang pelanggar telah menebus dosanya melalui tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.

Agama berfungsi sebagai sosial kontrol adalah ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas, karena para penganut agama psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan. Rsa

Agama berfungsi sebagai sosial kontrol adalah ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas, karena para penganut agama psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan. Rsa

Dokumen terkait