• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri perbankan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perbankan sebagai lembaga

intermediary institution, sangat mengandalkan asas kepercayaan sehingga

sangat rentan terhadap isu negatif terkait dengan kinerja atau potensi fraud sebagai agen of trust, bank harus benar-benar menjaga kepercayaan yang diberikan nasabah untuk mengelola dananya secara aman dan menguntungkan. Kinerja bank yang berjalan dengan baik akan dapat menyokong pertumbuhan bisnis karena peran bank disini adalah sebagai penyedia dana investasi dan modal kerja bagi unit-unit bisnis dalam melaksanakan fungsi produksi (Mandasari, 2015).

Peran aktif industri perbankan akan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional ke arah peningkatan kesejahteraan bangsa. Perannya yang penting menyebabkan industri perbankan sebagai industri high regulated mendapat perhatian khusus dari pemerintah dibandingkan industri lainnya. Industri perbankan mempunyai tujuan untuk menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kebutuhan akan penilaian kinerja perbankan harus dapat terpenuhi dengan baik dan tepat.

Stabilitas industri perbankan yang memburuk, menyebabkan perekonomian negara ke dalam krisis multidimensional. Salah satu contohnya adalah krisis moneter 1997-1998. Kualitas penerapan tata kelola perusahaan (corporate governance) dan manajemen risiko korporasi di Indonesia yang

rendah diduga kuat menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia pada krisis moneter 1997-1998, khususnya industri perbankan. Oleh karena itu, penerapan tata kelola perusahaan pada sektor keuangan harus lebih ketat dibandingkan sektor non keuangan karena menyangkut keamanan investasi (Hanggraeni, 2014).

Dalam perkembangan mengenai bagaimana cara penilaian tingkat kesehatan bank, evaluasi kinerja yang dilakukan bank selama ini hanya terfokus pada sisi upside bisnis (pencapaian laba dan pertumbuhan) tidak membahas sisi

downside (risiko). Evaluasi yang hanya fokus pada sisi upside cenderung bias

dan tidak berorientasi pencapaian jangka panjang sehingga penilaian tingkat kesehatan bank (mencakup sisi upside dan downside) menjadi solusi penilaian kinerja yang lebih komprehensif. Langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral dalam upaya membangun kembali perekonomian Indonesia melalui pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/1/PBI/2011 tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum, di mana bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara self assesment berlaku sejak 1 Januari 2012, yang meliputi aspek risiko, tata kelola perusahaan, rentabilitas, dan permodalan.

Bank yang memiliki tingkat kesehatan yang baik dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik pula. Kinerja keuangan perbankan yang baik dapat dilihat dari kemampuan untuk menghasilkan laba dan tingkat efisiensi operasi yang tinggi sehingga mampu berkembang secara optimal (PBI, 2007). Dalam penilaian kinerjanya, perbankan menggunakan standar internasional penilaian kinerja bank dengan tingkat kesehatan. Berdasarkan keputusan peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank, bank wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dalam bentuk yang telah ditetapkan, sehingga dapat diketahui pengelolaan sumber dananya. Dengan

demikian, tingkat kesehatan bank dapat digunakan sebagai ukuran pencapaian kinerja bank yang komprehensif untuk input planning ke depan.

Teori yang menjelaskan pentingnya pengukuran kinerja adalah teori signal (signalling theory). Teori signal yang dikemukakan oleh Akerlof (1970) menempatkan manajer selaku pemegang amanat, mempunyai kewajiban menyampaikan informasi tentang kinerja, posisi keuangan perusahaan, dan keadaan lainnya kepada pemilik. Teori signal membahas bagaimana seharusnya signal-signal yang akan disampaikan manajemen (agen) kepada pemilik (principal) sebagai pertimbangan untuk menentukan sinyal yang baik (good

news) atau sinyal yang buruk (bad news). Teori signal menjelaskan bahwa

pemberian signal dilakukan oleh manajemen untuk mengurangi asimetri informasi. Kurangnya informasi yang diperoleh pihak luar tentang perusahaan menyebabkan pihak luar melindungi diri dengan memberikan nilai rendah untuk perusahaan tersebut.

Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi asimetris informasi, salah satu caranya adalah dengan memberikan signal kepada pihak luar berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya sehingga dapat mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan pada masa yang akan datang. Adapun motivasi manajemen menyajikan informasi keuangan diharapkan dapat memberikan signal kemakmuran kepada pemilik ataupun pemegang saham. Laporan keuangan yang mencerminkan kinerja baik menjadi signal atau tanda bahwa perusahaan telah beroperasi dengan baik. Signal baik akan direspon dengan baik pula oleh pihak luar, karena respon pasar sangat tergantung pada signal fundamental yang dikeluarkan perusahaan.

Industri perbankan berada dalam kondisi persaingan dan regulasi yang ketat. Dalam menghadapi tantangan berat dan persaingan yang ketat, bank harus terus berusaha meningkatkan kinerjanya. Kinerja keuangan akan semakin

baik dan unggul dalam persaingan, jika ada perbaikan yang dilaksanakan secara terus menerus. Untuk itu, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Mekanisme untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja keuangan tersebut adalah penerapan tata kelola yang baik dalam organisasinya atau lebih dikenal dengan tata kelola perusahaan.

Krisis keuangan yang pernah dialami Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan penurunan kinerja perbankan nasional, sehingga penerapan tata kelola perusahaan menjadi permasalahan penting dalam dunia perbankan. Laporan Organization for Economic Corporation and Development (OECD) baru- baru ini menyimpulkan bahwa krisis keuangan terkait dengan kegagalan dan kelemahan dalam pengaturan tata kelola perusahaan (Kirkpatrick, 2009). Penerapan tata kelola perusahaan ini dinilai dapat memperbaiki citra perbankan yang sempat buruk, melindungi kepentingan stakeholders serta meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan etika-etika umum pada industri perbankan dalam rangka mencitrakan sistem perbankan yang sehat. Selain itu, penerapan tata kelola perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kinerja perbankan karena penerapan tata kelola perusahaan ini dapat mengurangi risiko akibat tindakan pengelolaan yang cenderung menguntungkan diri sendiri.

Kewajiban menerapkan tata kelola perusahaan di sektor perbankan juga telah dicetuskan oleh Bank Indonesia (BI), yaitu PBI No.8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik bagi bank umum. BI selaku otoritas perbankan menyadari bahwa semakin kompleksnya risiko yang dihadapi oleh bank, menuntut diimplementasikannya penerapan tata kelola perusahaan dengan kualitas yang semakin tinggi pula. Peraturan yang dikeluarkan BI

bertujuan untuk meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan

stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan. Dengan demikian, sifat khusus perbankan tidak hanya memerlukan pandangan yang lebih luas mengenai tata kelola perusahaan tetapi juga intervensi pemerintah melalui regulasi dan pengawasan dalam rangka untuk mengendalikan perilaku manajemen dalam mengambil alih sektor perbankan.

Permasalahan yang paling mendasar adalah terdapat konflik kepentingan yang berpotensi menimbulkan biaya keagenan yang sangat signifikan, sehingga dikhawatirkan akan menurunkan nilai perusahaan (Hanggraeni, 2014). Konflik kepentingan muncul akibat adanya perbedaan kepentingan dan ketidak-seimbangan kekuatan antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Hal ini berimplikasi bahwa terjadi peluang untuk eksploitasi kekuatan yang mengakibatkan terganggunya sebuah sistem perusahaan. Mekanisme tata kelola perusahaan dibutuhkan agar aktivitas pada suatu organisasi dapat berjalan sehat sesuai dengan arah yang ditetapkan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh James D. Wolfensohn,

President of the World Bank, (1999), terdapat dua teori utama yang terkait

dengan tata kelola perusahaan adalah stewardship theory dan agency theory.

Stewardship theory memandang manajemen dapat dipercaya untuk bertindak

dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun

shareholders pada khususnya (Donaldson & Davis, 1989, 1991). Peran Chief Executive Officer (CEO) dan Chair of the board (chairman) dipegang oleh

individu yang sama dengan tujuan agar dapat meningkatkan efektivitas yang diperoleh, serta mengutamakan superior return bagi para pemegang saham dibandingkan dengan adanya pemisahan peran CEO dan Chairman. Secara tersirat diasumsikan bahwa tujuan-tujuan manajemen dan tujuan-tujuan dari para

pemegang saham diselesaikan secara konsisten satu sama lainnya (Salim, 2011).

Sebuah teori yang muncul kemudian, yaitu agency theory, memberikan cara pandang yang baru mengenai tata kelola perusahaan. Hubungan keaganenan muncul ketika pengelolaan suatu perusahaan terpisah dari kepemilikannya antara pemilik perusahaan (shareholder) atau para pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai principal di satu pihak, dan direksi perusahaan (top management atau corporate management) sebagai agen di lain pihak (Jensen dan Meckling, 1976). Seringkali para manajer juga sebagai para pemegang saham sehingga tidak mengejutkan jika ada pertimbangan saling melengkapi dalam tujuan-tujuan mereka. Di pihak lain, juga tidak mengejutkan jika manajemen tidak terkendali, cenderung akan mengelola perusahaan dengan tujuan memaksimumkan kemakmuran para manajernya lebih daripada kemakmuran para pemegang saham. Hal ini dapat berakibat terjadi ketimpangan informasi (asimetri infomasi) antara manajer dan shareholder.

Secara sepintas nampaknya penerapan tata kelola perusahaan di bank umum tidak berbeda dengan perusahaan lainnya, akan tetapi tidaklah demikian halnya. Tata kelola perusahaan pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan bila dibandingkan tata kelola pada lembaga keuangan non bank. Dalam banyak perilaku manajer dan pemilik bank merupakan faktor utama yang memerlukan perhatian dalam penerapan tata kelola perusahaan. Dalam banyak hal konsep teori keagenan (agency theory) yang sering digunakan dalam penerapan tata kelola perusahaan tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam industri perbankan.

Industri perbankan mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi daripada industri lainnya sehingga kemungkinan muncul asimetri informasi juga tinggi. Asimetri terjadi di antara deposan, manajer bank, pengurus bank, debitor,

pemegang saham, bank dan regulator. Industri perbankan mempunyai kompleksitas yang lebih tinggi daripada industri lainnya sehingga kemungkinan muncul asimetri informasi juga tinggi. Dampak yang terjadi karena tingginya asimetri informasi dapat mempersulit pihak luar untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja tata kelola bank. Kompleksitas muncul apabila jumlah pemegang saham dalam jumlah besar dan tersebar sehingga meningkatkan kompleksitasnya. Begitu sebaliknya, pengendalian terhadap manajemen akan lebih mudah dengan adanya pemegang saham pengendali yang dominan, akan tetapi hal tersebut menjadi peluang munculnya misconduct, fraud, atau moral

hazard terhadap pengelolaan dana masyarakat untuk memenuhi kepentingan

pribadi atau kelompok. Asimetri atas informasi keuangan adalah sumber risiko yang tinggi, baik risiko kredit, risiko operasional maupun risiko hukum serta menjadi salah satu sumber utama terjadinya kejahatan perbankan.

Karakteristik perbankan memiliki keunikan tersendiri apabila dibandingkan dengan perusahaan keuangan lainnya, maupun perusahaan non keuangan sehingga pelaksanaan tata kelola perusahaannya juga unik. Keunikan tersebut dapat dilihat dari aset perbankan yang rata-rata terdiri dari kredit yang sebagian besar memiliki sifat jangka panjang, sedangkan liabilitas yang terdiri dari tabungan dan deposito lebih bersifat sebagai jangka pendek. Penyaluran kredit dapat bersifat negatif apabila masuk dalam kategori gagal bayar sehingga meningkatkan risiko bank, dan juga sebaliknya. Hal inilah yang mendorong perbankan untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan asetnya agar tidak terjadi

mismatch antara pasiva dan aktiva sehingga dapat menyebabkan pembukuan

negatif bagi bank.

Industri perbankan menegaskan bahwa dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban

(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Agustina (2016) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip tata kelola perusahaan di Indonesia mengadopsi dari prinsip-prinsip dikeluarkan oleh OECD, yang memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan tata kelola perusahaan, serta merupakan standar minimal yang akan ditindaklanjuti dan dirinci dalam pedoman sektoral yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Akan sulit untuk mempertahankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan jika hanya mengandalkan peraturan, karena yang lebih penting adalah memelihara budaya etika yang kuat, dan kejujuran. Oleh karena itu, baik badan nasional maupun internasional telah merumuskan dan menerbitkan peraturan dan panduan praktik tata kelola perusahaan sebagai usaha untuk meningkatkan praktik-praktik tata kelola perusahaan yang sesuai dengan negaranya.

Penerapan tata kelola perusahaan di Indonesia mulai aktif dilakukan karena dorongan dari regulasi dan sanksi yang akan didapatkan apabila melanggar. Pelaksanaan tata kelola perusahaan pada sebagian besar perusahaan di Indonesia merupakan awal perubahan budaya kerja perusahaan (Yulinar, 2009). Untuk meningkatkan kinerja perusahaan perlu menyiapkan pedoman perusahaan yang baik dan terstruktur. Kinerja keuangan yang baik akan berakibat pada perumusan perencanaan strategi perusahaan yang baik pula yang pada akhirnya menghasilkan program kerja yang baik dan berimbas pada keuntungan atau laba perusahaan. Hal ini bisa dicapai jika ada kerja sama dan tata kelola yang baik dari seluruh komponen perusahaan.

Kajian tentang pengaruh pelaksanaan tata kelola perusahaan terhadap kinerja perusahaan juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui penerapan manajemen risiko. Kajian tentang pengaruh pelaksanaan tata kelola perusahaan terhadap kinerja perusahaan telah dilakukan oleh Outa dan Waweru (2016) yang

menunjukkan bahwa CGI (corporate governance index) berpengaruh signifikan positif terhadap financial performance. Temuan tersebut didukung oleh Hoque, et

al. (2012) yang menemukan bahwa kepemilikan publik dan frekuensi pertemuan

komite audit, ukuran direksi, dan independensi direksi secara signifikan positif berpengaruh terhadap kinerja bank yang terdiri dari Return of Equity (ROE),

Return of Asset (ROA) dan Tobin’s Q.

Berbeda halnya dengan hasil penelitian Munisi dan Randoy (2013) yang menemukan bahwa dewan direksi dan komite audit berpengaruh signifikan negatif terhadap kinerja akuntansi dan komite audit signifikan negatif terhadap kinerja pasar. Peters dan Bagshaw (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar

item corporate governance telah diungkapkan perusahaan, sedangkan sektor

perbankan memiliki tingkat pengungkapan tata kelola perusahaan tertinggi dibandingkan dengan dua sektor lainnya, serta tidak ada perbedaan antara perusahaan dengan pengungkapan corporate governance yang tinggi atau rendah terhadap kinerja keuangan.

Shahwan (2015) menunjukkan bahwa rata-rata skor keseluruhan

corporate governance index (CGI) dari kualitas praktek corporate governance

dalam perusahaan Mesir yang listing relatif rendah, sedangkan praktek corporate

governance tidak berpengaruh signifikan terhadap financial performance. Hasil

penelitian tersebut didukung oleh Rahayu (2013) dan Hassan dan Halbouni (2013) yang menemukan bahwa tata kelola perusahaan tidak berpengaruh terhadap financial performance, bahkan Aebi, et al. (2012) dan Poudel (2012) menyatakan bahwa standar tata kelola perusahaan tidak signifikan negatif terhadap kinerja bank selama krisis.

Sejalan dengan perubahan paradigma organisasi dan semakin meningkatnya tingkat kompleksitas yang dihadapi oleh perusahaan, maka kebutuhan terhadap pengelolaan risiko juga semakin tinggi. Hal inilah yang

melatar belakangi Bank Indonesia (BI) mengenalkan manajemen risiko di tahun 2003 melalui PBI no. 5/8/PBI/2003. Dengan tujuan memperkuat awareness pelaku perbankan terhadap manajemen risiko, BI mengeluarkan PBI no. 7/25/PBI/2005 tentang sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank umum. Seiring dengan peningkatan awareness tersebut, BI memperbarui dan menyempurnakan PBI no 5/8/PBI/2003 menjadi PBI no. 11/25/PBI/2009. Pengelolaan profil risiko dalam proses penerapan manajemen risiko di perbankan Indonesia tentu tidak mudah untuk dilakukan. Walaupun telah diatur oleh peraturan-peraturan tersebut, pada kenyataannya masih banyak bank yang belum melakukan pengungkapan secara penuh atas risiko keuangan yang dimiliki.

Lingkungan perekonomian yang tidak stabil dan ketatnya tingkat persaingan, menyebabkan perusahaan tidak lepas dari berbagai risiko yang mengancam pencapaian kinerja yang telah ditargetkan karena pencapaian kinerja yang tinggi mengandung risiko yang tingi pula (Badriyah, 2015). Bila dilihat terjadinya kerugian dengan teori harga arbitrase, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil investasi, yang mana setiap faktor adalah sumber terpisah dari risiko sistematis. Risiko tidak sistematis adalah risiko yang berhubungan dengan semua faktor. Risiko dapat muncul dari faktor internal maupun eksternal, antara lain strategi bisnis, karakteristik bisnis, kompleksitas produk dan aktivitas bank, industri di mana bank melakukan kegiatan usaha, serta kondisi makroekonomi (PBI, 2011).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Peraturan ini dikeluarkan karena situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko usaha perbankan. Diversifikasi

dan konglomerasi keuangan menimbulkan beragam produk yang berakibat pada potensi kewajiban terjadinya risiko yang meningkat secara saling berhubungan (Cumming dan Mirtle, 2001). Hal ini akan meningkatkan kebutuhan praktik tata kelola perusahaan, fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko bank.

Proses manajemen risiko diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan pengendalian atas setiap risiko sudah dilakukan dalam kegiatan operasional bank, sedangkan pendekatan kuantitatif diperklukan untuk mengatur sampai seberapa jauh risiko yang dihadapi dan seberapa besar kerugian yang akan dialami. Bank Indonesia menggunakan 8 jenis alternatif penilaian profil risiko yang wajib dikelola dan dilaporkan oleh bank-bank di Indonesia yaitu dengan penilaian risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko stratejik, risiko reputasi dan risiko kepatuhan. Lahir dari sifat intermediasi, bank menghadapi empat risiko dasar, yaitu risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kredit, dan risiko suku bunga (Eken dan Kale, 2013). Namun hingga saat ini, tidak ada konsensus yang menyatakan secara tepat tentang pengukuran risiko perbankan.

Dalam penelitian ini akan lebih difokuskan kepada risiko yang dianggap sangat krusial yaitu risiko kredit dan risiko operasional. Risiko kredit dapat terjadi setelah diawali dengan risiko operasional. Namun risiko operasional sering diidentifikasikan secara keliru sebagai risiko kredit, atau pun sebaliknya. Seringkali default debitur dan konsentrasi pinjaman mengarah pada munculnya risiko kredit, sedangkan kesalahan dalam menganalisa, pengikatan jaminan dan dokumentasi atas kredit menjadi pemicu terjadinya risiko operasinal.

Kegagalan kredit di bank bukanlah hal yang baru atau jarang terjadi, yang mana mempengaruhi posisi likuiditas serta arus kas dan keuntungan. Oleh karena itu, Greuning dan Bratanovic dalam Simon (2015) menegaskan bahwa

risiko kredit adalah ancaman terbesar untuk setiap kinerja bank dan penyebab utama kegagalan bank. Aktivitas kredit sendiri merupakan salah satu kegiatan utama sebuah bank karena bila bank tidak memberikan kredit kepada debitur berarti tidak ada uang yang berputar dan tidak ada bunga yang dapat ditarik dari para peminjam. Padahal bunga kredit tersebut merupakan pendapatan utama dari sebuah bank. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian kredit merupakan suatu aktivitas yang tidak dapat dihindari dari sebuah bank dan adanya aktivitas kredit pasti juga akan diikuti kemungkinan timbulnya risiko kredit.

Kajian tentang pengaruh pelaksanaan tata kelola perusahaan terhadap risiko kredit telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Permatasari dan Novitasary (2014) yang menunjukkan bahwa tata kelola perusahaan berpengaruh terhadap manajemen risiko. Temuan tersebut didukung oleh Roziq dan Danurwenda (2012) yang menyatakan bahwa tata kelola perusahaan secara signifikan berpengaruh terhadap risiko bisnis Bank Islam. Barbosa, et al. (2014) menjelaskan bahwa bank cenderung untuk memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang mengadopsi praktik corporate governance dengan baik, sedangkan penerapan praktik corporate governance dianggap sangat relevan dalam proses penilaian risiko kredit.

Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Rachmadan dan Harto (2013) yang menemukan bahwa indikator tata kelola perusahaan yang lain tidak berpengaruh terhadap manajemen risiko. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Rachdi, et al. (2013) bahwa indikator corporate governance (bank kecil dan

board duality, independent directors, dan board of directors) tidak berpengaruh

signifikan terhadap risiko kebangkrutan dan risiko kredit.

Sejak Basel II (Basel Capital Accord II) dalam perannya sebagai regulator dan pengawas perbankan di Indonesia mulai disosialisasikan dan diwajibkan

bagi lembaga perusahaan, mulailah dikenal jenis risiko yang jauh lebih luas daripada risiko kredit dan risiko pasar, yaitu risiko operasional. Pengelolaan risiko operasional bertujuan untuk mengantisipasi potensi kerugian yang telah atau hampir terjadi yang disebabkan karena kurang memadai atau tidak berfungsinya proses-proses internal, faktor kesalahan manusia, kelemahan sistem dan teknologi atau berbagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh negatif terhadap operasional perusahaan.

Kajian tentang pengaruh pelaksanaan tata kelola perusahaan terhadap risiko operasional telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya penelitian Chernobai, et al. (2011) yang menunjukkan corporate governance berpengaruh signifikan terhadap risiko operasional. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Liu dan Cortes (2015) yang menunjukkan bahwa shock absorption capability,

governance, risk management berpengaruh positif signifikan terhadap efisiensi operasional. Berbeda halnya dengan Kallenberg (2009) yang menjelaskan

bahwa pendekatan operational risk management (ORM) pada industri Swedia saat ini bersifat kurang formal dan cenderung berbentuk dalam aktivitas sederhana, sedangkan pendekatan enterprise risk management ( ERM) lebih disukai karena berbentuk formal, desentralisasi, pragmatis, bottom-up terhadap eksposur risiko secara keseluruhan.

Perusahaan yang mengenali dan mengatasi risiko, akan mendapatkan keunggulan kompetitif dalam jangka panjang (Lipworth, 1997), yang dapat menjaga stakeholders mendapatkan hak mereka masing-masing, karena sistem manajemen risiko yang didesain dengan baik akan memastikan bahwa seluruh aktivitas yang mengandung risiko dievaluasi dengan hati-hati oleh manajer dan pekerja yang bertanggungjawab (Nocco dan Stulz, 2006). Dengan menerapkan manajemen risiko akan lebih baik dalam mengendalikan risiko, perusahaan dapat lebih mengeksplorasi dan mengeksploitasi peluang yang ada, memperbaiki

hubungan dengan pemangku kepentingan, dapat meningkatkan reputasi perusahaan dan juga melindungi direksi dan pejabat lainnya dalam mengelola perusahaan (Susilo dan Kaho, 2010). Oleh karena itu, penerapan manajemen risiko yang tepat akan mengantarkan perusahaan meraih tujuan yang sudah ditargetkan tanpa mengesampingkan kepentingan seluruh elemen stakeholder dengan memastikan keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.