• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi yang terus berkembang, setiap perusahaan diperhadapkan dengan situasi yang terus berubah. Perkembangan yang kian terjadi mengindikasikan adanya sesuatu yang berubah. Dengan adanya perkembangan, perusahaan dituntut untuk mampu menanggapi setiap perubahan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan mampu beradaptasi sesuai perkembangan yang ada dan terlebih lagi untuk dapat bersaing secara kompetitif dengan perusahaan lain. Maka dari itu, salah satu aspek yang sangat penting ialah sejauh mana perusahaan mampu memperhatikan dan mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya.

Kekuatan sumber daya manusia dalam suatu organisasi semakin disadari keberadaannya sehingga manusia dipandang sebagai aset terpenting dari berbagai sumber daya dalam organisasi (Sumual, 2017). Bahkan, Sumual dalam tulisannya, menegaskan bahwa sumber daya manusia menjadi salah satu posisi yang kuat dalam suatu organisasi melebihi sumber daya lainnya.

Menurut Pablos dan Lytras (2008), sumber daya manusia yang efektif akan menghasilkan kapasitas yang lebih tinggi untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berkualitas dan termotivasi untuk kinerja yang baik. Dengan adanya, sumber daya manusia yang unggul diharapkan mampu mencapai target yang dikehendaki oleh sebuah perusahaan sehingga dapat memberikan kontribusi secara optimal.

Suatu organisasi atau perusahaan tentunya menginginkan adanya kinerja yang bagus dari sumber daya manusia yang dimiliki. Namun, sering kali terjadi kesalahan dalam bekerja yang dilakukan oleh para pekerja.

Kesalahan-kesalahan yang terjadi bisa saja dalam lingkup internal maupun eksternal yang berkemungkinan dapat berdampak bagi mekanisme kerja perusahaan. Salah satu masalah yang akrab terjadi di lingkungan kerja, ialah ketidakseimbangan dalam kehidupan kerja. Berdasarkan tulisan yang dikutip dari sebuah situs (https://www.kompasiana.com) berjudul fenomena “Work-Life Balance” menunjukkan bahwa tingginya jam kerja menjadi salah satu kendala kurangnya waktu pribadi dan waktu bersama dengan keluarga. Para pekerja berhadapan dengan dua kenyataan riil yang harus mereka hadapi;

sekurang-kurangnya harus balance. Di satu sisi, berhadapan dengan kondisi kerja di tempat kerja, sedangkan di sisi yang lain, seorang pekerja harus juga mampu mengatur kehidupan pribadinya (keluarga). Jika salah satu diabaikan maka dapat mempengaruhi yang lain; begitu pula sebaliknya.

Meskipun, tak dapat diartikan secara tepat dan definitif (Lockwood, 2003; Firmansyah, 2017; bahkan Kalliath dan Brough, 2008) menyatakan bahwa work-life balance tidak mengandung satu definisi atau makna yang jelas. Namun, menurut Wong dan Ko (2009) bahwa keseimbangan kehidupan kerja dapat didefinisikan ke arah orang-orang yang memiliki ukuran kendali atas kapan, di mana, dan bagaimana mereka bekerja. Ini dicapai ketika hak individu untuk kehidupan yang dipenuhi di dalam dan di luar pekerjaan yang dibayar, diterima dan dihormati sebagai norma untuk saling menguntungkan

individu, bisnis dan masyarakat. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Smith, Brower dan Smith (2016) bahwa keseimbangan kehidupan kerja mengacu pada cara orang mendistribusikan waktu antara pekerjaan dan kegiatan lainnya, seperti keluarga, kegiatan pribadi, dan keterlibatan masyarakat. Begitu pula, lingkungan kerja yang memfasilitasi keseimbangan kehidupan kerja tidak hanya menguntungkan kehidupan pribadi karyawan tetapi juga mengarah pada kinerja pekerjaan yang lebih baik (Penelitian oleh Linnoff, Smith dan Smith dalam Smith et al., 2016).

Selain itu, salah satu hal lain yang juga sering dialami oleh para pekerja, ialah stres kerja. Bahwasanya, stres kerja yang sering dialami oleh karyawan disebabkan oleh adanya tekanan pekerjaan yang tinggi dan berlebihan (http://www.kompasiana.com). Meskipun demikian, situs tersebut melaporkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh perusahaan Cigna bahwa secara global, tingkat stres orang Indonesia paling rendah (https://lifestyle.kompas.com). Kenyataan ini tidak berarti bahwa warga Indonesia tak dapat mengalami stres. Bahkan, organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat ketetapan baru yang mendefinisikan stres kerja adalah sindrom yang dikonseptualisasi sebagai hasil dari stres kronik di tempat kerja yang tidak terkelola dengan baik, dilansir oleh (https://m.detik.com).

Dalam pemahaman mengenai stres kerja, stres dimaknai sebagai respon adaptif seseorang terhadap tuntutan fisik dan atau psikologis terhadapnya sebagai akibat dari interaksinya dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Lindawati, 2014). Menurut Robbins dan Coulter (2014), stres kerja adalah

reaksi negatif yang harus dihadapi seseorang terhadap tekanan berlebihan yang diberikan kepada mereka dari tuntutan, kendala, atau peluang luar biasa. Hal serupa juga dinyatakan oleh Wijaya (2017) bahwa stres merupakan interaksi unik antara kondisi stimulus dalam lingkungan dan cara individu untuk merespons dengan cara tertentu.

Dalam hidup organisasi, kepuasan karyawan dalam bekerja menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh manajemen perusahaan.

Seorang atasan sedapat mungkin harus memastikan para karyawannya merasa puas dalam bekerja. Banyak hal yang sering terjadi dalam kaitannya dengan kepuasan kerja. Bentuk yang sering kali kita temui ialah dengan pemberian bonus, kompensasi, atau pun reward. Menurut Puspitawati dan Riana (2014), kepuasan kerja merupakan perasaan puas individu karena harapan sesuai dengan kenyataan yang diperoleh di tempat kerja baik dalam hal beban kerja, lingkungan atau kondisi kerja, hubungan dengan rekan kerja atau penyelia, dan kompensasi. Senada juga seperti yang ditulis oleh George dan Gareth (2012) dalam sebuah buku bahwa kepuasan kerja merupakan kumpulan perasaan dan keyakinan yang dimiliki seseorang tentang pekerjaan mereka saat ini.

Ditegaskan lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukan oleh Verma (2020) bahwa kepuasan kerja lebih merupakan sikap, perilaku, keadaan pikiran internal seorang karyawan sehingga menjadi penting bagi sebuah organisasi untuk memastikan bahwa karyawan mereka dijaga tidak hanya dalam hal moneter tetapi untuk memastikan mereka memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi setiap saat. Sementara itu, oleh Wibowo, Riana dan Putra (2015) bahwa

kepuasan kerja merupakan perasaan dalam bekerja, kepuasan dapat dilihat sebagai hasil interaksi karyawan terhadap lingkungan kerjanya.

Prasetio (2016) menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam keberhasilan sebuah perusahaan adalah perilaku organisasi. Studi mengenai perilaku organisasi dapat dipandang melalui beberapa aspek, di antaranya adalah motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen karyawan, budaya organisasi, loyalitas, dan kepemimpinan. Aspek-aspek tersebut diduga memiliki kaitan dengan pencapaian sasaran kinerja perusahaan dan organisasi. Salah satu perilaku karyawan yang juga berkaitan erat dengan kinerja individu dan organisasi adalah perilaku kewarganegaraan organisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah Organizational Citizenship Behavior atau sering disingkat OCB.

Menurut Organ, Podsakoff dan MacKenzie (2006), Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku individu yang bebas, tidak secara langsung atau eksplisit diakui dalam sistem pemberian penghargaan dan dalam mempromosikan fungsi efektif organisasi. Malek dan Tie (2016) menambahkan bahwa OCB adalah perilaku konstruksi, inisiatif diri, spontan atau sukarela yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas di tempat kerja.

Begitu pula, Lestari dan Ghaby (2018) mengungkapkan bahwa perilaku kewarganegaraan organisasi merupakan alat manajerial yang berharga untuk organisasi, memiliki efek positif pada kinerja individu, kelompok, maupun organisasi jika dikelola dengan benar. Oleh karena itu, bagi Hui, Lam dan Law (2000) OCB dilihat sebagai aspek yang unik dari aktifitas individu dalam bekerja.

Sebagaimana perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan di CV. Budi Jaya Abadi Garut (Garment Industry), Jawa Barat. Melalui via telepon seluler dengan Bapak Aloysius Batmanlusi selaku Kepala Departemen Sumber Daya Manusia mengungkapkan bahwa perilaku karyawan yang tolong menolong, gotong royong dan saling membantu sudah tampak dari para karyawan secara umum. Beliau menegaskan bahwa terdapat perilaku yang selalu bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah menjadi tugas mereka masing-masing; bahkan, mereka berusaha menggantikan rekan kerja mereka yang berhalangan hadir. Ironisnya, perilaku extra role yang ditunjukkan oleh para karyawan semata-mata untuk mendapatkan upah yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang karyawan akan mendapatkan imbalan yang lebih karena sudah mengambil tugas dari rekan kerja mereka yang berhalangan hadir pada bidang unit yang sama. Dalam kenyataan yang demikian, sejatinya bukan perilaku spontan atau bahkan sukarela (OCB) yang muncul tetapi perilaku yang tercipta ialah karena ingin mendapatkan imbalan.

Sementara itu, ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana stres kerja yang dialami oleh karyawan, beliau mengungkapkan bahwa karyawannya merasa senang karena begitu enjoy dengan pekerjaannya. Artinya, sejauh ini menurut beliau, karyawan tidak merasa stres selama bekerja di sana. Justru merasa betah dengan pekerjaan itu. Ketika di antara mereka ada masalah, tidak segan-segan mereka bercerita kepada beliau seraya meminta solusi darinya.

Lebih dari itu, beliau menegaskan bahwa hal itu juga tampak dari rendahnya turnover karyawan yang terjadi dalam perusahaan.

CV. Budi Jaya Abadi berlokasi di Garut, Jawa Barat adalah sebuah perusahaan konveksi yang merupakan salah satu cabang dari produsen Konveksi Cardinal, yang bergerak di bidang manufaktur tekstil (proses:

cutting, sablon, bordir, menjahit dan finishing) dengan merk Cardinal.

Perusahaan ini juga adalah perusahaan pertama yang memproduksi salah satu produknya adalah celana jeans (Hanifah, 2019).

Menurut Organ, Podsakoff dan MacKenzie (dalam Harvey, Bolino, Kelemen, 2018), organisasi yang efektif tidak hanya membutuhkan karyawan yang akan melaksanakan tugas mereka dengan cara yang dapat diandalkan, tetapi juga harus ada aktivitas inovatif dan spontan dalam mencapai tujuan organisasi yang melampaui spesifikasi peran; lebih lanjut dijelaskan bahwa inovasi karyawan, kreativitas, kerja sama spontan, dan perilaku protektif semuanya vital untuk kelangsungan hidup dan efektivitas organisasi. Dalam hal ini, Shahin, Naftchali dan Pool (2013) menjelaskan bahwa organisasi membutuhkan orang-orang yang melampaui tugas karir yang ditentukan mereka, cenderung mengembangkan kerja sama, dan membantu rekan kerja, pemberi kerja dan klien.

Ortiz, Rosario, Marquez dan Gruneiro (2016) mengungkapkan bahwa perilaku yang tidak secara resmi menjadi bagian dari uraian tugas yang telah ditunjukkan oleh karyawan merupakan perilaku kewarganegaraan organisasi.

Hal ini termasuk perilaku terbuka yang tidak secara formal tercatat dalam organisasi. Perusahaan ataupun organisasi mendapat manfaat ketika karyawan secara sadar atau tidak sadar saling membantu untuk meningkatkan efektivitas,

yang pada gilirannya dapat menyebabkan peningkatan produktivitas, dan efek positif pada profitabilitas organisasi. Begitu pula, Ningtyas (2016) menyatakan bahwa perilaku kewarganegaraan organisasi didefinisikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh anggota dalam organisasi untuk mampu bertindak melebihi tugas pekerjaan yang didasarkan atas kesukarelaan, keikhlasan serta keinisiatifan dari masing-masing anggota organisasi tersebut untuk menjalankan fungsi organisasi secara efektif. Ditegaskan pula oleh Gyekye dan Salminen (dalam Wishart, Rowland dan Somoray, 2019) bahwa meskipun perilaku ini tidak selalu diharapkan dalam peran seseorang dalam organisasi, mereka sangat penting dalam efektivitas, kinerja, dan bahkan kelangsungan hidup organisasi.

Dalam studi yang dilakukan oleh Sorensen dan McKim (2014), Haar, Russo, Sune dan Malaterre (2014), Prasetio, Yuniarsih, Ahman dan Sary (2017) menyatakan bahwa work-life balance berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Begitu pula, dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetio (2016), terdapat pengaruh signifikan dan positif antara work-life balance dan kepuasan kerja. Karyawan yang merasa lebih seimbang dalam menjalankan pekerjaan dan kehidupan pribadi, juga merasakan kepuasan dalam bekerja. Dengan kata lain, semakin mereka memiliki kondisi/situasi keseimbangan dalam bekerja yang tepat, tingkat kepuasan kerja pun cenderung meningkat.

Berbanding terbalik dengan keseimbangan kerja, stres kerja dalam penelitian terdahulu oleh Iqbal dan Wassem (2012) menyatakan bahwa stres

kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mathew (2013), Yo dan Surya (2015) juga menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Penelitian lain yang searah, menurut Dhania (2010) menyatakan bahwa stres kerja tidak secara signifikan mempengaruhi kepuasan kerja. Lebih lanjut, dikatakan kepuasan kerja tidak harus berfokus pada gaji dan insentif sebagai pendorong untuk mendapatkan kepuasan kerja dari karyawan bersangkutan. Hal yang sama pun, dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Bhatti, Hashmi, Raza, Shaikh dan Shafiq (2011).

Selain berpengaruh positif secara signifikan terhadap kepuasan kerja, dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetio (2016) bahwa work-life balance juga berpengaruh positif secara signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Pradhan, Jena dan Kumari (2016) bahwa work-life balance berpengaruh secara positif signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Bahkan, secara garis besar dijelaskan dalam penelitiannya bahwa sebuah perusahaan atau organisasi harus mampu memberikan kebijakan sumber daya manusia yang inovatif tentang program manfaat kehidupan kerja. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menjamin keseimbangan kehidupan kerja sehingga berdampak pada kreatifitas atau bahkan membangkitkan semangat kerja karyawan di luar dari deskripsi kerja yang diberikan oleh perusahaan. Ditegaskan pula oleh Prasetio et al., 2017 yang menyatakan bahwa karyawan yang mengalami keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan pribadi cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja

yang tinggi karena mereka merasa ada dukungan dari perusahaan. Kepuasan inilah yang kemudian meningkatkan perilaku kewarganegaraan organisasi.

Banyak faktor yang mempengaruhi OCB. Salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku kewarganegaraan organisasi ialah kepuasan kerja. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian oleh Rahmayanti, Febriana dan Dewi (2014) yang berdasarkan temuan oleh Newman (2012) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi OCB, antara lain kepuasan kerja, persepsi karyawan terhadap organisasi, karakteristik karyawan seperti pertentangan individu dengan kultur organisasi, seperti hubungan antara atasan dan bawahan. Juga, telah ditegaskan dalam penelitian lain, yang dilakukan oleh Anggraini dan Rahardjo (2016), Hapsari (2015) dan Nurchayo (2012) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang dialami oleh seorang karyawan, semakin tinggi pula perilaku kewarganegaraan organisasi.

Dalam hubungannya antara stres kerja dan OCB, penelitian sebelumnya oleh Pemayun dan Wibawa (2017) menyatakan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap organizational citizenship behavior. Penelitian lain juga menyatakan hal yang sama, bahwa ada pengaruh yang negatif signifikan antara stres kerja dan organizational citizenship behavior (Prasasti dan Yuniawan, 2017).

Bagaimanapun, setiap perusahaan berusaha seoptimal mungkin untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain secara kompetitif, memenangkan pasar

dan berhasil dalam mencapai target yang diharapkan. Hal ini bisa terwujud jika sebuah perusahaan mampu mengelola sumber daya manusia secara efektif agar berkompeten, menjamin karyawan agar tetap puas dalam bekerja, menyeimbangkan kehidupan kerja dan mendukung perilaku responsif (OCB) karyawan. Perusahaan seperti CV. Budi Jaya Abadi tentu memiliki tujuan yang harus dicapai dengan memperhatikan hal-hal tersebut. Namun, terkadang perusahaan menghadapi problema mengenai stres kerja karyawan dan bahkan imbalance kehidupan kerja yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak mencapai target yang ditentukan, bahkan bisa collapse. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19, setiap perusahaan termasuk CV. Budi Jaya Abadi mengalami hambatan dalam mobilisasi perusahaan. Seperti yang telah diutarakan oleh Bapak Alo bahwa untuk sementara waktu para karyawan tidak diperbolehkan untuk masuk kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan sedangkan para staf masuk kerja seperti biasanya hanya saja dengan jumlah yang dibatasi.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merasa tertarik dalam melakukan penelitian ini dengan mengambil judul “Pengaruh Work-Life Balance (WLB) dan Stres Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Mediasi pada Karyawan di CV. Budi Jaya Abadi.”

Dokumen terkait