• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai literatur-literatur teori pendukung yang diperoleh dari berbagai sumber buku dan jurnal serta artikel ilmiah sebagai referensi untuk melakukan penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai cara yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian, desain penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek penelitian, populasi dan sampel penelitian, sumber data, variabel penelitian dan definisi variabel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

Bab IV Gambaran Umum

Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai gambaran umum perusahaan yang menjadi objek penelitian ini.

Bab V Analisis Data dan Pembahasan

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai deskripsi data yang didapat, yang disertai oleh analisis data serta pembahasannya yang merujuk pada literatur-literatur teori yang sudah dipakai.

Bab VI Penutup

Dalam bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan, dan saran yang dihasilkan dari keseluruhan penelitian ini, yang sekiranya bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan.

16 BAB II LANDASAN TEORI

A. Work-Life Balance

1. Pengertian Work-Life Balance

Ada beberapa pengertian work-life balance (WLB) yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:

Menurut Lockwood (2003), work-life balance ialah suatu keadaan seimbang pada dua tuntutan, yang mana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Di satu sisi, dalam pandangan karyawan, work-life balance merupakan pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga sedangkan di sisi lain, work-life balance dalam pandangan perusahaan merupakan tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan yang mana karyawan dapat fokus pada pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja.

Menurut Greenhaus, Collins dan Shaw (2003), work-life balance merupakan suatu keadaan sejauh mana seseorang merasa terikat dan puas terhadap perannya dalam pekerjaan maupun keluarga.

Menurut Fisher, Stanton, Jolton dan Gavin (2003) menyatakan bahwa work-life balance adalah sesuatu yang dilakukan seseorang dalam membagi waktu baik di lingkungan kerja, tempat kerja dan aktivitas lain di luar pekerjaan di mana terdapat perilaku individu yang dapat menjadi sumbernya konflik pribadi dan sumber energi untuk diri sendiri.

Menurut Kalliath dan Brough (2008), keseimbangan kehidupan-kerja adalah persepsi individu bahwa aktivitas kerja dan non-kerja kompatibel dan mendorong pertumbuhan sesuai dengan prioritas kehidupan individu saat ini. Pengertian ini mengkonseptualkan enam hal, yakni: (1) peran ganda (work-life balance defined as multiple roles); (2) keadilan di beberapa peran (work-life balance defined as equity across multiple roles); (3) kepuasan antara peran ganda (work-life balance defined as satisfaction between multiple roles); (4)

pemenuhan peran antara peran ganda (work-life balance defined as a fulfilment of role salience between multiple roles); (5) hubungan antara konflik dan fasilitas (work-life balance defined as a relationship between conflicand facilitationt); and (6) kontrol antara peran ganda yang dirasakan (work-life balance defined as perceived control between multiple roles).

Menurut Smith et al., 2016 bahwa keseimbangan kehidupan kerja mengacu pada cara orang mendistribusikan waktu antara pekerjaan dan kegiatan lainnya, seperti keluarga, kegiatan pribadi, dan keterlibatan masyarakat. Lingkungan kerja yang memfasilitasi keseimbangan kehidupan kerja tidak hanya menguntungkan kehidupan pribadi karyawan tetapi juga mengarah pada kinerja pekerjaan yang lebih baik.

Menurut Hassi (2016), work-life balance merupakan sekumpulan tugas formal yang diselesaikan seseorang saat menempati pekerjaan tertentu (work), sedangkan (life) adalah sekumpulan semua aktivitas non-kerja yang dapat berupa pengasuhan anak, perawatan lansia, pekerjaan rumah tangga.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa WLB adalah suatu keadaan seimbang antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja karyawan.

2. Aspek-Aspek Work-Life Balance

Adapun, menurut Greenhaus et al., 2003 terdapat beberapa aspek dalam work-life balance (WLB), ialah:

a. Time balance

Jumlah waktu yang sama yang digunakan untuk pekerjaan dan keluarga. Aspek pertama dari WLB menyatakan bahwa harus terdapat kesetaraan waktu untuk pekerjaannya dan waktu untuk untuk urusan pribadinya, di luar dari pekerjaannya. Misalnya, selain seorang

karyawan sibuk dengan pekerjaannya, juga membutuhkan waktu untuk refreshing atau travelling.

b. Involvement balance

Tingkat keterlibatan psikologis yang setara dengan pekerjaan dan peran keluarga. Aspek kedua dari WLB menyatakan bahwa adanya kesetaraan seperti tingkat stres individu dan keterlibatan dalam bekerja dan kehidupan pribadinya.

c. Satisfaction balance

Tingkat kepuasan yang sama dengan pekerjaan dan peran keluarga.

Aspek ketiga dari WLB ini menyatakan bahwa tingkat kepuasan itu harus seimbang baik dalam lingkup pekerjaan maupun hidup berkeluarga.

3. Dimensi Work-Life Balance

Menurut Fisher et al., 2003 mengungkapkan bahwa work-life balance (WLB) memiliki 3 dimensi, yaitu:

a. Work Interference with Personal Life (WIPL)

Dimensi ini menyatakan bahwa sejauh mana pekerjaan dapat menganggu serta menghambat kehidupan pribadi seseorang. Sebagai contoh, beban pekerjaan yang tinggi turut mempengaruhi kehidupan pribadinya.

b. Personal Life Interference with Work (PLIW)

Dimensi ini menyatakan pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang menganggu dan menghambat kehidupan pekerjaannya.

Misalnya, beban utang dalam keluarga turut berdampak negatif pada kehidupan di tempat kerjanya.

c. Work/Personal Life Enhancement (WPLE)

Dimensi ini menyatakan bahwa sejauh mana terjadi peningkatan baik kehidupan kerja maupun kehidupan pribadi. Artinya, kehidupan pribadi mendukung dan menunjang kehidupan kerja seseorang; begitu pula, sebaliknya. Misalnya, iklim perusahaan yang kondusif turut mempengaruhi kehidupan keluarga yang harmonis.

4. Faktor-Faktor Work-Life Balance

Menurut Poulose dan Sudarsan (2014), ada empat faktor utama yang mempengaruhi terwujudnya work-life balance (WLB), yaitu:

a. Individual Factors

Faktor-faktor individu adalah hal-hal yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, yang mencakupi kepribadian (personality), well-being dan kecerdasan emosi, kesuksesan, kesehatan, kepuasan diri, dan komitmen keuangan individu.

b. Organizational Factors

Faktor-faktor organisasi merupakan hal-hal yang bersifat eksternal, di luar dari individu, yang berasal dari organisasi. Yang termasuk faktor-faktor dalam organisasi ialah teknologi, konflik peran, kepuasan kerja, dukungan organisasi, dukungan superior, dukungan rekan kerja, keseimbangan kehidupan kerja dan kebijakan, ambiguitas peran, kelebihan peran, pengaturan kerja.

c. Societal Factors

Yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial ialah hal-hal yang berasal dari lingkungan sosial, yang mana individu berinteraksi secara langsung atau pun tidak langsung. Yang termasuk dari faktor ini, ialah pengaturan penitipan anak, dukungan pasangan, dukungan keluarga, dukungan sosial, tuntutan pribadi & keluarga, masalah perawatan tanggungan dan pertengkaran keluarga.

d. Others Factors

Yang dimaksud dengan faktor-faktor lainnya ialah umur, gender, status pernikahan, jenis keluarga, status orang tua, level karyawan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan pengalaman.

B. Stres Kerja

1. Definisi Stres Kerja

Setiap perusahaan dituntut untuk mencapai target yang diharapkan.

Adanya tuntutan yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan dan berupaya dalam mencapai target yang diharapkan pada suatu perusahaan, terkadang dapat menimbulkan suatu masalah, salah satunya ialah stres kerja.

Menurut Tunjungsari (2011), stres kerja merupakan kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaannya serta dikarakteristikkan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Begitu pula, menurut Afrizal, Musadieq dan Ruhana (2014), stres kerja merupakan konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang

berlebihan pada seseorang. Pengertian yang searah juga diutarakan oleh Andri (2016), bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi yang merefleksikan rasa tertekan yang mempengaruhi emosional dan proses berpikir seorang pegawai untuk mengerjakan pekerjaannya sehingga dapat menghambat tujuan organisasi.

Dalam pengertian lain yang searah menurut Luthans (2005), stres didefinisikan sebagai respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan/atau perilaku bagi peserta organisasi. Ditegaskan pula bahwa bentuk stres yang negatif disebut sebagai distress sedangkan bentuk stres yang positif disebut sebagai eustress. Sebagaimana pemahaman yang sama, disampaikan juga oleh McShane dan Glinow (2005) bahwa stres kerja merupakan respon adaptif seorang individu terhadap suatu situasi yang dianggap mengancam atau menantang kesejahteraannya. Adanya overwork, ketidaknyaman kerja, informasi yang berlebihan merupakan sebuah ancaman bagi individu; yang mana hal ini dikatakan sebagai distress. Begitu pula, jika seorang individu merasa stres yang menjadikannya termotivasi dalam bekerja, inilah yang dinamakan sebagai eustress. Bagi Robbins (2006), stres kerja diartikan sebagai kondisi dinamik yang di dalamnya individu menghadapi peluang, kendala, atau tuntutan yang terkait dengan apa yang sangat diinginkan dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting.

Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli di atas maka stres kerja dapat disimpulkan sebagai respon adaptif individu yang menunjukkan rasa tertekan terhadap suatu keadaan yang mengekang atau mengancamnya.

2. Sumber Stres

Menurut Handoko (1985), ada dua kategori penyebab stres, yaitu on the job dan off the job. Yang termasuk dalam on the job, adalah sebagai berikut:

a. Beban kerja yang berlebihan b. Tekanan atau desakan waktu c. Kualitas supervisi yang jelek d. Iklim politik yang tidak aman

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung

jawab

g. Kemenduaan peranan (role ambiguity) h. Frustasi

i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan k. Berbagai bentuk perubahan

Yang termasuk dalam off the job, ialah:

a. Kekuatiran finansial

b. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak c. Masalah-masalah fisik

d. Masalah-masalah perkawinan

e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal

f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara Sedangkan menurut Luthans (2005), sumber stres (stressors) terdiri dari empat hal utama, yaitu:

a. Extra organizational stressor

Yang terdiri atas perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaan komunitas/tempat tinggal.

b. Organizational stressor

Yang terdiri atas kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.

c. Group stressor

Yang terdiri atas kurangnya kebersamaan dalam group, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.

d. Individual stressor

Yang terdiri atas terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu, seperti kontrol personal, ketidakberdayaan belajar, self efficacy dan daya tahan psikologis.

Adapun menurut Yunus dan Nawawi (2013), terdapat tiga faktor yang memiliki potensi sebagai sumber stres, yaitu:

a. Faktor Lingkungan

Ketidakpastian lingkungan memiliki potensi untuk menjadi sumber stres karena mempengaruhi perancangan struktur organisasi dan tingkat stres di kalangan karyawan dalam organisasi. Ketidakpastian itu meliputi:

1. Ketidakpastian ekonomi, sebagai akibat dari perubahan siklus bisnis. Apabila terdapat orang merasa cemas akan jaminan keamanan baik keamanan terhadap dirinya, keluarganya maupun terhadap hartanya merupakan potensi penyebab stres.

2. Ketidakpastian politik, dapat menjadi sumber penyebab stres bagi kalangan bawah sedangkan bagi kalangan atas tidak terlalu berpengaruh.

3. Ketidakpastian teknologi, berpotensi menjadi sumber stres karena inovasi-inovasi baru dapat membuat keterampilan dan pengalaman karyawan menjadi ketinggalan dalam periode waktu yang sangat singkat.

4. Terorisme, sangat berpotensi menjadi penyebab stres lingkungan.

b. Faktor Organisasi

Secara internal dalam organisasi, bisa menjadi potensi sumber stres.

Yang termasuk dalam faktor organisasi ini ialah sebagai berikut:

1. Tuntutan tugas merupakan faktor yang berkaitan erat dengan pekerjaan seseorang, misalnya keragaman tugas, tingkat otomatisasi, kondisi kerja, tata letak tempat kerja.

2. Tuntutan peran, berkaitan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi.

3. Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh rekan kerja/karyawan.

4. Struktur organisasi, yang ikut menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan dan di mana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan contoh yang berpotensi besar untuk menjadi sumber stres.

5. Kepemimpinan organisasi, menggambarkan gaya manajerial eksekutif senior organisasi. Beberapa pejabat senior menciptakan budaya bercirikan ketegangan, rasa takut, dan kecemasan. Mereka memberikan tekanan yang tidak realistis untuk berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang sangat ketat, dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti kehendaknya.

c. Faktor Individu

Faktor terakhir yang berpotensi untuk menjadi sumber stres adalah berkaitan erat dengan kehidupan pribadi karyawan, meliputi:

1. Masalah keluarga merupakan sesuatu yang bisa berpotensi dalam menjadi sumber stres yang akan terbawa ke tempat

kerja. Masalah keluarga seolah-olah terkait erat dengan masalah pekerjaan.

2. Dalam kaitannya dengan ekonomi, suasana ekonomi individu sangat beragam dan sering menjadi masalah utama di keluarga.

Kadang-kadang iklim ekonomi keluarga diciptakan sendiri, tetapi manakala telah menjadi masalah yang akan merembet kepada masalah pekerjaan.

Quick dan Henderson (2016) mengemukakan bahwa sumber dari stres kerja terdiri dari 3 hal, yakni:

a. Pekerjaan

Mencakupi karir, beban kerja, ketidaknyamanan kerja, iklim kerja, budaya organisasi, kepemimpinan, tuntutan kerja tinggi dan kontrol yang rendah.

b. Keluarga

Erat kaitannya dengan kehidupan internal individu dan keluarga.

c. Kepribadian

Meliputi kesehatan fisik atau pun mental, relasi antar teman kerja atau pun pemimpin.

3. Faktor Stres Kerja

Salleh, Bakar dan Keong (2008), mengungkapkan bahwa ada 5 faktor penyebab stres kerja, yakni:

a. Factors intrinsic to job

Yang terbagi atas tuntutan tugas, tekanan waktu karena deadline pekerjaan dan harus melakukan pengambilan keputusan yang terlalu banyak. Tuntutan tugas yang berlebihan dan padat menjadi salah satu kendala yang menjadi sumber penyebab munculnya stres kerja pada karyawan. Tidak hanya itu, tekanan waktu juga turut mempengaruhi stres pada karyawan.

b. Role in the organization

Yang terbagi atas ketidakpastian dan kurangnya informasi peran pekerjaan, harapan dalam pekerjaan dan tanggung jawab dalam pekerjaan. Masalah lain yang nampaknya sepele tapi bisa menjadi sumber stres ialah ketidakjelasan tugas dan peran karyawan yang diberikan perusahaan dalam pekerjaannya. Atau bahkan, yang dilakukan seorang karyawan tidak sesuai dengan tugas yang harus dikerjakan dalam job desc. Selain itu, kadang seorang karyawan mendapat peran yang tidak sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Harapan seorang karyawan untuk bekerja dalam perusahaan tersebut menjadi pupus hingga merasa stres.

c. Relationship at work

Yang terbagi atas hubungan dengan atasan dan hubungan dengan rekan kerja. Faktor keempat ini menjelaskan bahwa terciptanya relasi yang antara atasan dengan bawahan atau antarrekan kerja menjadi sesuatu perlu diperhatikan. Relasi yang baik setidaknya dapat menjamin kenyaman dan meminimalisir stres kerja karyawan.

Justru sebaliknya, jika relasi yang terjalin kurang bagus pasti akan membawa dampak yang buruk bahkan bisa menjadi pemicu stres kerja meskipun aspek lain menunjang.

d. Career development

Yang terbagi atas kurangnya keamanan kerja (ketakutan akan tidak dipakai lagi atau pensiun dini) dan ketidakcocokan status, misalnya promosi yang berlebihan, promosi yang kurang dan frustasi karena harus mengejar karir yang tinggi. Pengembangan karir juga dapat menjadi pemicu terjadinya stres kerja. Semisal, promosi yang kurang bahkan adanya pensiunan dini, karyawan menjadi belum siap menerima kenyataan semacam itu akibatnya tertekan dan merasa stres. Setiap karyawan pastinya ingin mendapatkan promosi di tempat kerja namun tidak semua bisa mendapatkan promosi tersebut.

e. Organizational structure and climate

Struktur dan iklim organisasi, yaitu kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Yang dimaksudkan dengan faktor ini ialah iklim perusahaan harus hangat dan struktur perusahaan yang juga mesti jelas. Karyawan akan merasa diterima dan merasa nyaman untuk bekerja jika iklim perusahaan menunjang. Begitu pula, jika sebuah perusahaan memiliki struktur organisasi beserta tugas yang jelas memungkinkan seorang karyawan untuk bekerja seoptimal mungkin. Bahkan, dia akan berpartisipasi secara penuh terhadap perusahaan tersebut.

Namun, jika saja struktur dan iklim perusahaan tidak jelas, pasti akan berpengaruh besar terhadap peran karyawan dan bisa memicu terjadinya stres.

4. Gejala-Gejala Stres

Menurut Robbins (2006), stres memperlihatkan bentuknya dalam sejumlah cara. Gejala stres dapat digolongkan menjadi tiga kategori umum, sebagai berikut:

a. Fisiologikal

Secara fisiologi, stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala dan bahkan dapat menyebabkan serangan jantung.

b. Psikologikal

Rasa tidak puas terhadap pekerjaan merupakan efek psikologikal yang paling jelas dan sederhana yang dapat diketahui. Ditegaskan bahwa stres secara psikologi dapat menghadirkan dalam diri seorang karyawan ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan. Selain itu, gejala lain yang menyertai di antaranya ialah depresi, gelisah, ketegangan, mudah marah, cepat merasa bosan bahkan suka menunda-nunda pekerjaan serta kecemasan.

c. Perilaku

Gejala yang muncul dapat berupa perilaku yang suka mempersalahkan orang lain, dan/atau mudah mempersalahkan orang

lain, serta mudah membatalkan janji yang telah disepakati. Menurut Supartha dan Sintaasih (2017), perilaku lain yang tampak ialah perubahan dalam produktivitas, misalnya keseringan lupa, perubahan pola makan, menjadi perokok atau mengkonsumsi alkohol, berbicara dengan cepat, perasaan gelisah dan pola tidur tidak teratur.

5. Manajemen Stres

Menurut Wijaya (2017), ada dua pola pendekatan dalam mengelola stres, sebagai berikut:

a. Pendekatan individual

Seorang karyawan memiliki tanggung jawab pribadi untuk mengurangi tingkat stres. Strategi individual yang telah terbukti efektif meliputi penerapan teknik manajemen waktu, penambahan waktu olahraga, pelatihan relaksasi, dan perluasan jaringan dukungan sosial. Memiliki teman, keluarga, atau rekan kerja untuk diajak bicara penting sebagai suatu aluran ketika tingkat stres menjadi terlalu tinggi. Karena itu, memperluas jaringan dukungan sosial dapat menjadi sarana untuk mengurangi ketegangan.

b. Pendekatan organisasional

Beberapa faktor yang menyebabkan stres terutama tuntutan tugas dan tuntutan peran yang dikendalikan oleh manajemen. Strategi yang bisa manajemen pertimbangkan meliputi seleksi personel dan penempatan kerja yang lebih baik, pelatihan, penetapan tujuan yang

realistis, peningkatan keterlibatan karyawan, perbaikan dalam komunikasi organisasi, penawaran cuti panjang kepada karyawan, dan sebagainya.

Stres menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam dunia kerja.

Adanya stres terkadang berdampak baik tetapi juga dapat berdampak buruk bagi seorang individu dan keluarga maupun bagi organisasi. Oleh sebab itu, mengelola stres di tempat kerja baik dari segi perusahaan maupun dari segi individu yang bersangkutan merupakan sesuatu yang sangat penting.

C. Kepuasan Kerja

1. Definisi Kepuasan Kerja

Wijaya (2017), menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu reaksi emosional yang kompleks, yang merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan dan harapan-harapan karyawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realitas-realitas yang dirasakan karyawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas. Begitu pula, menurut Alif (2015), menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap perasaan seseorang terhadap situasi dan kondisi kerja baik positif maupun negatif.

Menurut Davis dan Newstrom (1994), kepuasan kerja ialah perasaan senang atau tidak senang yang relatif, yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Dalam pendapatnya Kreitner dan Kinicki (2008) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah respons afektif atau emosional

terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Pemahaman yang searah juga diutarakan oleh Luthans (2005) bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan tentang seberapa baik pekerjaan mereka menyediakan hal-hal yang dianggap penting.

Dalam beberapa pengertian menurut para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja ialah tanggapan karyawan secara afektif terhadap suatu pekerjaan baik secara positif maupun negatif.

2. Dimensi-Dimensi Kepuasan Kerja

Menurut Luthans (2005), ada beberapa dimensi kepuasan kerja, yaitu:

a. The work itself

Dimensi pertama ini menyatakan bahwa pekerjaan memberikan kesempatan untuk belajar dan juga bertanggung jawab. Tentunya, setiap pekerjaan apapun itu selalu memerlukan suatu keterampilan tertentu di bidang masing-masing. Sebuah pekerjaan pasti akan membuat seseorang merasa puas, entah kepuasan itu semakin meningkat atau justru semakin berkurang bahkan tidak sama sekali merasa puas.

b. Pay

Kepuasan kerja dapat dilihat sebagai fungsi dari gaji yang diterima seorang karyawan, tingkat pemenuhan harapan tenaga kerja sejauh besaran gaji yang diterima dan bagaimana gaji itu diterima. Jumlah uang yang diterima dapat mewakili kebebasan untuk berbuat apa

yang diinginkan seorang karyawan. Misal, bahwa tuntutan kerja saat ini sepadan dengan banyaknya gaji yang diterima seseorang.

c. Promotion

Dimensi ini berkaitan dengan kesempatan memperoleh peningkatan karir. Kesempatan untuk kemajuan dan pengembangan karir menjadi idaman setiap karyawan yang bekerja di sebuah instansi.

Kesempatan untuk peningkatan karir merupakan salah satu bentuk kepuasan karyawan di tempat kerjanya.

d. Supervision

Dimensi lain yang juga cukup penting berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan ialah cara atasan dalam memperlakukan bawahannya. Cara ini juga dimaksudkan untuk sekaligus melihat dan menilai sejauh mana kinerjanya selama ini. Lebih dari itu,

Dimensi lain yang juga cukup penting berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan ialah cara atasan dalam memperlakukan bawahannya. Cara ini juga dimaksudkan untuk sekaligus melihat dan menilai sejauh mana kinerjanya selama ini. Lebih dari itu,

Dokumen terkait