BAB VII KONTESTASI PADA TAHAPAN PEMBAHASAN
C. Identifikasi kontestasi antar aktor
Berdasarkan uraian-uraian diatas, untuk melihat bagaimana kontestasi antar perumus kebijakan anggaran dalam penentuan belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci pada penyusunan APBD Tahun 2011, maka untuk mempermudahkan dalam mengeksplisitkan fenomena kontestasi yang terjadi antar aktor pada beberapa agenda yang telah dijelaskan diatas, disajikan tabel-tabel yang berikut ini :
Tabel 33. Fenomena Kontestasi aktor dalam proses Pembahasan RKA Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Kerinci di tingkat Eksekutif
Kontestan Pendukung Kepentingan Cara membangun
konsensus Hasil konsensus
Tabel 34. Fenomena Kontestasi aktor dalam Pembahasan Program
Tabel 35. Fenomena Kontestasi aktor dalam Pembahasan Program
Bagi Komisi III dari Dapil I, minimnya aspirasi
Tabel 36. Fenomena Kontestasi aktor dalam Rapat Finalisasi Anggaran
Agen
da Kontestan Pendukung Kepentingan
Cara membangun
konsensus
Hasil konsensus
FINALISASI ANGGARAN pada Rapat Gabungan Pro Dinas
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kontestasi yang terjadi pada proses perumusan kebijakan anggaran belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci tahun 2011 menunjukkan berbagai fenomena-fenomena pertarungan kepentingan dua aktor lembaga daerah yaitu DPRD (Badan Anggaran dan Komisi DPRD) dengan pemerintah daerah (TAPD dan Dinas Pekerjaan Umum). Fenomena-fenomena tersebut antara lain :
1. Kontestasi dalam pembahasan anggaran belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum terjadi karena ketidakseimbangan kepentingan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Kepentingan dari Legislatif (Badan Anggaran dan Komisi III) adalah bagaimana memperbanyak “Pork Barrel” pada daerah Pemilihannya, sehingga suatu ketika peluang mereka untuk terpilih kembali semakin besar, disamping itu ada kepentingan lainnya yaitu berburu rente (rent seeking). Privilege yang dimiliki menjadikan bargaining yang sangat besar dalam mendapatkan rente dari proyek-proyek Pemerintah. Sementara eksekutif dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum memiliki kepentingan dengan memperbanyak anggaran bagi Institusi Dinas Pekerjaan Umum. Semakin banyak proyek atau kegiatan yang didapatkan, maka semakin banyak pula income yang akan diperolehnya dan tidak peduli tempat pembangunan akan dilaksanakan. Sementara TAPD berkepentingan menjaga agar anggaran yang
digunakan dengan sebaik-baiknya secara rasional, dapat dipertanggungjawabkan dan mematuhi rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pengelolaan keuangan serta serta tetap konsisten terhadap komitmen yang telah disepakati bersama dalam KUA dan PPAS.
2. Buruknya lagi kontestasi yang terjadi antara legislatif dan eksekutif dalam pembahasan anggaran belanja langsung seolah-olah seperti sebuah drama yang dimainkan oleh beberapa pelakon, ada yang punya peran sebagai pendamai, sebagai pihak yang pro dan ada pula yang berperan sebagai pihak yang kontra. Namun dibalik itu, aktor yang terlibat dalam pembahasan anggaran belanja langsung tersebut sama-sama memiliki kepentingan yaitu mendapatkan keuntungan secara personal. Sehingga kontestasi yang terjadi antara legislatif (Badan Anggaran dan Komisi III DPRD) dengan eksekutif (TAPD dan Dinas Pekerjaan Umum) dianalogikan sebagai pekerjaan “bisik-bisik” atau kolaborasi tertutup, karena secara aktual relasi kedua aktor ini terjadi secara harmoni, menghindari konflik serta saling menjaga kepentingan masing-masing.
3. Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa, jumlah legislator yang mewakili wilayahnya menjadi faktor penentu masuknya aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya dalam agenda pembahasan anggaran, karena kontestasi yang terjadi kemudian menempatkan DPRD sebagai aktor dominan dalam pembahasan anggaran. Semakin banyak wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif, maka semakin banyak pula aspirasi masyarakat dari suatu
daerah pemilihan yang akan tertampung dalam kebijakan anggaran daerah.
Kondisi ini justru menyebabkan terjadinya disparitas terhadap daerah pemilihan lainnya yang memiliki anggota legislatif yang sedikit.
4. APBD masih merupakan hak ekslusif penyelenggara Pemerintahan di daerah sehingga tidak merefleksikan kepentingan masyarakat, karena kontestasi yang terjadi di dalam proses penyusunannya muncul sebagai hasil dari redefinisi dari para aktor-aktor yang didasarkan pada nilai-nilai yag dianut oleh aktor tersebut. Kebijakan anggaran mengalir dari kepentingan para aktor eksekutif dan legislatif dan turun ke masyarakat, bukannya dari kepentingan masyarakat naik mempengaruhi pandangan dan nilai dari aktor tersebut. Akibatnya kemudian, keberpihakan anggaran kepada kepentingan masyarakat sangat minim dan bisa juga dikatakan tidak sama sekali. Meskipun aspirasi masyarakat ada sebagian yang tertampung dalam kebijakan anggaran daerah, namun secara kualitas dan kuantitas sangat rendah sekali.
B. Refleksi teoritis
Berdasarkan hasil studi terhadap proses perumusan kebijakan anggaran tersebut, dikemukakan beberapa hal yang perlu menjadi refleksi teoritis bagi studi tentang kebijakan, antara lain :
1. Untuk memahami siapa atau bagaimana membuat suatu kebijakan, terlebih dahulu harus diketahui karateristik dari aktor yang terlibat di dalamnya, pada bagian atau aturan apa yang dimainkan, otoritas dan kekuatan yang dimiliki serta usaha aktor tersebut berhubungan dan mengawasi satu sama lainnya.
Salah satu dimensi yang dapat dipergunakan adalah dimensi politik, karena kebijakan kadang-kadang dibentuk dari kompromi politik diantara pembuat kebijakan,128 dan kebijakan itu sendiri adalah hasil dari proses politik.129 Terkait dengan penganggaran ini, proses politik dapat berputar sekitar isu-isu kebijakan pada tingkatan pengeluaran (belanja) dan kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan anggarannya.
2. Dalam setiap proses pembuatan sebuah kebijakan, untuk mencapai tujuan dari aktor yang terlibat di dalamnya, kontestasi dan interaksi antar aktor tidak dapat dihindari. Terkait dengan penelitian ini, penganggaran dapat dilihat sebagai negosiasi antar aktor (SKPD, Tim Anggaran, Kepala Daerah dan legislator, bertemu setiap tahunnya dan melakukan tawar-menawar (bargaining) untuk dapat mengakomodir semua kepentingan masing-masing.
Siapapun dapat bermain dan menang dengan hasil secara keseluruhan baik dan konflik dapat ditekan sekecil mungkin. Cara yang dipergunakan dapat beragam, mulai pembahasan resmi (formal) maupun bermain di belakang layar (black box).
3. Kontestasi yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan menunjukkan masing-masing pihak (aktor) mengusung kepentingannya masing-masing dalam memperebutkan alokasi dan distribusi sumber daya. Dengan basis kontestasipun beragam, diantaranya untuk memuaskan konstituen di daerah pemilihannnya (Pork Barrel) disamping itu untuk mendapatkan rente (rent
128 Charles E. Lindblom, Op. Cit, Hal. 5
129 Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi fiskal : Politi k dan perubahan kebijakan 1974-2004,Kencana, Jakarta, 2008, Hal. 25
seeking) bagi anggota Dewan dan Kepala Daerah, ataupun untuk memperbesar anggaran (maximizing budget) bagi Institusi Pemerintahan Daerah.
C. Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, maka direkomendasikan :
1. Agar Pemerintah Daerah memberikan akses yang luas kepada masyarakat bersama-sama dengan LSM yang peduli dengan anggaran publik di Kabupaten Kerinci untuk terlibat secara aktif dan mengawal setiap proses perencanaan dan penganggaran daerah. Sebab selama ini keterlibatan masyarakat hanya sebatas mengikuti kegiatan Musrenbang tingkat Desa dan Kecamatan, sehingga yang terjadi kemudian aspirasi yang diusung kian tergerus dalam tahapan perencanaan dan penganggaran selanjutnya. CSO terlibat pada proses akhir perencanaan, bersama-sama dengan DPRD dan Pemerintah Daerah ikutserta dalam proses penyusunan dokumen kebijakan anggaran (KUA dan PPAS) dan ikutserta dalam pembahasan serta penetapan APBD. Penting bagi CSO untuk terus mengawal setiap proses APBD ini, karena banyak peluang bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat deal-deal politik alokasi anggaran yang tidak memihak kepada publik. Ada pula kompromi politik yang terjadi di arena yang tidak tampak dipermukaan, tetapi dapat diketahui dan dirasakan pada saat pembahasan anggaran yang juga merugikan kepentingan publik.
2. Harus segera dilakukan penguatan fungsi institusi perencanaan pembangunan di daerah. Kenyataan selama ini di Kabupaten Kerinci bahwa hasil-hasil
perencanaan pembangunan daerah yang telah dibuat tidak dipakai sebagai bahan berharga untuk menyusun RAPBD, akibatnya semakin banyak aspirasi masyarakat terpinggirkan dari arena penganggaran daerah. Hal utama yang harus dilakukan adalah pengawasan yang ketat terhadap perencanaan dan penganggaran yang dilakukan oleh SKPD, melalui rasionalisasi program dan kegiatan SKPD, apakah perencanaan dan penganggaran yang dilakukan sebagaimana tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah yaitu RKPD, KUA dan PPAS sudah menyiratkan aspirasi masyarakat ataukan belum?, Jika sudah, maka SKPD tersebut akan mendapatkan otorisasi dari Bappeda untuk selanjutnya diteruskan kepada TAPD.
3. Penguatan fungsi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) harus dilakukan, karena sebelum menjadi bagian dari rancangan Peraturan Daerah tentang RAPBD, Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) harus melalui rasionalisasi dan otorisasi oleh TAPD, kenyataan selama ini fungsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, walaupun RKA-SKPD yang disusun masih dalam koridor Plafon Anggaran yang telah ditetapkan dalam Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), akan tetapi substansi dari RKA-SKPD tersebut masih merupakan keinginan dari SKPD tersebut untuk memaksimalkan anggarannya (maximizing budget) dan bukan untuk memecahkan permasalahan pembangunan yang membelit rakyat. Langkah Pertama,yang harus dilakukan adalah SKPD menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) berdasarkan otorisasi program dan kegiatan
yang telah dilakukan oleh Bappeda, kemudian Rancangan RKA-SKPD dibahas bersama antara SKPD terkait dengan TAPD berdasarkan Plafon Anggaran yang telah ditetapkan dalam PPAS.
4. Harus ada kesepakatan antara Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Kerinci tentang mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat. Penjaringan aspirasi yang dilakukan oleh kedua aktor harus saling mendukung dan menguatkan. Sebab, fenomena yang terjadi selama ini penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah daerah dalam Musrenbang, seringkali tidak sejalan dengan penjaringan aspirasi masyarakat pada saaat reses yang dilakukan oleh anggota DPRD. Akibatnya, pada saat pembahasan RAPBD, penjaringan aspirasi masyarakat oleh anggota DPRD lebih mendominasi, dan meninggalkan semua proses perencanaan yang telah disusun oleh Pemerintah Daerah. Sehingga dapat dipastikan bahwa akan begitu banyak program dan kegiatan “yang naik di tengah jalan” dalam pembahasan RAPBD.
5. Agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan penataan kembali Daerah Pemilihan pasca Pemekaran Kabupaten Kerinci. Sebab, dari empat Daerah Pemilihan di Kabupaten Kerinci, hanya daerah pemilihan II yang terdiri dari satu kecamatan. Hal ini berdampak pada rendahnya jumlah legislator yang mewakili wilayahnya, sehingga dapat dipastikan terjadinya disparitas pembangunan di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ambardi, Kuskridho, 2009, Mengungkap politik Kartel : Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia era reformasi, Gramedia, Jakarta
Anderson, James, 2006, Public Policy Making: An Introduction, Houghton Mifflin Company, Boston
Bastian, Indra , 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta
Badoh, Zuhdi, Ibrahim dkk, 2009, Politik Birokrasi Anggaran di Indonesia dalam Anggaran pro kaum miskin : sebuah upaya menyejahterakan rakyat, LP3ES, Jakarta
Creswell, J.W, 1994, Research Design Qualitative and Quantitative, Sage Publications, London
Deliarnov, 2006, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta
Denhardt, Robert B. and Janet V. Denhardt, 2009, Public Administration : an action orientation, 6th ed,Thomson Wadsworth, USA
Duverger, Maurice, 2003, Sosiologi Politik, Raja Grafindo, Jakarta
Dwiyanto, Agus , 2011, Mengembalikan kepercayaan publik melalui reformasi birokrasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Eko, Sutoro, 2006, Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan, Perkumpulan Prakarsa dan Pustaka LP3ES, Jakarta Firmansyah, 2008, Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan positioning
ideologi politik di era demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Hillman, Arye L, 2009, Public Finance and Public Policy Responsibilities and
Limitations of Government 2nd Ed, Cambridge University Press, UK, Kartini dan Kartono, 1990, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Mandar Maju,
Bandung
Keohane, Robert O, 1993, Institutional Theory and the Realist Challenge After the Cold War, Neorealism and Neoliberalism : The Contemporary Debate.
Columbia University Press, New York.
Kumorotomo, Wahyudi, 2005, dkk, Anggaran ber basis kiner ja : Konsep dan aplikasinya, MAP-UGM, Yogyakarta
__________________, 2008, Desentralisasi fiskal : Politik dan perubahan kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta
Lindblom, Charles,1984, The Policy Making Process, 2nd edition, Yale University, USA.
Local Governance Support Program Finance & Budgeting Team, 2009, Penyusunan KU-APBD dan PPAS, LGSP Press, Jakarta
Maliki, Zainuddin, 2010, Sosiologi politik : Makna kekuasaan dan transformasi politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Mas’oed, Mohtar, 2003, Politik, Birokrasi dan pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Moleong, Lexy J. 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Munir, Badrul, 2003, Perencanaan anggaran kiner ja : Memangkas inefisiensi anggaran daerah, Samawa center, Yogyakarta
Musgrave, RA and PB Musgrave, 1989, Public finance in theory and practice, McGraw Hill, Inc.
Mustopadidjaja AR, 2003, Manajemen proses kebijakan publik : formulasi, implementasi, dan evaluasi kiner ja, LAN dan Duta Pertiwi Foundation, Jakarta
Nugroho, Riant, 2008, Public Policy, Gramedia, Jakarta Pasalong, 2008, Harbani, Kepemimpinan Birokrasi, Alfabeta
Poerwandari, Kristi E, 2007, Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Depok
Pratikno dkk, 2004, Mengelola dinamika politik dan Sumberdaya Daerah, Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Yogyakarta Rachbini, Didik J, Ekonomi , 2002, Politik : Paradigma dan Teori Pilihan Publik,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Rubin, Irene S , 2006, The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing, Chatham House, Chatham
Smith, Robert W and Thomas D. Lynch, 2004, Public Budgeting in America, 5th Edition, Pearson,Upper Saddle River, New Jersery
Soejadi, FX, 2001, Analisis Manajemen Modern, Mas Agung, Jakarta
Subarsono, AG, 2009, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, teori dan aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Surbakti, Ramlan, 2007, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta
Wahab, Solichin, Abdul, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM press, Malang
Waidl, Abdul. dkk, 2008, Mendahulukan si miskin, LKIS, Yogyakarta
Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Intermedia, Jakarta
______________, 2010, Politik Perumusan Kebijakan Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta
Wildavsky, Aaron, 1974, The politics of the budgetary process, 2nd ed, Boston, Little brown.
Winarno, Budi, 2008, Kebijakan Publik : Teori dan proses, Media Presindo, Yogyakarta
Yustika, Ahmad, Erani, 2009, Ekonomi Politik : Kajian teoritis dan analisis empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
TESIS
Delvina, Silvia, 2006, Analisis proses penjaringan aspirasi masyarakat dalam pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Kabupaten Padang Pariaman di Era Otonomi Daerah, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UNAND, (tidak dipublikasikan)
Djafar, Muhammad, Ridwan, 2006, Politik Anggaran Daerah : Studi tentang proses perumusan kebijakan anggaran dalam penyusunan APBD Tahun 2005 di Kabupaten Mamuju Prov. Sulawesi Barat, Tesis-S2, Magister Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana UGM, (tesis tidak dipublikasikan) Ridwan, Fadmi, 2008, Pengalaman Aceh mengelola kontestasi politik : Studi
Kontestasi Birokrat, Politisi dan Ulama dalam proses kebijakan anggaran Dayah Tahun 2008, Program Studi Ilmu Politik, UGM, Tesis tidak dipublikasikan
Syahrul, 2001, Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Kota Padang ditinjau dari Proses dan Pengalokasian, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM (tidak dipublikasikan)
UNDANG-UNDANG
1. Undang-undang Nomor 17 tentang Keuangan Negara
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta jumlah kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/ PMK.07/2010 tentang Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal kumulatif Pinjaman Daerah Tahun 2011.
INTERNET
1. Eko, Sutoro,2008, Pelajaran berharga dari advokasi perencanaan dan penganggaran di Bantul dan Kebumen, IRE Yogyakarta download melalui :
http://www.ireyogya.org/id/ebook/menabur-benih-di-lahan-tandus.html;download=29e48b79ae6fc68e9b6480b677453586, tanggal 10 Juni 2011
2. http://nasional.kompas.com/read/2010/12/22/02542544/: Politik Anggaran, APBN Lebih Banyak untuk Birokrasi dan Elite Politik, 2010, diakses tanggal 10 Juni 2011
3. http://nasional.kompas.com/read/2011/03/10/05144766/ : Politik Anggaran yang Tak Memihak Orang Miskin, 2010, diakses tanggal 10 Juni 2011.
4. Helen Milner, International Theories of Cooperation among Nations:
Strengths and Weakness, World Politics, Vol. 44, No. 3 (April 1992), pp. 466-496. Cambridge University Press, diakses tanggal 12 November 2011, melalui http://www.jstor.org/stable/2010546