• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

2. Perumusan Kebijakan Publik

Perumusan kebijakan publik merupakan inti dari kebijakan publik20 dan merupakan proses yang rumit, sebab di dalamnya mencakup pertanyaan bagaimana masalah-masalah timbul dan masuk ke dalam agenda Pemerintah, siapa dan bagaimana merumuskan masalah tersebut untuk mengambil tindakan, kemudian sikap apa yang diambil oleh lembaga legislatif atau lembaga lainnya, selanjutnya bagaimana para pemimpin menerapkan kebijakan tersebut dan akhirnya, bagaimana kebijakan tersebut dievaluasi.21 Disamping itu, Anderson juga mengemukakan bahwa perumusan kebijakan merupakan pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik22.

a. Model-model perumusan kebijakan publik

Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan belanja langsung SKPD dalam penyusunan Proses Perumusan Kebijakan Anggaran Belanja Langsung

19 Budi Winarno, Kebijakan Publik : Teori dan proses, Media Presindo, Yogyakarta, 2008, Hal. 18

20 Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 391

21 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 91

22 James Anderson, Public Policy Making: An Introduction, Houghton Mifflin Company, Boston, 2006, Hal-4

SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011, ada beberapa model perumusan kebijakan publik yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyederhanakan rumitnya proses perumusan kebijakan dimaksud, antara lain : 1) Model Kelembagaan

Perumusan kebijakan model kelembagaan, secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas Pemerintah, dan mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan dari Pemerintah.23 Disamping itu, model ini lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik.24 Sehingga, dari perspektif model kelembagaan, kebijakan-kebijakan apapun tidak akan menjadi kebijakan publik kalau ia tidak diterima, diimplementasikan dan dipaksakan pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga Pemerintah.25

Hal ini berarti bahwa lembaga pemerintah memiliki legitimasi untuk menciptakan kebijakan yang menjangkau semua lapisan masyarakat dan pada tingkat tertentu kekuatan paksaan bisa dilakukan agar warga masyarakat mau memenuhi kewajiban untuk menuruti kehendak pembuat kebijakan.26 Dalam konteks ini Dye, berpandangan bahwa, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan kelembagaan ini, yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan dalam kehidupan bersama.27

23 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 361

24 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Intermedia, Jakarta, 1994, Hal. 6

25 Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM press, Malang, 2008, Hal.78

26 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit

27 Riant Nugroho, Op. Cit.

2) Model Sistem

Perumusan kebijakan pada model sistem, mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik.28 Terdapat tiga koponen di dalam model ini, yaitu input, proses, dan output. Seperti tergambar di bawah ini:

Gambar 2. Model Sistem

Sumber : Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 383 Tuntutan-tuntutan individu maupun kelompok masyarakat, dukungan-dukungan dan juga sumber daya merupakan input yang nantinya akan mempengaruhi proses pengalokasian nilai-nilai oleh penguasa. Selanjutnya sistem politik akan menyerap berbagai macam tuntutan dari masyarakat untuk dikonversikan menjadi keluaran-keluaran yang berupa keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan. Proses tidak berakhir sampai disini, karena setiap hasil keputusan yang merupakan keluaran sistem politik akan mempengaruhi lingkungan. Perubahan lingkungan inilah yang nantinya akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan yang muncul dari masyarakat.29

28 Riant Nugroho, Op Cit, Hal. 382.

29 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 7

INPUT A POLITICAL SYSTEM

OUTPUT

DEMANDS

SUPPORT

DECISIONS OR POLICIES

FEEDBACK

3) Model teori Elit

Model teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias dalam perumusan kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit.30 Sehingga dalam model ini kehidupan sosial terdiri atas dua lapisan, lapisan pertama dengan jumlah yang sangat kecil selaku pengatur dan lapisan bawah dengan jumlah yang besar sebagai yang diatur. 31 Apabila didasarkan pada teori elit, bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka.32

Dalam kerangka dominasi, elit politik memiliki dua langkah, yang pertama dominasi dan kedua kekuasaan berdasarkan hak untuk memerintah yang didasarkan pada kepercayaan atau legitimasi rakyat, 33maka tidak ada salahnya, Ramlan Surbakti menyatakan elit politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan atau perumusan kebijakan publik34. Sehingga dapat dipahami bahwa, kebijakan publik sama sekali bukan cerminan tuntutan –tuntutan rakyat, melainkan lebih merupakan cerminan kepentingan golongan elit untuk melestarikan nilai-nilai mereka.35

Secara khusus model elit dikembangkan untuk menganalisis proses perumusan kebijakan publik, terutama untuk menyoroti peran-peran yang

30 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal.364

31 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 8

32 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 42

33 Zainuddin Maliki, Sosiologi politik : Makna kekuasaan dan transformasi politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010, Hal. 29

34 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 2007, Hal. 75

35 Solichin Abdul Wahab, Op. Cit, Hal.93

dimainkan oleh golongan elit dalam proses perumusan kebijakan publik dan cara-cara yang mereka lakukan untuk memanipulasi atau “memotong-kompas”

aspirasi rakyat.36

4) Model teori kelompok

Model teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium).37 Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan publik.38 Dengan demikian, pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapai tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negosiasi, dan kompromi. Sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan, kebijakan publik pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing pada suatu waktu.39 Dalam hal ini, peran sistem politik adalah untuk memanajemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui cara-cara sebagai berikut 40: a).Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan, b). Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan. c). Memungkinkan

terbentuknya kompromi dalam kebijakan publik yang akan dibuat, dan d). Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

36 Ibid

37 Riant Nugroho, Op Cit, Hal.363

38 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 49

39 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 9

40 Riant Nugroho, Loc. Cit, Hal.364

Gambar 3 : Model Teori Kelompok

Sumber : Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 364 Sehingga dalam proses perumusan kebijakan publik, model kelembagaan dapat digunakan untuk menelaah kelompok apakah yang saling berkompetisi untuk mempengaruhi kebijakan publik dan siapa yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap keputusan yang dibuat.41

5) Model Rasional

Model Rasional mengedepankan suatu gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat.

Disamping itu, proses perumusan kebijakan publik dalam model ini harus didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya, dan rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.42 Artinya, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Oleh karena itu, untuk memperoleh rasionalitas yang tepat, maka para pembuat kebijakan harus mengetahui berbagai hal, yaitu 43: a). Preferensi

41 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 10

42 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 366

43 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Loc.Cit, Hal. 10

Pengaruh Grup B

Pengaruh Grup A Pengaruh

Tambahan

Posisi Kebijakan

Alternatif Perubahan Kebijakan

Equilibrium Kebijakan Publik

nilai masyarakat dan kecenderungannya, b). pilihan atau alternatif kebijakan yang tersedia, c). Konsekuensi- konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, d). Rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan dan e). Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Pendekatan ini mengabaikan asal usul kebijakan tersebut, sepanjang kebijakan yang ditempuh akan memberikan suatu hasil yang baik dengan sumberdaya yang paling sedikit, maka kebijakan tersebut layak untuk dilaksanakan.44

6) Model Pilihan publik

Pendekatan ekonomi politik yang baru menganggap bahwa negara atau pemerintah, politisi, birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri merupakan pemicu lahirnya pendekatan atau model pilihan publik (public choice).45 Model perumusan kebijakan publik ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut.46 Prinsipnya model ini berusaha untuk mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik, baik di parlemen, lembaga Pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih dan lain sebagainya.47

Disamping itu model ini membantu untuk menjelaskan, kenapa para pemenang pemilu acap kali gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan kepada publiknya, yaitu para pemberi suara

44 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Loc.Cit, Hal. 10

45 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik : Kajian teoritis dan analisis empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hal. 48

46 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 380

47 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik : Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Ghalia Indonesia,2002, Jakarta, Hal. 86

atau pendukungnya.48 Kondisi ini terlihat manakala pemerintah memiliki kecenderungan untuk memuaskan para pemilihnya daripada masyarakat luas, dan tidak jarang kita menyaksikan suatu kebijakan publik yang seakan-akan adil, namun apabila dikaji dan dianalisis secara mendalam, kebijakan tersebut hanya menguntungkan sejumlah kecil warga masyarakat atau kelompok.

Sehingga jelaslah bahwa, model pilihan publik melihat politik anggaran sebagai rekonsiliasi berbagai kepentingan yang beragam dan saling bertarung untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas melalui formulasi rasional yang dapat diterima semua pihak.49 Disamping itu, model ini pada dasarnya menganggap bahwa proses pengalokasian sumber daya publik yang terbatas terhadap berbagai institusi dangan tujuan yang berbeda, lebih merupakan proses politik daripada proses teknokratis murni.50

b. Aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik

Selanjutnya seperti yang ditulis oleh Charles Lindblom dan beberapa ahli yang lain, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan tersebut. Menurut Charles Lindblom, bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (partisipants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka

48 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 381

49 John Cullis dan Philip Jones, 1998, seperti dikutip oleh Abdul Waidl, dkk dalam Mendahulukan si miskin: buku sumber bagi anggaran pro rakyat, LKIS, Yogyakarta, 2008, Hal. 76

50 Andi Norton dan Diane Elson, 2002, Ibid

saling berhubungan serta saling mengawasi.51 Mengetahui siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan merupakan sesuatu yang esensial.52 Sebab, aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan menentukan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan, bagaimana masalah publik didefinisikan dan pada akhirnya bagaimana kebijakan publik tersebut dirumuskan.

Jadi, dari berbagai jenis pemeran serta, masing-masing pemeran serta ini menurut Lindblom mempunyai peran secara khusus yang meliputi: warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin lembaga legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha. Sehingga jika dikelompokkan, maka pemeran serta dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagai kedalam dua kelompok, yakni aktor resmi dan aktor tidak resmi.

Dalam penelitian ini, terkait dengan proses perumusan kebijakan belanja langsung SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011, aktor yang terlibat hanya dibatasi pada aktor resmi. Hal ini disebabkan kontestasi yang terjadi sepanjang perumusan belanja langsung SKPD berada pada aktor resmi ini.

Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan munculnya aktor-aktor tidak resmi seperti partai politik dan kelompok kepentingan. Selanjutnya, yang termasuk kedalam aktor resmi adalah lembaga-lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari eksekutif (birokrasi), dan legislatif (Politisi). Di Kabupaten Kerinci, aktor yang berasal dari lembaga eksekutif ini terdiri dari mereka yang ikut merumuskan

51 Charles Lindblom, The Policy Making Process, 2nd edition, Yale University, USA, 1984, hal. 2

52 Budi Winarno, Op.Cit, Hal. 142

perencanaan anggaran dari tingkat SKPD, seperti Kepala SKPD dan jajarannya, hingga ke tingkat Tim perumus anggaran daerah, seperti Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), termasuk juga pimpinan tertinggi eksekutif daerah yaitu Bupati. Sementara itu, aktor dari lembaga legislatif terdiri dari semua anggota DPRD dari berbagai komisi dan fraksi dengan seluruh badan kelengkapannya, seperti Badan Anggaran, Badan Musyawarah, Badan Legislasi dan Badan Kehormatan. Sehingga

Keragaman dari aktor yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran berbeda dan seringkali beradu motivasi, tujuan,53 dan kepentingan. Eksekutif berkepentingan memperluas cakupan institusinya dan memperbesar budget bagi pelaksanaan program dan kegiatannya, sementara legislatif berkepentingan agar dapat terpilih kembali (reelection) dengan memperbanyak “pork barrel” bagi daerah pemilihannya. Untuk memenuhi hal tersebut, legislators mencari program dan projects yang membuatnya popular di mata konstituen.54 Salah satu bentuk program dan projects tersebut adalah belanja investasi di sektor infrastruktur.

Sementara itu, birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya mereka menerima benefits dari pemerintah.55

Akibat yang muncul kemudian, untuk memperjuangkan kepentingannya, para aktor memungkinkan untuk memisahkan diri dari (terfragmentasi) dari

53 Irene S. Rubin, Op.Cit, Hal. 14

54 Syukriy Abdullah, Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory.

Makalah Disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu. Bengkulu. 4-5 Oktober 2004.

55 Ibid

lembaganya.56 Eksekutif dapat saja terfragmentasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra. Artinya, pada kelompok eksekutif yang pro menginginkan kinerja anggaran, sehingga anggaran dapat dipergunakan secara efektif dan efisien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta disusun berdasarkan Nota kesepakatan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, pada kelompok eksekutif yang kontra, menginginkan maximizing budget bagi institusinya dengan mengabaikan segala ketentuan dan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan harapan bahwa dengan memaksimalkan anggaran, maka semakin banyak pula program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada institusi mereka. Otomatis akan meningkatkan income bagi personil-personilnya. Kemudian pada sisi legislatif terjadi juga fragmentasi. Pada sisi politisi yang pro lebih mementingkan jumlah anggaran, sehingga akan semakin banyak proyek-proyek dilaksanakan, pada akhirnya dapat memuaskan konstituen-konstituen mereka di daerah pemilihannya masing-masing. Sementara itu, politisi yang kontra menginginkan agar anggaran dapat terdistribusi secara proporsional dan berkeadilan.

Dari uraian tersebut, Aktor-aktor yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran saling terfragmentasi secara internal dan dalam hubungan antar aktor lain di luar lembaganya. Dimana masing-masing mereka yang terfragmentasi memiliki kepentingan untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan khususnya. Aktor-aktor dari lembaga yang berbeda akan saling bersatu di sekitar tujuan bersama sehingga terbentuklah koalisi. Koalisi dimaknai sebagai penggabungan kekuatan

56 Fadmi Ridwan, Pengalaman Aceh mengelola kontestasi politik : Studi Kontestasi Birokrat, Politisi dan Ulama dalam proses kebijakan anggaran Dayah Tahun 2008, Program Studi Ilmu Politik, UGM, 2008, Tesis tidak dipublikasikan

dengan pihak lain untuk memperkuat posisi tawar menawar dan dapat menjadi strategi yang jitu untuk mempertahankan eksistensi suatu pihak.57 Kesesuaian ideologi dan basis perjuangan para aktor dapat dijadikan sebagai parameter dengan siapa mereka akan berkoalisi. Koalisi dapat juga didefinisikan sebagai dua atau lebih pihak yang setuju untuk mengumpulkan sumber daya mereka untuk mencapai beberapa hasil yang saling menguntungkan.

Disamping munculnya koalisi, tidak tertutup kemungkinan munculnya kompromi-kompromi antar aktor dalam proses penyusunan anggaran. Kompromi dimaknai bahwa Pihak yang berkontestasi walaupun tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lain tetapi mereka tetap membuka kemungkinan untuk berdialog, dan melakukan tawar-menawar, saling memberi dan menerima,58 menyetujui tujuan yang bersifat menguntungkan kedua belah pihak dan sebagai suatu tindakan “back up” apabila upaya kerjasama (kooperatif) tidak berhasil,59 disamping itu suatu kompromi tidak mungkin memuaskan semua pihak yang berkepentingan secara sempurna.60 Terkait dengan pembahasan anggaran, kompromi dapat menghasilkan alternatif tawaran, antara lain pemindahan lokasi kegiatan (proyek), pengurangan dan penghapusan suatu kegiatan dan mengganti dengan kegiatan yang baru serta dapat juga berupa persetujuan untuk merevisi volume pekerjaan.

5757 Firmansyah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan positioning ideologi politik di era demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, Hal. 359

58 Pratikno dkk, Mengelola dinamika politik dan Sumberdaya Daerah, Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Yogyakarta, 2004, Hal. 42

59 Harbani Pasalong, Kepemimpinan Birokrasi, Alfabeta, 2008, Hal. 191

60 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, Hal. xxiii

Jika masing-masing aktor berusaha menjadi sangat kuat, baik melalui koalisi maupun kompromi, maka pada saat bersamaan kelompok lain akan berupaya untuk melawannya, dan merekapun tersisihkan. Kelompok yang tersisihkan tersebut membangun kerjasama (cooperative) dengan kelompok lain yang tidak puas atau keluar (exit) dari arena pembahasan suatu kebijakan.

Kooperatif dapat definisikan sebagai Cooperative is occurring, when actors adjust their behavior through a process of policy coordination,61and usually opposed to competition or conflict which implies that cooperation provides the actors involved with gains or rewards.62

c. Nilai-nilai yang mempengaruhi sikap dan perilaku para aktor dalam perumusan kebijakan publik.

Rancangan kebijakan yang diajukan oleh aktor, merupakan fungsi dari sikap dan perilakunya, sementara sikap dan perilaku merupakan fungsi dari kepentingan dan nilai yang dipegangnya.63 Nilai-nilai tersebut, sebagai berikut : 1) Nilai-nilai politik, yaitu keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari

parpol atau kelompok kepentingan tertentu. Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam Kebijakan Publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan

61 Robert O Keohane, “Institutional Theory and the Realist Challenge After the Cold War.”Neorealism and Neoliberalism : The Contemporary Debate. Columbia University Press, New York, 1993, Hal. 269-300.

62 Helen Milner, International Theories of Cooperation among Nations: Strengths and Weakness, World Politics, Vol. 44, No. 3 (April 1992), pp. 466-496. Cambridge University Press, diakses tanggal 12 November 2011, melalui http://www.jstor.org/stable/2010546

63 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 20

yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya. Sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan, dimana sumber kekuasaan itu berasal dari strata sosial, birokrasi, akademis, professionalisme, kekuatan modal, dan sebagainya.

2) Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini, tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan mengakomodasi kepentingan organisasi ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut.

3) Nilai-nilai pribadi, yaitu seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dibuat oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan statusquo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal.

Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kenapa ia mendapatkan nilai tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.

4) Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kebijakan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Temasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan ini melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, disini akan banyak terlihat bagaimana seseorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan info yang mereka miliki, bagaimana mereka menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana info diproses dan bagaimana info dikomunikasikan dalam organisasi.

5) Nilai idiologi dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu idiologi juga merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan meligitimasikan tindakan- tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

B. Konsep anggaran.

Secara konseptual, anggaran merupakan instrumen penting kebijakan ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah dan menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas negara.64 Anggaran juga didefinisikan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu

64 Yuna Farhan, Menelaah Arah Politik Anggaran di Indonesia , melalui : http://www.psik-indonesia.org/files_pdf/%5BFITRA%5D%20Menelaah%20Arah%20Politik%20Anggaran%20di%20Indonesia_20100330 170322 diakses tanggal 29 Juni 2011.

tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.65

Sementara itu, dalam bukunya, Irene S. Rubin, seorang pakar politik

Sementara itu, dalam bukunya, Irene S. Rubin, seorang pakar politik