• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2. Program Studi Magister Administrasi Publik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Tesis. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2. Program Studi Magister Administrasi Publik."

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI JAMBI.

Tesis

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Magister Administrasi Publik

Diajukan oleh:

HERZON. Y 10/310865/PMU/06925

Kepada

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2011

(2)
(3)

i Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, November 2011

HERZON. Y HERZON. Y

18

(4)

ii

šù=Ï?uρ ã≅≈sVøΒF{$# $yγç/ΎôØnΣ Ä¨$¨Ζ=Ï9 ( $tΒuρ !$yγè=É)÷ètƒ āωÎ) tβθßϑÎ=≈yèø9$#

43. dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia;

dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

(QS. Al ‘Ankabuut : 43) Siapapun yang merindukan sukses, maka harus bertanya pada dirinya seberapa jauh dan sungguh-sungguh untuk berjuang, karena tiada kesuksesan tanpa perjuangan.

¨βÎ) yìtΒ ÎŽô£ãèø9$#

#ZŽô£ç„

∩∉∪

6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(QS. Alam Nasyrah : 6)

Barang siapa ingin dunia maka raihlah dengan ilmu dan barang siapa ingin akhirat maka raih pulalah dengan ilmu, dan barang siapa ingin kedua-duanya

maka raih pulalah dengan ilmu.

(Imam Nawawi)

Kupersembahkan karya ini….

Buat Ayah dan bundaku Serta anak dan Isteriku Yang tercinta

(5)

iii Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, Alhamdulilah penulis telah dapat menyelesaikan tesis dengan judul “POLITIK ANGGARAN : STUDI TENTANG PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN ANGGARAN BELANJA LANGSUNG SKPD DALAM PENYUSUNAN APBD TAHUN 2011 DI KABUPATEN KERINCI, PROVINSI JAMBI” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana S-2 pada program studi Magister Administrasi Publik, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tesis ini mengkaji tentang Kontestasi antar perumus kebijakan anggaran dalam penentuan belanja langsung SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci tahun 2011.

Tesis ini penulis persembahkan buat keluargaku tercinta Bapak (alm) Yahya Yusuf, wasiat ayah telah ananda laksanakan yah, kuliah setinggi-tingginya agar punya ilmu yang berguna, sampai sejauhmana dapat kau capai Nak. Buat Ibuku Hj. Roslaini Yahya yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan anaknya ini. Isteriku Ririn dan anak-anakku tercinta, Wira dan Manda, maafkan papa yang telah mengurangi jatah kebersamaan kalian dengan papa Nak, semoga kelak memberikan manfaat buat kalian semua.

Penulis menyadari bahwa selama mengerjakan dan menyelesaikan tesis banyak mendapat bantuan dan dorongan, maka pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis terutama kepada :

1. Bapak Dr. Wahyudi Kumorotomo, Bapak Dr. Agus Pramusinto, MDA, Bapak Drs. H. Suharyanto selaku pembimbing dan penguji, yang saya banggakan.

Bimbingan, arahan dan pergertian Bapak-bapak sungguh berarti bagi tesis saya yang tidak pernah terbayangkan hasilnya lebih dari kemampuan yang saya miliki, dan telah menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan intelektualitas dan logika berfikir saya ke depan. Semoga ilmu dan pengetahuan yang telah beliau berikan kepada penulis mendapatkan balasan pahala yang sangat besar dari Allah SWT.

2. Bapak Dr. Agus Pramusinto, MDA dan Dr. Erwan Agus Purwanto selaku Ketua dan Sekretaris Pengelola MAP UGM Yogyakarta.

3. Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Bappenas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada program studi Magister Administrasi Publik, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

(6)

iv semakin maju dan berkembang di kemudian hari.

5. Seluruh dosen di MAP-UGM atas arahan dan bimbingannya dalam berbagai materi perkuliahan yang diberikan selama ini dan telah banyak membuka cakrawala berpikir bagi penulis mengenai administrasi publik. Sungguh suatu kebanggaan besar bagi penulis diajar dan diajak berdiskusi dengan orang- orang terbaik dibidangnya di negara ini.

6. Kepada Bapak Kepala Bappeda Kabupaten Kerinci yang telah memberikan kesempatan dan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis termasuk informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis selama penyusunan tesis ini.

7. Kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Kerinci dan Badan Anggaran DPRD serta Komisi III DPRD Kabupaten Kerinci yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan informasi kepada penulis mengenai proses perumusan kebijakan ini.

8. Seluruh rekan-rekan senasib sepenanggungan kelas Bappenas Angkatan V, terutama the six manis manja group plus, yang telah banyak membantu dalam memberi sumbangan pemikiran. Semoga persahabatan kita akan tetap terjaga selalu selamanya.

9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moril, materiil maupun doa dalam penulisan tesis ini, yang sedemikian banyaknya tidak dapat diucapkan satu persatu, Semoga bantuan yang diberikan baik moril dan materiil yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan berkat dan anugrah yang berlimpah dari Yang Maha Kuasa.

Penulis yakin bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun dengan segala kerendahan hari penulis berharap tesis ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi baik bagi mahasiswa, peneliti maupun pemerhati bidang perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah.

Yogyakarta, November 2011

Penulis PENULIS

18

(7)

v Halaman Judul ...

Halaman Pengesahan ...

Halaman Pernyataan ... i

Halaman Persembahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Akronim ... x

Intisari ... xii

Abstract... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 13

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Kebijakan Publik ... 14

1. Konsep Kebijakan Publik ... 14

2. Perumusan Kebijakan Publik ... 15

a) Model-model Perumusan Kebijakan Publik ... 15

1) Model Kelembagaan ... 16

2) Model Sistem ... 17

3) Model Elit ... 18

4) Model Kelompok ... 19

5) Model Rasional. ... 20

6) Model Pilihan Publik ... 21

b) Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik ... 22

c) Nilai-nilai yang mempengaruhi sikap dan perilaku para aktor dalam perumusan kebijakan publik ... 27

B. Konsep anggaran ... 29

C. Politik Anggaran ... 32

D. Rent Seeking ... 34

E. Kontestasi antar aktor ... 35

F. Definisi Konseptual ... 38

G. Definisi Operasional ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 42

B. Sumber Data... 43

C. Teknik Pemilihan Informan... 44

D. Teknik Analisis Data ... 45

E. Keabsahan Data/ Uji Pembuktian Data ... 46

(8)

vi

1. Pendapatan Daerah... 49

2. Belanja Daerah ... 50

C.Politik Lokal ... 56

D.Aktor Perumus Anggaran Daerah ... 59

1. DPRD dan alat-alat kelengkapannya ... 59

a. Komisi-komisi... 59

b. Badan Anggaran ... 61

c. Badan Musyawarah ... 62

d. Fraksi-fraksi ... 62

2. Profil Eksekutif ... 63

BAB V PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN ANGGARAN DAERAH A. Mekanisme penyusunan dan penetapan APBD ... 65

B. Dimensi politik dalam proses penyusunan belanja langsung SKPD ... 73

BAB VI KONTESTASI PADA TAHAPAN PEMBAHASAN KUA DAN PPAS A. Pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA) yang miskin kritikan dan kontestasi di legislatif ... 77

B. Pembahasan PPAS yang menjadi awal kontestasi antara eksekutif dan Legislatif dalam perumusan belanja langsung SKPD ... 80

BAB VII KONTESTASI PADA TAHAPAN PEMBAHASAN RKA-SKPD A. Rasionalisasi dan Otorisasi RKA-SKPD oleh TAPD ... 96

B. Sketsa Politik dibalik pembahasan RKA Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum ... 99

1. Koreksi minimalis Dewan dalam pembahasan Program Non Fisik ... 105

2. Pembahasan Program-program Fisik dan kontestasi yang mengiringinya ... 106

a. Pembahasan Program pembangunan jalan dan jembatan ... 107

b. Pembahasan Program pembangunan infrastruktur perdesaan ... 118

3. Rapat Gabungan dan Finalisasi Anggaran Daerah ... 123

C. Identifikasi kontestasi antar aktor ... 128

BAB VIII KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 133

B. Refleksi Teoritis ... 135

C. Rekomendasi... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 140 LAMPIRAN

(9)

vii Halaman Tabel 1. Persentase Fungsi Terhadap Total Belanja Pemerintah Pusat

Tahun 2005 – 2010 3

Tabel 2. Anggaran Belanja Langsung SKPD Kabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

7 Tabel 3. Belanja modal pembangunan jalan lingkar dalam Kabupaten

Kerinci Tahun 2011

9 Tabel 4. Kondisi Infrastruktur Jalan Kabupaten Kerinci Tahun

2007-2010

47 Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kerinci Atas

Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010

48

Tabel 6. Pendapatan Daerah Kabupaten Kerinci Tahun 2008-2011 49 Tabel 7. Belanja Daerah Kabupaten Kerinci Tahun 2008-2011 50 Tabel 8. Perkembangan Belanja Pegawai pada Komponen Belanja

Tidak Langsung dalam APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

52

Tabel 9. Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci dan Alokasi Anggaran dalam APBD Tahun 2009

53 Tabel 10. Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci dan

Alokasi Anggaran dalam APBD Tahun 2010

54 Tabel 11. Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci dan

Alokasi Anggaran dalam APBD Tahun 2011

55 Tabel 12. Daftar pemilih tetap di Daerah Pemilihan per-Kecamatan

dalam Kabupaten Kerinci pada Pemilu Tahun 2009

56 Tabel 13. Perolehan Suara dan Kursi masing-masing Partai politik di

beberapa Daerah Pemilihan pada Pemilu Tahun 2009

57 Tabel 14. Partai politik, Daerah Pemilihan dan Anggota DPRD

Kabupaten Kerinci periode 2009-2014

58 Tabel 15. Komisi - Komisi DPRD Kabupaten Kerinci

Tahun 2010

60 Tabel 16. Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Kerinci

Tahun 2010

61 Tabel 17. Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kabupaten Kerinci

Tahun 2010

62 Tabel 18. Fraksi-fraksi DPRD Kabupaten Kerinci Tahun 2010 62

(10)

viii Tabel 20. Perbedaan antara rancangan KUA dan rancangan PPAS

Kabupaten Kerinci Tahun 2011

78 Tabel 21. Program Prioritas Dinas Pekerjaan Umum dalam

Rancangan PPAS Kabupaten Kerinci Tahun 2011

81 Tabel 22. Plafon Anggaran Belanja Langsung Program pembangunan

jalan dan jembatan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci Tahun Anggaran 2011

89

Tabel 23. Identifikasi Kontestasi aktor dalam proses Pembahasan PPAS Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci

90 Tabel 24. Hasil akhir Pembahasan PPAS Dinas Pekerjaan Umum

Kabupaten Kerinci Tahun 2011

92 Tabel 25. Proyeksi RAPBD Pasca Pembahasan PPAS Kabupaten

Kerinci Tahun 2011

93 Tabel 26. Ringkasan rancangan awal APBD Kabupaten Kerinci Tahun

2011

95 Tabel 27. Perbedaan total Anggaran antara PPAS dan RAPBD dengan

RKA yang diusulkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci

100

Tabel 28. Program Non Fisik dalam RKA Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci

106 Tabel 29. Perkiraan perolehan Rente Anggota Komisi III dari

rancangan kegiatan Pembangunan jalan dalam RKA Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci

114

Tabel 30. Perkiraan proporsi anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Pem bangunan Jalan setelah dikeluarkan seluruh rente

115

Tabel 31. Pembahasan RKA Kegiatan Pembangunan Jalan 116 Tabel 32. Ringkasan Rancangan APBD Hasil pembahasan pada rapat

gabungan

127 Tabel 33. Fenomena Kontestasi aktor dalam proses Pembahasan RKA

Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci di tingkat Eksekutif

129

Tabel 34. Fenomena Kontestasi aktor dalam Pembahasan Program Pembangunan Jalan dan jembatan

130 Tabel 35. Fenomena Kontestasi aktor dalam Pembahasan Program

Pembangunan Jalan dan jembatan

131 Tabel 36. Fenomena Kontestasi aktor dalam Rapat Finalisasi Anggaran 132

(11)

ix Halaman Gambar 1. Histogram Persentase Belanja langsung dan Belanja tidak

langsung terhadap total Belanja dalam APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

5

Gambar 2. Model Sistem 17

Gambar 3. Model Teori Kelompok 20

Gambar 4. Skema Alur Logika Penelitian 38

Gambar 5. Hubungan antara dokumen perencanaan lainnya dengan KUA dan PPAS

66 Gambar 6. Mekanisme penyusunan dan pembahasan

Rancangan KUA dan PPAS

70 Gambar 7. Siklus dan skedul perencanaan dan penganggaran daerah 73 Gambar 8. Skema Proses pembahasan Anggaran Belanja Langsung

SKPD Kabupaten Kerinci Tahun Anggaran 2011

75 Gambar 9. Pola kontestasi antar aktor dalam proses Pembahasan

PPAS Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci

91

(12)

x APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Banggar : Badan Anggaran

Banmus : Badan Musyawarah

BL : Belanja Langsung

Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BTL : Belanja Tidak Langsung

Capil : Catatan Sipil Dapil : Daerah Pemilihan Damkar : Pemadam Kebakaran DAU : Dana Alokasi Umum DAK : Dana Alokasi Khusus

DPA : Dokumen Pelaksanaan Anggaran DPDF : Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal

DPPKA : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ESDM : Energi Sumber Daya Mineral KB : Keluarga Berencana

KDH : Kepala Daerah

Kesbangpol : Kesatuan Bangsa dan Politik KPU : Komisi Pemilihan Umum KUA : Kebijakan Umum APBD Linmas : Perlindungan Masyarakat

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Parpol : Partai Politik

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto Pemilu : Pemilihan Umum

Perda : Peraturan Daerah

Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah PNS : Pegawai Negeri Sipil PPS : Panitia Pemungutan Suara

PPAS : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara PPKD : Pejabat Pengelola Keuangan Daerah Ranperda : Rancangan Peraturan Daerah

RAPBD : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Renja : Rencana Kerja

Renstra : Rencana Strategis

Renstrada : Rencana Strategis Daerah RKA : Rencana Kerja dan Anggaran RKP : Rencana Kerja Pemerintah

RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(13)

xi TPS : Tempat Pemungutan Suara

UKM : Usaha Kecil dan Menengah

(14)

xii maupun produknya adalah produk politik, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya manipulasi, dominasi, pemangkasan, pengambilan keputusan secara tertutup dan praktik buruk lainnya terkait dengan anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontestasi yang terjadi antar perumus kebijakan anggaran dalam penentuan belanja langsung SKPD, terutama pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci dalam penyusunan APBD tahun 2011.

Perspektif analisis kebijakan yang digunakan adalah politis, dengan jenis studi kasus melalui metode eksploratif karena disamping menggali berbagai fenomena yang ditemukan pada objek penelitian terutama argumentasi logika, rasionalisasi, orientasi dan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011, juga menjelaskan mekanisme kebijakan dan interaksi aktor yang berbeda dalam membahas dan menyepakati agenda dan anggaran Belanja Langsung SKPD. Teknik pengambilan data dilakukan melalui melalui wawancara mendalam terhadap aktor yang terlibat dalam perumusan APBD Kabupaten Kerinci serta studi literatur terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran Tahun 2011.

Logika teoritis yang melandasi penelitian ini bahwa Politik anggaran adalah suatu proses dimana terjadinya tawar-menawar antara para pelaku dalam membuat keputusan anggaran, kebijakan diekspresikan melalui proses anggaran;

kelompok kepentingan yang aktif dalam pengambilan keputusan anggaran, tetapi mereka dikendalikan, atau dapat dikontrol oleh persaingan antara mereka sendiri dan oleh proses anggaran yang memberikan atau menolak akses mereka untuk membuat keputusan.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa, kontestasi dalam pembahasan anggaran Belanja Langsung Dinas Pekerjaan Umum terjadi karena ketidak- seimbangan kepentingan antar aktor legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam pembahasannya. Kontestasi yang terjadi antara legislatif (Badan Anggaran dan Komisi III DPRD) dengan eksekutif (TAPD dan Dinas Pekerjaan Umum) dianalogikan sebagai pekerjaan “bisik-bisik”atau kolaborasi tertutup. Karena secara aktual relasi kedua aktor ini terjadi secara harmoni, menghindari konflik serta saling menjaga kepentingan masing-masing. Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa, jumlah legislator yang mewakili wilayahnya menjadi faktor penentu masuknya aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya dalam agenda pembahasan anggaran, karena kontestasi yang terjadi kemudian menempatkan DPRD sebagai aktor dominan dalam pembahasan anggaran. Hal ini justru menyebabkan terjadinya disparitas terhadap daerah pemilihan lainnya yang memiliki anggota legislatif yang sedikit. Kebijakan anggaran mengalir dari kepentingan para aktor eksekutif dan legislatif dan turun kepada masyarakat, bukannya dari kepentingan masyarakat naik mempengaruhi pandangan dan nilai dari aktor tersebut. Akibatnya kemudian, keberpihakan anggaran kepada kepentingan masyarakat sangat minim dan bisa juga dikatakan tidak sama sekali.

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar Agar Pemerintah Daerah memberikan akses yang luas kepada masyarakat bersama-sama dengan LSM yang peduli dengan anggaran publik di Kabupaten Kerinci untuk terlibat secara aktif dan mengawal setiap proses perencanaan dan penganggaran daerah.

Kata Kunci : kontestasi, perumusan kebijakan, anggaran belanja langsung

(15)

xiii politics, and there is a possibility of manipulation, domination, pruning, decision- making in the bad practices of private and other budget-related. This research aims to determine the contestation that occurs between the policy makers in determining of the development expenditure budget for agency, especially on the Public Works Service of Kerinci Regency in 2011.

The policy analysis used by political perspective, which is case studies type, through exploratory methods as well as explore the various phenomena that are found on the object of research mainly logical argumentation, rationalization, orientation and interaction of actors involved in policy formulation process direct expenditure in the preparation of the Public Works Service Kerinci Regency budget Year 2011, also explained the policy mechanisms and interactions of different actors in discussing and agreeing the agenda and Direct expenditure budget for agency. The data was collected through in-depth interviews of actors involved and literature study of the document of planning and budgeting in 2011.

Theoretical logic that underlies this study that the budget Politics is a process in which the occurrence of bargaining between actors in making budget decisions, the policy is expressed through the budget process; interest groups are active in making budget decisions, but they are controlled, or can be controlled by competition between their own and by the budget process that grant or deny access to them to make decisions.

From the results of this research found that, contestation in the discussion of Development expenditure of Public Works Service due to an imbalance of interests between the legislative and executive actors involved in it’s discussion.

Contestation that occurs between the legislative (Commission III and Budget Agency of the DPRD) and executive (TAPD and Public Works Service) analogous to the job "whispering" or closed collaboration. It caused in actual relationship the two actors was the case in harmony, avoiding conflict and maintaining mutual interests of each. In this research also shows that, the number of legislators who represent the area became the deciding factor in the influx of people's aspirations in the election budget agenda, because the contestation that occurs later put parliament as the dominant actor in the discussion of the budget, but instead led to the disparity of the other constituencies that have a few legislators. Budget policy flows from the interests of the executive and legislative actors and descend to the people, instead of the interests of the rising influence the views and values of the actor. Consequently then, favor the interests of the public budget is very minimal and could also be said not at all.

Based on the results of these findings, this research recommended that Local Government must provide broader access to the public together with the NGOs who concerned with the public of budget in Kerinci district to be actively involved and oversee every process of planning and budgeting.

Key Words: contestation, policy formulation, direct expenditure

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

All budgeting is about politics; most politics is about budgeting; and budgeting must therefore be understood as part of political game1, pernyataan ini merupakan refleksi nyata dari proses kebijakan penganggaran di Indonesia. Sebab, apabila dikaji secara mendalam, penganggaran pada dasarnya adalah masalah pembuatan berbagai pilihan atau prioritas untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.2 Sehingga sepanjang proses pembentukannya, dari perencanaan dan penyusunannya di lingkungan birokrasi, sampai dengan pengesahannya di DPR/D (legislatif), dan bahkan sampai pada implementasi, menjadikannya sebagai arena kontestasi politik terpenting setelah Pemilihan Umum (Pemilu)3. Sehingga dapat difahami bahwa penganggaran merupakan aktivitas politik, dengan demikian, proses maupun produknya adalah produk politik.4 Kondisi ini pada akhirnya melibatkan berbagai aktor-aktor tak hanya pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu/Pilkada, tetapi juga para birokrat serta aktor-aktor non formal lainnya diluar sistem Pemerintahan dan lembaga politik formal.

1 Aaron Wildavsky and Naomi Caiden, 2003, The New Politics of Budgetary Process : Fifth edition dalam tulisan Ibrahim Zuhdi Badoh dkk, Politik Birokrasi Anggaran di Indonesia dalam Anggaran pro kaum miskin : sebuah upaya menyejahterakan rakyat, LP3ES, Jakarta, 2009, Hal. 111.

2 Wahyudi Kumorotomo, dkk, Anggaran berbasis kinerja : Konsep dan aplikasinya, MAP-UGM, Yogyakarta, 2005, Hal.

V

3 Ibrahim Zuhdi Badoh, dkk, Op. Cit

4 Wahyudi Kumorotomo, dkk, Op. Cit.

(17)

Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya keterlibatan aktor-aktor formal dan non formal dalam proses perencanaan hingga pengesahan anggaran baik di pusat dan daerah, maka tarik-menarik, kontestasi dan perdebatan kepentingan berbagai aktor-aktor tidak dapat dihindari. Sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadinya manipulasi, dominasi, pemangkasan, pengambilan keputusan secara tertutup, dan praktik buruk lainnya terkait dengan anggaran.5 Hasilnya banyak aspirasi masyarakat dari tingkat bawah (grass root) kian terpinggirkan. Kondisi ini memperlihatkan kebijakan anggaran justru menguntungkan sekelompok elit dan belum menyentuh serta memberikan manfaat langsung bagi masyarakat banyak.

Komitmen terhadap amanat konstitusi UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, belum sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat dari rendahnya dukungan anggaran dalam APBN/

APBD untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama menyangkut peningkatan kualitas sumber daya manusia, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur, seperti terlihat pada tabel berikut :

5Sunaji Zamroni dan M. Zainal Anwar, Menabur Benih di lahan tandus : Pelajaran berharga dari advokasi perencanaan dan penganggaran di Bantul dan Kebumen, IRE Yogyakarta, 2008, Hal. 84 di download melalui : http://www.ireyogya.org/id/ebook/menabur-benih-di-lahan-tandus.html;download=29e48b79ae6fc68e9b6480b677453586, tanggal 10 Juni 2011

(18)

Tabel. 1. Persentase Fungsi Terhadap Total Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2005 – 2010

No FUNGSI / SUB FUNGSI

%

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata- rata 01 Pelayanan Umum 70,81 64,39 62,64 77,10 69,07 68,30 68,72 02 Pertahanan 5,97 5,55 6,08 1,32 1,71 2,89 3,92 03 Ketertiban dan

Keamanan

4,33 5,40 5,61 1,01 2,02 2,06 3,41 04 Ekonomi 6,51 8,70 8,37 7,28 7,94 7,91 7,79 05 Lingkungan Hidup 0,37 0,61 0,98 0,77 0,98 1,09 0,80 06 Perumahan dan

Fasilitas Umum

1,17 1,24 1,81 1,80 2,53 2,88 1,91 07 Kesehatan 1,62 2,77 3,17 2,02 2,42 2,48 2,41 08 Pariwisata dan

Budaya

0,16 0,21 0,37 0,19 0,21 0,20 0,22 09 Agama 0,36 0,32 0,37 0,11 0,12 0,13 0,24 10 Pendidikan 8,12 10,30 10,07 7,98 12,55 11,59

10,10 11 Perlindungan Sosial 0,58 0,52 0,53 0,43 0,46 0,48 0,50 Sumber : Diolah dari data pokok APBN Tahun 2005-2010, Depkeu RI

Berdasarkan tabel diatas, sungguh ironis jika anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru lebih diutamakan untuk kepentingan birokrasi dan elit. Sebagaimana dilansir oleh salah satu media massa nasional, bahwa Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 lebih banyak digunakan untuk kepentingan rutin birokrasi dan membiayai elite politik dibandingkan untuk kemakmuran rakyat, sehingga tema prioritas APBN 2010, yaitu ”Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”, masih menjadi jargon.6 Selanjutnya dinyatakan juga bahwa :

6 http://nasional.kompas.com/read/2010/12/22/02542544/ : POLITIK ANGGARAN, APBN Lebih Banyak untuk Birokrasi dan Elite Politik, 2010, diakses tanggal 10 Juni 2011

(19)

”Kenaikan anggaran dari Rp 509,6 triliun tahun 2005 menjadi Rp 1.126 triliun pada APBN 2010 tidak memberikan perubahan berarti bagi kesejahteraan rakyat, kondisi itu, terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang terus terpuruk. Jika pada tahun 2006 IPM Indonesia berada di peringkat ke-107, kemudian menjadi ke-109 pada 2007-2008, tahun 2009 IPM Indonesia kembali turun menjadi ke- 111, lebih buruk dibandingkan Palestina yang berperingkat ke-110 dan Sri Lanka yang berada di peringkat ke-102. Anggaran pemerintah, seperti untuk perjalanan, terus meningkat. Jika dalam APBN 2009, anggaran perjalanan hanya Rp 2,9 triliun, tetapi menjadi Rp 12,7 triliun di APBN Perubahan dan realisasinya mencapai Rp 15,7 triliun. Dalam APBN 2010, anggaran perjalanan ditetapkan Rp 16,2 triliun, tetapi naik menjadi Rp 19,5 triliun di APBN Perubahan 2010.”7

Dari fenomena tersebut, dapat dimaklumi untuk membangun atau menyejahterakan rakyat kita harus puas hanya dengan “remah-remah” yang tersisa. Persoalannya, bukan hanya anggaran habis untuk belanja rutin alias membiayai birokrasi dan membayar utang, banyak dikorupsi atau bocor, melainkan yang remah-remah itu pun belum tentu seluruhnya menetes ke kelompok masyarakat yang dituju.8

Senada dengan fenomena anggaran pada tingkat pusat tersebut, tidak terlihat banyak kemajuan di tingkat daerah. Khususnya Kabupaten Kerinci, yang merupakan Kabupaten paling barat Provinsi Jambi, memiliki struktur APBD tahun 2009-2011 yang lebih didominasi oleh belanja pegawai dalam hal ini berupa gaji dan tunjangan pegawai pada pos belanja tidak langsung (BTL). Persentasenya terhadap total belanja daerah dari tahun 2009 sampai dengan 2011 cenderung menurun berturut-turut sebesar 57,213%, 51,673% dan 46,962%.

7 Ibid

8 http://nasional.kompas.com/read/2011/03/10/05144766/ : Politik Anggaran yang Tak Memihak Orang Miskin, 2010, diakses tanggal 10 Juni 2011.

(20)

Gambar 1 : Histogram Persentase Belanja langsung dan Belanja tidak langsung terhadap total Belanja dalam APBD

Kabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

Sumber : Diolah dari data APBDKabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

Namun persentase belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan tersebbut akan kian meningkat ketika diakumulasikan dengan jenis belanja pegawai pada pos belanja langsung yang berupa honorarium dan biaya lembur pelaksanaan kegiatan. Sementara itu untuk belanja modal yang merupakan belanja investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi9, meskipun trendnya meningkat dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, akan tetapi proporsinya masih rendah.

Disamping itu, penggunan anggaran yang cukup besar untuk birokrasi di Kabupaten Kerinci ini masih diikuti oleh belanja-belanja lain yang bersifat pemborosan. Seperti biaya bagi pengadaan kendaraan dinas, biaya perjalanan dinas, biaya alat tulis kantor, biaya cetak dan penggandaan, biaya pemeliharaan gedung kantor, biaya pengadaan pakaian dinas, biaya makan dan minum serta biaya-biaya lainnya yang apabila diakumulasikan memiliki nominal yang cukup

9 Abdul Waidl. Dkk, Mendahulukan si miskin, LKIS, Yogyakarta, 2008, Hal. 79 Belanja

Langsung (BL) thd total Belanja

Belanja pegawai (BL) thd total Belanja

Belanja barang&jasa

thd total Belanja

Belanja modal thd total Belanja

Belanja pegawai (BTL) thd total Belanja

Belanja pegawai (BTL+BL)

thd total Belanja

2009 34,33 4,98 14,39 14,96 57,21 62,20

2010 33,10 3,77 13,23 16,10 51,67 55,44

2011 44,15 4,79 16,10 23,25 46,96 51,76

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00

Persentase

(21)

besar. Sehingga dapat dipastikan besarnya anggaran pembangunan bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sangat kecil sekali. Kondisi anggaran seperti ini bukan hanya tidak mengakomodir aspirasi masyarakat, tetapi juga telah melanggar asas-asas kepatutan dan kepantasan.

Jika pada masa orde baru, perencanaan dan penganggaran daerah menggunakan pendekatan top down, terpusat, uniform, dan lain sebagainya, maka saat ini pendekatan yang digunakan adalah bottom up, desentralisasi dan Partisipatif. Melalui skema desentralisasi inilah pemerintah daerah diwajibkan menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran dari visi dan misi Kepala daerah dan wakil kepala Daerah terpilih. Di dalamnya tertuang program dan kegiatan yang akan dilaksanakan selama periode 5 (lima) tahun masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebagian atau keseluruhan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. RPJMD merupakan rujukan dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, seperti Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) serta berujung pada penyusunan dan penetapan APBD.

Kontestasi antar aktor perumus kebijakan anggaran lebih banyak terjadi pada saat pembahasan komponen belanja, terutama belanja langsung. Hal ini disebabkan karena dalam belanja langsung terdapat porsi anggaran untuk menjalankan program dan kegiatan SKPD dalam mendukung visi dan misi pemerintah daerah. Kemudian, di dalam program dan kegiatan yang akan didanai

(22)

tersebut, terdapat komponen-komponen kepentingan berbagai pihak yang harus diakomodir.

Pada tahun 2009-2011, alokasi anggaran belanja langsung bagi masing- masing SKPD di Kabupaten Kerinci cenderung meningkat. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pembangunan. Sehingga kenyataan yang terjadi, masih ada wilayah dalam Kabupaten Kerinci yang belum tersentuh oleh pembangunan sektoral.

Para anggota legislatif yang berkontestasi ternyata lebih merepresentasikan wilayah pemilihannya dalam menyuarakan aspirasi konstituennya, terutama tampak pada sektor Infrastruktur, Pendidikan dan kesehatan. Sementara itu eksekutif, dalam hal ini Kepala Daerah hanya mengikuti alur kontestasi yang terjadi diantara politisi tersebut, karena kepentingannya terhadap wilayah yang menghantarkannya pada kursi kekuasaan Kepala Daerah tetap terakomodasi.

Tabel 2 : Anggaran Belanja Langsung SKPD Kabupaten Kerinci Tahun 2009-2011

No. SKPD Anggaran Belanja Langsung

2009 2010 2011

1 Dinas Pendidikan 29.485.156.370 6.689.801.910 51.711.070.050 2 Dinas Kesehatan 15.187.480.356 9.233.466.182 8.507.174.860 4 Dinas Pekerjaan

Umum

37.393.868.899 61.524.668.050 100.558.348.300 Sumber : DPPKA Kabupaten Kerinci, 2011.

Dari tabel diatas, ketiga sektor ini lebih dominan merupakan arena konstestasi yang selalu terjadi setiap tahunnya dalam pembahasan APBD dibandingkan sektor lainnya. Hal ini disebabkan karena pada sektor ini terdapat

(23)

lokasi pelaksanaan kegiatan, sehingga apabila seorang anggota legislatif mampu memperjuangkan lokasi pelaksanaan kegiatan tersebut di wilayah pemilihannya, maka ia akan merasa telah memenuhi aspirasi dari konstituennya yang memilihnya. Disamping itu juga ketiga sektor ini merupakan “lahan yang cukup basah” bagi anggota legislatif yang memiliki profesi sampingan sebagai kontraktor. Sehingga dapat dibayangkan yang akan terjadi kemudian terhadap kualitas pembangunan di Kabupaten Kerinci.

Pada Tahun 2011, prioritas pembangunan Kabupaten Kerinci diarahkan pada percepatan pembangunan infrastruktur. Sehingga wajar jika anggaran belanja langsung pada sektor infrastruktur memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan belanja langsung pada sektor lainnya, yaitu sebesar 36,14%

(lihat tabel 10) dan sekitar 89,82% dari total anggaran langsung Dinas Pekerjaan Umum tersebut merupakan belanja modal yang digunakan untuk pembangunan Infrastruktur Jalan, jembatan, gedung dan irigasi.

Namun demikian, meskipun memiliki belanja modal yang cukup besar, akan tetapi proporsi belanja modal bagi pembangunan wilayah di Kabupaten Kerinci tidak terdistribusi dengan merata dan seakan-akan terlalu memihak kepada kepentingan Kepala Daerah dan anggota legislatif. Sebagai salah satu contoh sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini :

(24)

Tabel 3 : Belanja modal pembangunan jalan lingkar dalam Kabupaten Kerinci Tahun 2011

No. Lokasi Pembangunan Jalan Pagu (Rp) 1 Simp. Tanjung Tanah - Lubuk Nagodang 15.000.000.000

2 Danau Tinggi - Sungai Dalam 4.577.500.000

3 Belui – kemantan 1.500.000.000

4 Simpang Pasar Semurup - Simpang Pugu (Jl. Lingkar) 750.000.000 5 Poros Tengah Lindung Jaya - Batang Sangir 1.050.000.000 6 Poros Tengah Giri Mulyo - Gunung Labu 500.000.000 7 Poros Tengah Koto Priang - Sungai Tanduk 730.000.000

8 Pungut Mudik - Renah Pemetik 5.100.000.000

9 Jl. Batu Hampar - Sungai Betung Mudik 510.000.000

Total 29.717.500.000

Sumber : Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PU Kab. Kerinci, 2011 Dari tabel diatas, secara keseluruhan terlihat bahwa lokasi pembangunan jalan berada pada wilayah yang menghasilkan suara terbanyak dalam Pemilihan Umum (lihat tabel 12) dan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kerinci periode 2009-2014. Disamping itu pula merupakan wilayah domisili Kepala daerah dan sebagian besar anggota DPRD kabupaten Kerinci periode 2009-2014. Kondisi inilah kemudian yang memunculkan kontestasi pada satu sisi dan kolaborasi di sisi yang lainnya demi tercapainya tujuan dari masing-masing aktor yang merupakan cerminan dari politik anggaran.

Sehingga disini terlihat bahwa politik anggaran sebagai upaya rekonsiliasi berbagai kepentingan yang beragam dan saling bertarung untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas melalui formulasi yang rasional yang dapat diterima oleh semua pihak.10 Kemudian, proses pengalokasian sumber daya publik yang

1010

Abdul Waidl. Dkk, Op, Cit, Hal. 76

(25)

terbatas terhadap berbagai institusi dengan tujuan yang berbeda, lebih merupakan proses politik daripada proses teknokratis murni.11

Dalam kaitannya dengan penganggaran daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, diantaranya Silvia Delvina,12 meneliti tentang Proses penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Kabupaten Padang Pariaman di era otonomi Daerah. Hasil penelitiannya menyimpulkan rendahnya aspirasi masyarakat Kabupaten Padang Pariaman yang terakomodasi dalam APBD 2004, selanjutnya ditemukan inkosistensi kriteria-kriteria usulan dari tingkat nagari dan kecamatan, sementara di tingkat Kabupaten baru kriteria-kriteria tersebut muncul, seperti kesesuaian dengan Arah Kebijakan Umum serta Strategi dan prioritas APBD. Juga ditemukannya keterlambatan dalam penyusunan Anggaran sehingga menyebabkan keterlambatan kegiatan pembangunan di Kabupaten Padang Pariaman.

Lebih lanjut Gusti Mawardi,13 meneliti tentang Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan ditinjau dari proses dan pengalokasian. Hasilnya Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Banjar belum mencerminkan aspirasi masyarakat daerah, Arah dan Kebijakan Umum anggaran lebih didominasi dan mencerminkan aspirasi pemerintah atasan. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

11 Ibid

12 Silvia Delvina, Analisis proses penjaringan aspirasiMasyarakat dalam pengalokasian Anggaran Belanja Daerah Kabupaten Padang Pariaman di Era Otonomi Daerah, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UNAND, 2006,(tidak dipublikasikan)

13 Gusti Mawardi, Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan ditinjau dari proses dan pengalokasian, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM, 2001,(tidak dipublikasikan)

(26)

sebagai wakil rakyat di daerah belum optimal, sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak tersaji secara lebih mendalam. Laju pertumbuhan realisasi anggaran belanja rutin Pemerintah Kabupaten Banjar setiap tahunnya cenderung berfluktuasi, kecuali untuk belanja pegawai yang menunjukkan laju pertumbuhan anggarannya setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan realisasi anggaran belanja pembangunan Pemerintah Kabupaten Banjar menurut sektor cenderung berfluktuatif setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan belum dilakukannya skala prioritas dalam menentukan plafon anggaran, di samping itu intervensi dari pemerintah atasan masih terlalu besar.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Syahrul,14 tentang anggaran belanja daerah Pemerintah Kota Padang ditinjau dari proses dan pengalokasian.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa perencanaan pembangunan di Kota Padang dilakukan melalui pendekatan top down approach dan bottom up approach, dalam penyusunan APBD peranan eksekutif masih dominan. Peranan anggota DPRD dalam penyusunan anggaran tidak dimulai dari awal tetapi diawali dari hasil draft yang disusun oleh eksekutif sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak terkaji lebih mendalam.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Djafar,15 yang meneliti tentang bagaimana pola-pola kontestasi yang berlangsung dalam proses perumusan kebijakan anggaran yang terjadi pada tahun 2005 di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Hasilnya, diidentifikasikannya dua hal utama yang terjadi dalam

14 Syahrul, Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Kota Padang ditinjau dari Proses dan Pengalokasian, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM, 2001, (tidak dipublikasikan)

15 Muhammad Ridwan Djafar, Politik Anggaran Daerah : Studi tentang proses perumusan kebijakan anggaran dalam penyusunan APBD Tahun 2005 di Kabupaten Mamuju Prov. Sulawesi Barat, Tesis-S2, Magister Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana UGM, 2006 (tesis tidak dipublikasikan)

(27)

proses perumusan kebijakan anggaran. Pertama, mekanisme perumusan yang elitis dan memakan waktu yang lama. Elitis karena aktor perumus yang terlibat hanya berasal dari dua lembaga besar di daerah, yaitu DPRD dan Pemerintah daerah. Memakan waktu yang lama karena mekanismenya terlalu panjang dan kuatnya kontestasi politik kepentingan antar aktor yang terlibat. Kedua, Pola kontestasi politik yang dominan yang terjadi dalam perumusan anggaran adalah kontestasi dan pertarungan kepentingan berbasis kewilayahan yang dilakukan aktor-aktor yang terlibat, plural namun sifatnya terbatas. Para anggota legislatif yang berkontestasi ternyata lebih merepresentasikan wilayah pemilihannya daripada kepentingan partainya, sementara birokrasi hanya mengikuti alur kontestasi yang terjadi antar eksekutif tersebut.

Hal yang membedakan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bahwa penulis melihat setiap proses kontestasi berbagai aktor dalam proses perencanaan anggaran daerah terutama pada proses perumusan kebijakan anggaran belanja langsung SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011.

B. Batasan Masalah

Karena begitu luasnya cakupan penelitian ini, peneliti membatasi hanya untuk satu SKPD saja, yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci. Hal ini disebabkan karena :

(28)

1. Program dan kegiatan yang lebih banyak diusulkan dan oleh masyarakat dan lebih banyak mengalami distorsi dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran daerah adalah bidang Infrastruktur.

2. Sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Kerinci periode 2009-2014 memiliki profesi sebagai pengusaha di bidang konstruksi sipil (kontraktor) dan sebagian lainnya mantan birokrat, sehingga dapat dipastikan kontestasi yang terjadi di dalam pembahasan anggaran belanja langsung akan semakin rumit dan memiliki pola yang beragam.

3. Sektor infrastruktur, terutama Pekerjaan Umum memiliki anggaran Belanja Langsung yang cukup besar setiap tahunnya dan berpotensi terjadinya kontestasi antara aktor dalam pembahasan Belanja Langsung, sebab di dalam program dan kegiatan Dinas Pekerjaan Umum memuat berbagai kepentingan-kepentingan aktor yang harus diakomodir.

C. Rumusan masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam hal ini adalah Bagaimanakah kontestasi antar perumus kebijakan anggaran dalam penentuan belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci dalam penyusunan APBD tahun 2011?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kontestasi yang terjadi antar perumus kebijakan anggaran dalam penentuan belanja langsufng Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci dalam penyusunan APBD tahun 2011

2. Untuk mengetahui dampak kontestasi yang terjadi terhadap kepentingan masyarakat bidang Infrastruktur pasca pengesahan APBD Kabupaten Kerinci tahun 2011.

(29)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Kebijakan Publik

Berbagai definisi yang dikemukan para pakar terkait dengan kebijakan publik dalam konteks dan pemahaman serta batasan-batasan tersendiri. Sehingga dapat dimaklumi bahwa kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu.16

1. Konsep Kebijakan Publik

Kebijakan dapat merujuk pada proses pembuatan keputusan- keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya.

Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. Sehingga, kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah dan para aktor politik yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah publik.17

Samodra Wibawa mengemukakan bahwa, kebijakan publik adalah keputusan suatu sistem politik untuk/ dalam/ guna mengelola suatu masalah atau memenuhi suatu kepentingan, dimana pelaksanaan keputusan tersebut membutuhkan dikerahkannya sumber daya milik sistem politik tersebut.18

16 Mustopadidjaja AR, Manajemen proses kebijakan publik : formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja, LAN dan Duta Pertiwi Foundation, Jakarta, 2003, Hal. 2

17 AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, teori dan aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hal. v

18 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hal. 1

(30)

Pandangan lainnya dikemukakan oleh James Anderson, bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.19

Jadi, dari definisi di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah, yang didukung oleh aktor politik dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.

2. Perumusan Kebijakan Publik

Perumusan kebijakan publik merupakan inti dari kebijakan publik20 dan merupakan proses yang rumit, sebab di dalamnya mencakup pertanyaan bagaimana masalah-masalah timbul dan masuk ke dalam agenda Pemerintah, siapa dan bagaimana merumuskan masalah tersebut untuk mengambil tindakan, kemudian sikap apa yang diambil oleh lembaga legislatif atau lembaga lainnya, selanjutnya bagaimana para pemimpin menerapkan kebijakan tersebut dan akhirnya, bagaimana kebijakan tersebut dievaluasi.21 Disamping itu, Anderson juga mengemukakan bahwa perumusan kebijakan merupakan pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik22.

a. Model-model perumusan kebijakan publik

Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan belanja langsung SKPD dalam penyusunan Proses Perumusan Kebijakan Anggaran Belanja Langsung

19 Budi Winarno, Kebijakan Publik : Teori dan proses, Media Presindo, Yogyakarta, 2008, Hal. 18

20 Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 391

21 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 91

22 James Anderson, Public Policy Making: An Introduction, Houghton Mifflin Company, Boston, 2006, Hal-4

(31)

SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011, ada beberapa model perumusan kebijakan publik yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyederhanakan rumitnya proses perumusan kebijakan dimaksud, antara lain : 1) Model Kelembagaan

Perumusan kebijakan model kelembagaan, secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas Pemerintah, dan mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan dari Pemerintah.23 Disamping itu, model ini lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik.24 Sehingga, dari perspektif model kelembagaan, kebijakan-kebijakan apapun tidak akan menjadi kebijakan publik kalau ia tidak diterima, diimplementasikan dan dipaksakan pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga Pemerintah.25

Hal ini berarti bahwa lembaga pemerintah memiliki legitimasi untuk menciptakan kebijakan yang menjangkau semua lapisan masyarakat dan pada tingkat tertentu kekuatan paksaan bisa dilakukan agar warga masyarakat mau memenuhi kewajiban untuk menuruti kehendak pembuat kebijakan.26 Dalam konteks ini Dye, berpandangan bahwa, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan kelembagaan ini, yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat universal dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan dalam kehidupan bersama.27

23 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 361

24 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Intermedia, Jakarta, 1994, Hal. 6

25 Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM press, Malang, 2008, Hal.78

26 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit

27 Riant Nugroho, Op. Cit.

(32)

2) Model Sistem

Perumusan kebijakan pada model sistem, mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik.28 Terdapat tiga koponen di dalam model ini, yaitu input, proses, dan output. Seperti tergambar di bawah ini:

Gambar 2. Model Sistem

Sumber : Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 383 Tuntutan-tuntutan individu maupun kelompok masyarakat, dukungan- dukungan dan juga sumber daya merupakan input yang nantinya akan mempengaruhi proses pengalokasian nilai-nilai oleh penguasa. Selanjutnya sistem politik akan menyerap berbagai macam tuntutan dari masyarakat untuk dikonversikan menjadi keluaran-keluaran yang berupa keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan. Proses tidak berakhir sampai disini, karena setiap hasil keputusan yang merupakan keluaran sistem politik akan mempengaruhi lingkungan. Perubahan lingkungan inilah yang nantinya akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan yang muncul dari masyarakat.29

28 Riant Nugroho, Op Cit, Hal. 382.

29 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 7

INPUT A POLITICAL SYSTEM

OUTPUT

DEMANDS

SUPPORT

DECISIONS OR POLICIES

FEEDBACK

(33)

3) Model teori Elit

Model teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias dalam perumusan kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit.30 Sehingga dalam model ini kehidupan sosial terdiri atas dua lapisan, lapisan pertama dengan jumlah yang sangat kecil selaku pengatur dan lapisan bawah dengan jumlah yang besar sebagai yang diatur. 31 Apabila didasarkan pada teori elit, bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka.32

Dalam kerangka dominasi, elit politik memiliki dua langkah, yang pertama dominasi dan kedua kekuasaan berdasarkan hak untuk memerintah yang didasarkan pada kepercayaan atau legitimasi rakyat, 33maka tidak ada salahnya, Ramlan Surbakti menyatakan elit politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan atau perumusan kebijakan publik34. Sehingga dapat dipahami bahwa, kebijakan publik sama sekali bukan cerminan tuntutan –tuntutan rakyat, melainkan lebih merupakan cerminan kepentingan golongan elit untuk melestarikan nilai-nilai mereka.35

Secara khusus model elit dikembangkan untuk menganalisis proses perumusan kebijakan publik, terutama untuk menyoroti peran-peran yang

30 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal.364

31 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 8

32 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 42

33 Zainuddin Maliki, Sosiologi politik : Makna kekuasaan dan transformasi politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010, Hal. 29

34 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 2007, Hal. 75

35 Solichin Abdul Wahab, Op. Cit, Hal.93

(34)

dimainkan oleh golongan elit dalam proses perumusan kebijakan publik dan cara- cara yang mereka lakukan untuk memanipulasi atau “memotong-kompas”

aspirasi rakyat.36

4) Model teori kelompok

Model teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium).37 Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan publik.38 Dengan demikian, pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapai tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negosiasi, dan kompromi. Sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan, kebijakan publik pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing pada suatu waktu.39 Dalam hal ini, peran sistem politik adalah untuk memanajemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui cara- cara sebagai berikut 40: a).Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan, b). Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan. c). Memungkinkan

terbentuknya kompromi dalam kebijakan publik yang akan dibuat, dan d). Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

36 Ibid

37 Riant Nugroho, Op Cit, Hal.363

38 Budi Winarno, Op Cit,, Hal. 49

39 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 9

40 Riant Nugroho, Loc. Cit, Hal.364

(35)

Gambar 3 : Model Teori Kelompok

Sumber : Riant Nugroho, Public Policy, Gramedia, Jakarta, 2008, Hal. 364 Sehingga dalam proses perumusan kebijakan publik, model kelembagaan dapat digunakan untuk menelaah kelompok apakah yang saling berkompetisi untuk mempengaruhi kebijakan publik dan siapa yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap keputusan yang dibuat.41

5) Model Rasional

Model Rasional mengedepankan suatu gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat.

Disamping itu, proses perumusan kebijakan publik dalam model ini harus didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya, dan rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.42 Artinya, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis. Oleh karena itu, untuk memperoleh rasionalitas yang tepat, maka para pembuat kebijakan harus mengetahui berbagai hal, yaitu 43: a). Preferensi nilai-

41 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis,Op,.Cit, Hal. 10

42 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 366

43 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Loc.Cit, Hal. 10

Pengaruh Grup B

Pengaruh Grup A Pengaruh

Tambahan

Posisi Kebijakan

Alternatif Perubahan Kebijakan

Equilibrium Kebijakan Publik

(36)

nilai masyarakat dan kecenderungannya, b). pilihan atau alternatif kebijakan yang tersedia, c). Konsekuensi- konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, d). Rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan dan e). Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Pendekatan ini mengabaikan asal usul kebijakan tersebut, sepanjang kebijakan yang ditempuh akan memberikan suatu hasil yang baik dengan sumberdaya yang paling sedikit, maka kebijakan tersebut layak untuk dilaksanakan.44

6) Model Pilihan publik

Pendekatan ekonomi politik yang baru menganggap bahwa negara atau pemerintah, politisi, birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri merupakan pemicu lahirnya pendekatan atau model pilihan publik (public choice).45 Model perumusan kebijakan publik ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut.46 Prinsipnya model ini berusaha untuk mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik, baik di parlemen, lembaga Pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih dan lain sebagainya.47

Disamping itu model ini membantu untuk menjelaskan, kenapa para pemenang pemilu acap kali gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan kepada publiknya, yaitu para pemberi suara

44 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik : Proses dan analisis, Loc.Cit, Hal. 10

45 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik : Kajian teoritis dan analisis empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hal. 48

46 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 380

47 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik : Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Ghalia Indonesia,2002, Jakarta, Hal. 86

(37)

atau pendukungnya.48 Kondisi ini terlihat manakala pemerintah memiliki kecenderungan untuk memuaskan para pemilihnya daripada masyarakat luas, dan tidak jarang kita menyaksikan suatu kebijakan publik yang seakan-akan adil, namun apabila dikaji dan dianalisis secara mendalam, kebijakan tersebut hanya menguntungkan sejumlah kecil warga masyarakat atau kelompok.

Sehingga jelaslah bahwa, model pilihan publik melihat politik anggaran sebagai rekonsiliasi berbagai kepentingan yang beragam dan saling bertarung untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas melalui formulasi rasional yang dapat diterima semua pihak.49 Disamping itu, model ini pada dasarnya menganggap bahwa proses pengalokasian sumber daya publik yang terbatas terhadap berbagai institusi dangan tujuan yang berbeda, lebih merupakan proses politik daripada proses teknokratis murni.50

b. Aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik

Selanjutnya seperti yang ditulis oleh Charles Lindblom dan beberapa ahli yang lain, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan tersebut. Menurut Charles Lindblom, bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (partisipants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka

48 Riant Nugroho, Op. Cit, Hal. 381

49 John Cullis dan Philip Jones, 1998, seperti dikutip oleh Abdul Waidl, dkk dalam Mendahulukan si miskin: buku sumber bagi anggaran pro rakyat, LKIS, Yogyakarta, 2008, Hal. 76

50 Andi Norton dan Diane Elson, 2002, Ibid

(38)

saling berhubungan serta saling mengawasi.51 Mengetahui siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan merupakan sesuatu yang esensial.52 Sebab, aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan menentukan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan, bagaimana masalah publik didefinisikan dan pada akhirnya bagaimana kebijakan publik tersebut dirumuskan.

Jadi, dari berbagai jenis pemeran serta, masing-masing pemeran serta ini menurut Lindblom mempunyai peran secara khusus yang meliputi: warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin lembaga legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha. Sehingga jika dikelompokkan, maka pemeran serta dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagai kedalam dua kelompok, yakni aktor resmi dan aktor tidak resmi.

Dalam penelitian ini, terkait dengan proses perumusan kebijakan belanja langsung SKPD dalam penyusunan APBD Kabupaten Kerinci Tahun 2011, aktor yang terlibat hanya dibatasi pada aktor resmi. Hal ini disebabkan kontestasi yang terjadi sepanjang perumusan belanja langsung SKPD berada pada aktor resmi ini.

Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan munculnya aktor-aktor tidak resmi seperti partai politik dan kelompok kepentingan. Selanjutnya, yang termasuk kedalam aktor resmi adalah lembaga-lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari eksekutif (birokrasi), dan legislatif (Politisi). Di Kabupaten Kerinci, aktor yang berasal dari lembaga eksekutif ini terdiri dari mereka yang ikut merumuskan

51 Charles Lindblom, The Policy Making Process, 2nd edition, Yale University, USA, 1984, hal. 2

52 Budi Winarno, Op.Cit, Hal. 142

(39)

perencanaan anggaran dari tingkat SKPD, seperti Kepala SKPD dan jajarannya, hingga ke tingkat Tim perumus anggaran daerah, seperti Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), termasuk juga pimpinan tertinggi eksekutif daerah yaitu Bupati. Sementara itu, aktor dari lembaga legislatif terdiri dari semua anggota DPRD dari berbagai komisi dan fraksi dengan seluruh badan kelengkapannya, seperti Badan Anggaran, Badan Musyawarah, Badan Legislasi dan Badan Kehormatan. Sehingga

Keragaman dari aktor yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran berbeda dan seringkali beradu motivasi, tujuan,53 dan kepentingan. Eksekutif berkepentingan memperluas cakupan institusinya dan memperbesar budget bagi pelaksanaan program dan kegiatannya, sementara legislatif berkepentingan agar dapat terpilih kembali (reelection) dengan memperbanyak “pork barrel” bagi daerah pemilihannya. Untuk memenuhi hal tersebut, legislators mencari program dan projects yang membuatnya popular di mata konstituen.54 Salah satu bentuk program dan projects tersebut adalah belanja investasi di sektor infrastruktur.

Sementara itu, birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency- nya berkembang dan konstituen percaya mereka menerima benefits dari pemerintah.55

Akibat yang muncul kemudian, untuk memperjuangkan kepentingannya, para aktor memungkinkan untuk memisahkan diri dari (terfragmentasi) dari

53 Irene S. Rubin, Op.Cit, Hal. 14

54 Syukriy Abdullah, Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory.

Makalah Disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu. Bengkulu. 4-5 Oktober 2004.

55 Ibid

(40)

lembaganya.56 Eksekutif dapat saja terfragmentasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra. Artinya, pada kelompok eksekutif yang pro menginginkan kinerja anggaran, sehingga anggaran dapat dipergunakan secara efektif dan efisien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta disusun berdasarkan Nota kesepakatan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, pada kelompok eksekutif yang kontra, menginginkan maximizing budget bagi institusinya dengan mengabaikan segala ketentuan dan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan harapan bahwa dengan memaksimalkan anggaran, maka semakin banyak pula program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada institusi mereka. Otomatis akan meningkatkan income bagi personil-personilnya. Kemudian pada sisi legislatif terjadi juga fragmentasi. Pada sisi politisi yang pro lebih mementingkan jumlah anggaran, sehingga akan semakin banyak proyek-proyek dilaksanakan, pada akhirnya dapat memuaskan konstituen-konstituen mereka di daerah pemilihannya masing-masing. Sementara itu, politisi yang kontra menginginkan agar anggaran dapat terdistribusi secara proporsional dan berkeadilan.

Dari uraian tersebut, Aktor-aktor yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran saling terfragmentasi secara internal dan dalam hubungan antar aktor lain di luar lembaganya. Dimana masing-masing mereka yang terfragmentasi memiliki kepentingan untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan khususnya. Aktor- aktor dari lembaga yang berbeda akan saling bersatu di sekitar tujuan bersama sehingga terbentuklah koalisi. Koalisi dimaknai sebagai penggabungan kekuatan

56 Fadmi Ridwan, Pengalaman Aceh mengelola kontestasi politik : Studi Kontestasi Birokrat, Politisi dan Ulama dalam proses kebijakan anggaran Dayah Tahun 2008, Program Studi Ilmu Politik, UGM, 2008, Tesis tidak dipublikasikan

Gambar

Gambar 1 : Histogram Persentase Belanja langsung dan Belanja tidak  langsung terhadap total Belanja dalam APBD
Tabel 3 : Belanja modal pembangunan jalan lingkar dalam Kabupaten  Kerinci Tahun 2011
Gambar 3 : Model Teori Kelompok
Gambar 4 : Skema Alur Logika Penelitian  Kontestasi antar aktor Perumus Kebijakan Anggaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan terkait persetujuan tindakan kedokteran adalah, bagaimana pemahaman dokter terhadap Persetujuan Tindakan Kedokteran

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pemanfaatan Limbah

Perumusan masalah yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah bagaimana rancang bangun sistem informasi pelayanan kesehatan berbasis Customer Relationship

berdasarkan Depdiknas 2008 dengan interpretasi “baik” dari segi materi, “sangat baik” dari segi bahasa, dan “sangat baik” dari segi konstruksi/instrumen tes, memiliki

Metode Topsis (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution) adalah salah satu metode pengambilan keputusan tentang peringkat prestasi kelompok dalam pembelajaran

Tesis berjudul “Analisis Keterlibatan Pemangku Kepentingan dalam Manajemen Pasca Bencana melalui Pembangunan Pariwisata di Desa Mendak, Kecamatan Dagangan,

Penelitian yang dilakukan oleh Indra dan Arisudhana (2011) tentang faktor yang mempengaruhi audit delay antara lain: ukuran perusahaan, return on aset, ukuran KAP, umur

Dalam penyusunan Tesis ini penulis mengambil judul: Tinjauan Yuridis Sosiologis Penyelesaian Sengketa Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan (Studi Kasus, Putusan: No:103 K/TUN/2010,