• Tidak ada hasil yang ditemukan

CENTRAL JAVA

C. Bentuk Penyajian Calung Dalam Suatu Pementasan

Bentuk penyajian musik tradisional calung dalam suatu pementasan disajikan dalam tiga bagian, yaitu bagian pertama berupa pembukaan, bagian kedua merupakan pertunjukan inti, dan bagian ketiga berupa penutup. Dalam penyajiannya, musik calung terdiri dari beberapa unsur, meliputi: musik, tari, vokal, lawak, dan dialog. Calung biasanya digunakan untuk mengiringi penyanyi yang lazim disebut sinden. Selain itu, kesenian calung digunakan untuk mengiringi tarian gaya Banyumasan yang disebut lenggeran atau lengger. Adapun pemain lawak dalam kesenian calung ini sering disebut bodhor atau badhut. Aransemen musikal yang disajikan berupa gendhing-gendhing Banyumasan, gendhing gaya Surakarta, Yogyakarta, dan dalam perkembangannya sering pula disajikan lagu-lagu pop dan campursari.

1. Alur Pementasan Utuh

Kesenian calung Banyumasan dalam penyajiannya yang utuh terdiri dari beberapa unsur, meliputi: musik, tari, vokal, lawak, dan dialog. Pada pementasan kesenian calung

Banyumasan versi utuh, dibutuhkan waktu hampir semalam penuh, yaitu mulai pukul 19.30 sampai pukul 04.00 WIB. Aturan waktu main semacam itu sudah berlangsung sejak lama, berpuluh-puluh tahun yang silam.

Pementasan calung versi utuh yang dilakukan hampir semalam penuh dibagi dalam empat babak, yaitu lenggeran, badutan, jaranan (kuda calung), dan baladewan. Sekitar pukul 19.30 sampai pukul 21.00, pementasan dimulai dengan alunan gendhing-gendhing pembuka.

11

Selanjutnya sekitar pukul 21.00 sampai 24.00 ditampilkan lenggeran. Saat tengah malam, yaitu sekitar pukul 24.00 hingga 03.00 merupakan waktunya badutan. Kurang-lebih pukul 03.00 hingga sekitar tigapuluh menit berikutnya merupakan waktu pentas jaranan atau kuda

calung. Menjelang fajar menyingsing kurang-lebih pukul 04.00, seluruh pementasan calung

diakhiri dengan tampilnya lengger yang menggunakan busana tari baladewan . 12

Dalam penyajiannya, ada beberapa variasi cara lengger membawakan tarian dan

11

Sebelum menguraikan penampilan babak Lenggeran, kiranya perlu diketahui makna istilah Lenggeran terlebih dahulu. Lenggeran

berasal dari kata dasar lengger yang mendapat akhiran an. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kata lengger berasal dari dua suku kata,

yaitu leng dan ger. Kedua suku kata tersebut merupakan kata dalam Bahasa Jawa yang berarti leng (lubang/ simbol perempuan) dan ger

(jengger pada ayam/ simbol laki-laki). Maknanya adalah ”dikira leng jebul jengger” (dikira perempuan ternyata laki-laki). Lengger pada mulanya diperankan oleh seorang pria yang berbusana wanita dan menarikan tari wanita (dalam Suhartoyo, 1992; Kartikawati, 1984).

Dengan berjalannya waktu, lengger saat ini ditarikan oleh para wanita. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sekitar abad 20 atau sekitar

nyanyian, yaitu: mengalunkan tembang sambil duduk bersimpuh, menari sambil membawakan tembang atau lagu, membawakan lagu sambil duduk, kemudian dilanjutkan menari, dan menari tanpa membawakan lagu, namun diselingi dengan dialog. Alur setelah

lengger duduk, mulailah ia mengumandangkan sebuah tembang atau lagu. Pada umumnya,

tembang pertama yang dikumandangkan adalah Tembang Gambirsawit. Dalam Gendhing Gambirsawit tersebut, lengger hanya duduk bersimpuh sebentar, kemudian berdiri untuk menari. Setelah GendhingGambirsawit selesai, lengger kembali duduk, sambil meneruskan beberapa tembang, di antaranya: Gendhing Uler Kambang, Gendhing Lobong Banyumasan, Gendhing Renggong Manis, Gendhing Waru Doyong, Gendhing Gunungsari, Gendhing Sekar Gadung, Gendhing Kembang Glepang, dan Gendhing Senggot.

Dalam babak lenggeran ini, setelah Gendhing Gambirsawit dan beberapa gending lain yang dikumandangkan, lengger memberi kesempatan kepada penonton atau tamu untuk menari bersamanya. Saat lengger telah menyelesaikan tarian awalnya, ia mulai berputar mengelilingi para tamu sambil menengadahkan selendangnya dan mengucapkan kata 'wer.., kewer.., kewer..' secara berulang-ulang. Tamu atau penonton pria yang tergerak untuk ikut menari mengikutinya dari belakang. Cukup satu orang pria yang memberi uang, dan biasanya pria tersebut merupakan pria yang paling terhormat di acara tersebut. Kemudian mereka menari berpasangan, sedangkan para pria yang lain ikut menari di belakang atau di sekitar pria yang paling terhormat.

Setelah babak lenggeran selesai, muncullah badut yang diperankan oleh seorang pria yang cakap membawakan lelucon sehingga suasana menjadi segar dan bergairah. Babak

badutan merupakan babak yang paling diminati dan ditunggu penonton dengan antusias. Dalam babak ini, badut dan lengger menari bersama sesuai tembang yang diminta penonton.

Usai badutan, pementasan dilanjutkan dengan Tari Jaranan atau Kuda Calung. Pelaku penari jaranan adalah sang badut, sehingga tariannya kocak dan membuat penonton tertawa gembira. Pada saat badutan akan berlangsung, lengger keluar dari arena pentas untuk berganti kostum. Tari Jaranan dibawakan badut menggunakan alat pendukung berupa ebeg, yaitu kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Tari Jaranan ini ditampilkan tidak lama, hanya sekitar tiga puluh menit. Tarian ini sekaligus berfungsi untuk mengisi waktu saat

lengger berganti kostum.

Sajian terakhir dalam alur pementasan calung Banyumasan versi utuh adalah tarian satria yang dikenal dengan tari baladewan. Tarian ini sebagai tarian penutup dalam pentas

lenggeran, mengandung maksud sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah menyelesaikan sebuah pementasan, sekaligus memohon agar selalu dalam lindungan-Nya.

Tari Baladewan diawali dengan sembahan, kemudian gerakan yang energik, semangat dan dinamis seperti pada tarian topeng, dan diakhiri dengan sembahan pula. Seiring berkumandangnya Gendhing Kebogiro maka berakhirlah pementasan calung Banyumasan versi utuh yang terkenal dengan sebutan Lenggeran.

2. Pertunjukan Durasi Pendek

Saat ini sering dijumpai pementasan kesenian calung dalam durasi pendek atau dipadatkan, disebabkan adanya kepentingan khusus yang menuntut efisiensi waktu pementasan. Pertunjukan durasi pendek seringkali terjadi saat kesenian calung diminta melakukan pementasan untuk keperluan semisal menyambut tamu, mengisi acara di televisi,

12

Seorang pemain lengger dituntut harus dapat menari dan menguasai berbagai jenis tembang, terutama tembang-tembang

memeriahkan peringatan tertentu, atau mengikuti festival.

Untuk keperluan pementasan durasi pendek, bentuk pertunjukan yang ditampilkan biasanya hanya terdiri dari unsur musik dan vokal, atau musik, vokal dan tari. Kesenian calung yang terdiri dari unsur musik dan vokal saja biasanya hanya membutuhkan waktu pementasan yang singkat, membawakan sebuah lagu dengan durasi sekitar sepuluh sampai limabelas menit. Foto di bawah ini merupakan contoh bentuk pementasan Grup Kesenian Calung Wisanggeni pimpinan Wendo Setiyono saat mengikuti kegiatan

Workshop dan Festival Musik Tradisi yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tahun 2012. Grup Calung Remaja Wisanggeni memiliki anggota yang berusia 15 tahun sampai 25 tahun. Berdasarkan jumlah anggota yang aktif, terdapat 15 orang pemain musik atau penabuh dan 25 orang penari/ penyanyi. Untuk mendukung sebuah pementasan durasi pendek rata-rata dibutuhkan tujuh sampai sepuluh orang pemain. Para pemain dalam suatu rombongan kesenian calung terdiri dari seorang pemimpin rombongan, penabuh, dan penari atau penyanyi.

Pertunjukan durasi pendek yang menampilkan unsur musik, vokal dan tari seringkali dikemas oleh Grup Kesenian Calung Wisanggeni guna memenuhi undangan pementasan di berbagai acara, baik di dalam maupun di luar kota. Sebagai contoh, pementasan kesenian

calung yang mengiringi lengger, dipentaskan di Taman Budaya Surakarta pada Bulan Mei 2012, dengan judul Lenggahsor. Pada kesempatan lainnya, grup ini mementaskan kesenian

calung yang mengiringi lengger dengan judul Tari Ngoser. Sinopsis dari pementasan Ngoser Lengger Calung Wisanggeni berlatar belakang dari pertunjukan Lengger Banyumasan yang biasa ditampilkan semalam suntuk memiliki bagian yang menarik, yaitu pada saat pertama kali munculnya Badut. Badut adalah seorang penari putra dan juga pelawak dalam pertunjukan Kesenian Lengger. Bagian awal pemunculan Badut merupakan puncak semangat bagi penari lengger, karena pada saat tersebut, penonton berkumpul dan menunggu munculnya Badut dengan penuh antusias. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh penari

lengger dengan memunculkan kepiawaiannya dalam semangat yang memuncak.

Berlatar belakang satu bagian pertunjukan lengger tersebut, Pimpinan dan Pelatih Grup

Calung Wisanggeni tertarik untuk mengemasnya dalam sebuah pertunjukkan dengan durasi 1,5 jam yang diberi judul Ngoser. Ngoser merupakan sebuah kata yang diambil dari bahasa Banyumas, yaitu perwujudan jalannya ular di tanah yang meliuk-liuk. Kata Ngoser diperoleh dari seorang Badut yang sedang melawak dalam pertunjukkan lengger. Ngoser,artinya geol

(gerak memutar pinggang atau pantat yang digerakkan ke kanan dan ke kiri) yang dilakukan sampai hampir menyentuh tanah. Kata tersebut dirasa cukup mewakili sebuah pementasan yang berisi tentang puncak semangat lengger.

Instrumen musik calung Purbalingga terdiri dari: gambang barung, gambang penerus, kethuk-kenong, dendhem, kendang, dan gong. Gong yang digunakan pada zaman dahulu adalah gong bumbung, yaitu gong yang dibuat dari bambu wulung dengan diameter yang besar. Cara memainkan dendhem, kethuk, kenong, dan gambang adalah dipukul, sedangkan kendang

adalah ditepuk. Cara memainkan gong bumbung adalah ditiup sehingga menghasilkan sensasi bunyi yang besar dan berat. Namun, dalam perkembangannya, karena alasan bunyi gong

Foto 2. Grup Kesenian Calung Wisanggeni Dalam Sebuah Kegiatan Festival Kesenian

bumbung sering tidak terdengar atau kurang mantap (kurang gler) maka sekarang umumnya menggunakan gong yang terbuat dari besi atau perunggu.

Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki atau para penabuh dalam Grup

Calung Remaja Wisanggeni meliputi baju model koko berwarna hitam, celana gombrang

berwarna hitam, sarung atau kain panjang untuk ikat pinggang, kaos warna putih, dan ikat kepala. Busana untuk pemain wanita atau penari/ penyanyi, antara lain meliputi kain panjang,

kemben, sampur, kalung melati, bros, gelung konde, sisir, cunduk mentul atau asesoris gelung

lainnya, penetep, kalung, dan gelang.

Dalam perkembangannya, tata busana dan sanggul dapat dimodifikasi, misalnya menggunakan gelung modern. Tata rias yang digunakan para penari atau penyanyi adalah tata rias cantik atau tata rias biasa yang disebut dengan riasan realistis.

Tempat untuk pementasan kesenian calung

pada dasarnya dapat dilaksanakan di mana saja, asalkan cukup luas. Pementasan yang pernah dilakukan, antara lain di halaman rumah/ pekarangan dan di dalam gedung. Ukuran panggung bervariasi menyesuaikan luas halaman atau gedung yang digunakan. Secara garis besar, ukuran ketinggian panggung sekitar 60-150 sentimeter, panjang panggung sekitar 3-4 meter, dan lebar sekitar 2,5-3 meter. Panggung tersebut merupakan pembatas antara penonton dan para pemain, berguna pula untuk menghindari adanya kejadian yang tidak diinginkan dari penonton terhadap para penari/lenggernya.

Lagu-lagu yang dimainkan dalam musik calung disebut gendhing. Dalam penyajian

calung biasanya menyajikan gendhing-gendhing gaya Banyumasan, misalnya Eling-eling, Ricik-ricik, Sekar Gadung, Ilo Gondhang, dan Gunungsari. Tangga nada calung Jawa Barat adalah diatonis (7) nada pokok, sedangkan untuk calung Purbalingga adalah pentatonis (5) nada pokok seperti pada gamelan. Tangga nada pentatonis ada dua macam, yaitu slendro dan

pelog. Tangga nada laras slendro memiliki 5 nada, yaitu 1, 2, 3, 5, 6 sedangkan tangga nada laras pelog memiliki 7 nada, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 Laras slendro mempunyai sifat lincah dan

13 gembira, sedangkan laras pelog mempunyai sifat lembut.

IV. FUNGSI KESENIAN CALUNG A. Fungsi Tradisi (Upacara Adat/ Ritual)

Kehidupan kesenian dalam masyarakat tradisional mempunyai fungsi dan arti yang sangat penting. Khususnya di dalam masyarakat yang sifat religiusitasnya sangat kuat, kesenian merupakan suatu bagian dari hidupnya. Melalui karya seni tradisional, mereka mencoba mengungkapkan segala maksud dan isi jiwanya, sehingga kesenian merupakan media komunikasi mereka dengan alam, ataupun kepada Tuhan Sang Raja Semesta Alam.

Fungsi kesenian calung di masyarakat Purbalingga sejauh diketahui adalah sebagai musik pengiring tari lengger Banyumasan (lenggeran). Ketika kesenian calung mengiringi tarian lengger atau lenggeran, maka kesenian calung dapat dikatakan memiliki fungsi dalam ritual atau upacara adat. Seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Mipiran, Kecamatan Padamara, Purbalingga. Hingga kini, masyarakat Desa Mipiran masih

Foto 3. Busana dan Tata Rias Pemain Calung

di Grup Calung Remaja Wisanggeni, Purbalingga

melaksanakan tradisi Suran dengan mementaskan lenggeran. Menurut Umar Kayam (2000), tari tradisional tumbuh dan terbentuk dalam suatu komunikasi di mana sistem nilai tradisional diacu secara mantap oleh warga komunitas tersebut. Tari tradisional bukanlah tari ekspresi kreasi perorangan, melainkan ekspresi kolektif dari komunitas yang mula-mula mencetuskan ide tersebut. Adapun satu ciri dari tarian rakyat tradisional berasal dari masyarakat agraris tradisional. Berarti, tarian yang tumbuh dan dikembangkan dalam kurun waktu berabad, disangga oleh pertanian yang mandiri, sehingga pada umumnya tarian rakyat tradisional menggambarkan hubungan yang akrab dan mesra antara warga komunitas tersebut dengan lingkungan pertanian atau lingkungan alamnya.

Komunitas pertanian yang utuh pada mulanya menganggap dan memperlakukan semua unsur di dalam komunitas tersebut sebagai unsur-unsur budaya yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam menjaga keseimbangan komunitas. Komunitas tradisional yang utuh tersebut merupakan dunia tersendiri dengan segala apa yang hidup di dalamnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi. Oleh karena masyarakat pertanian sangat menaruh arti yang penting terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan, maka tidaklah mengherankan apabila ritus yang terutama adalah yang berhubungan dengan sawah dan padi. Ritual yang berhubungan dengan sawah dan padi yang utama merupakan ritual kesuburan. Ungkapan kesuburan manusia yang diekspresikan dalam tarian tampak dalam lenggeran seperti yang masih dipentaskan dalam acara Suran di Desa Mipiran, Padamara, Purbalingga. Pada masa lalu, dalam lenggeran terdapat pasangan pria dan wanita yang menari dalam sikap tubuh berhadapan dan mata saling bertatapan. Gerakan-gerakannya seakan-akan menggambarkan erotisme hubungan seksual sepasang manusia, dipercaya sebagai ungkapan keselarasan yang menyatu dengan keseimbangan alam (Suharto, 1999).