• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baha 'Uddin

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta. bahauddin@ugm.ac.id

Judul : TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1885)

Penyunting : Peter Carey

Penerbit : Buku Kompas dan Yayasan Arsari, Jakarta 2014

Halaman : 434 + xxxiii.

Buku terbaru karya Peter Carey ini sebenarnya merupakan versi ringkas dari karya sebelumnya yang terdiri dari 3 jilid yaitu Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 yang terbit pada tahun 2011. Buku yang terakhir sebenarnya merupakan terjemahan dari karyanya yang berjudul The Power of Propechy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java terbit pertama kali pada 2007. Jadi buku yang diresensi ini dapat dikatakan merupakan versi ketiga dari buku aslinya yang sudah mengalami "modifikasi" sedemikian rupa dengan menitikberatkan perhatian pada sosok Pangeran Diponegoro.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa Perang Jawa (1825-1830) merupakan salah satu peristiwa penting dalam Sejarah Jawa yang membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Peter Carey menempatkan peristiwa ini sebagai "garis batas" berakhirnya tatanan lama Jawa dan diberlakukannya tatanan modern. Inilah untuk pertama kalinya pemerintah kolonial Belanda menghadapi pemberontakan sosial dengan keterlibatan wilayah dan penduduk yang sangat besar. Hampir seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya terkena dampak pergolakan itu. Diperkirakan sebanyak dua juta orang di wilayah ini, sepertiga dari keseluruhan penduduk Jawa pada waktu itu, terlibat dan terpengaruh, kemudian seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada di wilayah ini rusak, dan sekitar 200.000 orang Jawa tewas dalam peristiwa ini.

Sementara itu, dampak yang harus ditanggung oleh pihak pemerintah kolonial Belanda tidak kalah dahsyatnya. Untuk bisa memenangi perang ini, Belanda harus membayarnya dengan sangat mahal, sebanyak 7.000 serdadu pribuminya serta 8.000 tentaranya tewas; biaya perang yang harus dikeluarkannya mencapai sekitar 25 juta gulden. De Graaf membuat perhitungan atas biaya itu yang disetarakan dengan kurs 2,2 milliar dollar AS pada saat ini. Oleh karena itu tidak mengherankan jika peristiwa ini telah berakibat tertundanya penerapan kebijakan pemerintah kolonial dalam hal pendidikan yang harusnya menurut rencana sudah harus diterapkan pada tahun 1820-an. Namun karena anggaran ini dipergunakan untuk pemenangan perang ini maka kebijakan pendidikan baru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1850-an.

Tidak mengherankan pula jika kemudian pemerintah kolonial Belanda harus mendatangkan Johannes van den Bosch ke Indonesia untuk mendesain sebuah kebijakan ekonomi kolonial yang dengan waktu tidak terlalu lama dapat mengembalikan anggaran yang

digunakan untuk memenangkan perang itu. Bosch kemudian menerapkan sebuah kebijakan yang dikenal dengan cultuur stelsel atau Sistem Tanam Paksa di Jawa pada tahun 1830. Dengan demikian, menurut Carey, peristiwa Perang Jawa telah menjadi jembatan transisi menuju "puncak kekuasaan kolonial" ketika kerajaan-kerajaan Jawa sebelum peristiwa itu masih menjadi negara berdaulat, menjadi negara bawahan, atau subordinat terhadap kekuasaan kolonial pasca Perang Jawa.

Buku ini merupakan gambaran yang komprehensif mengenai sosok sentral dalam peristiwa Perang Jawa, Pangeran Diponegoro. Lahir pada hari Jumat Wage sekitar jam setengah lima pagi, 11 November 1785, bayi lelaki itu diberi nama Bendara Raden Mas Mustahar. Anak dari pasangan putra sulung Sultan Hamengkubuwana IIyang kelak pada 1812 bertakhta sebagai Sultan Ketigadan istri selirnya, Raden Ayu Mangkarawati. Saat remaja, pada akhir 1805, namanya berganti menjadi Raden Ontowirya. Gelar Bendoro Pengeran Ario Diponegoro disandangnya pada 1812. Pangeran itu memberikan pemaknaan atas namanya sebagai seorang yang menyebarkan pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara.

Sosok Pangeran Diponegoro dalam buku ini digambarkan dengan detil tidak hanya menampilkan sosok sebagai panglima perang yang selama ini digambarkan dalam buku-buku pelajaran sekolah namun Pangeran Diponegoro dipotret sebagai manusia pada umumnya. Artinya buku ini menawarkan perspektif yang humanis ketika memandang sosok Diponegoro. Carey dengan lugas menceritakan bahwa Sang Pangeran juga merupakan sosok manusia biasa yang mempunyai kesukaan seperti memelihara burung perkutut ketika tinggal bersama nenek buyutnya di Tegalrejo dan juga memelihara ikan ketika tinggal di Selarong. Lazimnya bangsawan kraton pada waktu itu, Diponegoro juga diceritakan oleh Carey menikah beberapa kali dan mempunyai istri lebih dari satu.

Carey juga mengisahkan bahwa Pangeran Diponegoro juga seorang yang humoris. Walaupun sumber-sumber Belanda sering menyebutnya sebagai lelaki yang kaku dan keras, namun dalam kenyataanya Diponegoro mempunyai sense humor yang lumayan. Dalam

Babad Diponegoro, Diponegoro sempat menceritakan sebuah pengalaman lucu dari medan tempur saat ia harus desak-desakan bersembunyi di balik sebuah pohon kweni yang batangnya kecil dengan seorang pamannya yang bertubuh agak gempal. Ia juga kerap mengirimkan pakaian perempuan kepada para panglimanya yang dianggap pengecut.

Walaupun dalam lukisan kita mengenai Diponegoro sebagai sosok yang memakai jubah putih panjang, namun dia jauh dari sosok tokoh Islam puritan. Diponegoro adalah seseorang yang sangat terbuka. Dalam keberagamaan, ia lebih cenderung menganut kejawenisme: mempraktekan ritual mistik Islam sekaligus mengadopsi sikap-sikap asketis yang diambil dari budaya Jawa: seperti ia sering bersemedi di Pantai Selatan, gua-gua kapur di wilayah selatan Jawa. Bahkan ketika mengklaim sebagai Ratu Adil, ia menyebut-nyebut nama Sunan Kalijogo dan Nyi Roro Kidul.

Selain itu, Diponegoro yang mempunyai darah ulama dari garis ibunya ini juga merupakan sosok seorang santri yang religius. Diponegoro semasa remaja di Tegalrejo bertemu dengan banyak guru agama yang ada di Yogyakarta. Permukiman dekat dengan tiga dari empat pusat utama pengkajian hukum Islam yang terkenal sebagai pathok nagari, yaitu di Kasongan (dekat Bantul), Papringan (antara Yogyakarta dan Prambanan), dan Mlangi. Kyai Taptojani di Mlangi sangat dihormati oleh Diponegoro.

Kedekatannya dengan rakyat karena tinggal di luar istana, menjadikan Diponegoro mewarisi kebiasaan para pemimpin besar Jawa seperti Airlangga, Joko Tingkir, Ki Pemanahan, dan Senopati. Semua pemimpin itu besar di pedesaan dan hidup tidak berjarak dengan rakyat. Dalam Babad Diponegoro, Diponegoro menceritakan ketika melakukan

lawatan ke wilayah tanah jabatan miliknya di daerah selatan, dia juga selalu bersama rakyat supaya dapat bersama-sama turun ke sawah memanen padi. Juga, dia kerap bepergian jauh-perjalanan ke Pantai Selatan dan Delanggu-dengan jalan kaki sambil menyamar sebagai

kawula alit.

Selain itu perspektif lain yang ditawarkan oleh buku ini adalah mengenai sebab terjadinya Perang Jawa. Hampir di semua buku pelajaran sekolah menengah di Indonesia selalu menempatkan faktor ketidaksetujuan Diponegoro terhadap pematokan tanahnya di Tegalrejo oleh pemerintah kolonial Belanda untuk pembangunan jalan raya dari Yogyakarta ke Magelang. Carey dengan jelas mengungkapkan bahwa faktor itu merupakan pemantik (sufficient cause) terjadinya Perang Jawa. Yang lebih penting dan diperjuangkan oleh Pangeran Diponegoro adalah faktor-faktor lain (necessary cause) yang sudah terjadi sejak tahun 1816 di Kasultanan Yogyakarta seperti penyewaan tanah-tanah kerajaan kepada orang-orang Eropa dan Cina, diberlakukannya berbagai macam pajak kepada rakyat, pengangkatan

gunung yang menarik pajak kepada rakyat, kesewenangan Patih Danurejo IV. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mengapa rakyat secara luas mendukung Sang Pangeran ketika terjadi Perang Jawa dan mencakup wilayah dan sumberdaya yang begitu besar.

Dengan perjuangannya yang luar biasa itu, sosok Sang Pangeran sudah selayaknya ditempatkan sebagai panutan bagi generasi muda terutama berkaitan dengan aktualisasi pendidikan berkarakter yang saat ini sedang digencarkan oleh pemerintah. Nilai-nilai ketokohan Diponegoro yang ditawarkan oleh buku ini antara lain jujur, tegas, berani, peduli terhadap sesama.

1. Patrawidya menerima, naskah hasil penelitian bidang sejarah dan budaya dalam dwi bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) dan belum pernah diterbitkan.

2. Naskah yang diterbitkan melalui proses seleksi dan editing.

3. Jumlah halaman setiap artikel 30-40 halaman, diketik 1,5 spasi,dengan huruf times new roman, font 12. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimal 100-125 kata diketik italic satu spasi, dan kata kunci.

4. Judul harus informatif dan diketik dengan huruf kapital tebal (bold), maksimum 11 kata yang mencerminkan inti tulisan. Dewan redaksi boleh merubah judul dengan sepengetahuan penulis. Nama penulis diketik lengkap di bawah judul dan diberi tanda asterisk (*). Keterangan tanda ditulis di bagian bawah naskah yang memuat : identitas penulis, instansi, alamat.

5. Penulisan naskah disajikan dengan sistematika sebagai berikut : Bab. Pendahuluan berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, kerangka pikir, metode. Bab selanjutnya berisi tentang deskripsi dari penelitian/obyek penelitian. Selanjutnya Bab Inti memuat tentang pembahasan/analisis bisa disertai tabel, skema, grafik, gambar, foto, peta. Pada Bab Penutup berisi kesimpulan dan saran. Naskah dilengkapi Daftar Pustaka dalam Daftar Informan/Referensi.

6. Penulisan kutipan

a. Kutipan langsung, adalah kutipan pendapat orang lain dalam suatu karya ilmiah yang diambil persis seperti aslinya; Kutipan langsung pendek, kutipan yang tidak melebihi tiga baris ketikan dalam baris-baris tubuh karangan dengan memberikan tanda kutip; Kutipan langsung panjang, kutipan ditulis dalam alinea tersendiri terpisah dari tubuh karangan . Kutipan diketik setelah lima ketukan garis tepi sebelah kiri atau sejajar dengan permulaan paragraf baru, jarak 1 spasi.

b. Kutipan tidak langsung, kutipan yang ditulis dengan bahasa penulis sendiri, ditulis terpadu dalam tubuh karangan, tanpa tanda kutip.

c. Mengutip ucapan sevara langsung (pidato, ceramah, wawancara, dan lain-lain) dapat dikutip secara langsung maupun tidak langsung, kutipan dengan tanda kutip.

7. Referensi sumber dicantumkan dalam kurung di dalam teks (body note) dengan susunan: nama pengarang, tahun karangan, nomor halaman yang dikutip. Penulisan Daftar Pustaka dengan susunan sebagai berikut: nama pengarang, tahun, judul karangan, nama kota, dan nama penerbit.

Contoh Buku

Fic, V.M., 2005. Kudeta I Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Contoh artikel dalam sebuah buku

Koentjaraningrat, 1985. "Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional" dalam Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, Alfian (ed). Jakarta: UI

Contoh artikel dalam majalah

Tambunan, T., 1990. "The Role of Small Industry in Indonesia: A General Review". Ekonomi Keuangan Indonesia, 37 (1): 85-114.

Pengacuan pustaka 80% terbitan 10 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Catatan kaki (footnote) hanya berisi penjelasan tentang teks, dan diketik di bagian bawah dari lembar teks yang dijelaskan.

7. Istilah lokal dan kata asing, harus ditulis dengan huruf miring (italic).

8. Pengiriman naskah bisa dilakukan melalui e-mail, ataupun pos dengan disertai file/CD, dialamatkan kepada: Dewan Redaksi Patrawidya, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Jalan Brigjen Katamso 139, Yogyakarta 55152, Telp (0274) 373241, Fax (0274) 381555. E-mail:patrawidya@bpnb-jogja.info 9. Penulis yang naskahnya dimuat akan mendapat tiga eksemplar buku Patrawidya dan dua reprint.

BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA YOGYAKARTA