• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEUNGGULAN KOMPARATIF BERAS SULSEL

B. Analisa Prefektif Perdagangan Beras Antarpulau

6) Beras Varietas Mand

Beras varietas mandi merupakan salah satu jenis beras lokal yang banyak digemari, bukan hanya di pasar di Sulawesi Selatan sendiri, melainkan juga di berbagai pasar antarpulau. Rasa nasinya yang memiliki aroma khas. Jenis beras ini dikategorikan beras berkualitas dan memiliki harga relatif tinggi setara dengan harga beras kepala spesial.

Hasil analisis integrasi pasar berdasarkan harga beras mandi ini, menunjukkan fenomena yang sama dengan jenis beras lainnya yakni semua pasar acuan terintegrasi dalam jangka pendek dengan pasar beras domestilk untuk jenis beras mandi. Hal tersebut didasari oleh koefisien regresi dari variabel perubahan harga di pasar acuan (Pjt

- Pjt-1 ) berpengaruh secara signifikan hingga tarap nyata 99% terhadap harga beras

mandi di pasar Sulawesi Selatan

Tabel 4.20. Integrasi Pasar Beras Varietas Mandi Sulawesi Selatan dengan Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia.

No. Pasar Acuan Koefisie Regresi IMC R2 UjiF BO 31 B2 P3 1. Jakarta 595,96 0,631 0,677 0,1540 4,10 0,716 127,98 (0,000) (0,000) (0,000) 2. Mataram 587,99 0,775 0,736 0,0345 22,46 0,628 85,43 (0,000) (0,000) (0,238) 3. Pontianak 449,17 0,859 0,941 -0,0100 85,90 0,741 145,23 (0,000) (0,000) (0,755) 4. Samarinda 405,54 0,853 0,776 0,0112 76,16 0,751 152,48 (0,000) (0,000) (0,848) 5. Kendari 890,97 0,659 0,717 0,0503 13,10 0,698 116,93 (0,000) (0,000) (0,129) 6. Ambon 740,86 0,786 0,632 -0,0285 27,58 0,687 111,29 (0,000) (0,000) (0,474) 7. Jayapura 1589,28 0,774 0,338 -0,2290 3,38 0,786 186,30 (0,0001 , (0,000) (0,000)

Selanjutnya berdasarkan analisis integrasi jangka panjang dengan menggunakan indikator IMC yakni mengukur kontribusi harga beras di pasar acuan pada periode sebelumnya terhadap harga yang terjadi di pasar Sulawesi Selatan, IMC pada semua pasar acuan menunjukkan nilai jauh di atas satu yang berarti semua pasar acuan tidak terintegasi dalam jangka panjang. Hal tersebut sekaligus menjelaskan bahwa harga beras mandi di pasar Sulawesi Selatan masih dominan ditentukan oleh harga beras jenis ini pada periode sebelumnya. Dengan kata lain, dinamika pasar domestik sangat menentukan tingkat harga beras mandi di Sulawesi Selatan.

b. Model Kawagoe

Analisis integrasi pasar secara spatial yang telah digambarkan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak satupun jenis beras yang ada di Sulawesi Selatan yang memiliki nilai IMC < 1 yang berarti bahwa pengaruh harga lag pasar acuan sangat kecil terhadap harga beras di pasar Sulawesi Selatan. Dengan kata lain harga di pasar acuan (pasar tujuan) tidak dapat ditransmisikan secara sempurna ke pasar beras Sulawesi Selatan, atau pemasaran beras antarpulau kurang efisien. Untuk mengetahui ada tidaknya kekuatan oligopolis dalam pasar pedagangan beras antarpulau, maka analisis tersebut dipadukan dengan analisis model Kawagoe. Adapun formula model Kawagoe dalam pasar beras antarpulau adalah sebagai berikut:

= + + ∆ + ∆ + ………(10)

Dimana:

M = Margin tataniaga, yaitu harga di tingkat pasar konsumen dikurangi harga yang diterima petani (Harga di tingkat produsen)

Pk = Harga eceran ratarata per bulan di pasar konsumen

= Tingkat perubahan harga ratarata bulanan di pasar konsumen pada

saat harga sedang naik (perubahan positif), nilai menjadi nol pada saat tidak terjadi kenaikan.

= Tingkat perubahan harga ratarata bulanan di pasar konsumen pada saat

harga sedang turun (perubahan negatif), nilainya menjadi nol pada saat tidak terjadi penurunan

Hasil analisis model Kawagoe menunjukkan bahwa, pada semua daerah tujuan, koefesien kenaikan harga konsumen di pasar antarpulau (β2) berkorelasi positif

dengan margin pemasaran, yang berarti bahwa kenaikan harga konsumen di pasar beras antarpulau, menyebabkan terjadinya peningkatan margin pemasaran beras antarpulau, dengan kata lain kenaikan harga beras di pasar beras antar pulau tidak diikuti peningkatan harga beras yang signifikan di pasar beras di Sulawesi Selatan. Demikian Pula koefisien regresi untuk penurunan harga (β3) umumnya berkorelasi

positif dengan margin pemasaran yang berarti bahwa penurunan harga pada tingkat konsumen di pasar tujuan, menyebabkan penurunan Pula margin pemasaran antarpulau. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa setiap terjadi penurunan harga di tingkat konsumen di pasar antarpulau tidak diikuti oleh penurunan harga yang signifikan di pasar beras domestik Sulawesi Selatan. Akan tetapi untuk pasar beras antarpulau Kendari dan Jayapura, koefisien penurunan harga (β3) berkorelasi negatif

dengan margin pemasaran beras antarpulau, yang berarti bahwa penurunan harga justru meningkatkan margin pemasaran. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa setiap penurunan harga pada kedua pasar antarpulau tersebut diikuti penurunan harga beras yang lebih besar di Sulawesi Selatan.

Tabel 4.21. Efisiensi Pemasaran Beras Antarpulau dengan Menggunakan Model Kawagoe, Menurut Berbagai Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia.

Meskipun untuk semua pasar beras antarpulau memiliki kecenderungan perilaku pengusaha untuk memperbesar margin pemasaran pada saat terjadi kenaikan harga atau dengan kata lain pedagangcenderung menunda kenaikan harga di pasar Sulawesi Selatan, apabila terjadi kenaikan harga di tingkat pasar antarpulau. Namun secara statistik kecenderungan tersebut hanya pasar beras antarpulau Mataram, Pontianak dan Jayapura yang signifikan hingga tarap nyata 95%. Dengan demikian indikasi adanya struktur pasar yang oligopolis ditemukan pada ketiga pasar tersebut, sedangkan tidak bekerjanya mekanisme pasar secara sempurna (pemasaran tidak efisien) ke berbagai pasar antarpulau lainnya disebabkan oleh faktor lainnya. Bisa karena intervensi pemerintah atau bisa karena faktor lainnya.

c. Intervensi Dolog dalam pasar beras antarpulau

Beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, dan pada daerahdaerah tertentu terjadi minus beras, serta terbatasnya jangkauan sektor swasta dalam mendistribusikan beras ke seluruh pelosok tanah air, maka negara merasa berkewajiban untuk melakukan penyediaan pangan yang cukup, sehat, aman, dan terjangkau. Bentuk intervensi pemerintah ini, di antaranya adalah kebijakan harga dasar (pengadaan gabah) dan kebijakan harga atap (operasi pasar) yang dijalankan oleh lembaga Dolog.

Pada masa sulit fungsi intervensi pemerintah melalui mekanisme operasi pasar oleh Dolog amatlah krusial, mengingat kemampuan swasta amat terbatas (karena infrastruktur, jaringan bisnis dan informasi yang terbatas). Walaupun Dolog lebih luas jangkauan operasinya dibandingkan lembaga swasta (Tabel 4.8, 4.9), namun operasi distribusinya pada daerah tujuan tidak bersifat kontinu seperti halnya lembaga swasta (Grafik 4.9). Walaupun demikian, intervensi pemerintah ini, tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi kondisi pasar beras pada masingmasing daerah tujuan.

Grafik 4.9. Perkembangan Pengiriman Bulanan Beras Dolog Menurut Daerah Tujuan 2002- 2004

Apakah intervensi pemerintah melalui mekanisme movenas Dolog juga berpengaruh terhadap ketidak efisienan perdagangan beras antarpulau (seperti yang telah dibahas dalam analisis elastisitas transmisi harga) sehingga untuk menganalisis secara langsung, studi ini memiliki kerbatasan dalam hal ketersediaan data aktual yang relevan untuk studi itu. Analisis secara tidak langsung yang dilakukan adalah melihat hubungan antara volume intervensi Dolog dengan ragam harga di daerah tujuan.

Analisis ini didasarkan pertimbangan bahwa dalam kondisi pasar persaingan sempurna, harga yang dihadapi oleh setiap pengusaha adalah soma, yakni harga pasar dan tidak satupun pengusaha mampu mempengaruhi harga pasartersebut. Karena itu, ragam harga dalam kondisi pasar kompetitif adalah 0 (nol). Asumsi yang dibangun dalam model ini adalah apabila volume pengiriman Dolog signih'kan mempengaruhi ragam harga di daerah tujuan, maka dianggap intervensi Dolog ini berkontribusi terhadap terjadinya distorsi pasar (pasar tidak efisien).

Model analisis ini, juga sekaligus untuk menjawab apakah intervensi dolog ini mampu mempengaruhi kestabilan harga (ragam harga) seperti dasar teori yang melandasi kebijakan operasi pasar oleh Dolog. Seperti dipahami bahwa tujuan dari intervensli operasi pasar adalah untuk melindungi konsumen terutama pada masa krisis pangan, karena harga dapat melambung tinggi. Karena itu dengan adanya operasi pasar oleh Dolog, melalui mekanisme movenas, maka harga di pasar tujuan diharapkan dapat lebih stabil.

Tabel 4.22. Pengaruh Intervensi Dolog terhadap Ragam Harga di Daerah Tujuan Beras Antarpulau.

Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pengiriman beras Dolog ke daerah tujuan memiliki koefisien arah negatif terhadap variabel ragam harga. Hal ini menujukkan bahwa ada kecenderungan apabila semakin besar volume pengiriman beras Dolog ke daerah tujuan, maka harga di daerah tujuan akan lebih stabil (ragam harga semakin kecil), akan tetapi bentuk intervensi tersebut tidak berpengaruh signifikan hingga tarap nyata 90 persen. Hal ini berarti bahwa peranan intervensi Dolog melalui mekanisme movenas, secara statistik tidak berarti dalam menjaga kestabilan harga di daerah tujuan. Secara tidak langsung, hasil ini juga dapat diiterpretasikan bahwa tidak ada bukti secara statistik intervensi Dolog melalui mekanisme movenas mampu mempengaruhi harga pasar di daerah tujuan.

Dengan demikian tidak ada bukti statisitik intervensi dolog ini menyebabkan terjadinya distorsi pasar beras antarpulau. Bahkan ketika dilakukan simulasi terhadap model analisis tersebut dengan skenario meningkatkan volume pengiriman beras Dolog ke masingmasing daerah tujuan sebesar 25 persen, tampaknya pengaruh skenario tersebut tidak berperan banyak dalam menjaga kestabilan harga (ragam hanya menurun sedikit) di daerah tujuan.

Grafik 4.10. Simulasi: Dampak Peningkatan Volume Pengiriman Beras Dolog ke Oaerah Tujuan 25% terhadap Ragam Harga di Daerah Tujuan

Mekanisme movenas yang dilakukan oleh Dolog dalam menjaga Kestabiian harga di daerah tujuan tidak efektif, kemungkinan disebabkan oleh hal berikut: (1) Volume pengiriman Dolog ke daerah tujuan sangat kecil dibandingkan excess demand di daerah tujuan sehingga intervensi movenas tersebut tidak signifikan terhadap kebutuhan beras di pasar tujuan.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa kemampuan Dolog hanya sekitar 8 9 persen dari produksi nasional (Arifin, 2004). Padahal saat ini Indonesia merupakan negara yang tergolong netimpor beras (Krisnamurti, 2003), yang berarti bahwa total produksi beras nasional pun tidak cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri (excess demand sangat besar), sementara intervensi dolog terbatas dan (2) Dolog lamban merespons gejolak harga di daerah tujuan yang disebabkan oleh bufferstock Dolog sangat ditentukan oleh periode produksi padi di daerah-daerah sentra produksi. Artinya, ketika terjadi gejolak harga di daerah tujuan, Dolog tidak serta merta mampu melakukan intervensi pasar, karena sangat ditentukan oleh ketersediaan stok yang ada.

d. Struktur biaya dan margin lembaga pedagang beras antarpulau

Berbagai model analisis yang telah dilakukan untuk melihat efisiensi perdagangan beras antarpulau, tidak dapat dimungkiri tentu memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari berbagai analisis tersebut adalah berkaitan dengan reliability data yang digunakan, karena semua model analisa tersebut menggunakan jenis data timeseries. Problem utama dari jenis data ini adalah sulitnya menghilangkan unit root pada variabel yang menggunakan data jenis ini sehingga seringkali korelasi serial yang terjadi sulit dihindari. Karena itu, analisis efisiensi perdagangan beras antarpulau selain menggunakan data sekunder yang bersifat runtun waktu juga dilakukan analisis struktur biaya dan analisa margin dengan menggunakan data primer dari pelaku pasar beras antarpulau.

Data yang dianalisis pada bagian ini dikumpulkan dari para pedagang beras antarpulau yang berlokasi di sekitar pelabuhan Siwa dan Bone, yang dianggap representatif untuk kegiatan perdagangan beras antarpulau melalui pantai timur. Kemudian pedagang beras antarpulau di sekitar pelabuhan Parepare, Sidrap, dan Pinrang dianggap representasi perdagangan beras yang melalui pantai barat. Khusus untuk pedagang antarpulau yang sekaligus pengusaha penggilingan dikategorikan secara tersendiri, karena struktur biayanya berbeda dengan pedagang antarpulau lainnya.

Dalam analisis struktur biaya usaha perdagangan beras antarpulau, seperti terlihat pada tabel berikut, menunjukkan bahwa total biaya pedagang beras antarpulau yang berlokasi di pantai barat Parepare, Sidrap, dan Pinrang) lebih besar dibandingkan pedagang yang berlokasi di pantai timur. Perbedaan ini disebabkan oleh wilayah pengadaan bahan baku yang relatif sempit serta jangkauan pasar tujuan relatif dekat bagi pedagang di pantai timur. Adapun pedagang di pantai barat, karena volume perdaganganya besar sehingga untuk memperoleh bahan baku yang diperoleh para pedagang ini berasal dari berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan, termasuk berbagai daerah sentra produksi di pantai timur. Demikian pula jangkauan pasarnya relatif lebih luas, karena di dukung oleh infrastruktur transportasi laut yang lebih baik.

Tabel 4.23 Struktur Biaya Pedagang Beras Antarpulau Menurut Kategori Pedagang Beras Antarpulau, 2006

Dalam analisis struktur biaya di atas, terlihat bahwa dalam mata rantai perdagangan beras antarpulau, mulai dari tingkat petani hingga sampai ke pelabuhan tujuan, setidaknya 3 atau 4 kali komoditas ini dibebani pungutan retribusi, meskipun sebenarnya pungutan ini sejak diberlakukannya UU No.8 Tahun 1998 tentang deregulasi perdagangan, yang menekankan larangan pungutan dalam perdagangan domestik hasil-hasil pertanian.

Menurut beberapa pengusaha penggilingan bahwa biaya retribusi mulai dari pengadaan bahan baku gabah hingga penjualan hasil, biaya ini dapat mencapai Rp. 2535 per kg beras, biaya ini menurutnya dapat lebih besar dari margin keuntungan beras. Biaya retribusi yang besar akan membebani daya saing beras Sulawesi Selatan dalam perdagangan beras antarpulau, terutama dalam menghadapi persaingan terhadap beras produksi Jawa yang memang memliki kualitas produksi relatif lebih bagus dengan harga yang relatif lebih murah.

Daya saing ini juga dipengaruhi oleh perbedaan biaya kemasan yang umumnya diproduksi di Jawa. Biaya kemasan beras ratarata mencapai Rp. 50,71/kg di pantai barat dan sekitar Rp. 30,51/Kg di pantai timur. Perbedaan biaya kemasan ini disebabkan oleh banyaknya kemasan 25 kg yang digunakan oleh pedagang beras di pantai barat yang biayanya dapat mencapai Rp. 70,0/kg beras, Besarnya total biaya berdasarkan kategori pedagang beras antarpulau, tampaknya memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Biaya terbesar adalah terjadi pada pedagang antarpulau yang sekaligus merangkap usaha penggilingan, sedangkan yang paling kecil adalah pedagang antarpulau di pantai timur. Meskipun tingkat biaya sering dijadikan indikator efisiensi perdagangan, namun dalam kasus ini perbedaan biaya tersebut tidak dapat dijadikan indikator efisiensi, karena adanya perbedaan fungsi tataniaga antara penggilingan dengan pedagang antarpulau lainnya, serta adanya perbedaan jangkauan pasar tujuan antarsetiap pedagang. Dengan alasan yang sama, maka analisis margin secara komparasi antarpedagang sulit untuk dijadikan indikator efisiensi.

Analisis yang lebih tepat untuk dijadikan indikator efisiensi perdagangan beras antarpulau dalam kasus ini adalah tingkat keuntungan lembaga, dibandingkan dengan keuntungan normal. Keuntungan normal yang ada pada pedagang beras antarpulau adalah tingkat keuntungan yang layak bagi pengusaha menjalankan bisnis ini. Besarnya keuntungan normal adalah sekitar Rp.50 per kg beras. Keuntungan yang kurang dari keuntungan normal ini sudah dianggap tidak layak lagi, mengingat risiko perdagangan ini cukup besar, harga barang pedagang mitra di daerah tujuan yang dibayar setelah beras terjual.

Tidak sedikit pedagang antarpulau, terutama pengusaha penggilingan di Sidrap merasa jerah dengan pelaku pedagang mitra di daerah tujuan yang tidak membayar hutangnya. Berdasarkan tingkat keuntungan ratarata yang diperoleh pedagang beras antarpulau, tampaknya masih lebih tinggi dibandingkan keuntungan normal, ini berarti efisiensi perdagangan masih dapat ditingkatkan.

Tabel 4.24. Margin Pemasaran dan keuntungan Lembaga Pedagang Beras Antarpulau di Sulawesi Selatan menurut Kategori Pedagang, 2006

Analisis lain yang dijadikan dasar dalam analisis efisiensi perdagangan beras antarpulau adalah analisis kualitatif pada dua aspek yaitu 1) perubahan Keuntungan pedagang pada saat permintaan beras dari daerah tujuan meningkat dan 2) perbedaan tingkat keuntungan perdagangan beras antar pulau berdasarkan daerah tujuan.

Berdasarkan hasil survei memberikan gambaran bahwa umumnya keuntungan pedagang meningkat pada periode permintaan tinggi dan umumnya keuntungan pedagang lebih sering berbeda berdasarkan daerah tujuan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keuntungan pedagang yang meningkat pada periode permintaan tinggi disebabkan oleh adanya perilaku pedagang untuk tidak mentransmisikan kenaikan harga di pasartujuan ke pedagang pemasok bahan bakunya (produsen).

Dengan kata lain bahwa pedagang cenderung menahan harga pembelian di tingkat produsen ketika terjadi kenaikan harga di pasar konsumen. Gambaran inimengisyaratkan bahwa perdagangan beras antarpulau belum efisien. Kesimpulan serupa juga dapat ditarik atas jawaban pada pertanyan aspekke dua, yang umumnya keuntungan lebih sering berbeda menurut daerah tujuan.

Menurut Simatupang (1999) bahwa dalam kondisi pasar beras yang kompetitif, dengan sifat pedagang yang selalu mengalirkan barangnya ke daerah yang memberikan keuntungan paling besar, maka perbedaan harga antar daerah hanya ditentukan oleh biaya transpor. Hal ini mengisyaratkan bahwa kondisi ekuilibrium pasar yang kompetitif akan memberikan keuntungan yang sama untuk masing-masing daerah

tujuan. Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perdagangan beras antar pulau belum efisien.